Hukumnya Seorang Yang Menghalalkan Nikah Mut’ah, Apakah Bisa Menyebabkannya Keluar Dari Islam ?

Pertanyaan

Ada seorang salafi sunni hanya saja dia menghalakan nikah mut’ah, apakah dihukumi keluar dari agama atau hanya berdosa saja ?

Ringkasan Jawaban

Kesimpulan: Nikah mut’ah adalah pernikahan haram yang termasuk dalam pernikahan yang merusak. Ijma’ para ulama telah menyatakan hal itu, dan barang siapa ada yang  menghalalkannya, maka hendaknya dia diberitahu hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang melarang dengan jelas, jika dia bersikeras dengan pendapatnya bersandar pada syubhatnya atau karena mentakwil nash, maka ia dihukumi salah dan sesat dalam masalah ini, akan tetapi tidak dihukumi kafir dan tidak murtad dari agama Islam. Namun apabila setelah disampaikan kepadanya hadits-hadits Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dan telah diketahuinya, hatinya pun bisa menerimanya dengan penuh ketenangan, kemudian ia menolaknya karena hawa nafsunya dan tidak menganggapnya sebagai ucapan Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, juga tidak berkomitmen dengan hukum beliau yang mulia, maka orang seperti ini dihukumi sebagai kafir keluar dari Islam; karena menolak hukum syar’i adalah kafir sesuai dengan ijma’ para ulama, hanya saja yang seperti ini jauh kemungkinannya terjadi pada seseorang dari kalangan ahlus sunnah, kecuali jika dia sudah kafir setelah beriman, kita mohon keselamatan dan ketetapan iman kepada Allah –Ta’ala-. Wallahu A’lam

Teks Jawaban

Tema Terkait

Alhamdulillah.

Pertama:

Nikah mut’ah termasuk nikah yang batil dan telah dijelaskan sebelumnya pada fatwa nomor: 20738, di sana juga ada bantahan bagi mereka yang membolehkannya.

Kedua:

Tidak boleh mempermudah untuk mengkafirkan seorang muslim; karena ada unsur berbuat dusta kepada Allah, juga dusta kepada muslim lainnya. Seorang muslim yang telah melekat keislamannya tidak bisa tanggal hanya karena syubhat tertentu, bahkan tidak bisa hilang keislamannya kecuali dengan keyakinan dan hujjah telah ditegakkan, alasanya tertolak, atau sebagaimana yang sering disampaikan oleh para ulama dengan istilah “sempurnanya syarat-syarat mengkafirkannya dan juga tidak penghambat yang mencegahnya”.

Di antara syarat-syarat tersebut adalah pelakunya mengetahui bahwa dirinya telah melakukan sesuatu yang memastikan dirinya berubah menjadi kafir .

Dan di antara penghambat tersebut adalah ia melakukannya karena takwil, atau dia masih memiliki syubhat tertentu yang dianggap dalil, atau karena dia tidak memahami penjelasan syari’at yang ia terima.

Mengkafirkan orang itu tidak boleh terjadi kecuali karena dia dengan sengaja menyimpang, mengerti hukumnya tidak bodoh, dan pada bab tertentu yang kalau dilakukan bisa dipastikan kekafirannya.

Untuk mengenal rambu-rambu takfir bisa dilihat jawaban soal nomor: 85102

Tidak diragukan lagi bagi siapa saja yang mengatakan bahwa nikah mut’ah dari kalangan ahlus sunnah, bisa dipastikan bahwa dia masih memiliki syubhat dan pentakwilan; karena sebagian ulama terdahulu ada yang membolehkannya, sebagian mereka ada yang mengatakan makruh tapi tidak sampai haram, kemudian sudah ditetapkan setelah itu sebagai ijma’ akan keharamannya.

Ibnul Mundzir –rahimahullah- berkata:

“Saya tidak mengetahui belakangan ini ada seseorang yang membolehkan nikah mut’ah kecuali sebagian syi’ah rafidhah. Tidak ada artinya bagi ucapan yang menyimpang dari kitab Allah dan sunnah-sunnah Rasulul-Nya”. (Al Ausath: 8/422).

Al Qadhi ‘Iyadh –rahimahullah- berkata:

“Telah ditetapkan bahwa nikah mut’ah boleh pada awal-awal Islam, kemudian ditetapkan juga bahwa nikah mut’ah dimansukh (dihapus) dengan beberapa hadits yang disebutkan dalam kitab ini dan pada kitab lainnya, kemudian telah disepakati sebagai hasil ijma’ tentang pelarangan nikah mut’ah”. (Ikmal Al Mu’allim: 4/275)

Ibnul Qatthan –rahimahullah- berkata:

“Telah disepakati oleh para ulama terkemuka dari kalangan ulama aqli (lebih mengedepankan logiika) dan ulama riwayat (lebih mengedepankan dalil) di Mesir, Maroko dan Syam bahwa nikah mut’ah adalah haram; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah melarangnya”. (Al Iqna’ fi Masailil Ijma’: 2/17)

Semua pendapat (yang membolehkan nikah mut’ah) yang telah diriwayatkan ini telah dinukil sejak generasi terdahulu, meskipun pendapat mereka tertolak dan menyimpang dari sunnah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang telah dipastikan kebenarannya, namun mereka masih dimaafkan; karena belum sampai kepada mereka larangan Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tersebut. Masalahnya hal ini mewariskan sedikit syubhat yang mencegah penerapan banyak hukum-hukum syar’i kepada mereka yang melakukan nikah mut’ah atau mereka yang menghalalkannya.

Sebagian ulama juga telah menganggap nikah mut’ah termasuk dalam pernikahan yang masih menjadi perdebatan, maka barang siapa yang melakukannya karena mentakwilnya, maka tidak ditegakkan kepadanya hukuman zina karena masih ada syubhat di sana, sedangkan hukuman had tertahan karena adanya syubhat. Jika adanya syubhat saja sudah menjadi penghalang diterapkannya had (hukuman dalam Islam) bagi pelakunya, apalagi dihukumi sebagai kafir lebih utama untuk tidak diterapkan; karena pengkafiran itu lebih hati-hati pelaksanannya dari pada perbuatan lainnya. Disebutkan dalam kitab Al Mughni karya Ibnu Qudamah (9/57):

“Dan tidak diwajibkan untuk melaksanakan hukuman had dengan adanya persetubuhan karena pernikahan yang masih diperdebatkan, seperti nikah mut’ah, nikah syighar, nikah tahlil, nikah tanpa wali dan saksi, menikahi kakak/adik di dalam masa iddah istrinya yang ditalak bain, menikahi wanita istri ke-5 di dalam masa iddah istri ke-4 nya yang ditalak bain, dan menikahi wanita majusi. Inilah pendapat mayoritas para ulama; karena adanya perbedaan pendapat pada persetubuhan yang dibolehkan yang masih mengandung syubhat, hukuman had itu tertahalang karena adanya syubhat. Ibnul Mundzir berkata: “Semua para ulama yang kami hafal, mareka semua telah melakukan ijma’, bahwa hukuman had itu terhalang karena masih adanya syubhat di dalamnya”.

< PREVIOUS NEXT >