“Katakanlah: “Hai ahli Kitab, Marilah (berpegang) kepada
suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara
Kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan
tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatupun dan tidak
(pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai
Tuhan selain Allah”. jika mereka berpaling Maka Katakanlah
kepada mereka: “Saksikanlah, bahwa Kami adalah orangorang
yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Ali Imran: 63)
Sunnah yang datang dengan beberapa bentuk, hendaknya
diamalkan secara bervariasi.
Dalil untuk bacaan-bacaan diatas adalah:
A- Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca pada dua rakat
fajar, “qul yaa ayyuhal kaafiruun.”
Dan“qul huwallahu ahad.”1
B- Hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membaca dalam dua
rakaat fajar, pada rakaat pertama,
dan pada rakaat kedua,
15 HR Muslim: 726.
Kedua,Waktu Fajar
77
dalam riwayat Muslim, dari Ibnu Abbas, “Pada rakaat
kedua,
Kelima, disunnahkan idhthijaa’ (berbaring) ke
sebelah kanan setelah melaksanakan shalat
sunnah fajar
Dalilnya:
A- Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa jika selesai shalat dua rakaat fajar,
beliau berbaring ke sebelah kanannya.”1
B- Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam biasa jika selesai shalat dua rakaat
fajar, jika aku kebetulan terbangun, beliau berbicara
denganku, kalau tidak, beliau berbaring.”2
Idhthijaa` ini diperselisihkan para ulama:
Ada yang mengatakan, ia hukumnya sunnah secara
mutlak setelah melaksanakan shalat sunnah fajar. Ini adalah
pendapat kebanyakan para ulama. Sesuai dengan hadis
Aisyah tadi. Diantara para sahabat yang mengamalkan
dan memfatwakannya adalah, Abu Musa al Asy’ary, Rafi
bin Khadij, Anas bin Malik dan Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhum. Pendapat ini juga yang dipilih oleh Ibnu Sirin, Urwah
dan para fukaha yang tujuh rahimahumullah.
Ada yang mengatakan, disunnahkan bagi orang yang shalat
malam dengan panjang, untuk beristirahat dengan idhthijaa` ini.
15 HR Bukhari: 1160, Muslim: 736.
25 HR Muslim: 743.
Kedua,Waktu Fajar
78
Pendapat ini yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah
rahimahullah.
Pendapat pertama adalah pendapat yang lebih kuat -wallahu
a’lam.
Disunnahkan untuk menyegerakan shalat fajar, yaitu
pada waktu ghalas (gelap) di awal waktunya. Ini pendapat
mayoritas ulama. Dalilnya:
A- Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, istri Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Dahulu para wanita beriman
mengikuti shalat fajar bersama Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam sambil memakai kain-kain, kemudian
mereka pulang ke rumah-rumah mereka dalam keadaan
mereka tidak dikenal, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam melakukan shalat pada saat keadaan masih
gelap.”1
B- Hadis Jabir radhiyallahu ‘anhu, bahwa “Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam biasanya shalat subuh dalam pada waktu
suasana masih gelap.”2
Adapun hadis Rafi’ bin Khadij radhiyallahu ‘anhu secara marfu’,
“Tunggulah sampai langit menguning untuk melaksanakan
shalat fajar, karena ia pahalanya lebih utama.”3
Ada yang mengatakan, maksudnya adalah memanjangkan
bacaan sampai langit mulai menguning.
Ada yang mengatakan, hadis tersebut mansukh (terhapus
hukumnya).
Ada yang mengatakan, maksudnya mengakhirkan shalat
sampai benar-benar jelas bahwa fajar telah terbit dan tidak ada
lagi keraguan.
15 HR Bukhari: 578, Muslim: 645.
25 HR Bukhari: 560, Muslim: 646.
35 HR Ahmad: 17286, Tirmidzi: 154, ia menshahihkannya.
Kedua,Waktu Fajar
79
Berangkat ke Masjid, dalam masalah ini terdapat
beberapa sunnah
Karena shalat fajar adalah shalat pertama dalam satu
hari, dimana seorang laki-laki berangkat ke masjid untuk
melaksanakannya, maka dalam hal berangkat ke masjid,
terdapat beberapa perkara yang disunnahkan:
1. Disunnahkan bersegera untuk berangkat ke masjid.
Hal ini sesuai hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Andai mereka mengetahui pahala yang terdapat dalam
tahjiir, niscaya mereka akan saling berlomba.”1 Makna
tahjiir adalah, bersegera untuk shalat.
Orang-orang shaleh dahulu (salaf) bersungguhsungguh
untuk bersegara mendatangi shalat: Sa’id
bin Musayyib berkata, “Tidaklah seorang muadzin
mengumandangkan adzan sejak 30 tahun melainkan
aku sudah berada di masjid.”2 Ia juga berkata, “Aku
tidak pernah mendengar adzan sementara aku berada
di tengah keluargaku sejak 30 tahun.”3
2. Keluar rumah dalam keadaan telah bersuci, agar setiap
langkahnya dicatat pahala. Hal ini sebagaimana hadis
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shalat seorang laki-laki bersama jamaah, lebih baik dari
shalatnya di rumahnya atau di pasarnya 20 sekian serajat.
Hal itu jika ia berwudhu dan memperbagus wudhunya,
kemudian ia berangkat ke masjid semata-mata untuk shalat
15 HR Bukhari: 615, Muslim: 437.
25 HR Ibnu Abi Syaibah: 3522.
35 Disebutkan Ibnu Sa’ad dalam al Thabaqat: 5/131.
Kedua,Waktu Fajar
80
dan ingin shalat, maka tidaklah ia melangkah dengan satu
langkah melainkan akan diangkat untuknya satu derajat dan
akan dihilangkan darinya satu kesalahan, hingga ia masuk ke
masjid. Jika ia telah masuk ke masjid, maka ia berada dalam
shalat selama shalatlah yang menahannya, para malaikat
akan mendoakan kepada seseorang diantara kalian selama ia
berada di tempat duduknya yang ia shalat padanya. Mereka
berkata, “Ya Allah, rahmatilah ia. Ya Allah, ampunilah ia. Ya
Allah, terimalah taubatnya, selama ia tidak menyakiti dan
berhadas padanya.”1
3. Keluar rumah menuju tempat shalat dengan tenang dan
berwibawa. Sebagaimana hadis Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Jika kalian mendengar iqamah, maka berjalanlah menuju
shalat dalam keadaan tenang dan penuh wibawa, jangan
tergesa-gesa, keadaan apa yang kalian dapati maka shalatlah,
dan apa yang tertinggal maka sempurnakanlah.”2
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika telah dikumandangkan
iqamah untuk shalat, maka janganlah kamu mendatanginya
dalam keadaan tergesa-gesa, datangilah shalat itu dalam
keadaan tenang. Apa pun yang kalian dapati, maka
shalatlah dengan keadaan itu, dan apa yang tertinggal
maka sempurnakanlah, karena sesungguhnya seseorang,
jika ia sedang menuju shalat, maka ia di dalam shalat.”3
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sakinah adalah tenang
dalam gerakan, meninggalkan perbuatan sia-sia. Adapun
15 HR Muslim: 649.
25 HR Bukhari: 636, Muslim: 602.
35 HR Muslim: 602.
Kedua,Waktu Fajar
81
waqaar adalah kewibawaan seperti menundukkan
pandangan, merendahkan suara dan tidak banyak
melirik.”1
4. Mendahulukan kaki kanan ketika masuk masjid dan
mendahulukan kaki kiri ketika keluar masjid. Hal ini
sebagaimana hadis Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Termasuk sunnah, jika engkau masuk masjid, engkau
memulainya dengan kaki kananmu, dan jika engkau
keluar, engkau memulai dengan kaki kirimu.”2
Sebagaimana ini juga datang dari Ibnu Umar. Bukhari
berkata, “Bab mendahulukan yang kanan ketika masuk
masjid dan urusan lainnya. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
selalu mendahulukan kaki kanannya. Dan jika keluar,
mendahulukan kaki kirinya.” Ini juga sesuai dengan hadis
Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam selalu mencintai tayammun (mendahulukan
sesuatu yang kanan) dalam setiap urusannya.”3
Kaidahnya: hal-hal yang termasuk perkara mulia,
disunnahkan untuk memulai bagian kanan, dan hal-hal
yang termasuk perkara diluar itu, maka disunnahkan
memulai dengan bagian kiri. Selain keduanya, maka
secara asal adalah mendahulukan yang kanan juga.
5. Membaca zikir khusus ketika masuk masjid dan keluar.
Ini sebagaimana hadis Abi Humaid dan Abi Usaid
radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Jika salah seorang diantara kamu masuk masjid, maka
hendaknya ia mengucapkan,
15 Syarh Muslim, Nawawi, hadis: 602.
25 HR Hakim: 1/338, dishahihkannya, termasuk syarat Muslim.
35 HR Bukhari: 168, Muslim: 268.
Kedua,Waktu Fajar
82
» بْوَابَ رَحَْتِكَ
َ
اللَّهُمَّ افْتَحْ لِ أ «
“Allahummaf-tah lii abwaaba rahmatika”
(Ya Allah, bukakanlah pintu-pintu rahmat-Mu) jika ia
keluar hendaknya ia mengucapkan,
» لُكَ مِنْ فَضْلِكَ
َ
سْأ
َ
أ
هُمَّ إِنِ اللَّ «
“Allahumma innii as`aluka min fadhlika.”1
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon keutamaan dari-
Mu)
6. Shalat dua rakaat tahiyyatul masjid. Jika seseorang
datang lebih awal untuk shalat, disunnahkan untuk tidak
duduk terlebih dahulu sebelum ia shalat dua rakaat. Hal
ini sebagaimana hadis Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang diantara kamu masuk masjid, maka janganlah
ia duduk sebelum shalat dua rakaat.”2
Shalat tahiyyatul masjid dapat dicukupi oleh shalat
sunnah qabliyah, jika shalat fardhunya memiliki sunnah
qabliyah seperti shalat subuh dan zuhur. Begitupun juga
dengan shalat dhuha ketika ia masuk ke masjid pada
waktu dhuha, atau shalat witir jika ia melakukannya di
masjid, atau juga shalat fardhu, karena tujuan dari shalat
tahiyyatul masjid adalah: ia tidak duduk sebelum shalat
terlebih dahulu, karena hal itu termasuk memakmurkan
masjid dengan shalat, agar masjid-masjid tidak didatangi
tanpa shalat.
7. Disunnahkan bagi kaum laki-laki untuk bersegera
menuju shaf (barisan) pertama, karena ia adalah shaf
15 HR Muslim: 713.
25 HR Bukhari: 1163, Muslim: 714.
Kedua,Waktu Fajar
83
yang terbaik. Adapun untuk kaum wanita, shaf yang
terbaik adalah yang paling akhir.
Hal ini berdasarkan hadis Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Shaf yang terbaik bagi kaum laki-laki adalah yang
paling depan dan yang terburuk adalah yang paling
akhir. Dan shaf yang paling baik untuk kaum wanita
adalah yang paling akhir dan yang terburuk adalah
yang paling depan.”1 Maksud yang terbaik adalah yang
paling banyak keutamaan dan pahalanya. Dan maksud
yang terburuk adalah yang paling sedikit keutamaan
dan pahalanya.
Yang dimaksud dalam hadis ini adalah jika laki-laki
dan wanita shalat secara berjamaah dan tidak ada
penghalang antara mereka baik dinding atau yang
lainnya. Oleh karena itu yang paling baik bagi wanita
adalah yang paling belakang, karena hal itu lebih jauh
bagi mereka dari pandangan kaum laki-laki. Adapun
jika antara mereka terdapat penghalang seperti dinding
atau yang lainnya seperti yang ada di masjid-masjid kita
sekarang ini, dengan dikhususkan tempat shalat untuk
kaum wanita, maka dalam kondisi ini, yang terbaik
bagi wanita pun adalah yang paling depan. Pendapat
ini yang dikemukakan oleh Syaikh Bin Baz dan Syaikh
Ibnu Utsaimin rahimahumallah, karena tidak adanya
alasan (‘illah) dekatnya mereka dengan kaum laki-laki.
Dan hukum berporos bersama illahnya, dari sisi ada dan
tidaknya. Hal ini juga karena keutamaan shaf pertama
bersifat umum dalam sejumlah hadis, diantaranya:
15 HR Muslim: 440.
Kedua,Waktu Fajar
84
a) Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andai orang-orang
mengetahui pahala yang terdapat dalam adzan dan shaf
pertama, lalu mereka tidak mampu mendapatkannya
melainkan dengan berundi, niscaya mereka akan
berundi. Andai mereka mengetahui keutamaan dalam
tahjir, niscaya mereka akan berlomba-lomba kepadanya.
Dan andai mereka mengetahui keutamaan yang ada
pada shalat isya dan subuh, niscaya mereka akan
mendatanginya walaupun dengan merangkak.”1
b) Hadis Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu, di dalamnya
disebutkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
keluar menemui kami seraya bersabda, “Tidakkah
kalian membuat shaf sebaimana malaikat membuat shaf
disisi Rabb mereka?” Kami berkata, “Wahai Rasulullah,
bagaimana para malaikat membuat shaf disisi Rabb
mereka?” beliau bersabda, “Mereka menyempurnakan
shaf-shaf pertama, dan mereka merapatkan shaf.”2
Dari hadis ini juga diambil pelajaran sunnahnya
merapatkan shaf.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Disunnahkan shaf
pertama, kemudian yang setelahnya, kemudian yang
setelahnya sampai akhir. Hukum ini berlaku untuk
shaf kaum laki-laki dalam semua keadaan. Begitu pun
untuk kaum wanita yang shalat berjamaah tanpa kaum
laki-laki. Adapun jiwa kaum wanita shalat berjamaah
bersama kaum laki-laki dan diantara mereka tidak ada
penghalang, maka shaf yang terbaik untuk kaum wanita
15 HR Bukhari: 615, Muslim: 437.
25 HR Muslim: 430.
Kedua,Waktu Fajar
85
adalah yang paling belakang. Hal ini sebagaimana hadis
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Shaf kaum laki-laki yang
paling baik adalah yang paling depan dan yang terburuk
adalah yang paling belakang. Dan shaf kaum wanita
yang terbaik adalah yang paling belakang dan yang
terburuk adalah yang paling depan.”1,2
8. Disunnahkan untuk makmum dekat dengan posisi
imam. Yang utama bagi makmum setelah ia berada di
shaf pertama sebagaimana yang telah lalu, ia berusaha
untuk dekat kepada imam. Maka, yang terdekat
dengan imam baik dari sisi kanan atau sisi kiri adalah
yang terbaik.
Hal ini ditunjukkan oleh hadis Abu Mas’ud radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Hendaknya berada di dekatku orang yang sudah
baligh dan berakal diantara kalian.”3 Dalam hadis ini
terkandung dalil bahwa dekat dengan imam adalah
hal yang dianjurkan dari sisi mana pun.
Ibnu Muflih rahimahullah berkata, “Mungkin juga
difahami bahwa bagian kanan yang jauh tidak lebih
utama dari bagian kiri yang lebih dekat.”4
Kita memohon kepada Allah ta’ala agar Dia berkenan
menjadikan kita termasuk orang-orang yang mengikuti
al Qur`an dan Sunnah, menjauhi dan meninggalkan
bid’ah, sesungguhnya Dia Mahakuasa atau semua itu.
15 HR Muslim: 440.
25 Al Majmu’: 4/192 – 193, lihat: Majmu’ Fatawa Ibnu Baz: 25/145, Majmu’ Fatawa
Ibnu Utsaimin: 13/36.
35 HR Muslim: 432.
45 Al Furu’: 1/407.
Kedua,Waktu Fajar
86
Sunnah-Sunnah Dalam Shalat
Dalam shalat ada beberapa sunnah. Hendaknya orang
yang shalat berusaha mengamalkannya. Barangsiapa yang
bertambah amalnya, bertambah pula pahalanya, lebih utama
dan lebih dekat. Dengan sunnah-sunnah seperti inilah dua
orang yang shalat pada waktu yang sama dapat berbeda
dalam pahalanya dengan perbedaan yang cukup jauh. Karena
yang satu mengerjakan sunnah-sunnah disamping rukun
dan wajib, sementara yang kedua hanya mengerjakan rukunrukun
dan wajib-wajibnya saja.
Diantara sunnah-sunnah shalat
Sutrah (penghalang); di dalamnya ada sejumlah sunnah
lagi:
1. Shalat menggunakan sutrah. Sutrah disunnahkan untuk
imam dan munfarid. Adapun makmum, sutrahnya
adalah sutrah imam. Kesunnahan sutrah ditunjukkan
oleh hadis Abu Sa’id al Khudri radhiyallahu ‘anhu secara
mafru’, “Jika seseorang diantara kamu shalat kepada
sesuatu yang dapat menghalanginya dari manusia..”1
hadis-hadis yang berkaitan dengan sutrah sangat
banyak. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersutrah dengan
tempat tidur, dinding, pangkal pohon, kayu, tombak,
binatang tunggangan dan yang lainnya.
Sutrah ini disyariatkan baik ketika shalat di dalam
bangunan atau di tanah lapang, baik saat bermukim atau
safar, baik khawatir ada orang yang lewat di depan atau
tidak. Karena hadis-hadisnya tidak membedakan antara
di dalam bangunan atau tanah lapang, dan karena Nabi
15 HR Bukhari: 509, Muslim: 505.
Kedua,Waktu Fajar
87
shallallahu ‘alaihi wa sallam selalu shalat menggunakan
sutrah baik pada saat mukim atau safar, sebagaimana
dalam hadis Abu Juhaifah radhiyallahu ‘anhu.1
2. Disunnahkan untuk dekat kepada sutrah. Jika shalat
dekat dengan sutrah, maka disunnahkan jarak antara
tempat sujud dan sutrahnya adalah seukuran jalan
kambing. Hal ini sebagaimana hadis Sahl bin Sa’ad As-
Sa’idy radhiyallahu ‘anhu, “Dahulu jarak antara tempat
shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan dinding
adalah seukuran jalan kambing.”2 Yang dimaksud
dengan tempat shalat adalah tempat sujud beliau. Dalam
riwayat Ahmad dan Abu Dawud disebutkan, jarak antara
keduanya adalah 3 hasta,3 yaitu jika dalam posisi berdiri.
3. Disunnahkan mencegah orang yang lewat di depan
orang yang sedang shalat. Hal ini sebagaimana hadis
Abu Sa’id radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika salah seorang diantara kamu shalat menghadap sesuatu
yang menghalanginya dari manusia, kemudian ada seseorang
yang ingin melewatinya, maka cegahlah pada lehernya, jika
ia menolak, maka lawanlah, karena berarti ia adalah setan.”4
Juga hadis Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah
seorang diantara kamu sedang shalat, maka janganlah ia
membiarkan seorang pun lewat di hadapannya. Jika ia
menolak, maka lawanlah, karena bersamanya ada setan.”5
15 HR Bukhari: 501, Muslim: 503.
25 HR Bukhari: 496, Muslim: 508.
35 HR Ahmad: 6231, Abu Dawud: 2024, dinilai shahih oleh al Albani (Shahih Abu
Dawud: 6/263, asal hadisnya ada dalam riwayat Bukhari: 506.
45 HR Muslim: 505.
55 HR Muslim: 506.
Kedua,Waktu Fajar
88
Adapun jika yang lewat itu seorang wanita, anjing hitam
atau keledai, maka wajib hukumnya untuk mencegahnya
menurut pendapat yang paling tepat, karena semua itu dapat
membatalkan shalat sebagaimana dalam hadis Abu Dzar
dalam shahih Muslim1, berbeda dengan selainnya.
Guru kami Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Mungkin
juga dapat dikatakan, antara yang lewat yang dapat membatalkan
shalat dan yang tidak membatalkan shalat. Yang membatalkan
shalat wajib untuk dicegah, adapun yang tidak membatalkan
shalat tidak wajib dicegah. Karena maksimalnya hanya akan
mengurangi kwalitas shalat, tidak membatalkannya. Ini berbeda
dengan yang membatalkan shalat dan merusaknya.”2
Menggandengkan wanita dengan anjing hitam dan keledai
bukan karena ketiganya memiliki sifat yang sama menurut
pendapat yang benar. Masing-masing dari tiga hal itu memiliki
sifat yang berbeda-beda. Wanita menjadi fitnah dan dapat
mengganggu konsentrasi orang yang sedang shalat. Adapun
yang lainnya karena ia mengandung najis dan karena ia adalah
setan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Anjing hitam
adalah setan.”3 Ada juga yang mengatakan selain itu –wallahu
a’alm-, Allah memiliki hikmah yang tersembunyi atas hambahambanya
dan mereka harus tunduk.
4- Ini adalah tempat ketiga yang ditekankan untuk
bersiwak. Hal ini ditunjukkan orang hadis Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Andai tidak memberatkan atas Umatku atau atas manusia,
sungguh aku akan memerintahkan mereka untuk bersiwak
bersama setiap shalat.”4
15 HR Muslim: 510.
25 Al Mumti’: 3/245.
35 HR Muslim: 510.
45 HR Bukhari: 887
Kedua,Waktu Fajar
89
Ketika berdiri, disunnahkan hal-hal berikut
1. Mengangkat tangan saat takbiratul ihram. Hal ini
sebagaimana hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
mengangkat tangannya sejajar dengan pundak jika
beliau memulai shalat, jika beliau rukuk, bangkit
dari rukuk, beliau juga mengangkat keduanya, beliau
berkata, “Sami’allaahu liman hamidah, rabbanaa wa lakal
hamdu.” Dan beliau tidak melakukan itu dalam sujud.1
Ibnu Hubairah rahimahullah berkata, “Mereka sepakat
bahwa mengangkat tangan pada takbiratul ihram
adalah sunnah, bukan wajib.”2
Ini adalah tempat pertama dalam mengangkat tangan
saat takbir, dan ini merupakan kesepakatan para
ulama. Adapun tempat-tempat yang lain, maka ia
diperselisihkan oleh mereka.
Tempat-tempat mengangkat tangan yang terdapat dalam
dalil ada empat: ketika takbiratul ihram, rukuk, bangkit
dari rukuk. Yang tiga ini terdapat dalam hadis di shahih
Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar sebagaimana
keterangan yang telah lalu. Adapun yang keempat, yaitu
ketika bangkit dari tasyahhud awal. Ini juga disebutkan
dalam hadis Ibnu Umar dalam shahih Bukhari.
2. Disunnahkan saat mengangkat tangan, posisi jari-jari
dalam keadaan terbuka. Hal ini sebagaimana hadis Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam jika beliau shalat mengangkat kedua tangannya
dalam keadaan terbuka.”3
15 HR Bukhari: 735, Muslim: 390.
25 Al Ifshah: 1/123.
35 HR Ahmad: 8875, Abu Dawud: 753, Tirmidzi: 240, dinilai shahih oleh al Albani
(Shahih Abu Dawud: 3/341)
Kedua,Waktu Fajar
90
3. Disunnahkan mengangkat tangan sampai pada ukuran
yang terdapat dalam sunnah. Hadis-hadis dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menunjukkan ada dua batasan
mengangkat tangan. Dalam hadis di shahih Bukhari
dan Muslim dari Ibnu Umar disebutkan sampai sejajar
dengan bahu.1 Dalam hadis di shahih Muslim dari
Malik bin al Huwairits radhiyallahu ‘anhu disebutkan
sampai sejajar dengan telinga.2 Maka, orang yang shalat
hendaknya memvariasikannya, terkadang mengerjakan
yang pertama dan terkadang mengerjakan yang kedua.
4. Disunnahkan bagi orang yang shalat setelah takbiratul
ihram meletakkan tangan kanannya diatas tangan
kirinya. Hal ini termasuk perkara yang disepakati oleh
para ulama, sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hubairah
rahimallahu al jami’.3 Dalil-dalilnya akan datang nanti.
5. Disunnahkan menggenggam tangan kiri dengan
tangan kanan. Dalam tatacara meletakkan tangan
kanan diatas tangan kiri ada dua versi, disunnahkan
bagi orang yang shalat memvariasikan dua tata cara
tersebut.
Pertama: meletakkan tangan kanan diatas tangan kirinya.
Hal ini sebagaimana hadis Wa`il bin Hujr radhiyallahu
‘anhu, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
jika beliau melaksanakan shalat meletakkan tangan
kanannya diatas tangan kirinya.”4
Kedua: meletakkankan tangan kanan diatas dziraa`
(bagian tangan dari pergelangan sampai siku) kiri. Hal
ini sebagaimana hadis Sahl bin Sa’ad, “Orang-orang
15 HR Bukhari: 735, Muslim: 390.
25 HR Muslim: 391.
35 Al Ifshah: 1/124.
45 HR An Nasa`i: 887, dinilai shahih oleh al Albani.
Kedua,Waktu Fajar
91
dahulu diperintahkan agar seseorang meletakkan
tangan kanannya diatas dziraa` kirinya dalam shalat.”1
Maka hendaknya ia terkadang mengerjakan yang ini
atau yang itu, memvariasikannya.
6. Disunnahkan untuk membaca doa istiftah. Doa
istiftah memiliki beberapa macam, disunnahkan untuk
memvariasikannya, terkadang membaca yang ini
terkadang membaca yang lain. Diantara yang terdapat
dalam dalil:
Subhaanakallahumma wa bihamdika, tabaarakas-muka wa
ta’aalaa jadduka, wa laa ilaaha ghairuka.2
(Mahasuci Engkau ya Allah dan dengan pujian kepada-
Mu, Mahasuci nama-Mu dan Maha tinggi kedudukan-
Mu, tidak ada yang berhak disembah selain Engkau)
Dalam shahih Muslim disebutkan bahwa Umar
radhiyallahu ‘anhu membacanya dengan jahar, untuk
mengajarkan para sahabat.3 Mengenai keutamaannya
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku
melihat 12 malaikat berebut mengambil bacaan tersebut
untuk membawanya ke atas.”4
B- Alhamdulillahi hamdan katsiran thayyiban mubaarakan fiihi.
(Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak,
baik dan terberkahi)
15 HR Bukhari: 740.
25 HR Ahmad: 11473, Abu Dawud: 776, Tirmidzi: 243, An Nasa`i: 900 dari hadis Abu
Sa’ad, hadis tersebut memiliki catatan, dan ia juga memiliki beberapa jalur yang
dapat saling menguatkan, dinilai hasan oleh Ibnu Hajar (Nata`iju al Afkar: 1/412)
35 HR Muslim: 399
45 HR Muslim 600, dari hadis Anas radhiyallahu ‘anhu.
Kedua,Waktu Fajar
Allahumma baa’id bainii wa baina khathaayaayaa, kamaa
baa’adta baynal masyriqi wal maghribi, Allahumma naqqinii
min khathaayaayaa kamaa yunaqqats-tsaubul abyadhu
minad-danas, Allahummagh-silnii min khathaayaayaa bitstsalji
wal maa`i wal barad.”1
(Ya Allah, jauhkan antaraku dan kesalahan-kesalahanku,
sebagaimana Engkau jauhkan jarak antara timur dan
barat. Ya Allah, bersihkanlah diriku dan kesalahankesalahanku
seperti pakaian putih yang dibersihkan
dari noda. Ya Allah, cucilah diriku dari kesalahankesalahanku
dengan air es, air dan embun)
Allaahu akbar kabiiraw-walhamdulillaahi katsiiraw-wa
subhaanallaahi bukrataw-wa ashiilaa.
(Allah Mahabesar, pujian yang banyak hanya milik
Allah dan Mahasuci Allah baik pagi dan petang hari)
Tentang keutamaannya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Aku takjub dengannya, dibukakan untuknya pintu-pintu
langit.”2
Ada doa-doa yang lain yang telah disebutkan dalam
pembahasan sunnah-sunnah qiyam lail.
15 HR Bukhari: 744, Muslim: 598 dari hadis Abu Hurairah.
25 HR Muslim: 601 dari hadis Ibnu Umar
Kedua,Waktu Fajar
93
7. Isti’adzah (membaca ta’awwudz: yaitu memohon
perlindungan kepada Allah. Isti’adzah hukumnya sunnah,
disunnahkan juga untuk memvariasikan bacaa isti’adzah,
diantaranya:
A- A’uudzu billaahi minasy-syaithaanir-rajiim. (Aku berlindung
kepada Allah dari setan yang terkutuk) Ini lah redaksi
yang dipilih oleh mayoritas ulama, sesuai dengan firman
Allah surat an-Nahl: 98.
A’uudzu billaahis-samii’il-‘aliimi minasy-syaithaanir-rajiim.
(Aku berlindung kepada Allah yang Maha mendengar
dan Maha mengetahui dari setan yang terkutuk)
Hal ini sebagaimana firman Allah dalam surat Fushilat: 36.
8. Membaca basmalah. Disunnahkan untuk membaca
basmalah setelah membaca isti’adzah, yaitu mengucapkan,
“Bismillaahir-rahmaanir-rahiim.” Hal ini
sebagaimana hadis Nu’aim al Mujmir, “Aku shalat di
belakang Abu Hurairah, beliau membaca bismillaahirrahmaanir-
rahiim. Kemudian membaca ummul qur`an
(al fatihah)..” kemudian Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu berkata, “Demi Dzat yang jiwaku berada dalam
tangan-Nya, sesungguhnya aku adalah orang yang
paling mirip shalatnya dengan shalat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam.”1
15 HR An Nasa`i: 906, Ibnu Khuzaimah, dishahihkannya: 1/251, Daraquthni berkata:
Ini hadis shahih, seluruh perawinya tsiqat (As Sunan: 2/46)
Kedua,Waktu Fajar
94
Dalil yang memalingkannya dari wajib adalah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan basmalah
kepada orang yang buruk shalatnya, namun hanya
diajarkan untuk membaca al Fatihah, sebagaimana dalam
hadis Abu Hurairah di shahih Bukhari dan Muslim.1
9. Mengucapkan amin bersama imam. Yaitu jika imam
membaca al Fatihah dalam shalat jahriyyah, disunnahkan
bagi makmum untuk mengucapkan amin bersamaan
dengan imam mengucapkan amin. Hal ini sebagaimana
hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika imam mengucapkan
amin maka ucapkanlah olehmu amin. Barangsiapa yang
ucapan aminnya berbarengan dengan ucapan amin
malaikat, akan diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.”2
Ucapan amin (ta`min) artinya adalah, “kabulkanlah.”
10. Membaca surat setelah al Fatihah. Membaca surat
setelah al Fatihah hukumnya sunnah pada rakaat
pertama dan kedua. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama rahimahumullah. Sebagaimana dalam hadis Abu
Qatadah radhiyallahu ‘anhu, “Dalam dua rakaat pertama,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya membaca surat
al Fatihah dan surat, memanjangkannya pada rakaat
pertama dan memendekkannya pada rakaat kedua.”3
Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak ada shalat
bagi orang yang tidak membaca surat al Fatihah.”4
Menunjukkan bolehnya membaca surat al Fatihah saja.
Adapun makmum, ia tidak membaca surat setelah al
Fatihah, namun cukup mendengarkan bacaan imam.
15 HR Bukhari: 757, Muslim: 397.
25 HR Bukhari: 780, Muslim: 410.
35 HR Bukhari: 759, Muslim: 451.
45 HR Bukhari: 756, Muslim: 394.
Kedua,Waktu Fajar
95
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Kami tidak
mengetahui adanya perselisihan di kalangan para
ulama dalam masalah disunnahkannya membaca surat
setelah al Fatihah dalam dua rakaat pertama dalam
setiap shalat.”1
Ketika rukuk, disunnahkan beberapa hal berikut
1. Disunnahkan meletakkan kedua tangan pada kedua
lutut, seperti menggengamnya dan membuka jarijarinya.
Hal ini berdasarkan hadis Abu Humaid
radhiyallahu ‘anhu, “Aku adalah orang yang paling
hapal shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
aku melihat jika beliau bertakbir, beliau mengangkat
keduanya sejajar dengan kedua bahunya, jika beliau
rukuk, beliau meletakkan kedua tangannya dengan
kuat pada kedua lututnya, kemudian meluruskan
punggungnya.”2 Dan hadis Abu Mas’ud, “Beliau
membuka jari-jarinya di atas lututnya..”3
2. Disunnahkan bagi orang yang rukuk meluruskan
punggungnya. Hal ini sebagaimana hadis Abu Humaid
as-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, jika beliau rukuk, beliau meletakkan
kedua tangannya dengan kuat pada lututnya, kemudian
meluruskan punggungnya..”4
Begitupun disunnahkan untuk menjadikan kepalanya
sejajar dengan punggungnya, tidak mengangkatnya
15 Al Mughni: 1/568.
25 HR Bukhari: 828.
35 HR Ahmad: 17081, Abu Dawud: 863, An Nasa`i: 1038 dengan sanad hasan,
hadis ini juga memilik syahid dari hadis Wail bin Hujr dalam riwayat Ibnu Khuzaimah:
594.
45 HR Bukhari: 828.
Kedua,Waktu Fajar
96
dan tidak menundukkannya. Hal ini sebagaimana
hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam shahih Muslim, ia
berkata menginformasikan rukuk Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam, “Jika beliau rukuk, beliau tidak mengangkat
dan menundukkan kepalanya, akan tetapi antara itu.”1
3. Disunnahkan bagi orang yang shalat ketika rukuk
merenggangkan kedua lengannya dari kedua sisi
tubuhnya. Hal ini berdasarkan hadis Abu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhu yang telah lalu, disebutkan padanya,
“Kemudian beliau rukuk, merenggangkan kedua
tangannya, meletakkan keduanya di atas kedua lututnya
dan membuka jari-jarinya.” Ia berkata, “Begitu aku
melihat Rasulullah shalat.”2
Mujaafaat: yaitu merenggangkan kedua tangan
disunnahkan jika tidak mengganggu orang yang ada
di sampingnya. Tidak seharusnya orang yang shalat
mengerjakan yang sunnah namun mengganggu orang
lain yang juga sedang shalat.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Aku tidak
mengetahui adanya perselisihan dari seorang ulama
pun dalam hal kesunnahan mujaafaat. At-Tirmidzi
menukilkan dari para ulama tentang kesunnahannya
dalam rukuk dan sujud secara mutlak.”3
4. Disunnahkan membaca dzikir-dzikir rukuk. Disunnahkan
bagi orang yang rukuk membaca dzikir-dzikir yang lain
selain, “Subhaana rabbiyal ‘adziim.” (Mahasuci Rabbku
yang Mahaagung) Diantaranya:
15 HR Muslim: 498.
25 HR Ahmad: 17081, Abu dawud: 863, An Nasa`i: 1038.
35 Lihat: al Majmu’: 3/410.
Kedua,Waktu Fajar
97
A- “Subhaanakallaahumma rabbanaa wa bihamdika, Allahummaghfir
lii.”1
(Mahasuci Engkau ya Allah, Tuhan kami dan dengan
pujian kepada-Mu, ya Allah, ampunilah untukku)
B- “Subbuuhun qudduusun rabbul malaa`ikati war-ruuh.”2
(Mahasuci dan Quddus Tuhan para malaikat dan ruh)
C- “Allahumma laka raka’tu, wa bika aamantu, wa laka aslamtu,
khasya’a laka sam’ii wa basharii wa mukhkhii wa ‘adzmii wa
‘ashabii.”3
(Ya Allah, hanya untuk-Mu aku ruku, kepada-Mu aku
beriman, untuk-Mu aku berserah diri, tunduk kepada-
Mu pendengaraku, penglihatanku, otakku, tulangku
dan sahabat-sahabatku)
D- “Subhaana dzil jabaruui wal walakuuti wal kibriyaa`I wal
‘adzamati.”4
(Mahasuci Allah pemilik kebesaran, kerajaan, kesombongan
dan keagungan)
Disunnahkan untuk membaca dzikir-dzikir ini ketika
rukuk sesuai kemampuan. Disunnahkan untuk mengagungkan
Allah ta’ala dalam rukuknya. Sebagaimana sabda
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadis Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu dalam shahih Muslim, “Adapun
rukuk, maka agungkanlah padanya Rabb azza wa jalla.”5
15 HR Bukhari: 794, Muslim: 484 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.
25 HR Muslim: 487 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.
35 HR Muslim: 771 dari hadis Ali radhiyallahu ‘anhu.
45 HR Ahmad: 23411, Abu Dawud: 873, An Nasa`i: 1050 dari hadis Auf bin Malik,
dinilai shahih oleh al Albani (Shahih Abu Dawud: 4/27)
55 HR Muslim: 479.
Kedua,Waktu Fajar
98
Yang lebih utama adalah membaca lafadz-lafadz yang
datang dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang telah
disebutkan.
Bangkit dari rukuk, disunnahkan hal-hal berikut
1. Memanjangkan rukun ini. Hal ini sebagaimana hadis
Tsabit al Bunani dari Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Sesungguhnya aku akan shalat bersama kalian
sebagaimana aku melihat Rasulullah shalat bersama
kami.” Ia berkata, “Anas selalu melakukan sesuatu
yang aku tidak pernah melihat kalian melakukannya.
Jika ia bangkit dari rukuk, ia tegak berdiri, hingga
orang mengatakan, ‘ia lupa’ dan jika beliau bangkit dari
sujud beliau diam hingga orang mengatakan, ‘ia lupa’.”1
2. Memvariasikan bacaan “rabbanaa wa lakal hamdu”
(Rabb kami, dan hanya milik-Mu pujian) dengan:
Allahumma rabbanaa wa lakal hamdu.2
(Ya Allah, Rabb kami, dan hanya milik-Mu pujian)
Allahumma rabbanaa lakal hamdu.3
(Ya Allah, Rabb kami, milikmu pujian)
Rabbanaa wa lakal hamdu.4
(Rabb kami, dan hanya milik-Mu pujian)
15 HR Bukhari: 821, Muslim: 372.
25 HR Bukhari: 795 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
35 HR Bukhari: 796, Muslim: 404 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
45 HR Bukhari: 799, Muslim: 411 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Kedua,Waktu Fajar
99
Rabbanaa lakal hamdu.1
(Rabb kami, hanya milik-Mu pujian)
3. Disunnahkan membaca dzikir-dzikir bangkit dari
rukuk. Diantara yang disyariatkan untuk dibaca setelah
bangkit dari rukuk adalah:
Rabbanaa lakal hamdu, mil`as-samaawaati wal ardhi, wa
mil`a maasyi`ta min syai`in ba’du, ahluts-tsanaa`i wal
majdi, ahaqqu maa qaalal ‘abdu, wa kullunaa laka ‘abdun,
Allahumma laa maani’a limaa a’thaita wa laa mu’thiya limaa
mana’ta wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu.2
(Rabb kami, milik-Mu segala pujian, sepenuh langilangit
dan bumi, dan sepenuh apapun yang Engkau
kehendaki setelahnya, wahai Yang memiliki pujian
dan kedudukan, yang paling layak dikatakan oleh
hamba dan setiap kami adalah hamba-Mu. Ya Allah,
tidak ada yang mampu menghalangi siapa pun yang
Engkau beri dan tidak ada yang mampu memberi
siapapun yang Engkau cega, dan tidak bermanfaat
pemilik kedudukan dari-Mu kedudukan)
Hadisnya diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Sa’id
radhiyallahu ‘anhu.
F- » الَْمْدُ للهِ حَْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكً فِيهِ «
15 HR Bukhari: 722 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
25 HR Muslim: 377
Kedua,Waktu Fajar
100
Alhamdulillahi hamdan katsiiran thayyiban mubaarakan fiihi.
(Segala puji hanya milik Allah, pujian yang banyak, baik
dan diberkahi)
Nabi bersabda tentang bacaan ini, “Sungguh aku melihat
12 para malaikat berebut untuk mengangkatnya.”1
Hadisnya diriwayatkan oleh Muslim dari Anas dan
diriwayatkan dari Rifa’ah bin Rafi’ radhiyallahu ‘anhuma.
G- اللَّهُمَّ طَهِّرْنِ بِالثَّلْجِ وَالْبََدِ وَالْمَاءِ الَْارِد، اللَّهُمَّ طَهِّرْنِ مِنَ الذُّنُوبِ «
» بْيَضُ مِنَ الْوَسَخِ
َ
وَالَْطَايَا كَمَا يُنَقَّ الثَّوْبُ الأ
Allahumma thahhirnii bits-tsalji wal baradi wal maa`il baaridi,
Allahumma thahhirnii minadz-dzunuubi wal khathaayaa
kamaa yunaqqats-tsaubul abyadhu minal wasakh.2
(Ya Allah, sucikanlah diriku dengan air es, embun dan
air dingin. Ya Allah, sucikanlah diriku dari dosa dan
kesalahan, sebagaimana pakaian putih yang dibersihkan
dari kotoran)
Tambahan ini datang dalam hadis Abdullah bin Abi
Aufaa radhiyallahu ‘anhu dalam shahih Muslim.
Jika seorang muslim membaca dzikir-dzikir ini, ia
dapat memperpanjang rukun shalat ini.
Sujud, disunnahkan hal-hal berikut
1. Disunnahkan untuk merenggangkan kedua lengan
dari kedua sisi tubuh, dan merenggangkan perutnya
dari kedua pahanya.
Hal ini sebagaimana hadis Abdullah bin Buhainah
radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
jika beliau shalat beliau merenggangkan kedua tangannya,
15 HR Muslim: 600, Bukhari: 799.
25 HR Muslim: 476.
Kedua,Waktu Fajar
101
hingga terlihat putihnya bagian dalam ketiak beliau.”1
Maimunah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika
beliau sujud, andai seekor anak kambing melewati kedua
tangannya, maka ia bisa melewatinya.”2 Ini menunjukkan
kesungguhan dalam merenggangkan kedua tangan.
Disunnahkan merenggangkan kedua tangan ini selama
tidak mengganggu orang yang ada di sampingnya
sebagaimana juga dalam masalah rukuk tadi.
Disunnahkan juga jika orang yang shalat sujud, ia
merenggangkan kedua pahanya, tidak menempelkannya
dan tidak meletakkan perutnya diatas kedua pahanya,
akan tetapi dijauhkan kedua pahanya itu dari perutnya.
Hal ini sebagaimana hadis Abu Humaid radhiyallahu
‘anhu dalam kaifiyat shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “Dan jika beliau sujud, beliau merenggangkan
kedua pahanya, tidak meletakkan perutnya pada bagian
apapun dari pahanya.”3
Asy-Syaukani rahimahullah berkata, “Hadis ini
menunjukkan disyariatkannya merenggangkan antara
kedua paha dalam sujud dan mengangkat perut dari
keduanya, tidak ada perselisihan dalam masalah ini.”4
2. Disunnahkan bagi orang yang sujud untuk
menghadapkan jari-jari kakinya ke arah kiblat.
Hal ini sebagaimana hadis Abu Humaid radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Aku adalah orang yang paling
hapal dengan shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam.” disebutkan padanya, “Jika beliau sujud, beliau
meletakkan tangannya tanpa merenggangkannya dan
15 HR Bukhari: 390, Muslim: 495.
25 HR Muslim: 396.
35 HR Abu Dawud: 735, ia hukumnya sunnah, sebagaimana yang dinukil oleh Asy
Syaukani dan yang lainnya.
45 Nail al Authar: 2/257.
Kedua,Waktu Fajar
102
tanpa menggenggamkannya, beliau menghadapkan
jari-jari kakinya ke arah kiblat.”1
Adapun jari-jari kedua tangan ketika sujud disunnahkan
untuk direkatkan dan menghadap kiblat, valid dari
Ibnu Umar dalam Muwaththo Malik, Mushannaf Ibnu
Abi Syaibah dari Hafsh bin Ashim, “Termasuk sunnah
dalam shalat adalah membuka kedua tangan dan
merekatkan jari-jarinya, dan kami menghadapkannya
ke arah kiblat.”2
3. Disunnahkan membaca dzikir-dzikir sujud. Disunnahkan
untuk membaca dzikir-dzikir yang sujud selain membaca
“Subhaana rabbiyal a’laa.” Diantaranya:
Subhaanakal-laahumma rabbanaa wa bihamdika, Allahummaghfir
lii.3
(Mahasuci Engkau ya Allah, Rabb kami dan kami memuji-
Mu, ya Allah, ampunilah diriku)
Subbuuhun qudduusun rabbul malaa`ikati war-ruuh.4
(Mahasuci, qudus Rabb para malaikat dan ruh)
15 HR Bukhari: 828.
25 Lihat: Mushannaf Ibnu Abi Syaibah: 1/236, dan hadis ini memiliki syahid (penguat)
dari hadis Wail bin Hujr: “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam jika
beliau sujud merekatkan jari-jarinya.” Dinilai hasan oleh al Haitsami dalam Majma
al Zawa`id: 2/135.
35 HR Bukhari: 794, Muslim: 484 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.
45 HR Muslim: 487 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Kedua,Waktu Fajar
103
Allahumma laka sajadtu, wa bika aamantu wa laka aslamtu,
sajada wajihii lilladzii khalaqahu wa shawwarahu, wa syaqqa
sam’ahu wa basharahu, tabaarakallaahu ahsanul khaaliqiin.1
(Ya Allah, hanya kepada-Mu aku sujud, kepadamu aku
beriman dan berserah diri. Telah sujud wajahku kepada
Dzat yang telah menciptakan dan membentuknya,
melubangi pendengaran dan penglihatannya, Mahasuci
Allah sebaik-baik pencipta)
Allahummagh-fir lii dzanbii kullahu diqqahu wa jillahu, wa
awwalahu wa aakhirahu, wa ‘alaaniyatahu wa sirrahu.2
(Ya Allah, ampunilah dosaku seluruhnya, yang besar
dan yang kecilnya, yang pertama dan terakhirnya,
yang terang-terangan dan tersembunyi)
Allahumma a’uudzu bi ridhaaka min sakhatika wa bi
mu’aafaatika min ‘uquubatika, wa a’uudzu bika minka, laa
uhshii tsanaa`an ‘alaika, anta kamaa atsnaita ‘alaa nafsika.3
(Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dengan keridhaan-
Mu dari kemurkaan-Mu, dengan keselamatan dari-Mu
dari siksa-Mu, aku berlindung kepada-Mu dari-Mu, aku
tidak dapat memuji-Mu dengan pujian seperti Engkau
memuji diri-Mu sendiri)
Disunnahkan untuk membaca dzikir-dzikir diatas
semampunya dalam sujud dan memvariasikan antara
semuanya. Dan sebagaimana diketahui, yang wajib
dalam rukuk adalah membaca “Subhaana rabbiyal ‘adziim”
15 HR Muslim: 771 dari hadis Ali radhiyallahu ‘anha.
25 HR Muslim: 483 dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
35 HR Muslim: 486 dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Kedua,Waktu Fajar
104
satu kali, adapun selebihnya adalah sunnah. Begitu pun
juga dalam sujud, yang wajib adalah membaca “Subhaana
rabbiyal a’laa” satu kali. Adapun yang kedua dan ketiga
adalah sunnah.
4. Disunnahkan untuk memperbanyak doa dalam sujud.
Karena sujud adalah posisi dimana seorang hamba
sangat dekat dengan Rabbnya, maka disunnahkan untuk
banyak berdoa padanya. Hal ini sebagaimana hadis
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu dalam shahih Muslim,
“Dan adapun sujud, maka bersungguh-sungguhlah
dalam doa, karena ia lebih dikabulkan untuk kalian.”1
Sunnah-Sunnah dalam duduk antara dua sujud
1. Termasuk sunnah, orang yang shalat menghamparkan
kaki kirinya dan duduk diatasnya, sementara kaki
kanannya ditegakkan.
Hal ini berdasarkan hadis Abu Humaid as-Sa’idy
radhiyallahu ‘anhu secara marfu’, padanya disebutkan,
“Dan jika beliau duduk pada dua rakaat, maka beliau
duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan kaki
kanannya.”2
2. Memanjangkan rukun ini. Sebagaimana dalam hadis
Tsabit al Bunnani yang telah lalu.
3. Disunnahkan saat hendak bangkit ke rakaat kedua
atau keempat, untuk duduk sejenak sebelum berdiri.
Duduk ini disebut “Jalsah al Istiraahah” (shalat istirahat),
dan tidak memiliki dzikir khusus. Amalan ini valid
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam beberapa
hadis, diantaranya:
15 HR Muslim: 379.
25 HR Bukhari: 828.
Kedua,Waktu Fajar
105
Hadis Malik bin al Huwairits radhiyallahu ‘anhu, ia
melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat, tatkala
beliau pada rakaat ganjil, beliau tidak bangkit melainkan
duduk terlebih dahulu.1 Malik bin al Huwairits ini pula
yang meriwayatkan hadis, “Shalatlah sebagaimana
kamu melihat aku shalat.”2
Dan hadis Abu Humaid as-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu
yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Dawud,
dinyatakan bagus sanadnya oleh Ibnu Baz, dalam
hadis itu Abu Humaid menceritakan kaifiyat shalat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menyebutkan
tentang “jalsah istiraahah”. Bersamanya ada 10 para
sahabat dan mereka membenarkannya. Sehingga
ini semakin menguatkan kesunnahannya.3 Dalam
Syarh Kabir dikatakan, “Ia hadis yang shahih, maka
hendaknya diamalkan.”4
Perkataannya, “Dan tatkala pada rakaat ganjil dalam
shalatnya” maksudnya adalah rakaat pertama atau ketiga.
Maksud “Tidak bangkit” adalah ke rakaat kedua atau
keempat, “Melainkan beliau duduk terlebih dahulu.”
Jalsah istiraahah ini diperselisihkan tentang kesunnahannya.
Namun yang benar adalah, ia sunnah secara mutlak
berdasarkan hadis Malik dan Abu Humaid tadi. Diantara
yang menguatkan pendapat sunnah secara mutlak
adalah: An-Nawawi, Asy-Syaukani, Ibnu Baz, Al Albani
rahimahumullah, dan Lajnah Da`imah.5
15 HR Bukhari: 823.
25 HR Bukhari: 631.
35 HR Ahmad: 5/424, Abu Dawud: 1/467.
45 Asy Syarh al Kabir: 3/527.
55 Lihat: Fatawa wa Maqaalaat Mutanawwi’ah: 11/99, Fatawa al Lajnah al Da`imah:
6/445 – 446.
Kedua,Waktu Fajar
106
An-Nawawi rahimahullah berkata, “Ini lah pendapat yang
benar berdasarkan hadis-hadis yang shahih padanya.”1
Sunnah-sunnah dalam tasyahhud
1. Disunnahkan orang yang shalat menghamparkan
kaki kirinya dalam tasyahhud dan menegakkan kaki
kanannya. Cara seperti ini dilakukan oleh orang yang
shalat setelah ia shalat pada rakaat yang kedua dengan
rukuk, sujud, berdiri dan duduknya. Sama saja pada shalat
yang empat rakaat, tiga rakaat atau dua rakaat. Maka,
pada rakaat kedua, dalam duduk tasyahhud melakukan
cara duduk seperti itu. Hal ini berdasarkan hadis Abu
Humaid as-Sa’idy radhiyallahu ‘anhu secara marfu, padanya
disebutkan, “Dan jika beliau duduk pada rakaat yang
kedua, beliau duduk diatas kaki kirinya dan menegakkan
kaki kanannya.”2 Dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha
disebutkan, “Dalam setiap dua rakaat beliau membaca,
“At-Tahiyyah” dan beliau menghamparkan kaki kirinya
serta menegakkan kaki kanannya.”3
Adapun pada tasyahhud akhir dalam shalat empat
rakaat dan tiga rakaat, akan datang penjelasannya.
2. Disunnahkan untuk memvariasikan tatacara meletakkan
kedua tangan dalam tasyahhud. Meletakkan kedua
tangan ketika tasyahhud ada dua cara:
Pertama, meletakkan keduanya pada kedua paha.
Kedua, meletakkan keduanya pada kedua lutut, yaitu
meletakkan tangan kiri diatas lutut kiri. Adapun tangan
kanan, maka ia berisyarat –sebagimana yang akan datang.