Adapun waktu paling utama untuk melaksanakan shalat
malam adalah sepertiga malam setelah tengah malam.
Maksudnya, seseorang membagi malam menjadi dua, lalu
shalat pada tengah malam kedua, dan pada akhir malam ia
tidur lagi. Jadi, ia bangun pada seper-enam keempat dan
kelima dan tidur pada seper-enam keenam.
Hal ini berdasarkan hadis Abdullah bin Amr radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya puasa yang paling dicintai oleh Allah adalah
puasa Dawud, dan shalat yang paling dicintai oleh Allah
juga shalat Dawud, ia tidur setengah malam, bangun pada
sepertiganya, dan tidur pada seperenamnya. Ia puasa satu
hari dan berbuka satu hari.”1
Jika seseorang ingin mengamalkan sunnah ini, bagaimana
ia menghitung waktu malamnya?
Waktu dihitung dari sejak terbenam matahari sampai
terbit fajar, kemudian ia bagi menjadi enam bagian, tiga
bagian pertama, ini yang disebut setengah pertama, ia bangun
pada seperenam keempat dan kelima. Ini dihitung sepertiga.
Kemudian ia tidur lagi pada seperenam terakhir. Oleh karena
itu Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata, “Tidak datang kepada
beliau waktu akhir malam di sisiku melainkan dalam keadaan
tertidur.”2
Dengan cara ini, maka seorang muslim melaksanakan
shalat pada waktu yang paling utama sebagaimana dalam
hadis Abdullah bin Amr radhiyallahu ‘anhu tadi.
1 HR Bukhari: 3420, Muslim: 1159.
2 HR Bukhari: 1133, Muslim: 742
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
47
Apakah dengan demikian ia mendapatkan waktu turunnya
Allah, yaitu pada sepertiga malam terakhir?
Jawabannya: Iya, ia mendapat seper-enam kelima. Hal itu
jika malam dibagi menjadi enam bagian, seper-enam pertama
dan kedua sama dengan sepertiga malam pertama, seper-enam
ketiga dan keempat sama dengan sepertiga malam kedua dan
seper-enam kelima dan keenam sama dengan sepertiga malam
terakhir, yaitu waktu turunnya Allah. Orang yang bangun
pada sepertiga malam setelah tengah malam, maka ia akan
mendapati sepertiga terakhir pada seper-enam kelima. Dan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menunjukkan kepada
kita waktu ini, sebagaimana dalam hadis Abdullah bin Amr
radhiyallahu ‘anhu tadi, “Dan shalat yang paling dicintai
oleh Allah adalah shalat Dawud, ia tidur setengah malam,
kemudian bangun pada sepertiganya, lalu tidur pada seperenamnya.”
1 Beliau yang telah mengajarkan kepada kita tentang
keutamaan malam terakhir, bahwa Allah turun pada waktu itu
–dengan cara yang layak bagi Allah. Dan mengkompromikan
kedua hadis tersebut sebagaimana yang telah lalu. Bagi yang
tidak mampu bangun pada waktu itu, maka ia bangun pada
tingkatan yang kedua dari sisi keutamaannya, yaitu bangun
pada sepertiga malam terakhir.
Ringkasannya, keutamaan dalam waktu shalat malam ada
tiga tingkatan:
Tingkatan pertama: Tidur setengah malam pertama, kemudian
bangun pada sepertiga malam, lalu tidur pada seper-enam malam
–sebagaimana perjelasan yang telah lalu. Dalilnya adalah
hadis Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu yang tadi.2
Tingkatan kedua: bangun pada sepertiga malam terakhir.
1 HR Bukhari: 3420, Muslim: 1159
2 HR Bukhari: 3420, Muslim: 1159
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
48
Dalilnya hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun setiap malam ke langit
dunia saat tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman,
“Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan
mengabulkannya. Siapa yang meminta kepada-Ku, maka Aku
akan memberinya. Siapa yang memohon ampunan kepada-
Ku, maka Aku akan mengampuninya.”1 Begitu pula hadis
Jabir yang akan datang.
Jika khawatir tidak terbangun pada akhir malam, maka
berpindah pada tingkatan yang ketiga.
Tingkatan ketiga: Shalat pada awal malam, atau kapan
saja pada waktu malam sesuai kemudahan. Dalilnya hadis
Jabir radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda,
“Barangsiapa yang khawatir tidak bangun pada akhir malam,
hendaknya ia shalat witir pada awalnya. Barangsiapa yang
bertekad untuk bangun pada akhirnya, maka hendaknya ia
shalat witir pada akhir malam, sesungguhnya shalat pada
akhir malam itu disaksikan, dan itu lebih utama.”2
Begitupun, hal ini berdasarkan wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam kepada Abu Dzar,3 Abu Darda4 dan Abu Hurairah5
radhiyallahu ‘anhum. Masing-masing dari mereka berkata,
“Kekasihku mewasiatkan kepadaku dengan tiga perkara.”
Diantaranya, “Dan agar aku shalat witir sebelum tidur.”
1 HR Bukhari: 1145, Muslim: 758
2 HR Muslim: 755
3 HR An Nasa’I dalam As Sunan al Kubra: 2712, dinilai shahih oleh al Albani
dalam shahihah: 2166.
4 HR Ahmad: 27481, Abu Dawud: 1433, dinilai shahih oleh al Albani dalam
shahih Abu Dawud 5/177.
5 HR Muslim: 737
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
49
2. Disunnahkan melaksanakan shalat 11 rakaat
Rakaat inilah yang paling sempurna, sebagaimana hadis
Aisyah radhiyallahu ‘anhaia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah rakaat baik
pada bulan Ramadhan atau selainnya dari 11 rakaat.”1
Diriwayatkan pula bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat 13 rakaat. Imam Muslim meriwayatkan dalam shahihnya
hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat malam 13 rakaat, melakukan witir
dengan 5 rakaat darinya, beliau tidak duduk sama sekali
kecuali diakhirnya.”2 Terdapat pula dalam hadis Ibnu Abbas
radhiyallahu ‘anhu, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
pada malam itu 13 rakaat, kemudian beliau tidur.”3
Para ulama berbeda pendapat dalam 2 rakaat yang dimaksud
dalam riwayat-riwayat yang menyebutkan 13 rakaat, karena
Aisyah radhiyallahu ‘anham menginformasikan bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah shalat lebih dari 11 rakaat:
Ada yang mengatakan, itu adalah shalat sunnah (setelah)
Isya.
Ada yang mengatakan, itu adalah shalat sunnah fajar.
Ada juga yang mengatakan, itu adalah dua rakaat yang
ringan yang dengannya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
membukan shalat malamnya, sebagaimana hal itu terdapat
dalam hadis. Ini pendapat yang dikuatkan oleh Ibnu Hajar
rahimahullah.4
Yang lebih tepat –wallahu a’lam- adalah, bahwa ini termasuk
variasi dalam shalat witir. Yang paling sering beliau lakukan
1 HR Bukhari: 1981, Muslim: 721
2 HR Bukhari: 1147, Muslim: 738
3 HR Bukhari: 698, Muslim: 763
45 Lihat: Al Fath: 3/21
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
50
adalah mewitirkan shalat dengan 11 rakaat. Namun terkadang
beliau mewitirkan shalat dengan 13 rakaat. Dengan ini kita
mengkompromikan antara hadis-hadis yang ada.
3. Disunnahkan untuk memulai shalat malam
dengan dua rakaat yang ringan
Ini berdasarkan hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun pada
malam hari untuk shalat, beliau biasanya memulai shalatnya
dengan dua rakaat yang ringan.”1
4. Disunnahkan membaca doa iftitah yang
terdapat dalam hadis-hadis untuk shalat
malam, diantaranya
A- Apa yang datang dalam hadis di Shahih Muslim
dari hadis Aisyah radhiyallahu ‘anhaia berkata, “Jika
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat malam, beliau
membuka shalatnya dengan bacaan,
“Allahumma rabba Jibraa`iila wa Miikaa`iila wa Israafiila,
faathiras-samaawaati wal ardhi, ‘aalimal ghaibi wasy
syahaadati, anta tahkum baina ‘ibaadaka fiimaa kaanuu fiihi
yakhtalifuuna, ihdinii limakh-tulifa fiihi minal haqqi biidznika
tahdii man tasyaa`u ilaa shiraatim-mustaqiim.”2
(Ya Allah, rabb Jibril, Mikail dan Israfil, Pencipta langit
dan bumi, yang Mahamengetahui urusan ghaib dan yang
nampak, Engkau menghukumi hamba-hamba-Mu kelak
dalam urusan yang mereka perselisihkan. Tunjukilah aku
kepada kebenaran dalam urusan yang diperselisihkan,
sesungguhnya Engkau yang mampu memberi hidayah
15 HR Muslim: 767
25 HR Muslim: 770
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
51
(petunjuk) kepada siapa saja yang Engkau kehendaki
kepada jalan yang lurus)
B- Apa yang datang dalam hadis di Shahih Bukhari dan
Muslim dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
tahajjud, beliau biasanya membaca,
“Allahumma lakal hamdu anta nuurus-samaawati wal ardhi,
wa lakal hamdu anta qayyimus-samaawaati wal ardhi, wa
lakal hamdu rabbus-samaawaati wal ardhi wa man fiihinna,
antal haqqu, wa wa’dukal haqqu, wa qaulukal haqqu, wa
liqaa`ukal haqqu, wal jannatu haqqun, wan-naaru haqqun,
wan-nabiyyuuna haqqun, was-saa’atu haqqun, Allahumma
laka aslamtu wa bika aamantu, wa ‘alaika tawakkaltu, wa ilaika
anabtu, wa bika khaashamtu, wa ilaika haakamtu, faghfir lii
maa qaddamtu wa maa akhkhartu wa maa asrartu wa maa
a’lantu, anta ilaahii laa ilaaha illaa anta.”1
(Ya Allah, milik-Mu segala pujian, Engkau adalah cayaha
langit dan bumi, Engkau pemilik segala pujian, Engkau
pengurus langit dan bumi, Engkau pemilik segala pujian,
Engkau penguasa langit dan bumi beserta segala isinya.
Engkau yang Mahabenar, janji-Mu benar, Firman-Mu
benar, pertemuan dengan-Mu benar, surga itu benar,
neraka itu benar, para nabi itu benar dan hari kiamat
itu benar. Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri,
kepada-Mu aku beriman, kepada-Mu aku bergantung,
kepada-Mu aku kembali, dengan-Mu aku berselisih,
kepada-Mu aku berhukum, ampunilah dosa-dosaku yang
telah lalu dan yang teakhir, yang tersembunyi dan yang
nampak, Engkau sesembahanku, tidak ada yang berhak
disembah selain Engkau.”
1 HR Bukhari: 7499, Muslim: 768
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
52
5. Disunnahkan untuk memperlama berdiri,
rukuk dan sujud sehingga rukun-rukun
perbuatan dalam shalat waktunya sama
6. Melaksanakan sunnah-sunnah dalam bacaan
Diantaranya:
a. Membaca dengan tenang, tidak cepat atau terlalu cepat.
b. Memotong bacaan satu ayat satu ayat. Maksudnya, tidak
membaca dua ayat sekaligus atau tiga ayat tanpa berhenti.
Jadi, berhenti pada setiap ayat.
c. Manakala melewati ayat tasbih, maka bertasbih. Jika
melewati ayat permohonan, maka memohon. Jika melewati
ayat perlindungan, maka meminta perlindungan.
Dalilnya, hadis Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Aku shalat bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu
malam, beliau memulai surat al Baqarah, aku berkata dalam
hati, “Mungkin beliau akan rukuk pada ayat ke 100.” Namun
beliau melanjutkan. Aku berkata lagi dalam hati, “Beliau akan
shalat dengan surat tersebut dalam satu rakaat.” Namun
beliau melanjutkan. Aku berkata, “beliau rukuk dengannya.”
namun beliau memulai surat An-Nisaa` dan membacanya
sampai tuntas, lalu membaca surat Ali Imran sampai tuntas.
Beliau membaca dengan tenang, jika beliau melewati ayat
yang padanya terdapat tasbih, beliau bertasbih, jika melewati
ayat permohonan, maka beliau memohon, jika melewati ayat
perlindungan, maka beliau meminta perlindungan. Kemudian
beliau rukuk, lalu membaca, » “Subhaana
rabbiyal ‘adziim.” Lamanya rukuk beliau hampir sama dengan
berdirinya. Kemudian beliau berkata, » “Sami’allaahu
liman hamidah.” Lalu beliau berdiri cukup lama, hampir
sama dengan ketika rukuk. Lalu beliau sujud dan membaca,
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
“Subhaana rabbiyal a’laa.” Sujud beliau hampir
sama dengan berdirinya.”1
Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Ahmad dalam
Musnadnya, dari hadis Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia
ditanya tentang bacaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ia berkata, “Beliau membaca ayat per ayat:
bismillahir-rahmaanir-rahiim. Alhamdulillaahi rabbil ‘aalamiin.
Arrrahmaanir-rahiim. Maaliki yaumid-diin.2
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Beliau biasanya
memotong-motong bacaannya, yaitu berhenti pada setiap ayat.
Beliau mentartilkan bacaan surat, hingga surat yang terpanjang
darinya. Beliau terkadang shalat dengan membaca satu ayat
yang diulang-ulang sampai waktu subuh.”3 Ia juga berkata,
“Beliau terkadang membaca dengan sirr dalam shalat malam,
terkadang juga dengan jahar, beliau terkadang memperlama
berdiri dan meringankannya, witir pada akhir malam (dan ini
yang paling sering beliau lakukan), pada awalnya dan pada
pertengahan malam.4
7. Disunnahkan untuk salam pada setiap dua rakaat
Sebagaimana hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Seseorang berdiri dan bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimanakah shalat malam?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda,
1 HR Muslim: 772
2 HR Ahmad: 26583, Daraquthni (118) berkata: sanadnya shahih dan semua
perawinya tsiqah. Dinilai shahih oleh An Nawawi dalam al Majmu’ 3/333
3 Zadul Ma’ad: 1/337
4 Zadul Ma’ad: 1/240
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
54
“Shalat malam dua-dua, dan jika engkau khawatir masuk
waktu subuh, maka witirkanlah dengan satu rakaat.”1
Maksud dua-dua adalah, shalat dua rakaat dua rakaat, salam
setiap dua rakaat dan tidak shalat sekaligus empat rakaat.
Sebagaimana dalam hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha yang
telah lalu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat
antara selesai waktu isya hingga waktu fajar 11 rakaat, salam
setiap dua rakaat dan witir dengan satu rakaat.”2
8. Disunnahkan membaca surat tertentu pada 3
rakaat terakhir
Pada rakaat pertama membaca,“Sabbihisma
rabbikal a’laa.” Pada rakaat kedua membaca,
“Qul Yaa`ayyuhal kaafiruun.” Pada rakaat ketiga membaca,
ژ ٱ ٻ ٻ ٻژ “Qul Huwallaahu ahad.”
Dalilnya hadis Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa witir
dengan sabbihisma rabbikal a’laa, qul yaa ayyuhal kaafiruun dan
qul huwal-laahu ahad.”3
9. Disunnahkan melakukan qunut sewaktu-waktu
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Sesungguhnya kata
‘qunut’ bermakna berdiri, diam, terus-menerus beribadah,
berdoa, bertasbih dan khusyuk.”4 Yang dimaksud disini
adalah berdoa. Yaitu pada rakaat ketiga yang dibaca padanya
surat al ikhlash. Qunut dalam witir hukumnya sunnah,
terkadang dikerjakan terkadang tidak. Syaikhul Islam Ibnu
1 HR Bukhari: 990, Muslim: 749
2 HR Bukhari: 6310, Muslim: 736
3 HR Abu Dawud: 1423, An Nasa’i: 1733, Ibnu Majah: 1171, dinilai shahih oleh
An Nawawi (al Khulashah 1/556), al Albani (Shahih An Nasa’I 1/273)
4 Zadul Ma’ad: 1/276.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
55
Taimiyyah rahimahullah memilih pendapat lebih utama untuk
sering tidak dikerjakan.
Alasannya: banyak hadis yang menerangkan tentang
witir Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Aisyah,
Ummu Salamah, Ibnu Abbas, Hudhaifah dan Ibnu Mas’ud
radhiyallahu ‘anhum. Namun tidak disebutkan dalam hadishadis
tersebut beliau melakukan qunut witir. Aisyah termasuk
yang paling sering bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
namun demikian ia tidak menginformasikan bahwa beliau
qunut dalam witirnya.
Masalah: apakah qunut valid dari sabda Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam atau perbuatan beliau?
Pendapat pertama: valid dari sabda dan perbuatan beliau.
Mereka berdalil dengan,
Pertama: dari perbuatan beliau, hadis Ubay bin Ka’ab
radhiyallahu ‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
qunut pada witir sebelum rukuk.”1
Kedua: dari sabda beliau, hadis Hasan bin Ali radhiyallahu
‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan
kepadaku bacaan yang aku baca dalam witir,
“Allahummah-dinii fiiman hadaita, wa ‘aafinii fiiman
‘aafaita, wa tawallanii fiiman tawallaita, wa baarik lii fiiman
a’thaita, wa qinii syarra maa qadhaita, fa innaka taqdhii wa
laa yuqdhaa ‘alaika, wa innahu laa yadzillu man maalaita,
tabaarakta wa ta’aalaita.”2
Pendapat kedua: tidak valid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam qunut witir baik dari sabdanya atau perbuatannya.
1 HR Abu Dawud dengan ta’liq: 1427, An Nasa’i: 1700, Ibnu Majah: 1182.
2 HR Ahmad: 1718, Abu Dawud: 1425, Tirmidzi: 464, An Nasa’i: 1746, Ibnu Majah:
1178.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
56
Hadis Ubay bin Ka’ab radhiyallahu ‘anhu yang lalu, ia
adalah hadis dhaif, dinilai dha’if oleh Imam Ahmad, Ibnu
Khuzaimah dan Ibnul Mundzir.
Hadis Hasan bin Ali radhiyallahu ‘anhua dalah hadis shahih,
namun lafadz ‘qunut witir’ dalam hadis tersebut syadz,
diriwayatkan ahlu sunan dari jalur Abu Ishaaq dari Buraid
bin Abi Maryam dari Abul Hauraa dari Hasan.
Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan hadis tersebut
dari Yahya bin Sa’id, dari Syu’bah, dari Buraid bin Abi
Maryam dengan lafadz, “Beliau mengajarkan kami doa ini:
Allahummah-dinii fiiman hadaita…”1 mereka berkata, “Inilah
yang mahfudz (benar dari sisi riwayat), karena Syu’bah lebih
tsiqah dari semua yang meriwayatkan dari Buraid, maka
riwayatkannya (Syu’bah) dikedepankan dari selainnya.
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata, “Hadis ini diriwayatkan
oleh Syu’bah bin Hajjaj dari Buraid bin Abi Maryam dalam kisah
tetang doa, namun tidak disebutkan qunut juga tidak disebutkan
witir, dan Syu’bah lebih hapal… andai hadis ini valid dari Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwa baliau memerintahkan untuk
qunut dalam witir, atau beliau melakukan qunut dalam witir,
maka tidak boleh bagiku menyelisihi hadis Nabi, shallallahu
‘alaihi wa sallam namun aku tidak mengetahui hal itu valid.”2
Sebelumnya, Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Tidak
sah dalam masalah ini satu hadis pun dari Nabi…”3
Pendapat yang kedua ini adalah yang lebih kuat –wallahu
a’lam. Akan tetapi valid dari para sahabat qunut dalam witir.
Atho ditanya tentang qunut, ia berkata, “Para sahabat Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakannya.” Valid dari Umar
bin Khathab radhiyallahu ‘anhu sebagaimana dalam riwayat
Ahmad, Abu Dawud dan Tirmidzi, beliau mengatakan,
1 HR Ahmad: 1727
2 Shahih Ibnu Khuzaimah: 2/152.
35 Al Talkhish, Ibnu Hajah: 2/18.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
57
‘Hadis hasan’, valid juga dari Ibnu Umar dalam riwayat Ibnu
Abi Syaibah.
Apakah qunut dilakukan sebelum rukuk atau
setelahnya?
Para ulama berselisih pendapat dalam masalah itu. Faktor
perselisihannya adalah, karena tidak ada keterangan yang valid
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal ini, sehingga
para ulama menganalogikannya dengan qunut nawazil.
Ada yang mengatakan sebelum rukuk. Mereka berdalil
dengan hadis yang diriwayatkan oleh Abdurrahman bin
Abza radhiyallahu ‘anhu, “Aku shalat di belakang Umar bin
Khathab pada shalat subuh, aku mendengar beliau setelah
membaca surat sebelum rukuk mengucapkan, “Allahumma
iyyaka na’budu…”1
Ada yang mengatakan setelah rukuk. Mereka berdalil
dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dalam shahih
Bukhari dan Muslim, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
saat beliau mengangkat kepalanya mengucapkan, “Sami’allaahu
liman hamidah, rabbanaa wa lakal-hamdu.” Kemudian berdoa
untuk orang-orang dengan menyebutkan nama-nama mereka…
”2 begitu pula hadis Anas radhiyallahu ‘anhu dalam shahih
Bukhari, disebutkan padanya, “Setelah rukuk.”3
Pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam- adalah, urusannya
luas, boleh sebelum rukuk atau setelahnya dalam rakaat terakhir.
Imam Bukhari membuat bab: “Bab qunut sebelum rukuk dan
setelahnya.” Akan tetapi qunut setelah rukuk lebih banyak
hadis-hadisnya, sebagaimana yang dilugaskan oleh sekelompok
para ulama, sehingga didominankan atas qunut sebelum rukuk.
1 HR Al Baihaqi: 2/211, dinilai shahih sanadnya oleh al Albani (al Irwa: 2/171)
25 HR Bukhari: 804, Muslim: 675
3 HR Bukhari: 956
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
58
Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Setelah rukuk lebih
saya sukai.”1 Maka, ini termasuk bentuk variasi dalam sunnah,
terkadang qunut sebelum rukuk dan terkadang setelahnya.
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Adapun masalah
qunut, manusia terbagi menjadi dua kelompk dan pertengahan.
Ada yang berpendapat bahwa qunut hanya sebelum rukuk,
ada yang berpendapat hanya setelahnya. Adapun fukaha ahli
hadis seperti Ahmad dan yang lainnya, mereka membolehkan
keduanya, karena keduanya terdapat dalam sunnah shahihah,
walaupun mereka cenderung lebih memilih qunut setelahnya
karena riwayatnya lebih banyak dan lebih sejalan dengan
qiyas (analogi). Mendengar doa cocok setelah ucapan hamba,
‘sami’allaahu liman hamidah’. Pujian disyariatkan sebelum
berdoa, sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh surat al Fatihah,
bagian awalnya pujian dan bagian akhirnya doa.”2
Masalah: apakah mengangkat tangan dalam qunut
witir?
Yang benar mengangkat kedua tangan. Ini pendapat
yang dipilih oleh mayoritas (jumhur) ulama rahimahumullah.
Sebagaimana hal ini valid dari Umar radhiyallahu ‘anhu dalam
riwayat al Baihaqi dan ia menilainya shahih.3 Al Baihaqi
berkata, “Sesungguhnya sejumlah para sahabat radhiyallahu
‘anhum mengangkat tangan-tangan mereka dalam qunut.”4
Masalah: dengan apa qunut witir dimulai?
Dikatakan, qunut dimulai dengan doa sebagaimana Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan Hasan radhiyallahu
‘anhu, “Allahummah-dinii fiiman hadaita..” mereka berdalil
1 Masa`il Ahmad: 1/100.
2 Majmu al Fatawa: 33/100.
3 HR Al Baihaqi: 2/211.
45 As Sunan al Kubra: 2/211
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
59
dengan hadis Hasan radhiyallahu ‘anhu yang telah lalu. Dan
telah dijelaskan, bahwa hadis yang shahih dalam masalah ini
tanpa penyebutan, ‘qunut witir’. Begitu pun andai redaksi
ini shahih, hadis ini tidak berarti disunnahkannya memulai
qunut witir dengan doa Hasan radhiyallahu ‘anhu.
Yang rajih (kuat) –wallahu a’lam- adalah, qunut dimulai
dengan hamdalah, pujian kepada Allah, shalawat kepada Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian doa. Karena yang seperti
ini lebih dikabulkan.
Ini ditunjukkan oleh hadis Fadhalah bin Ubaid radhiyallahu
‘anhu ia berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar
seseorang berdoa dalam shalatnya, namun tidak bershalawat
kepada Nabi, kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, “Orang ini teburu-buru.” Lalu beliau memanggil
laki-laki itu dan berkata kepadanya juga kepada selainnya,
“Jika salah seorang diantara kalian berdoa, hendaknya ia
memulai dengan tahmid, pujian kepada Allah, lalu bershalawat
kepada Nabi, kemudian berdoalah setelah itu sekehendaknya.”1
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Yang disunnahkan
dalam doa adalah memulai dengan tahmid dan pujian
sebelum ia mengutarakan kebutuhannya. Lalu ia meminta
kebutuhannya sebagaimana dalam hadis Fadhalah bin Ubaid
radhiyallahu ‘anhu.”2
Masalah: apakah mengusap wajah dengan kedua
tangan setelah doa qunut?
Yang benar, tidak disunnnahkan mengusap wajah setelah
doa, karena tidak ada dalilnya. Adapun perkataan Umar
radhiyallahu ‘anhu, “Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
1 HR Tirmidzi: 3477, ia berkata: ini hadis hasan shahih.
2 Al Wabil al Shayyib, hal. 110.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
60
sallam mengangkat kedua tangannya dalam doa, beliau tidak
menurunkan keduanya hingga mengusapkan keduanya
ke wajahnya.”1 Hadis ini adalah dhaif. Karena sanadnya
berporos pada Hammad bin ‘Isa al Juhany, ia seorang yang
lemah. Hadis ini dinilai lemah orang al ‘Iraqy, Nawawi dan
Ibnul Jauzy. Yahya bin Ma’iin dan Abu Zur’ah berkata, “Hadis
munkar” Abu Zur’ah menambahkan, “Saya khawatir hadis
ini tidak memiliki asal.” Rahimahumullah al jamii’.
Hadis ini memiliki penguat dari hadis Yazid bin Saa`ib
radhiyallahu ‘anhu, diriwayatkan oleh Abu Dawud dan
Ahmad, akan tetapi ia juga lemah, karena sanadnya berporos
pada Ibnu Lahii’ah, dan ia juga seorang yang lemah.
Maka, yang sunnah adalah tidak mengusap wajah setelah
doa, karena tidak valid dalil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, juga tidak valid dari sahabat, tidak dalam qunut witir,
tidak juga dalam selainnya. Tidak di dalam shalat tidak juga
diluar shalat. Imam Malik ditanya tentang seseorang yang
mengusap wajahnya dengan kedua tangannya saat berdoa. Ia
mengingkarinya dan berkata, “Aku tidak mengetahuinya.”2
Al Marwazi rahimahullah berkata, “Adapun Ahmad bin Hanbal,
menceritakan kepadaku Abu Dawud, ia berkata, “Aku mendengar
Ahmad ditanya tentang seseorang yang mengusap wajahnya
setelah witir, ia berkata, “Aku tidak pernah mendengarnya.” Aku
juga melihat Ahmad tidak pernah melakukannya.
Al Baihaqi rahimahullah berkata, “Adapun mengusap
wajah dengan kedua tangan setelah selesai berdoa, maka aku
tidak mengetahui pendapat seorang pun dari salaf dalam
doa qunut, walaupun diriwayatkan dari sebagian mereka di
1 HR Tirmidzi: 3386
2 Lihat: Kitab al Witr, al Marwazi, hal. 236.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
61
luar shalat. Diriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
sebuah hadis yang dhaif, yang dipakai oleh sebagian mereka
di luar shalat. Adapun dalam shalat, maka ia termasuk
amalan yang tidak valid berdasarkan hadis yang shahih, atsar
dan qiyas. Oleh karena itu, yang lebih utama adalah tidak
mengerjakannya dan hendaknya mencukupkan diri dengan
amalan yang dikerjakan oleh Salaf radhiyallahu ‘anhum berupa
mengangkat tangan namun tidak mengusapkannya ke wajah
dalam shalat.”1
Syaikhul Islam rahimahullah berkata, “Adapun mengusap
wajah dengan kedua tangan, maka tidak ada satu pun
hadis, atau dua hadis yang dapat saling menguatkan untuk
dijadikan hujjah.”2
10. Berdoa para sepertiga malam terakhir
Diantara sunnah yang sangat ditekankan (muakkadah)
pada malam terakhir adalah doa. Jika seseorang sudah berdoa
dalam qunutnya, maka itu pun cukup. Jika belum, maka
disunnahkan untuk berdoa pada waktu ini, karena ia adalah
waktu dikabulkannya doa. Itu juga waktu turunnya Allah
sesuai dengan keagungan ke langit dunia. Dalam shahih
Bukhari dan Muslim dari hadis Abu Hurairah radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Rabb kita tabaraka wa ta’ala turun setiap malam ke langit
dunia, saat tersisa sepertiga malam terakhir. Dia berfirman,
“Yang berdoa kepada-Ku, Aku akan mengabulkannya. Yang
meminta kepada-Ku, Aku akan memberinya. Yang memohon
ampunan kepada-Ku, Aku akan mengampuninya.”3
15 As Sunan: 2/212.
25 Al Fatawa: 22/619.
35 HR Bukhari: 1145, Muslim: 758
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
62
11. Disunnahkan setelah salam dari shalat witir untuk
mengucapkan, “Subhaanal malikil qudduus.” Tiga
kali, dan suara diangkat pada kali yang ketiga
Hal ini ditunjukkan oleh hadis Ubay bin Ka’ab radhiyallahu
‘anhu, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasanya dalam
witir membaca, “Sabbihis-ma rabbikal a’laa.”, “qul yaa ayyhuhal
kaafiruun.” dan “qul huwallaahu ahad.” Jika beliau salam, beliau
mengucapkan, “Subhaanal malikil qudduus” tiga kali.”1 Dalam
hadis Abdurrahman bin Abza radhiyallahu ‘anhu disebutkan,
“Beliau mengangkat suaranya saat membaca “Subhaanal
malikil qudduus.” Pada kali yang ketiga.”2
12. Disunnahkan membangunkan keluarga untuk
melaksanakan qiyam lail
Seorang suami disunnahkan membangunkan istrinya
untuk qiyam lail, begitu pun juga dengan seorang istri
disunnahkan membangunkan suaminya untuk qiyam lail,
dan seluruh anggota keluarganya. Ini termasuk ke dalam
bentuk ta’awun (bantu-membantu) dalam kebaikan.
Hal ini ditunjukkan oleh hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha,
ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan shalat
pada seluruh malam, sementara aku tidur memanjang antara
beliau dan kiblat. Jika beliau hendak melaksanakan shalat
witir, beliau membangunkanku, lalu aku pun shalat witir.”3
Dari Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun dari tidurnya, lalu berkata,
“Subhanallah, apa yang diturunkan dari khizanah, dan apa
yang diturunkan dari fitnah, orang yang membangunkan
15 HR An Nasa’i: 1702, dinilai shahih oleh An Nawawi dan al Albani sebagaimana
telah lalu.
25 HR Ahmad: 15354,
35 HR Bukhari: 512, Muslim: 512.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
63
teman-teman sekamarnya? –maksudnya adalah istri-istrinyahingga
mereka shalat. Betapa banyak yang berpakaian di
dunia, ia telanjang di akhirat.”1
Pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadhan, hal ini
lebih ditekankan lagi. Dalam shahih Muslim, sebuah hadis
diterima dari Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Jika
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memasuki sepuluh
hari terakhir, beliau menghidupkan malam, membangunkan
keluarganya, bersungguh-sungguh dan mengencangkan ikat
pinggang.”2
13. Disunnahkan bagi orang yang shalat untuk
melakukan shalat malam dengan cara yang
paling nyaman, sehingga tidak mempengaruhi
kekhusukannya
Jika ia sedang lelah, maka shalatlah sambil duduk.
Sebagaimana hadis Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk ke masjid dan
melihat ada seutas tali memanjang diantara dua tiang. Beliau
berkata, “Apa ini?” mereka berkata, “Milik Zainab untuk
shalat. Jika ia malas atau lelah, ia akan memegang tali ini.”
Beliau bersabda, “Lepaskanlah, hendaknya masing-masing
dari kalian shalat sesuai dengan semangatnya, jika ia merasa
malas atau lelah, maka duduklah.”3
Jika ia mengantuk, maka tidurlah, agar ia dapat bangun
dalam keadaan bersemangat, lalu shalat setelah itu.
Sebagaimana hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah seorang diantara
kalian mengantuk dalam shalat, hendaknya ia tidur hingga
15 HR Bukhari: 6218.
25 HR Muslim: 1174
35 HR Bukhari: 1150, Muslim: 784
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
64
rasa ngantuknya hilang. Karena jika salah seorang diantara
kalian shalat dalam keadaan mengantuk, bisa jadi ia ingin
beristighfar, namun malah mencela dirinya sendiri.”1
Begitupun jika ia mengantuk atau yang lainnya saat
membaca al Qur`an pada malam hari, hendaknya ia tidur
untuk mengembalikan kekuatannya. Sebagaimana hadis Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Jika seseorang bangun malam, kemudian al
Qur`an menjadi terasa berat di lisannya, sehingga ia tidak lagi
mengetahui apa yang ia katakan, hendaknya ia berbaring tidur.”2
14. Disunnahkan bagi yang orang terlewat qiyam
lail untuk melakukannya pada siang hari
dengan jumlah rakaat yang genap
Jika seseorang telah terbiasa shalat witir dengan 3 rakaat,
kemudian ia ketiduran sehingga terlewat shalat witirnya,
atau sakit dan ia tidak dapat melakukan shalat tersebut, maka
hendaknya ia menggantinya pada siang hari dengan 4 rakaat.
Jika biasanya ia shalat 5 rakaat, maka ia menggantinya pada
siang hari dengan 6 rakaat. Begitu seterusnya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah melakukan itu, karena kebiasaan
beliau shalat witir dengan 11 rakaat, maka Aisyah radhiyallahu
‘anha berkata tentang beliau, “Dan beliau jika ketiduran atau
sakit sehingga tidak mampu melaksanakan qiyam lail, beliau
shalat pada siang harinya 12 rakaat.”3
15 HR Bukhari: 212, Muslim: 786.
25 HR Muslim: 787.
35 HR Muslim: 746.
Kedua
Waktu Fajar
Kedua,Waktu Fajar
66
Kedua,
Waktu Fajar
A da beberapa amalan yang termasuk ajaran Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam:
Adzan: ada beberapa sunnah di dalamnya:
1. Mengikuti muadzin. Disunnahkan untuk orang yang
mendengar adzan mengucapkan seperti yang diucapkan
muadzin, kecuali dua hayya ‘alash-shalah dan hayya
‘alal-falah, ia mengucapkan لَ حَوْلَ وَلَ قُوَّةَ إِلَّ بِاللهِ ‘laa haula
wa laa quwaata illaa billaah’, hal ini sebagaimana hadis
Abdullah bin Umar bin al Ash radhiyallahu ‘anhu, ia
mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kalian mendengar orang yang adzan, maka
ucapkanlah seperti yang diucapkannya..”1
Begitu juga hadis Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika muadzin
berkata, ‘Allahu akbar, Allahu akbar’, kemudian seseorang
diantaramu berkata, ‘Allahu akbar, Allahu akbar’ Berkata,
‘Asyhadu an laa ilaaha illallaah, ia juga berkata, Asyhadu an
laa ilaaha illallaah.Berkata, ‘Asyhadu anna Muhammadan
15 HR Muslim: 384.
Kedua,Waktu Fajar
67
Rasulullah’ ia juga berkata, ‘Asyhadu anna Muhammadan
Rasulullah’.Berkata, ‘Hayya ‘alash-shalaah’ ia mengucapkan
‘laa haula wa laa quwwata illaa billaah.’ Berkata, ‘Hayya
‘alal-falaah’, ia mengucapkan, ‘laa haula wa laa quwwata illaa
billaah.’ Berkata, ‘Allahu akbar, Allahu akbar’ ia juga berkata,
‘Allahu akbar, Allahu akbar’ Berkata, ‘Laa ilaaha illallaah’ ia
juga berkata, ‘Laa ilaaha illallaah’ dari hatinya, maka ia akan
masuk surga.”1
2. Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “…dan ini
hikmah yang sesuai dengan keadaan muadzin dan
yang mendengarnya. Sesungguhnya kalimat-kalimat
adzan saat dikumandangkan, disunnahkan untuk
yang mendengarnya mengucapkan kalimat-kalimat
tersebut. dan kalimat hai’alah merupakan ajakan untuk
melaksanakan shalat bagi yang mendengarnya, maka
disunnahkan untuk yang mendengarnya memohon
pertolongan (isti’anah) supaya dapat memenuhi panggilan
ini dengan kalimat ‘laa haula wa laa quwwata illaa billaahil
‘adziim.’”2
Dan ketika tatswiib (kalimat ash-shalaatu khairun minannaum)
untuk shalat fajar, yang mendengar adzan juga
mengucapkan seperti ucapan muadzin “Ash-shalaatu
khairun minan-naum”
Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata,
“Sabda beliau, “Maka ucapkanlah seperti yang
diucapkannya” menunjukkan bahwa ia pun
mengucapkan, “Ash-Shalaatu khairun minan-naum”3
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, dari Abu Juraij, ia
berkata, “Aku diberitahu bahwa orang-orang diam
15 HR Muslim: 385.
25 Zadul Ma’ad: 2/391.
35 Fatawa Syaikh Muhammad bin Ibrahim: 2/135.
Kedua,Waktu Fajar
68
untuk mendegarkan muadzin seperti diamnya mereka
saat mendengarkan bacaan Imam.”1
3. Mengucapkan dzikir berikut setelah dua kalimat
syahadat. Setelah muadzin mengumandangkan,
“Asyhadu anna Muhammadan Rasulullah” yang kedua,
disunnahkan untuk mengucapkan kalimat yang
datang dalam hadis Sa’ad, dari Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mengucapkan,
“Asyhadu an laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu,
wa anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu, radhiitu
billaahi rabbaa, wa bi muhammadin rasuulaa, wa bil islaami
diinaa” ketika ia mendengar adzan, akan diampuni dosadosanya.”
2
4. Bershalawat kepada Nabi setelah adzan. Hal ini
sebagaimana hadis Abdullah bin Amr radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika kalian mendengar muadzin, maka ucapkanlah seperti
yang diucapkannya, kemudian bershalawatlah kepadaku.
Karena sesungguhnya orang yang bershalawat kepadaku
satu kali, maka Allah akan bershalawat untuknya 10 kali.
Kemudian mintalah kepada Allah wasilah untukku, ia adalah
kedudukan di Surga yang hanya untuk satu orang hamba
dari hamba-hamba Allah, dan aku berharap aku lah hamba
Allah tersebut. Barangsiapa yang meminta kepadaku wasilah,
maka ia akan mendapat syafaatku.”3
Shalawat yang paling baik adalah shalawat ibrahimiyyah,
yaitu:
15 Al Fath (611), bab: Maa yaquulu idzaa sami’a al munaadii.
25 HR Muslim: 386.
35 HR Muslim: 384
Kedua,Waktu Fajar
69
“Allahumma shalli ‘alaa muhammad, wa ‘alaa aali muhammad,
kamaa shallaita ‘alaa ibraahiim…”
5. Mengucapkan doa setelah adzan Hal ini berdasarkan
hadis Jabirradhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallambersabda, “Barangsiapa yang ketika
mendengar adzan mengucapkan,
“Allahumma rabba hadzihid-da’watit-taammah, washshalaatil-
qaa`imah, aati muhammadanil wasiilata wal
fadhiilah, wab-’atshu maqaamam-mahmuudanil-ladzii wa
‘adtahu.” Maka ia akan mendapatkan syafaatku pada
hari kiamat.”1
Arti “wasiilah” dijelaskan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebagaimana dalam hadis Abdullah bin Amr
radhiyallahu ‘anhu yang lalu, “Kemudian mintalah
kepada Allah wasilah untukku, ia adalah kedudukan
di surga hanya untuk satu orang hamba dari hambahamba
Allah, dan aku berharap aku lah hamba Allah
tersebut. Barangsiapa yang meminta kepadaku wasilah,
maka ia akan mendapat syafaatku.”2 Arti fadhiilah adalah
kedudukan yang tinggi yang tidak ada tandingannya.
Guru kami Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“Ad-Da’wah al Taamah” adalah adzan, karena ia adalah
seruan. Disifati dengan al taamah (sempurna) karena
15 HR Bukhari: 614
25 HR Muslim: 384.
Kedua,Waktu Fajar
70
seruan itu mengandung pengagungan kepada Allah
dan tauhid, syahadah (kesaksian) terhadap risalah
(kerasulan), serta seruan kepada kebaikan.. “al Maqaam
al Mahmuud” mencakup seluruh keadaan-keadaan pada
hari kiamat, khususnya adalah syafaat udzmaa (besar).”1
6. Berdoa setelah adzan Ini berdasarkan hadis Abdullah
bin Amr radhiyallahu ‘anhu, “Seseorang berkata, “Wahai
Rasulullah, sesungguhnya para muadzin itu melampaui
kami. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Ucapkanlah seperti yang mereka ucapkan, jika engkau
telah selesai, memohonlah, maka engkau akan diberi.”2
Ini juga sebagaimana hadis Anas radhiyallahu ‘anhu,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Doa antara
adzan dan iqamat tidak akan ditolak.”3
Faedah: Keluar masjid setelah adzan merupakan
perbuatan yang terlarang. Hal ini ditunjukkan oleh
hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Abu Asy-
Sya’tsaa`, ia berkata, “Kami sedang duduk di masjid
bersama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Lalu seorang
muadzin mengumandangkan adzan. Kemudian ada
seorang laki-laki bangkit keluar dari masjid. Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu memperhatikannya dengan
pandangannya hingga laki-laki itu keluar masjid. Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu lalu berkata, “Adapun
orang ini, ia sungguh telah mendurhakai Abul Qasim
(Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam).”4
15 Al Syarh al Mumti’, Guru kami Ibnu Utsaimin: 2/87 – 88.
25 HR Abu Dawud: 524, dihasankan oleh Ibnu Hajar (Nata`ijul Afkaar: 1/367) dan
al Albani (Shahih al Kalim al Thayyib, hal. 73)
35 HR An Nasa`i: 9895.
45 HR Muslim: 655.
Kedua,Waktu Fajar
71
Sunnah Fajar, padanya ada beberapa sunnah
Sunnah fajar adalah sunnah rawatib yang pertama yang
dilaksanakan seorang hamba dalam satu hari. Dalam amalan ini
terdapat beberapa sunnah. Sebelum membahasnya, ada baiknya
kita mengetahui terlebih dahulu hal-hal yang berkaitan dengan
sunnah-sunnah rawatib. Sunnah rawatib adalah, sunnah yang
dikerjakan secara rutin, yang mengikuti shalat fardhu.
Para ulama berbeda pendapat soal jumlah sunnah
rawatib ini kepada dua pendapat
Pendapat pertama: jumlahnya adalah 10 rakaat; dua rakaat
sebelum fajar, dua rakaat sebelum zuhur, dua rakaat setelahnya,
dua rakaat setelah maghrib dan dua rakaat setelah isya.
Semuanya 10 rakaat yang disepakati oleh seluruh para ulama
sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hubairah rahimahullah.1
Mereka berdalil dengan hadis Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu (muttafaq ‘alaih), “Aku menghapal dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam 10 rakaat; dua rakaat sebelum zuhur, dua
rakaat setelahnya, dua rakaat setelah maghrib di rumahnya,
dua rakaat setelah isya di rumahnya dan dua rakaat sebelum
subuh dimana waktu itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak
ditemui oleh siapapun.”2
Pendapat kedua: jumlahnya adalah 11 rakaat, yaitu,
sebelum zuhur empat rakaat, bukan dua rakaat. Ini adalah
pendapat yang lebih kuat –wallahu a’lam.
Dalilnya:
A- Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam shahih Bukhari,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah
15 Lihat: Al Ifshah: 1/151.
25 HR Bukhari: 1180, Muslim: 729.
Kedua,Waktu Fajar
72
meninggalkan 4 rakaat sebelum zuhur.”1 Dalam shahih
Muslim dari hadis Aisyah pula, “Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasanya shalat di rumahku sebelum zuhur
empat rakaat.”2
B- Hadis Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha, aku mendengar
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang shalat 12 rakaat dalam satu hari satu
malam, akan dibangunkan untuknya sebuah rumah di
surga.”3 Dikeluarkan oleh Tirmidzi dengan tambahan,
“Empat rakaat sebelum zuhur, dua rakaat setelahnya,
dua rakaat setelah maghrib, dua rakaat setelah isya dan
dua rakaat sebelum shalat fajar.”4
Para ulama juga berbeda pendapat soal cara mengkompromikan
antara hadis Ibnu Umar5 dan Aisyah6 diatas:
Ada yang mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
terkadang shalat empat rakaat sebelum zuhur dan terkadang
dua rakaat.
Ada yang mengatakan, dalam keadaan dua hadis yang saling
bertentangan, maka diambil hadis yang terdapat tambahan,
maka sebelum zuhur seseorang shalat empat rakaat.
Ada yang mengatakan, jika shalat di rumah, maka shalat
dengan empat rakaat, sesuai dengan hadis Aisyah radhiyallahu
‘anha. Jika shalat di masjid, maka shalat dengan dua rakaat
sesuai dengan hadis Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu.
Yang lebih kuat –wallahu a’lam- adalah mengambil yang
terdapat tambahan padanya, karena adanya kemungkinan
bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha mengetahui sesuatu di
15 HR Bukhari: 1182.
25 HR Bukhari: 730.
35 HR Muslim: 728.
45 HR Tirmidzi: 415, ia berkata: hasan shahih.
55 HR Bukhari: 1180, Muslim: 729.
65 HR Bukhari: 1182.
Kedua,Waktu Fajar
73
rumahnya yang tidak diketahui oleh Ibnu Umar radhiyallahu
‘anhu. Ini juga yang ditunjukkan oleh hadis Ummu Habibah
radhiyallahu ‘anha dalam shahih Muslim, “Barangsiapa yang
shalat 12 rakaat dalam satu hari satu malam (dalam riwayat
lain: selain shalat fardhu), maka akan dibangunkan untuknya
sebuah rumah di surga.”
Yang lebih utama, melaksanakan shalat sunnah
rawatib di rumah
Dalilnya:
A- Hadis Zaid bin Tsabit radhiyallahu ‘anhu, Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka shalatlah
wahai manusia di rumah-rumah kalian, karena
sesungguhnya shalat seorang laki-laki yang paling
utama itu di rumahnya, kecuali shalat fardhu.”1
B- Dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Laksanakanlah sebagian dari
shalat-shalat kalian di rumah-rumah kalian, janganlah
menjadikan rumah-rumah kalian seperti kuburan.”2
C- Jabir radhiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang telah menunaikan
shalat di masjidnya, maka jadikanlah untuk rumahnya
satu bagian dari shalatnya, karena Allah menjadikan
kebaikan di rumahnya dari shalatnya.”3
Sunnah-sunnah rawatib yang sangat ditekankan
(muakkadah)
Sunnah rawatib yang sangat ditekankan adalah shalat sunnah
fajar. Dalilnya:
15 HR Bukhari: 7290, Muslim: 781.
25 HR Bukhari: 1187, Muslim: 777.
35 HR Muslim: 778.
Kedua,Waktu Fajar
74
A- ‘Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Beliau tidak pernah
benar-benar menjaga amalan sunnah melebihi shalat
dua rakaat sebelum subuh.”1
B- Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda, “Dua rakaat fajar, lebih baik dari
dunia dan seisinya.”2 Dalam shahih Muslim dari
Aisyah radhiyallahu ‘anha juga, dari Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, beliau bersabda tentang dua rakaat
ketika terbit fajar, “Sungguh dua rakaat itu lebih aku
sukai dari dunia seluruhnya.”3
C- Dalam shahih Bukhari dan Muslim terdapat hadis
yang menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah meninggalkan shalat sunnah fajar
dan witir, baik dalam keadaan bermukim atau dalam
perjalanan (safar).
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Oleh karena itu,
beliau tidak pernah meninggalkannya (shalat sunnah fajar)
dan shalat witir, baik dalam keadaan safar atau tidak. Dalam
keadaan safar, beliau terus melaksanakan shalat sunnah fajar.
Dan shalat witir, adalah yang paling ditekankan dari seluruh
amalan sunnah. Tidak pernah dinukil dari beliau dalam
keadaan safar beliau melaksanakan shalat sunnah rawatib
selain keduanya.”4
Shalat sunnah fajar memiliki kekhususan dari
beberapa sisi
Pertama, ia tetap disyariatkan baik dalam keadaan safar atau
tidak sebagaimana keterangan yang telah lalu. Adapun shalat
15 HR Bukhari: 1196, Muslim: 724.
25 HR Muslim: 725.
35 HR Muslim: 725.
45 Zadul Ma’ad: 1/315.
Kedua,Waktu Fajar
75
rawatib yang lain, maka yang sunnah adalah ditinggalkan
dalam keadaan safar, seperti sunnah rawatib zuhur, maghrib
dan isya.
Kedua, ganjarannya lebih baik dari dunia dan seisinya
sebagaimana keterangan yang lalu.
Ketiga, disunnahkan untuk dilaksanakan secara ringan.
Hal ini ditunjukkan oleh hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha,
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa shalat dua rakaat
fajar, beliau meringkasnya, hingga aku berkata dalam hati,
“Apakah beliau membaca surat al Fatihah padanya atau
tidak?”1 akan tetapi dengan syarat, meringankan shalat ini
tidak berakibat mengurangi yang wajib atau terlalu cepat,
sehingga terjatuh pada hal yang dilarang.
Keempat, disunnahkan pada shalat fajar, setelah membaca
surat al Fatihah membaca “qul yaa ayyuhal
kaafiruun.”pada rakaat pertama dan membaca,
“qul huwallaahu ahad” pada rakaat kedua.
Atau, pada rakaat pertama membaca,
“Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman
kepada Allah dan apa yang diturunkan kepada Kami, dan apa
yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan
anak cucunya, dan apa yang diberikan kepada Musa dan Isa
serta apa yang diberikan kepada nabi-nabi dari Tuhannya. Kami
tidak membeda-bedakan seorangpun diantara mereka dan
Kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.” (QS. Al Baqarah: 136)