Pengantar Penulis
Segala puji milik Allah, yang telah berfirman,Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri
teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap
(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak
menyebut Allah.” (QS. Al Ahzab: 21)
Segala puji bagi Allah yang telah mengutus untuk kita utusan
terbaiknya, menurunkan untuk kita kitab teristimewanya,
memunculkan para sahabat serta orang-orang yang mengikuti
mereka dari kalangan para pendahulu (salaf) sebagai pengusung
dua wahyu, mereka yang telah mentransmisikan keduanya
secara verbal dan sejarah mencatat jasa-jasa mereka. Mereka
adalah sebaik-baik pengusung untuk sebaik-baik yang diusung.
Kemudian datang penerus-penerus mereka yang gemilang,
yang mengungkapkan kecintaan mereka kepada Nabi mereka
shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Shalawat dan salam mudah-mudahan tercurah kepada
manusia terbaik, sosok yang sunnahnya tersebar ke seantero
makhluk, yang terbaik dalam menunaikan shalat, puasa dan
berdoa, yang terbaik dalam menerangkan jalan hidayah untuk
umatnya. Beliau telah meninggalkan mereka diatas petunjuk
Pengantar Penulis
14
Pengantar Penulis
yang jelas, siapa saja yang mendengar dan memahaminya akan
selamat, semoga Allah mencurahkan shawalat kepadanya,
keluarganya, dan siapa saja yang mengikuti petunjuknya
hingga hari kiamat. Amma ba’du:
Pembaca yang budiman,
Aku goreskan dalam lembar-lembar ini sunnah-sunnah
dan ibadah, sunnah-sunnah yang diwariskannya, ragam bentuk
ibadah yang sebagiannya diketahui, sebagiannya tidak, dan
sebagiannya lagi telah ditinggalkan. Sungguh ia adalah karunia
Allah teruntuk umat ini, untuk semakin menambah ketaatan
mereka. Ia adalah hadiah, karena padanya terkandung berlipat
pahala yang tidak Allah karuniakan kepada umat-umat
terdahulu. Khusus Allah berikan hanya untuk umat ini. Allah
simpan padanya aneka manfaat yang agung untuk siapa saja
yang bersegera kepadanya. Ia adalah karunia yang tinggi
keutamaannya, agung kedudukannya dan besar manfaatnya.
Seorang ikhwah yang mulia telah menyarankan kepadaku
untuk menuliskannya –semoga Allah membalas kebaikannya.
Ada dua faktor pendorong bagiku untuk menulis buku ini,
Faktor pertama: Sungguh tidak nyaman didengar oleh
telinga setiap muslim, membuat sedih hati setiap muwahhid
(ahli tauhid) dan membuat air mata para pecinta kekasih
Allah, Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam berlinang saat beliau
dihina. Sejumlah orang telah mengolok-olok beliau dengan
membuat karikatur penghinaan, dan kita masih saja mendengar
kasus seperti itu di beberapa negeri. Tidak mengherankan
memang. Mereka semua mengikuti orang-orang kafir Quraisy
dahulu yang juga telah menyakiti dan mengolok-ngolok beliau.
Para sahabat pun mendapat perlakukan buruk yang sama dari
orang-orang yang sama. Membela kehormatan Rasulullah
15
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bagian dari kewajiban agama
atas setiap umat, hingga kehormatan itu dapat dikembalikan.
Diantara bentuk pembelaan yang terpenting adalah, membela
sunnahnya dan menampilkan keindahan akhlak beliau yang telah
tercemar oleh orang-orang Barat, mengenalkan ajaran beliau dan
mengajak untuk menerapkannya dengan menyebarkan bukubuku
yang berkaitan dengannya. Orang yang paling baik dalam
merealisasikan ajarannya dan orang yang bersegera dalam
melaksanakan sunnahnya adalah para penganut agama beliau
yang sebenarnya. Karena orang yang membela kehormatan
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perkataannya,
seharusnya ia pun menjadi orang yang paling bersemangat
dalam melaksanakan perintah-perintah Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam serta ajarannya dan menunaikan sunnah-sunnahnya
dalam perilakunya. Ia sepatutnya menghidupkan sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam pribadi dan masyarakatnya,
di lingkungan keluarga, dihadapan anak-anak, para murid
dan saudara-saudaranya.
Faktor kedua: realita kita dewasa ini memperlihatkan
sikap apriori terhadap sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dan pelaksanaannya, dengan anggapan bahwa sunnahsunnah
tersebut hanya termasuk perkara yang jika dikerjakan
mendatangkan pahala dan jika tidak dikerjakan tidak akan
mendatangkan siksa. Pembaca yang budiman, jika Anda
mengamati sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, Anda
tidak akan mendapati para sahabat –menurut kebiasaan
mereka- membeda-bedakan antara yang wajib dan yang
sunnah dalam urusan bertanya dan pelaksanaannya. Mereka
selalu bersemangat dalam kebaikan dan sangat menyesal
jika terlewat dari mereka suatu kebaikan walaupun hanya
sekedar sunnah. Sementara saat ini, Anda dapat saksikan
Pengantar Penulis
16
banyak orang yang mengenal macam-macam kebaikan yang
agung, namun mereka enggan melaksanakannya walaupun
hanya satu kali. Bahkan, mungkin Anda akan melihat
seseorang yang berpenampilan shaleh dan istiqomah, namun
ia kerap menelantarkan sunnah. Anda tidak menyaksikan
sunnah Nabi nampak pada pribadi, akhlak, pergaulan dan
ibadahnya. Hal ini juga tidak jarang terjadi pada sebagian
para penuntut ilmu. Anda melihat mereka terbelakang
dalam amal dan kesungguhannya dalam sunnah, padahal
ia mengetahui bermacam-macam permasalahan ilmiah dan
sunnah nabawiyyah. Jika salaf mendefinisikan ilmu sebagai:
rasa takut (khasyyah) yang melahirkan semangat untuk
menambah ketaatan dan ibadah, maka, sejauh apa dampak
ilmu dan wawasan kita tentang perbedaan pendapat, dalildalil
yang banyak atas sejumlah permasalahan ilmiah dalam
pelaksanaan sunnah-sunnah dan ibadat?
Salah seorang diantara mereka berkata kepada temannya
yang terus memperbanyak ilmu namun tidak beramal, “Hei, jika
engkau hanya menghabiskan umurmu untuk mengumpulkan
senjata, kapan engkau akan berperang?”
Salaf dahulu mencela orang-orang yang berilmu namun
tidak beramal, orang yang terus mengumpulkan ilmu tanpa amal.
Tatkala para penuntut ilmu hadis berpagi-pagi mendatangi
al Auza’i, ia melihat ke arah mereka. Lalu berkata, “Betapa
banyak orang yang bersemangat, giat dan rajin, namun ia
tidak mendapat manfaat dan tidak pula memberi manfaat.”
Tatkala al Khathib al Baghdady rahimahullah menyaksikan
banyaknya orang yang giat dalam meriwayatkan hadis dan
menghapalnya, namun mereka sedikit dalam beramal,
beliau menulis sebuah buku yang sangat berharga berjudul,
“Iqtidhaa al ‘Ilmi al ‘Amal.” (Ilmu menuntut Amal)
Pengantar Penulis
17
Itulah kondisi kebanyakan dari kita. Tentu aku tidak
mengingkari, di zaman kita ini ada juga orang-orang yang
gemilang. Namun fenomena ketidakpedulian terhadap sunnah
sangat dominan. Saudaraku, renungkanlah beberapa contoh
orang-orang generasi pertama yang dekat dengan sunnah Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang mengikuti
mereka berikut ini. Contoh-contohnya sangat banyak dalam
hal ini, akan aku sebutkan sebagiannya dalam pendahuluan,
mudah-mudahan ia dapat membangkitkan semangatku dan
semangatmu dalam melaksanakan sunnah.
Aku memohon kepada Allah ta’ala dengan nama-nama-
Nya yang baik dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, agar Dia
berkenan menjadikanku dan Anda termasuk orang-orang
yang meniti sunnah, berpegang teguh kepadanya dalam
perkataan dan perbuatan, serta dalam seluruh keadaan.
Sesungguhnya Dia kuasa untuk itu, shalawat, salam dan
keberkahan mudah-mudahan tercurah kepada Nabi kita
Muhammad, kepada keluarganya, para sahabatnya dan
orang-orang yang mengikutnya hingga hari akhir.
Yang Faqir kepada Ampunan Rabbnya
Abdullah bin Hamud al Furaih
Rafha, Saudi Arabia
E- mail: forih@hotmail.com
Pengantar Penulis
18
Pendahuluan
Makna Sunnah
S unnah adalah segala sesuatu yang disandarkan
kepada Rasul; baik berupa perkataan, perbuatan,
penetapan, sifat fisik atau sifat perangainya. Secara
etimologi, sunnah berarti ‘thariqah’ (jalan). Makna ini
ditunjukkan oleh sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Hendaknya kalian berpegang kepada sunnahku dan
sunnah para khulafa rasyidin yang mendapat petunjuk,
pegang teguhlah dan gigitlah ia dengan gigi geraham.”1
Demikian bunyi hadis yang diterima Irbadh bin Sariyah
radhiyallahu ‘anhu. Maka, setiap hal yang selaras dengan
jalan beliau, ia termasuk sunnahnya. Sunnah yang
diperintahkan tersebut dapat berstatus mustahab (jika
dikerjakan berpahala dan jika ditinggalkan tidak berdosa
-pent) dan dapat pula berstatus wajib, tergantung kepada
dalil-dalil yang menunjukkannya.
Di kalangan para ulama belakangan (mutaakhkhirîn), sunnah
lebih dikenal dengan arti mustahab atau mandûb. Terminologi
ini yang banyak digunakan oleh para ulama usul dan fikih.
Makna sunnah ini, adalah makna yang dimaksud dalam buku
1 HR Abu Dawud: 4607, Tirmidzi: 2676, dinilai shahih oleh al Albani (shahih al
jami’: 1/499)
Pendahuluan
19
ini. Jika demikian, sunnah yang dimaksud disini adalah: Yang
diperintahkan oleh pembuat Syariat bukan sebagai keharusan,
dimana buah dari pengamalannya adalah, pelaksananya akan
diganjar pahala dan orang yang meninggalkannya tidak akan
mendapat siksa.
Beberapa contoh semangat salaf dalam sunnah:
1. Muslim meriwayatkan dalam Shahihnya hadis Nu’man
bin Salim, dari Amr bin Aus radhiyallahu ‘anhuma,
menceritakan kepadaku Anbasah bin Abi Sufyan berkata,
aku mendengar Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang shalat dua belas rakaat dalam satu hari
satu malam, akan dibangunkan untuknya dengan rakaatrakaat
itu sebuah rumah di surga.”1
Ummu Habibah berkata, “Aku tidak pernah meninggalkan
rakaat-rakaat itu sejak aku mendengarnya dari Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anbasah juga berkata, “Aku
tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya
dari Ummu Habibah. Amr bin Aus juga berkata, “Aku
tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya
dari Anbasah.” Nu’man bin Salim juga berkata, “Aku
tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya
dari Amr bin Aus.”
2. Hadis Ali radhiyallahu ‘anhu: Fathimah mengeluhkan
bekas di tangannya akibat alat penumbuk gandum, dan
telah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
seorang tawanan. Fathimah segera berangkat menemui
beliau (untuk meminta seorang pembantu –pent) namun
tidak bertemu beliau, ia hanya bertemu dengan Aisyah
dan menceritakannya kepada Aisyah. Tatkala Nabi
1 HR Muslim: 1727
Pendahuluan
20
shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, Aisyah menceritakan
perihal kedatangan Fathimah kepadanya. Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam pun datang kepada kami saat kami telah
berada di tempat tidur kami. Kami hendak bangkit,
namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Tetaplah
ditempat kalian berdua.” Beliau pun duduk di tengahtengah
kami hingga aku dapat merasakan dinginnya
kaki beliau di dadaku. Beliau shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda, “Tidakkah aku ajarkan kepada kalian
sesuatu yang lebih baik dari apa yang kalian pinta? Jika
kalian berdua hendak tidur, maka bertakbirlah 34 kali,
bertasbihlah 33 kali, bertahmidlah 33 kali, itu lebih baik
untuk kalian berdua daripada seorang pembantu.”1
Dalam riwayat yang lain, Ali radhiyallahu ‘anhu berkata,
“Aku tidak pernah meninggalkannya sejak aku mendengarnya
dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Ditanyakan kepada Ali,
“Tidak juga malam perang Shiffin?” Ali berkata, “Tidak, begitu
juga pada malam perang Shiffin.”2
Sebagaimana diketahui bahwa malam Shiffin adalah malam
tragedi peperangan. Ali menjadi pemimpin pasukan dalam
perang tersebut. Namun demikian, ia tidak meninggalkan
sunnah ini karena alasan sibuk.
3. Ibnu Umar sebelumnya biasa shalat jenazah, kemudian
pergi dan tidak ikut mengantarkannya. Ia menyangka
bahwa seperti itulah sunnah dan ia tidak mengetahui
keutamaan yang terdapat dalam perbuatan mengantarkan
jenazah hingga dikebumikan. Tatkala sampai kepadanya
hadis Abu Hurairah, ia sangat menyesal karena telah
terlewatkan sebuah sunnah. Renungkanlah apa yang
dikatakannya?
1 HR Bukhari: 3705, Muslim: 2727.
2 HR Bukhari: 5362, Muslim: 2727.
Pendahuluan
21
Dari Amir bin Sa’ad bin Abi Waqqash, ia sedang duduk di sisi
Abdullah bin Umar. Datanglah Khabbab dan berkata, “Wahai
Abdullah bin Umar, tidakkah engkau mendengar perkataan
Abu Hurairah? Ia pernah mendengar Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang pergi bersama
jenazah dari rumahnya, kemudian menshalatkannya, lalu
mengantarkannya sampai dikebumikan, maka pahala baginya
adalah dua qirath, setiap qirath besarnya seperti gunung
Uhud. Adapun orang yang menshalatkannya lalu pulang,
maka ia hanya mendapat pahala seperti satu gunung Uhud.”
Ibnu Umar mengutus Khabbab agar menemui Aisyah
untuk bertanya kepadanya perihal perkataan Abu Hurairah
tersebut, lalu ia kembali kepadanya membawa kabar dari
Aisyah. Ibnu Umar mengambil satu genggam tanah masjid
dan membolak-balikkannya di tangannya. Hingga datang
sang utusan kepadanya dan berkata, “Aisyah berkata, “Abu
Hurairah benar.” Seketika itu Ibnu Umar membanting tanah
yang ada di tangannya, lalu berkata, “Sungguh kita telah
melewatkan qirath-qirath yang banyak.”1
Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam kisah ini terdapat
gambaran semangat para sahabat dalam ketaatan saat mereka
mengetahuinya, dan merasa menyesal jika mereka terlewat
darinya, walaupun karena sebelumnya mereka tidak mengetahui
besarnya kedudukan suatu amalan tersebut.”2
4. Hadis Sa’id bin Jubair radhiyallahu ‘anhu, seorang kerabat
Abdullah bin Mughaffal melakukan khadzf, ia pun
melarangnya seraya berkata, “Sesungguhnya Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang khadzf, beliau
bersabda, “Sesungguhnya ia tidak dapat melumpuhkan
binatang buruan dan tidak juga dapat mengalahkan
1 HR Bukhari: 1324, Muslim: 945.
2 Al Minhaj: 7/15.
Pendahuluan
22
musuh. Ia justru dapat memecahkan gigi, atau melukai
mata.” Namun kerabatnya itu tetap melakukannya lagi.
Sehingga Abdullah berkata, “Aku sampaikan kepadamu
bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang
hal itu kemudian engkau tetap melakukan khadzf, aku
tidak akan berbicara kepadamu lagi.”1
Khadzf adalah: melempar dengan batu kecil atau biji kurma
dan yang lainnya, biasanya diletakkan diantara dua jari telunjuk
atau telunjuk dan ibu jari.
Contoh-contoh komitmen mereka terhadap sunnah dan
penghormatan mereka kepadanya sangat banyak. Tidak
mengherankan, karena mereka adalah orang-orang yang sangat
bersemangat kepada kebaikan. Hal ini pula yang telah memberi
pengaruh kepada orang-orang yang datang setelah mereka
dari kalangan salaf dan generasi utama. Sejarah telah mencatat
untuk kita contoh-contoh yang menggugah jiwa untuk meniti
jalan sunnah dari mereka yang mengikuti generasi sebelumnya
dalam hal komitmen mereka terhadap sunnah.
Imam Ahmad rahimahullah mendokumentasikan lebih
dari 40.000 hadis dalam kitabnya ‘al Musnad’, dan ia pun
telah mengamalkan semuanya. Ia berkata, “Tidaklah
aku meninggalkan sebuah hadis melainkan aku telah
mengamalkannya.” Tatkala ia membaca hadis, bahwa Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah dihijamah dan memberi
Abu Thibah (orang yang menghijamah Nabi) satu dinar,
Imam Ahmad berkata, “Aku berhijamah, lalu aku beri orang
yang telah menghijamahku uang satu dinar.” Satu dinar sama
dengan 4 seperempat gr emas. Namun demi mengamalkan
hadis, Imam Ahmad rela mengeluarkannya.
Kita memohon kepada Allah agar Dia berkenan menghidupkan
sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hati-hati kita,
1 HR Bukhari: 5479, Muslim: 1954.
Pendahuluan
23
agar keutamaan, karunia dan kedekatan dengan Allah
azza wa jalla dapat teraih. Apapun sunnah Nabi-Nya yang
telah ditinggalkan, maka mengikutinya akan membuat kita
mendapatkan kemuliaan ittiba’, cahaya hati dan kehidupannya.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Ibnu Atho berkata,
“Barangsiapa yang membiasakan dirinya dengan adab-adab
sunnah, Allah akan terangi hatinya dengan cahaya ma’rifah.
Tidak ada kedudukan yang lebih mulia dari mengikuti sang
kekasih, dalam perintahnya, perbuatannya dan akhlaknya.”1
Ia juga berkata, “Engkau akan melihat orang yang selalu
mengikuti perintah dan sunnah berbalut pakaian kehidupan dan
cahaya, dengan keduanya ia mendapat kenikmatan, wibawa,
kemuliaan dan penerimaan, yang tidak didapatkan oleh orang
selain mereka. Sebagaimana perkataan Hasan, “Seorang mukmin
itu adalah orang yang dikaruniai kelezatan dan kewibawaan.”2
• Buah Mengikuti Sunnah
Pembaca yang budiman, ada beberapa buah mengikuti
sunnah, Diantaranya:
1. Mencapai tingkat mahabbah (cinta). Dengan melakukan
taqarrub kepada Allah melalui amalan-amalan sunnah,
cinta Allah akan diraih seorang hamba. Ibnul Qayyim
rahimahullah berkata, “Allah tidak akan mencintaimu
melainkan jika engkau mengikuti kekasih-Nya lahir dan
batin, membenarkan kabarnya, mentaati perintahnya,
menyambut seruannya, mendahulukan kepentingannya,
serta engkau berpaling dari hukum selainnya kepada
hukumnya, dari cinta kepada makhluk selainnya kepada
cinta kepadanya, dari ketaatan kepada selainnya kepada
1 Madariju As-Salikin: 2/644.
2 Ijtima’ al Juyusy al Islamiyyah: 1/8.
Pendahuluan
24
ketaatan kepadanya. Jika tidak demikian, maka janganlah
engkau berlelah-lelah, kembalilah dari arah yang engkau
kehendaki, carilah cahaya, engkau tidak berada pada apa
pun.”1
2. Mendapat kesertaan Allah ta’ala bagi hamba, sehingga
Allah akan memberinya taufiq kepada kebaikan, perbuatan
anggota badannya akan selalu dalam ridho Rabbnya,
karena jika ia mendapatkan cinta-Nya, ia pun akan
mendapatkan kesertaan-Nya.
3. Doanya akan dikabul karena ia telah mendapatkan cinta-
Nya. Siapa saja yang mendekatkan diri kepada Allah
dengan amalan-amalan sunnah, maka ia akan meraih
cinta-Nya, dan siapa saja yang telah berhasil meraih
cinta-Nya, doanya akan dikabulkan.
Tiga buah diatas ditunjukkan oleh hadis berikut:
Hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya
Allah berfirman,
“Barangsiapa yang memusuhi waliku, maka aku akan
memeranginya. Tidaklah seorang hamba mendekatkan
diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih aku cintai dari
amalan-amalan fardhu. Jika hamba-Ku terus mendekatkan
diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah, Aku akan
mencintainya. Jika Aku telah mencintainya, Aku akan
menjadi pendengarannya yang dengannya ia mendengar,
menjadi penglihatannya yang dengannya ia melihat,
menjadi tangannya yang dengannya ia berbuat, menjadi
kakinya yang dengannya ia melangkah. Jika ia meminta
sesuatu kepada-Ku, Aku akan kabulkan, jika ia memohon
perlindungan kepada-Ku Aku akan melindunginya. Tidaklah
1 Madariju As-Salikin: 3/37.
Pendahuluan
25
Aku menjadi ragu untuk melakukan sesuatu yang Aku
akan lakukan selain keraguanku untuk mencabut nyawa
seorang mukmin, ia tidak suka dengan kematian, dan aku
pun tidak suka menyakitinya.”1
4. Melengkapi kekurangan dalam amalan-amalan fardhu.
Amalan-amalan sunnah juga berfungsi untuk melengkapi
kekurangan-kekurangan yang terjadi dalam ibadahibadah
fardhu. Hal ini ditunjukkan oleh Hadis Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu, aku mendengar Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya amalan yang seorang hamba pertama kali
akan dihisab dengannya pada hari kiamat adalah shalatnya,
jika bagus, berarti ia beruntung dan selamat. Jika buruk
(shalatnya), berarti ia rugi dan celaka. Jika terjadi kekurangan
dalam amalan fardhunya, Rabb azza wa jalla akan berfirman,
“Lihatlah, apakah hamba-Ku memiliki amalan sunnah?
Dilengkapilah dengan amalan sunnah itu ibadah-ibadah
fardhunya, begitulah seterusnya amalan-amalannya.”2
5. Hati menjadi hidup -sebagaimana telah dijelaskan.
Jika seorang hamba menjaga amalan sunnah, maka
yang lebih penting dari itu akan lebih dapat ia jaga. Ia
akan sulit menelantarkan amalan-amalan wajib. Selain
itu, ia akan mendapat keutamaan yang lain, yaitu:
mengagungkan Allah ta’ala. Sehingga hatinya menjadi
hidup dengan ketaatan kepada Rabbnya. Barangsiapa
yang meremehkan amalan-amalan sunnah, bisa jadi
akibatnya ia terhalang dari amalan-amalan fardhu.
6. Terjauh dan terjaga dari bid’ah. Karena seorang hamba,
semakin ia mengikuti ajaran-ajaran yang terdapat
1 HR Bukhari: 6502.
2 HR Ahmad: 9494, Abu Dawud: 864, Tirmidzi: 413, dinilai shahih oleh al Albani
(shahih al Jami’: 1/405)
Pendahuluan
26
dalam sunnah, ia akan kian semangat untuk tidak
beribadah dengan amalan apapun melainkan dalam
sunnah terdapat dalil yang diikutinya. Dengan ini, ia
selamat dari jalan kebid’ahan.
Masih banyak manfaat lain dari menjaga sunnah. Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata, “Setiap orang yang mengikuti
Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, Allah akan mencukupinya,
membimbingnya, menolongnya dan memberi rizki kepadanya.”1
Murid beliau, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Maka,
siapapun yang bersahabat dengan al Qur`an dan sunnah,
terasing dari dirinya sendiri dan manusia, berhijrah dengan
hatinya menuju Allah, ia lah orang yang jujur dan benar.”2
Sebelum masuk pada pembahasan inti
Pembaca yang budiman, sebelum masuk kepada pembahasan
inti, sebelum menampilkan sunnah-sunnah sehari-hari yang
dapat saya himpun, saya ingin menyampaikan beberapa hal:
Pertama: Dalam buku ini, saya menghimpun amalanamalan
sunnah sehari-hari berdasarkan hasil penelusuran
saya. Sebagian sunnah secara sengaja tidak saya cantumkan,
karena adanya perselisihan dalam kevalidan sumbernya, atau
karena dalilnya lemah, atau juga karena adanya perselisihan
dalam memahami sisi istidlal terhadap sunnah tersebut. Saya
berupaya untuk mencatat amalan-amalan yang valid dari
sunnah nabawiyyah saja –semoga shalawat terbaik dan
penghormatan tersuci tercurah kepadanya.
Kedua: Ada sunnah-sunnah yang terkait dengan kondisi,
tempat atau waktu tertentu, yang untuk orang-orang tertentu
hal itu termasuk sunnah, namun tidak untuk yang lain. Sunnahsunnah
seperti itu sengaja saya tidak cantumkan juga. Karena
1 Al Qawa’id al Jalilah: 1/160.
2 Madariju As Salikin: 2/367.
Pendahuluan
27
hal itu tidak berlaku untuk kebanyakan manusia. Seperti: untuk
orang yang tinggal di Mekah dan Madinah, ia bisa mendatangi
Masjidil Haram dan Masjid Nabawi setiap hari, shalat disana
untuk mendapat keutamaan pahala yang belipat dari shalat
tersebut. Begitu pula sunnah-sunnah yang khusus untuk imam
shalat atau muadzin dan yang lainnya yang termasuk ke dalam
sunnah-sunnah yang hanya terkait dengan urusan tertentu
saja, yang mungkin tidak pernah terjadi pada banyak manusia.
Ada juga sunnah-sunnah yang pengamalannya disesuaikan
dengan kondisi, seperti melakukan ziarah ke rumah saudara
sesama muslim, tafakkur, syukur, menjenguk orang sakit,
bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, berziarah
kubur, silaturahmi, menuntut ilmu, sedekah, sunnah-sunnah
mandi dan yang lainnya, secara sengaja juga saya tidak
cantumkan. Karena tidak dapat dipastikan bahwa semua
itu termasuk amalan sunnah sehari-hari, walaupun seorang
hamba dapat melaksanakannya kapan saja ia inginkan. Dengan
demikian, yang saya maksud adalah, sunnah-sunnah yang
pengamalannya berulang-ulang dalam satu hari satu malam.
Ketiga: Ketahuilah, mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam mencakup juga mengikuti akhlak, perilaku dan etika
beliau terhadap Allah, sunnahnya dan manusia secara umum.
Maka, janganlah lupa wahai pembaca yang budiman esensi
ini. Akhlak adalah pilar penting yang sangat dibutuhkan oleh
realitas kita sekarang ini.
Kita memohon kepada Allah agar Dia berkenan membimbing
kita kepada sebaik-baik akhlak, dan memalingkan kita dari
keburukan akhlak.
Dan ketahuilah, bahwa mendekatkan diri kepada Allah
dengan amalan-amalan fardhu, lebih didahulukan dari amalanamalan
sunnah, serta lebih besar pahalanya. Allah azza wa
jalan berfirman (yang artinya),
Pendahuluan
“Dan tidaklah hambaku mendekatkan diri kepada-Ku dengan
sesuatu yang lebih Aku cintai dari amalan-amalan yang
telah Aku fardhukan.”
Keempat: Sesungguhnya saya menyampaikan sunnahsunnah
ini kepada diri saya yang penuh dengan kekurangan
ini terlebih dahulu, agar saya memberi manfaat kepadanya
dengan menampilkan sunnah-sunnah sehari-hari di hadapan
kedua mata saya, agar saya dapat melihat sisi-sisi kekurangan
saya padanya, agar saya dapat membawa diri saya sendiri
kepada kebenaran dari sunnah-sunnah ini dan kepada sikap
komitmen diatas petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Mudah-mudahan juga dapat memberi manfaat kepada
saudara-saudaraku, memotivasi mereka untuk meniti petunjuk
al Mushtofa shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Bersegeralah saudaraku dalam mengoptimalkan umur yang
masih tersisa, sebelum ajal datang dan harapan sirna, dengan
cara memperbanyak pelaksanaan sunnah-sunnah dan amal
shaleh, agar kelak di hari kiamat mendapat akhir yang baik
dengan pahala yang besar di negeri abadi, karena prestasimu
dalam mengikuti hadis dan petunjuk Tuan seluruh manusia.
Terakhir, aku nasehatkan kepada Anda saudaraku dengan
dua nasehat yang disebutkan oleh an Nawawi rahimahullah
terkait interaksimu dengan sunnah-sunnah ini:
Pertama, jangan Anda tinggalkan satu sunnah pun
melainkan engkau pernah mengerjakannya walaupun hanya
satu kali. Nawawi rahimahullah berkata, “Ketahuilah, selayaknya
bagi siapa saja yang sampai kepadanya sesuatu dari amalanamalan
yang memiliki keutamaan (fadhail amal), untuk
mengerjakannya walaupun hanya satu kali, agar ia termasuk
orang yang mendapatkan keutamaan itu dan hendaknya tidak
meninggalkan amalan itu secara mutlak. Sejalan dengan hadis,
Pendahuluan
“Jika aku memerintahkan kalian sesuatu, maka kerjakanlah
sekemampuan.”1
Kedua, jika Allah mengaruniakan kepadamu kemampuan
dalam mengerjakan suatu ketaatan dan Anda termasuk orang
yang telah rajin melaksanakannya, kemudian suatu hari
terlewat atasmu ketaatan tersebut, maka berusahalah untuk
mengerjakannya jika ketaatan tersebut termasuk yang bisa
diqadha. Karena jika seorang hamba sering melewatkan ketaatan,
maka akan menjadi ringan untuknya dalam meninggalkan amal.
An Nawawi berkata dalam faidah mengqadha zikir,
“Selayaknya bagi orang yang telah memiliki kebiasaan zikir
pada waktu malam atau siang hari, atau setelah shalat, atau
pada suatu kondisi, kemudian ia terlewat darinya, hendaknya
ia mengerjakannya jika memungkinkan dan jangan
membiarkannya karena alasan sudah terlewat waktunya. Jika
ia tidak mengqadhanya, maka akan menjadir terasa ringan
baginya pula untuk meninggalkannya pada waktunya.”2
Aku memohon kepada Allah agar Dia menjadikan diriku
dan Anda termasuk orang-orang yang mengikuti petunjuk
Nabi, lahir dan batin, orang-orang yang meniti sunnahnya dan
kelak dikumpulkan dalam kelompoknya. Sungguh Allah satusatunya
yang mampu melakukan hal itu, shalawat dan salam
mudah-mudahan tercurah kepada Nabi kita Muhammad, pada
keluarganya, pada sahabatnya hingga hari kiamat.
1 HR Bukhari: 8288, Al Adzkar: 1/16.
2 Al Adzkar: 1/23.
Pendahuluan
Sunnah-Sunnah
Yang
Ditetapkan Waktunya
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
31
Sunnah-Sunnah Yang
Ditetapkan Waktunya
Y ang kami maksud disini adalah sunnah-sunnah
yang waktu pelaksanaannya telah ditetapkan dalam
satu hari satu malam. Saya membaginya menjadi tujuh
waktu: Sebelum fajar, waktu fajar, waktu dhuha, waktu
zuhur, waktu asar, waktu maghrib dan waktu isya.
Pertama: Waktu Sebelum Fajar
Ini adalah awal waktu bangun tidur. Beberapa dalil
menunjukkan ada sejumlah amalan yang dikerjakan oleh Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu sebelum fajar. Sunnahsunnah
pada waktu ini dapat diklasifikasi menjadi dua:
Bagian pertama:
Saat bangun tidur dan amal-amal yang dilakukan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam sesaat setelah bangun.
1. Menggosok gigi dengan siwak. Dari Hudzaifah radhiyallahu
‘anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, jika
beliau bangun pada malam hari, beliau menggosok
giginya dengan siwak.”1 Dalam riwayat Muslim, “Jika Nabi
1 HR Bukhari: 245, Muslim: 255.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
32
shallallahu ‘alaihi wa sallam bangun untuk melaksanakan
shalat tahajud, beliau menggosok giginya dengan siwak.”1
2. Membaca zikir bangun tidur. Dalam Shahih Bukhari,
dari hadis Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu ia menuturkan,
“Jika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak tidur,
beliau mengucapkan,
» حْيَا
َ
مُوتُ وَ أ
َ
باِسْمِكَ اللَّهُمَّ أ «
“Bismika Allahumma amuutu wa ahyaa”
(Dengan menyebut nama-Mu aku mati dan aku hidup)
dan jika beliau bangun tidur beliau membaca,
» Alhamdulillahil ladzii ahyaanaa ba’da maa amaatanaa wa
ilaihin nusyuur.”
(Segala puji bagi Allah yang telah menghidupkan kita setelah
mematikan kita dan kepada-Nya kita kumpulkan).2
3. Mengusap kedua matanya.
4. Menatap langit.
5. Membaca sepuluh ayat terakhir surat Ali Imran
Tiga sunnah ini terdapat dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu
‘anhuma dalam shahih Bukhari dan Muslim, “Ia menginap pada
suatu malam di rumah Maimunah, istri Nabi dan ia adalah
bibinya. Aku berbaring di sisi bantal, sementara Rasulullah dan
istrinya berbaring di sepanjangnya. Rasulullah tidur. Hingga
pada waktu pertengahan malam, atau sedikit sebelumnya,
atau sedikit setelahnya, Rasulullah bangun, duduk dan
mengusap kedua matanya dengan tangannya. Lalu beliau
membaca ayat-ayat penutup surat Ali Imran, lalu bangkit
1 HR Muslim: 255.
2 HR Bukhari: 6324, Muslim dari hadis al Bara` radhiyallahu ‘anhu: 2711.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
33
dan mengambil kantong air yang tergantung, lalu berwudhu
menggunakan air tersebut dan memperbagus wudhunya, lalu
berdiri dan shalat.”1
Dalam riwayat Muslim2, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah bangun pada akhir malam, lalu keluar rumah dan menatap
langit, kemudian membaca ayat,“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih
bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi
orang-orang yang berakal,” (QS. Ali Imran: 190)
Dan dalam riwayat Muslim terdapat penjelasan apa yang
dibaca beliau untuk siapa saja yang hendak mengamalkan
sunnah ini. Yaitu memulai dari ayat diatas sampai akhir surat
Ali Imran.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat-ayat ini
sebelum berwudhu. Ini menjadi dalil bolehnya membaca al
Qur`an dalam keadaan berhadas kecil.
6. Mencuci kedua tangan tiga kali. Ini sesuai hadis Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda,
“Jika salah seorang diantara kalian bangun dari tidurnya,
hendaknya ia tidak memasukkan tangannya ke dalam bejana
hingga ia membasuhnya tiga kali terlebih dahulu, karena ia
tidak mengetahui di mana posisi tangannya ketika tidur.”3
Para ulama berbeda pendapat dalam hukum mencuci kedua
tangan tiga kali setelah bangun tidur kepada dua pendapat:
1 HR Bukhari: 183, Muslim: 763.
2 HR Muslim: 256,
3 HR Bukhari: 162, Muslim: 278.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
34
Pendapat pertama: Ulama dari kalangan madzhab Hanbali
bahwa ia wajib. Ini termasuk pendapat hanya dimiliki oleh
kalangan madzhab Hanbali, dirajihkan oleh Syaikh Bin Baz
rahimahullah dalam Syarah Umdatul Ahkam.
Meraka berdalil dengan hadis diatas, Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam melarang untuk memasukkan kedua tangan
sebelum membasuhnya. Secara asal, larangan menunjukkan
pengharaman. Dan dalam hal ini tidak ada dalil lain yang
memalingkannya dari pengharaman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam pun bersabda, “Apapun yang aku larang, maka jauhilah.”1
Pendapat kedua: hukumnya mustahab (sunnah), ini adalah
pendapat mayoritas ulama. Mereka berdalil dengan,
a. Keumuman firman Allah ta’ala,
ژ ٱ ٻ ٻ ٻ ٻ پ پ پ پژ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu…” (QS. Al
Maidah: 6)
Sisi pendalilannya, Allah azza wa jalla memerintahkan
untuk berwudhu tanpa membasuh kedua tangan terlebih
dahulu. Ayat ini bersifat umum, baik untuk yang baru
bangun tidur pada malam hari atau selainnya.
b. Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Karena ia tidak
mengetahui dimana posisi tangannya ketika ia tertidur.”
Ini merupakan ta’lil (rasiosinasi) yang menunjukkan
kesunnahannya. Karena najis yang ada dalam tangan
tidak bersifat pasti dan pada asalnya tangan tersebut
adalah suci. Inilah yang bersifat yakin, dan sesuatu yang
yakin tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.
1 HR Bukhari: 7288, Muslim: 1337.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
35
Hendaknya seorang muslim lebih berhati-hati dan
mengambil pendapat pertama, karena dalilnya cukup kuat,
dan karena tidak ada dalil yang memalingkannya dari
hukum wajib. Adapun ayat diatas, ia bersifat umum dalam
wudhu, berbeda dengan dalil para ulama pendapat pertama,
ia dalam kondisi khusus.
7. Istinsyaq (menghirup air dengan hidung) dan istinstar
(membuang air dari hidung) sebanyak tiga kali.
Hal ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika salah
seorang diantara kalian bangun dari tidurnya, hendaknya ia
beristintsar tiga kali, karena setan bermalam di lobang-lobang
hidungnya.”1 Dalam riwayat Bukhari, “Jika salah seorang
diantara kalian bangun dari tidurnya, hendaknya ia berwudhu
dan beristintsar tiga kali.”2
Para ulama berbeda pendapat tentang hukum istintsar
tiga kali setelah bangun tidur kepada dua pendapat:
Pendapat pertama: mereka mengatakan sunnah, karena
illat (alasan hukum) yang tertera dalam hadis, “Karena setan
bermalam di lobang-lobang hidungnya.”
Sisi pendalilannya, karena bermalamnya setan disini
tidak mendatangkan najis sehingga seseorang diharuskan
untuk menghilangkannya.
Pendapat kedua: istintsar hukumnya wajib, karena perintah
pada asalnya menunjukkan wajib, dan tidak ada dalil yang
memalingkan perintah tersebut dari hukum wajib. Sementara
apa yang disebutkan oleh penganut pendapat pertama
bukanlah dalil yang memalingkan perintah itu dari hukum
wajib, karena hikmah dari perintah untuk melakukan
1 HR Bukhari: 3295.
2 HR Bukhari: 3295.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
36
istintsar bisa jadi bersifat tersembunyi dan bukan karena
adanya najis.
Dimungkinkan pula dalil yang bersifat mutlak difahami
dengan dalil yang bersifat muqayyad (terikat). Dalam hadis
ini terkandung perintah untuk istintsar sebanyak tiga kali
saat bangun tidur, sementara dalam riwayat Bukhari perintah
itu dikerjakan saat berwudhu. Maka, bisa saja dalil yang
mutlak itu dibawa kepada dalil yang muqayyad, sehingga
maksud perintah dalam hadis ini adalah ketika berwudhu,
atau kedua hadis itu diamalkan seluruhnya, sehingga kedua
istintsar itu menjadi wajib. Wallahu a’lam.
Faedah:
Sabda beliau, “Sesungguhnya setan bermalam di lobanglobang
hidungnya.” Para ulama berbeda pendapat tentang
maknanya.
Ada yang mengatakan, bermalamnya setan dalam hadis
ini bukanlah secara hakiki, namun yang dimaksud adalah
kotoran-kotoran yang ada dalam hidung yang seperti setan
Ada juga yang mengatakan, hadis itu sebagaimana apa
adanya. Artinya setan memang benar-benar bermalam.
Hal itu karena hidung merupakan salah satu jalur masuk
kedalam jasad yang mengantarkan ke hati. Seluruh jalur
tertutup, kecuali hidung dan kedua telinga, maka setan
dapat masuk melaluinya. Dan dalam hadis Ibnu Masud –
muttafaq ‘alaih- diriwayatkan, “Disebutkan dihadapan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam seorang laki-laki yang tidur
sepanjang malam sampai pagi hari. Beliau bersabda, “Orang
itu, kedua telinganya (atau telinganya) telah dikencingi setan.”1
1 HR Bukhari: 3270, Muslim: 774.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
37
Adapun mulut, ia dapat tertutup. Oleh karena itu Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk menahan
mulut saat hendak menguap, agar setan tidak masuk. Dalam
Shahih Muslim dari hadis Abu Sa’id al Khudri –secara marfu’-
disebutkan, “Jika salah seorang diantara kalian hendak menguap,
maka tahanlah dengan tangannya, karena setan dapat masuk.”1
Dalam riwayat lain, “hendaknya ia tahan semampunya.”2 Dalam
riwayat muttafaq ‘alaih dari hadis Abu Hurairah, “Hendaknya ia
melawannya sekemampuan, karena jika salah seorang diantara
kalian berucap ‘haa’, maka setan akan tertawa.”3
Bagaimana pun, wajib atas setiap muslim beriman,
membenarkan, melaksanakan dan taat, baik ia mengetahui
hakikat dan hikmah dari suatu perintah atau ia tidak
mengetahuinya, sehingga hal itu termasuk sesuatu yang
tersembunyi baginya dari ilmu Allah yang meliputi dengan
segala sesuatu.
8. Wudhu
Hal ini sesuai hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu yang
telah lalu, tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hendak
shalat, beliau bangkit menuju kantong air yang tergantung,
lalu berwudhu dengannya. Dan dalam masalah wudhu, kita
akan bahas beberapa sunnah dalam berwudhu secara ringkas
dalam bentuk poin-poin saja dan tidak terperinci, untuk
menyempurnahkan sunnah. Diantara sunnah wudhu:
a. Bersiwak
Bersiwak dilakukan sebelum berwudhu atau sebelum
berkumur-kumur, dan ini adalah keadaan kedua dimana kita
1 HR Muslim: 2995
2 HR Muslim: 2994.
3 HR Bukhari: 6226, Muslim: 2994.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
38
disunnahnya untuk bersiwak. Maka, disunnahkan untuk orang
yang hendak berwudhu bersiwak terlebih dahulu. Sebagaimana
dalam hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Andai aku tidak
memberatkan umatku, sungguh aku akan memerintahkan
mereka untuk bersiwak setiap kali berwudhu.”1
Juga hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha ia berkata, “Kami
menyiapkan untuk beliau siwak dan air wudhunya. Allah
menidurkan beliau sampai yang dikehendakinya pada malam
hari, lalu beliau bersiwak, berwudhu dan shalat..”2
b. Membaca basmalah
Ini sesuai dengan hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu
secara marfu, “Tidak ada wudhu bagi orag yang tidak menyebut
nama Allah.”3
Hadis ini lemah (dha’if). Dinilai lemah oleh Abu Zur’ah, Abu
Hatim, Ibnul Qathan rahimahumullah. Imam Ahmad rahimahullah
berkata, “Tidak ada hadis yang valid dalam bab ini.”
Namun hadis ini memiliki riwayat penguat dari sejumlah para
sahabat. Seluruh riwayat penguat ini juga lemah. Sekelompok
ulama rahimahumullah berpendapat bahwa hadis ini, dengan
keseluruhan jalur periwayatannya dapat naik kepada derajat
‘hasan’.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Nampaknya, keseluruhan
hadis-hadis ini mencipta satu kekuatan yang menunjukkan
bahwa masalah ini memiliki sumber yang benar.”4 Jika
hadis tersebut dapat dijadikan hujjah, maka hadis tersebut
1 HR Ahmad: 9927, Ibnu Khuzaimah dan ia menilainya shahih: 1/73/130, Hakim:
1/245, Bukhari secara ta’liq dengan shighat Jazm dalam bab: Siwak al Ruthab wa
al Yabis lish-Sha`im.
2 HR Muslim: 746.
3 HR Ahmad: 11371, Abu Dawud: 101, Ibnu Majah: 397.
4 Talkhish al Habir: 1/75.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
39
menunjukkan kesunnahan. Ini adalah pendapat mayoritas
ulama rahimahumullah. Hadis Abu Hurairah pun, lebih dari
satu ulama yang menilainya sebagai hadis hasan dengan
keseluruhan jalur periwayatannya.”1
c. Membasuh dua tangan (kaff; yaitu dari jari
sampai pergelangan)
Hal ini berdasarkan hadis Utsman radhiyallahu ‘anhu dalam
sifat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, disebutkan
padanya, “Ia mengambil air wudhu, kemudian berwudhu,
membasuh kedua tangannya tiga kali…” kemudian Utsman
berkata, “Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwudhu seperti caraku berwudhu ini.”2
Dalil yang memalingkannya dari wajib dalam firman Allah,
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak
mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu…” (QS. Ali
Imran: 6) dalam ayat ini tidak disebutkan membasuh
kedua tangan.
d. Memulai dengan bagian kanan (tayammun)
dalam membasuh tangan dan kaki
Hal ini sesuai hadis Aisyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menyukai tayammun saat
memakai sendal, bersisir, bersuci dan dalam seluruh urusannya.”3
Begitu pula hadis Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika kalian
berwudhu, mulailah dengan kanan-kanan kalian.”4
1 Lihat Talkhish al Habir, Ibnu Hajar: 1/128, Lihat Mahajjatu al Qurab, Ibnu Shalah,
249, Lihat al Sail al Jarrar, Syaukani: 1/76 dan yang lainnya.
2 HR Bukhari: 164, Muslim: 226.
3 HR Bukhari: 168, Muslim: 268.
4 HR Abu Dawud: 4141, Dinilai shahih oleh Ibnu Khuzaimah: 1/90, Nawawi berkata,
“Ini hadis hasan dan sanadnya bagus.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
40
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak ada perselisihan
di kalangan para ulama –sebagaimana yang kami ketahuidalam
kesunnahan memulai dengan bagian kanan.”1
e. Memulai dengan berkumur dan menghirup air
ke hidung (istinsyaq)
Sebagaimana dalam hadis Utsman radhiyallahu ‘anhu
tentang kaifiyat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“….berkumur-kumur, istintsar, dan kemudian membasuh
wajahnya tiga kali…”2 jika berkumur dan istinsyaq dilakukan
setelah membasuh wajah, tidak apa-apa.
f. Bersungguh-sungguh (mubalaghah) dalam
berkumur-kumur dan istinsyaq bagi orang
yang tidak sedang berpuasa
Sebagaimana dalam hadis Laqith bin Shabrah radhiyallahu
‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya,
“Sempurnakanlah wudhu, sela-sela lah jari-jari, bersungguhsungguhlah
dalam istinsyaq, kecuali jika engkau sedang
berpuasa.”3 Bersungguh-sungguh dalam berkumur-kumur
terambil dari sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
“Sempurnakanlah wudhu.”
Guru kami Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata, “Mubalaghah
dalam berkumur-kumur maksudnya adalah menggerakgerakkan
air dengan kuat sehingga seluruh rongga mulut terkena
air. Adapun mubalaghah dalam istinsyaq artinya menghirup air
dengan nafas yang kuat.. mubalaghah dimakruhkan bagi orang
yang sedang berpuasa, karena ia bisa membuat air menjadi
tertelan, dan air dapat turun ke lambung.”4
1 Lihat: al Mughny: 1/120.
2 HR Bukhari: 199, Muslim: 226.
3 HR Ahmad: 17846, Abu Dawud: 142, Ibnu Hajar berkata, “Ini adalah hadis shahih.”
Al Ishabah: 9/15.
4 Lihat: al Mumti’: 1/171.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
41
Sabda beliau, “Sempurnakanlah wudhu.” Yang dimaksud
dengan isbaagh (menyempurnakan) disini adalah meratakan
seluruh air wudhu kepada setiap anggota wudhu sesuai
haknya. Ini adalah isbaagh yang wajib.
Adapun isbaagh yang sunnah adalah, yaitu mengerjakan
sunnah-sunnah wudhu. Isbaagh memiliki pahala yang besar,
apa lagi dalam kondisi berat, seperti dalam keadaan airnya
dingin pada musim dingin, sementara tidak ada lagi air
yang lain. Atau airnya panas pada musim panas, sementara
tidak ada lagi air yang lain. Jika seseorang menyempurnakan
wudhunya, maka hal itu akan mengangkat derajatnya dan
menghapus kesalahan-kesalahannya.
Hal ini ditunjukkan oleh hadis Abu Hurairah radhiy allahu
‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Tidakkah aku tunjukkan kepada kalian sesuatu yang Allah
tetapkan sebagai menghapus dosa dan pengangkat derajat?”
mereka berkata, “Iya, wahai Rasulullah.” beliau bersabda,
“Menyempurnakan (isbaagh) wudhu dalam keadaan berat,
memperbanyak langkah ke masjid, menunggu shalat setelah
shalat, itu adalah ribaath (kesiapsiagaan).”1
g. Berkumur dan istinsyaq dengan satu cidukan
tangan
Sebagaimana dalam hadis Abdullah bin Zaid radhiyallahu
‘anhu tentang kaifiyat wudhu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
ia berkata, “…beliau memasukkan tangannya (ke dalam bejana),
lalu mengeluarkannya, berkumur dan istinsyaq dari satu
cidukan tangan. Beliau melakukan hal itu sebanyak tiga kali.”2
Ibnul Qayyim berkata rahimahullah, “Tidak ada hadis
shahih yang menyebutkan pemisahan antara berkumur dan
1 HR Muslim: 251.
2 HR Bukhari: 192, Muslim: 235.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
42
istinsyaq…., dan beliau beristinsyaq (menghirup air dengan
hidung) menggunakan tangan kanannya, lalu beristintsar
(membuang air dari hidung) dengan tangan kirinya.”1
h. Tata cara yang disunnahkan dalam mengusap
kepala
Yaitu, mengusap dimulai dengan cara meletakkan kedua
tangan pada bagian depan kepala, kemudian keduanya
digerakkan ke belakang kepala, lalu dikembalikan lagi ke
depan. Wanita pun disunnahkan mengerjakan sunnah ini
dengan tata cara yang sama, ada pun rambut yang lebih dari
punuk wanita, ia tidak perlu diusap.
Sunnah ini ditunjukkan oleh hadis Abdullah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhu tentang kaifiyat wudhu Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam, disebutkan padanya, “Memulai dengan
bagian depan kepalanya, kemudian keduanya digerakkan ke
belakang, lalu dikembalikan ke tempat pertama.”2
i. Membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali
basuhan
Basuhan yang pertama hukumnya wajib, adapun yang
kedua dan ketiga hukumnya sunnah. Dan hendaknya tidak
lebih dari tiga kali.
Hal ini ditunjukkan oleh hadis yang valid dalam shahih
Bukhari rahimahullah dari hadis Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu,
“Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu satu kali
satu kali.”3
Valid juga pada Bukhari hadis dari Abdullah bin Zaid
radhiyallahu ‘anhu, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam
berwudhu dua kali dua kali.”4
1 Zadul Ma’ad: 1/192.
2 HR Bukhari: 185, Muslim: 235.
3 HR Bukhari: 157.
4 HR Bukhari: 158.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
43
Valid dalam Shahih Bukhari dan Muslim dari hadis
Utsman radhiyallahu ‘anhu, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi
wa sallam berwudhu tiga kali.”1 Oleh karena itu, yang lebih
utama memvariasikan bilangan basuhan, terkadang satu
kali, terkadang dua kali dan terkadang tiga kali tiga kali.
Terkadang juga berbeda-beda dalam jumlahnya. Misalnya,
membasuh wajah tiga kali, kedua tangan dua kali, kaki satu
kali. Sebagaimana dalam shahih Bukhari dan Muslim dari
hadis Abdullah bin Zaid radhiyallahu ‘anhu dalam riwayat
yang lain.2 Akan tetapi, biasanya beliau menyempurnakan
jumlah basuhan tiga kali tiga kali. Ini termasuk pentunjuk
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
j. Berdoa setelah wudhu
Dari Umar radhiyallahu ‘anhuia berkata, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah salah seorang
diantara kalian berwudhu dan menyempurnakan wudhunya,
kemudian mengucapkan, “Asyhadu an laa laaha illallaahu wa
anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluhu.” Akan dibukakan
untuknya pintu-pintu surga yang delapan, ia dapat masuk
dari pintu mana saja yang ia kehendaki.”3
Atau yang tercantum dalam hadis Abu Sa’id radhiyallahu
‘anhu secara marfu’, “Barangsiapa yang berwudhu, lalu ia selesai
dari wudhunya, kemudian mengucapkan, “Subhaanakallaahumma
wa bihamdika, asyhadu an laa ilaaha illaa anta, wa
astaghfiruka wa atuubu ilaika.” Allah akan menutup diatasnya
(bacaan itu) dengan penutup4, kemudian ia diangkat hingga
ke bawah Arsy, dan tidak dibuka hingga hari kiamat.”5 Ibnu
1 HR Bukhari: 159.
2 Zadul Ma’ad: 1/192.
3 HR Muslim: 234.
4 Thabi’ artinya penutup.
5 HR Nasa’i dalam ‘Amal Yaul wa Lailah, hal. 147, Hakim: 1/752.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
44
Hajar rahimahullah menshahihkan sanadnya1 dan menjelaskan
bahwa hadis tersebut tidak valid secara marfu’ (sampai kepada
Rasul), ia hanya mauquf (terhenti pada sahabat). Namun hal
itu tidak apa-apa, karena tetap hukumnya marfu’, karena tidak
ada celah dalam berpendapat dalam masalah ini.
Ketika berwudhu, hendaknya seorang muslim menyadari
bahwa ia sedang melaksanakan sebuah ibadah yang memiliki
tiga keutamaan besar. Wudhu akan mendatangkan cinta
Allah kepadanya, menjadi sebab diampuni dosa-dosanya dan
menjadikannya kelak pada hari kiamat dipakaikan perhiasanperhiasan
pada anggota-anggota wudhunya.
Allah berfirman,
ژ ۆ ۈ ۈ ٷ ۋ ۋژ
“Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat
dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.” (QS. Al
Baqarah: 222)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seorang hamba muslim –atau
mukmin- berwudhu, saat ia membasuh wajahnya, maka
akan keluar dari wajahnya setiap dosa yang ia lihat bersama
dengan air –atau tetesan air terakhir. Saat ia membasuh kedua
tangannya, maka akan keluar dari kedua tangannya setiap
dosa yang ia perbuat dengan kedua tangannya bersama dengan
air –atau bersama tetesan air terakhir. Saat ia membasuh kedua
kakinya, maka akan keluar setiap dosa yang dilangkahkan
oleh kakinya bersama air –atau bersama tetesan air terakhir,
hingga ia dalam keadaan bersih dari dosa-dosa.”2 Darinya
1 Nata`iju al Afkar: 1/246.
2 HR Muslim: 244.
Sunnah-Sunnah Yang Ditetapkan Waktunya
45
juga, ia berkata, “Aku mendengar kekasihku bersabda,
“Perhiasan seorang mukmin sesuai dengan air wudhu yang
sampai kepada anggota tubuhnya.”1
Bagian kedua
Melaksanakan shalat malam dan witir. Di dalamnya ada
sejumlah amalan yang termasuk petunjuk Nabi.
1. Disunnahkan untuk melaksanakan shalat
malam pada waktu yang utama
Jika ditanyakan, kapankah waktu utama untuk melaksanakan
shalat malam?
Jawabannya: diketahui bahwa waktu shalat witir dimulai
dari setelah shalat isya sampai terbit fajar. Dengan demikian,
waktu shalat witir adalah antara shalat isya dan shalat fajar.
Hal ini ditunjukkan oleh beberapa hadis:
a) Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam shalat diantara shalat isya hingga fajar 11
rakaat, beliau salam setiap 2 rakat dan shalat witir dengan
satu rakaat.”2 Muttafaq ‘alaih
b) Hadis Aisyah radhiyallahu ‘anha, “Setiap malam, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat witir, pada awal malam,
pertengahan dan pada akhirnya. Waktu shalat witirnya
berakhir pada waktu sahur.”3
c) Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, “Dan mereka sepakat
bahwa waktu shalat witir adalah antara shalat isya sampai
terbit fajar.”4