Hukum Mengambil Sebab (Kejadian)

Pertanyaan

Dikatakan bahwa mengambil sebab akan mengganggu kemurnian tauhid, sedangkan meninggalkan seluruh sebab yang ada dianggap bermasalah dalam hal syari’ahnya. Sebagai contoh, apakah seseorang menjadi kafir jika dia merasa terganggu oleh vonis dokter yang mengatakan: “Anda akan meninggal dunia satu bulan lagi; karena penyakit lepra ?, apakah mengambil sebab itu hukumnya wajib dalam syari’at ?”.

Teks Jawaban

Tema Terkait

Alhamdulillah.

Pertama:

Pendapat yang menyatakan bahwa bersandar kepada sebab akan mengganggu kemurnian bertauhid dan meninggalkan sebab secara keseluruhan dan melepaskannya akan merusak syari’at merupakan pendapat sejumlah para ulama yang disampaikan secara tekstual.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Yang sebaiknya diketahui diantaranya adalah apa yang telah disampaikan oleh sekelompok ulama, mereka berkata: “Menyandarkan (urusan) kepada sebab adalah bentuk kesyirikan dalam bertauhid, sedangkan menghapus sebab (sebuah perkara) merupakan ketidaksempurnaan akal, apalagi berpaling dari seluruh sebab akan merusak syari’at. Akan tetapi tawakkal (berserah diri) dan raja’ (berharap) adalah sebuah makna yang terbangun sebagai konsekuensi tauhid, akal dan syari’at”. (Majmu’ Fatawa: 8/169)

Adapun maksud dari “Bertumpu para sebab (kejadian) akan mengganggu (kemurnian) bertauhid” adalah bahwa menyandarkan urusan kepada sebabnya, meyakini bahwa sebab tersebut yang mempengaruhinya tanpa ada kaitannya dengan takdir dan kehendak Allah –Ta’ala-, inilah yang akan merusak tauhid; karena pada hakekatnya tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri mempengaruhi (kejadian) tanpa adanya kehendak Allah. Allah –Ta’ala- berfirman tentang para tukang sihir:

  وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللَّهِ  

البقرة/102

“ Dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun kecuali dengan izin Allah”. (QS. Al Baqarah: 102)

Adapun maksud dari ucapan: “Berpaling dari seluruh sebab kejadian akan merusak syari’at”, bahwa barang siapa yang tidak mengambil sebab terjadinya sesuatu sama sekali dan mengira bahwa yang demikian merupakan bentuk kesempurnaan tawakkal dan bersandar kepada Allah, maka hal inilah yang merusak syari’at; karena Allah –Ta’ala- telah mensyari’atkan untuk mengambil sebab (dari terjadinya sesuatu), Dia juga telah memerintahkan kepada kita akan hal itu pada banyak tempat. Bahkan masuk surga tidak pernah terjadi kecuali dengan adanya sebab sebelumnya; yaitu dengan iman dan amal sholeh, maka barang siapa yang berpaling dari sebab (terjadinya sesuatu), maka bisa dipastikan bahwa dia tidak akan berkomitmen pada syari’at dan hukum-hukumnya. Seorang mukmin itu dituntut untuk merealisasikan tauhid dengan meyakini bahwa semua urusan ada di tangan Allah dan melaksanakan syari’at-Nya, dengan cara mengambil sebab yang telah diperintahkan oleh syari’at.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Dan ahlus sunnah tidak mengingkari adanya ciptaan Allah yang berupa sebab-sebab (kejadian sesuatu) dan tidak menjadikannya terpisah dari dampak  atau akibat yang terjadi setelahnya, bahkan mereka mengetahui bahwa tidak ada satu sebab sebagai makhluk kecuali hukumnya berkaitan dengan sebab lainnya, dan memiliki penghalang yang mencegah hukumnya, sebagaimana matahari misalnya, ia menjadi sebab munculnya sinar matahari, dan hal itu berkaitan dengan fisik yang mampu menerima sinar matahari tersebut dan ada pula penghalangnya seperti awan dan atap bangunan. Allah-lah Yang Menciptakan semua sebab yang ada dan yang Menghalau penghalang”. (Dar’u Ta’arudhi Al ‘Aqli wan Naqli: 9/29)

Untuk wawasan lebih luas berkaitan sebab-sebab (terjadinya sesuatu) dan rambu-rambu pengambilannya bisa dibaca pada fatwa no: 118262 dan 213652.

Berdasarkan semua fakta di atas, seorang yang sedang sakit keras misalnya, jika dikabari oleh dokternya bahwa ajalnya sudah dekat, maka dia akan merasa terpukul.

Seorang dokter dan paseinnya memahami sebab kematian ini dari dua sisi:

Sisi Pertama:

Keduanya harus yakin bahwa mati dan hidup, sakit dan sehat, (rizki) ditahan atau diberikan, semua itu berada di tangan Allah Yang Maha Esa semata, dan bahwa penyakit ini atau yang lainnya hanya sebatas menjadi sebab, yang terkadang menyebabkan akibatnya terjadi, sebagaimana biasanya atau banyak terjadi, namun terkadang juga tidak terjadi akibat dari penyebab tersebut, sehingga tidak menyebabkan kematian, hal ini juga banyak terjadi, maka ajal pada hakekatnya tidak diketahui kecuali oleh Allah –Ta’ala-.

Dengan keyakinan kepada takdir Allah –‘Azza wa Jalla-, maka seorang dokter dan pasiennya melihat bahwa jika semua panca indra, analisa, dan dengan pengalaman telah menjelaskan bahwa sunnatullah pada penyakit ini termasuk penyakit yang berbahaya yang banyak menyebabkan kematian, maka (baik dokter atau pasien) lihatlah tanda-tanda tersebut dan ambillah penilaian rata-rata namun tidak boleh memastikan disertai keyakinan bahwa kondisi seperti itu berada di bawah kehendak Allah –Ta’ala -, hal yang demikian ini tidak bisa dianggap merusak tauhid dokter dan pasien tersebut dan tidak membahyakan bagi keduanya in sya Allah.

Sisi Kedua:

Keduanya melupakan kehendak Allah –Ta’ala- dan mereka meyakini bahwa penyakit itu berdiri sendiri tidak mengakibatkan apa-apa, mereka juga tidak melihat ketentuan dan kehendak-Nya, maka yang demikian inilah yang dimaksud dengan mengambil sebab tapi akan merusak kemurnian tauhid.

Kedua:

Adapun kewajiban untuk mengambil sebab, jika secara global maka iya wajib hukumnya, dan tidak diperbolehkan untuk meninggalkan sebab secara keseluruhan, ada banyak nash-nash Al Qur’an dan Sunnah yang memerintahkan untuk mengambil sebab yang telah disyari’atkan, barang siapa yang berpaling dari hal tersebut secara umum, maka ia dianggap menyelisihi syari’at.

Adapun jika berkaitan dengan sebab tertentu, apakah diwajibkan untuk mengambilnya atau tidak diwajibkan, dalam masalah ini hukumnya berbeda sesuai dengan menguatnya dampak dari sebab tersebut atau melemahnya, dan disesuaikan juga dengan realisasi kemaslahatan atau tidaknya. Sebagai contoh: Makan dan minum keduanya telah Allah jadikan sebagai sebab untuk menjaga diri dari kematian yang disebabkan oleh kelaparan dan kehausan, maka mengambil sebab tersebut hukumnya wajib, termasuk orang yang sedang terpaksa untuk memakan bangkai maka wajib baginya untuk memakannya. Jika dia tidak mau makan sampai meninggal dunia karena kelaparan, maka dia meninggal dunia dalam kondisi bermaksiat.

Contoh lain:

Orang yang sakit mengkonsumsi obat. Obat-obatan itu tidak selalu mempunyai pengaruh yang kuat, bahkan meskipun mempunyai pengaruh yang kuat namun kadang-kadang tidak mewujudkan kemaslahatan yang pasti, bahkan kadang-kadang hanya mencegah sebagian penyakit atau yang serupa. Maka dalam kondisi seperti ini tidak menjadi sebab yang wajib diambil, bahkan bisa jadi hanya mubah atau sunnah saja.

Namun terkadang sebuah sebab kuat pengaruhnya, diharapkan manfaatnya, akan tetapi kesabaran bagi pelakunya lebih baik dari pada mengambilnya. Di antara dalil yang terkenal dalam masalah ini adalah:

عن عَطَاءُ بْنُ أَبِي رَبَاحٍ ، قَالَ : قَالَ لِي ابْنُ عَبَّاسٍ : " أَلاَ أُرِيكَ امْرَأَةً مِنْ أَهْلِ الجَنَّةِ ؟ قُلْتُ: بَلَى . قَالَ : هَذِهِ المَرْأَةُ السَّوْدَاءُ ، أَتَتِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَتْ : إِنِّي أُصْرَعُ ، وَإِنِّي أَتَكَشَّفُ ، فَادْعُ اللَّهَ لِي . قَالَ : ( إِنْ شِئْتِ صَبَرْتِ وَلَكِ الجَنَّةُ ، وَإِنْ شِئْتِ دَعَوْتُ اللَّهَ أَنْ يُعَافِيَكِ ) ، فَقَالَتْ : أَصْبِرُ ، فَقَالَتْ : إِنِّي أَتَكَشَّفُ ، فَادْعُ اللَّهَ لِي أَنْ لاَ أَتَكَشَّفَ ، فَدَعَا لَهَا 

رواه البخاري (5652) ، ومسلم (2576) .

Dari Atha’ bin Rabah berkata: “Ibnu Abbas berkata kepadaku: “Maukah kamu saya perlihatkan seorang wanita penghuni surga ?”, saya menjawab: “Ya”. Ia berkata: “Ini ada seorang wanita yang berkulit hitam telah mendatangi Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-  dan berkata: “Sungguh aku sering kesurupan, dan sungguh aku sering tersingkap aurat, maka berdoalah kepada Allah untukku”. Beliau bersabda: “Jika kamu mau untuk bersabar maka bagimu surga, dan jika kamu mau aku akan mendoakanmu agar Allah berkenan untuk menyembuhkan (penyakitmu)”. Ia berkata: “Saya akan bersabar”. Lalu ia berkata lagi: “Tetapi aku sering terbuka aurat, maka berdoalah kepada Allah agar aku tidak tersingkap aurat", lalu Nabi mendoakannya." (HR. Bukhori: 5652 dan Muslim: 2576)

Wanita ini telah memilih untuk bersabar dengan penyakitnya dan Rasulullah telah menjanjikan kepadanya surga.

Namun terkadang diwajibkan untuk berobat pada kondisi tertentu, jika bisa dipastikan kalau tidak berobat akan menyebabkan kematian atau rusaknya salah satu anggota tubuh.

Sebagaimana yang kita ketahui pada era kita ini, bahwa penyakit usus buntu jika dibiarkan sampai pecah akan menjadi penyebab kematiannya. Dan jika dipotong, maka pengobatan ini menjadi sebab keselamatannya, maka dalam kondisi demikian ia wajib untuk berobat.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Banyak orang berbeda pendapat terkait dengan pengobatan, apakah hukumnya mubah, sunnah atau wajib ?, kepastiannya adalah ada yang haram, ada yang makruh, ada yang mubah dan ada yang wajib jika diketahui dengannya akan memperpanjang hidup tidak dengan yang lainnya, seperti halnya diwajibkan untuk memakan bangkai dalam kondisi terpaksa menurut para imam empat madzhab dan jumhur ulama. Masruq berkata: “Barang siapa yang terpaksa untuk memakan bangkai, namun ia tidak mau memakannya sampai meninggal dunia, maka dia akan masuk neraka. Namun terkadang juga terjadi bagi seseorang yang sudah sakit parah dan jika tidak berobat dengannya akan mati, dengan pengobatan biasa dia akan tetap mampu mempertahankan hidupnya, seperti; infus bagi yang kondisi fisiknya lemah, atau terkadang dengan cara mengeluarkan darahnya”. (Majmu’ Fatawa: 12/18)

Syeikh Muhammad bin Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Berobat itu dibagi beberapa bagian: Jika perkiraan besarnya bahwa obat itu akan bermanfaat dengan kemungkinan kalau tidak minum akan meninggal dunia, maka berobat hukumnya wajib. Namun jika besar perkiraannya bahwa obat tersebut bermanfaat tapi tidak membahayakan nyawa jika tidak meminumnya, maka berobat dalam kondisi seperti ini lebih utama. Jika kemungkinannya –antara meminum obat atau tidak meminumnya- sama saja, maka tidak berobat lebih utama”. (Majmu’ Fata wa Syeikh Utsaimin: 17/13)

< PREVIOUS NEXT >