
Meraih Keutamaan Ramadhan dengan banyak
Beramal Shalih
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta
salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi
wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Berpuasa itu tidak hanya sekedar menahan makan dan minum.
Sering kita mendengar nasihat-nasihat seperti itu, terkhusus di
bulan suci Ramadhan, bulan penuh limpahan barakah yang tidak
lama lagi akan tiba. Sebuah nasihat yang ringan untuk diucapkan,
namun sangat berat untuk diamalkan. Demikianlah, sebuah
amalan yang akan mengantarkan seorang mukmin meraih
predikat takwa ini, tidak cukup dilakukan hanya dengan asal tidak
makan dan tidak minum saja, tanpa memperhatikan adab dan
etika puasa yang telah dituntunkan syari’at yang agung ini.
Begitu besar pahala yang Allah Subhanahu wa Ta’ala janjikan
untuk hamba-Nya yang berpuasa, juga menjadikan puasa itu
sendiri sebagai benteng dari api neraka, sangat berat untuk
ditunaikan dengan sempurna jika tidak mengikuti rambu-rambu
syar’i yang telah digariskan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan
Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan karena iman dan
mengharap pahala dari Allah, maka akan diampuni dosa-dosanya
yang telah lalu.” (Muttafaqun ‘alaihi)
3
Inilah rambu pertama yang harus dilalui, seorang muslim
hendaknya membangun ibadah puasanya di atas pondasi iman
yang benar dan niat yang ikhlas untuk mendapatkan pahala dan
keutamaan dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, bukan karena ingin
dipuji atau sekedar ikut-ikutan tetangganya yang sedang
berpuasa. Termasuk berpuasa dengan niat untuk menjaga
kesehatan, atau menjaga berat badan supaya tetap ideal, ini
semua merupakan niatan yang hendaknya dibuang jauh-jauh.
Rambu berikutnya yang mesti dilalui adalah sebagaimana yang
diisyaratkan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam
sabdanya:
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta,
beramal dengannya, dan tindakan bodoh, maka Allah tidak
membutuhkan usaha dia dalam meninggalkan makan dan
minumnya.” (HR. Al-Bukhari)
Maksud dari hadits ini adalah jika seorang yang berpuasa tidak
bisa menjaga lisan dan anggota badannya dari ucapan dan
perbuatan yang haram, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak
akan memberikan pahala atas puasanya, meskipun selama sehari
penuh dia menahan lapar dan dahaga.
Walaupun setiap hari dia juga banyak melakukan shadaqah dan
membaca Al-Qur’an, namun dia tidak menjauhkan diri dari
perkataan kotor dan perbuatan keji, maka puasa yang dia lakukan
tidak akan bernilai di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Sehingga upaya untuk memperbanyak amal kebajikan harus
berjalan beriringan dengan upaya untuk membersihkan diri dari
segala bentuk kemungkaran. Tidak bisa dipisahkan antara
keduanya.
4
Puasa Ramadhan Mengantarkan kepada Al-Jannah
Suatu ketika, ada seseorang yang datang kepada Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam dan bertanya, “Wahai Rasulullah, tunjukkan
kepadaku suatu amalan yang jika aku kerjakan, aku akan masuk
al-Jannah (Surga).”
Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya,
engkau menegakkan shalat fardhu, menunaikan zakat yang
wajib, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Muslim)
Dari hadits di atas, nampak bahwa ibadah puasa Ramadhan yang
akan mengantarkan pelakunya kepada pintu al-jannah adalah
manakala amalan puasanya tersebut juga diiringi dengan:
1. Beribadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dak
menyekutukan-Nya (tidak berbuat syirik).
2. Menegakkan shalat fardhu lima waktu.
3. Menunaikan zakat, baik zakat mal (harta) maupun zakat fitrah.
Di samping memaksimalkan nilai ibadah puasa dengan
memperbanyak amal shalih dan meninggalkan kemungkaran,
seorang muslim hendaknya juga menjalankan beberapa ketaatan
sebagaimana yang disebutkan dalam hadits di atas. Dan inilah
sesungguhnya amal shalih yang paling besar karena amalan
amalan tersebut termasuk rukun Islam. Puasa Ramadhan tidaklah
bermanfaat kalau satu saja dari amalan-amalan ketaatan tersebut
ditinggalkan.
5
Termasuk puasa Ramadhan yang bisa mengantarkan ke dalam al
Jannah adalah ketika puasanya itu juga diiringi iman kepada Allah
Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
dengan realisasi (pengamalan) yang tepat.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga bersabda:
)
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya,
menegakkan shalat, dan berpuasa Ramadhan, maka wajib bagi
Allah untuk memasukkannya ke dalam al-Jannah.” (HR. Al
Bukhari)
Inti dari pengamalan iman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
adalah dengan mentauhidkan-Nya, dan inti dari pengamalan iman
kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah dengan
berpegang teguh dengan sunnahnya, menaatinya, dan
menjadikan beliau sebagai teladan dalam seluruh aspek
kehidupannya, baik dalam hal ibadah, muamalah, akidah
(keyakinan), maupun akhlak.
Ramadhan Bukanlah Momen untuk “Beristirahat” dari Maksiat
Sebagian orang menjadikan bulan Ramadhan ini sebagai momen
untuk “beristirahat” dari berbagai maksiat yang biasa dia lakukan
di luar bulan Ramadhan. Namun, ternyata di benaknya masih ada
niatan untuk mengulangi lagi kebiasaan jelek tersebut selepas
Ramadhan. Bagaimana orang yang seperti ini keadaannya?
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah menjelaskan, “Orang
yang meninggalkan maksiat pada bulan Ramadhan, dan di antara
niatnya adalah akan mengulanginya lagi pada selain bulan
6
Ramadhan, maka dia termasuk orang yang terus-menerus
(berbuat maksiat itu) juga.” (Majmu’ Fatawa)
Yang demikian itu disebabkan karena di antara syarat taubat
adalah meninggalkan perbuatan maksiat dan bertekad untuk
tidak mengulanginya lagi. Sehingga apabila seseorang telah
meninggalkan suatu perbuatan maksiat, namun masih ada
padanya keinginan dan tekad untuk mengulanginya lagi, maka dia
belum dikatakan orang yang jujur dan sungguh-sungguh dalam
taubatnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutkan beberapa sifat orang
yang bertakwa dalam surat Ali ‘Imran ayat 133-136, di antaranya
adalah:
“Dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji
atau menganiaya diri sendiri, mereka ingat akan Allah, lalu
memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa lagi yang
dapat mengampuni dosa selain Allah? dan mereka tidak
meneruskan perbuatan kejinya itu, sedang mereka mengetahui.”
(Ali ‘Imran: 135).
Sehingga tidak sepantasnya bagi seorang muslim untuk
“meliburkan diri” dari kemaksiatan pada bulan Ramadhan,
sementara di hatinya masih ada keinginan untuk mengulanginya
lagi pasca bulan suci tersebut. Ramadhan bukan momen untuk
“beristirahat” dari maksiat, akan tetapi bersegeralah untuk
bertaubat dan hentikan segala bentuk kemaksiatan mulai saat ini
dan seterusnya serta bertekad untuk tidak mengulangi lagi.
7
Hadits-hadits Lemah dan Palsu yang Sering Disebut di Bulan
Ramadhan
Sangat banyak hadits yang menyebutkan keutamaan bulan
Ramadhan dan puasa pada bulan itu. Namun, tidak sedikit dari
hadits-hadits tersebut dha’if (lemah), yang tidak bisa dijadikan
sandaran (dalil) dalam syari’at ini, atau bahkan maudhu’ (palsu),
yang tidak pernah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam.
Yang sangat disayangkan adalah ternyata hadits-hadits yang
lemah dan palsu tersebut sudah menyebar dan dikenal di tengah
tengah masyarakat muslimin, yang mereka yakini itu adalah
hadits shahih yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam. Padahal, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam telah
memperingatkan umatnya dari perbuatan berdusta atas nama
beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, yakni menisbatkan suatu
perkataan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam,
padahal beliau tidak pernah mengatakannya. Beliau Shallallahu
‘alaihi wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang mengatakan atas namaku, apa-apa yang
tidak pernah aku katakan, maka hendaknya dia menyiapkan
tempat duduknya di neraka.” (HR. al-Bukhari)
Walaupun sebuah kalimat tampak indah bahasanya dan baik
kandungannya, namun kalau itu bukan sabda Nabi Shallallahu
‘alaihi wa Sallam, maka sekali-kali kita tidak boleh menyandarkan
ucapan dan kalimat tersebut kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa
Sallam.
Al-Imam Abul Hajjaj Al-Mizzi rahimahullah (w. 742 H, salah
seorang guru Al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah) mengatakan:
“Setiap yang disabdakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam
adalah baik, namun tidak setiap perkataan yang baik itu
merupakan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.”
(Lisanul Mizan, karya Ibnu Hajar rahimahullah)
Oleh sebab itulah, pada lembar buletin ini, kami akan
menyebutkan sebagian dari sekian banyak hadits dha’if dan
maudhu’ (palsu) yang sering disebut pada bulan Ramadhan. Kami
angkat hal ini sebagai bentuk nasihat kepada kaum muslimin, agar
mereka bisa membedakan mana yang memang benar-benar
merupakan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan mana
yang bukan, sehingga kemurnian hadits-hadits dan sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tetap terjaga. Di antara
hadits-hadits tersebut adalah:
HADITS PERTAMA
“Kalau seandainya hamba-hamba itu tahu (keutamaan) yang ada
pada bulan Ramadhan, maka niscaya umatku ini akan berangan
angan bahwa satu tahun itu adalah bulan Ramadhan
seluruhnya.” [hadits maudhu’(palsu)]
Hadits tersebut di atas adalah hadits maudhu’(palsu), (Lihat dalam
kitab: Al La`ali al Mashnu’ah fi al Ahaditsi al Maudhu’ah: 2/84, al
Fawa`id al Majmu’ah fi al Ahaditsi al Maudhu’ah: 1/88, Al
Maudhu’at Li ibni al Jauzi: 2/189).
Sebabnya adalah adanya seorang perawi yang bernama Jarir bin
Ayyub, dia ini adalah seorang perawi yang sangat lemah(dha’if
jiddan) dan dia meriwayatkan hadits tersebut sendirian tanpa ada
10
yang menyertainya. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Al Hafizh
Ibnu Hajar dalam kitab beliau Al Mathalib: 1/274.
“Berpuasalah, niscaya kalian akan sehat.” (hadits dha’if/lemah)
Hadits ini juga tidak bisa dijadikan dalil/dasar karena terdapat
kelemahan di dalamnya. (Lihat Tadzkiratul Maudhu’at, hal: 70, Al
Maudhu’at lish Shaghani, hal: 72, dan Al Mughni ‘an Hamli al
Asfar: 2/754).
Sebab lemahnya hadits tersebut adalah adanya seorang perawi
yang bernama Zuhair bin Muhammad bin Abi Shalih. Jika yang
meriwayatkan hadits dari dia orang-orang Syam maka haditsnya
lemah, dan salah satunya hadits ini. (Lihat Silsilah Al Ahaditsi Adh
Dha’ifah: 1/420)
HADITS KETIGA
“Awal bulan Ramadhan adalah rahmat, pertengahannya adalah
ampunan, dan akhirnya adalah pembebasan dari api neraka.”
[hadits dha’if-( lemah)]
Hadits tersebut lemah karena ada perawi yang bernama Sallaam
bin Sawwaar dan Maslamah bin Ash Shallat, berkata Ibnu ‘Adi
tentang Sallaam, ”Dia menurutku haditsnya mungkar, dan
Maslamah tidak dikenal.” Abu Hatim mengatakan tentang
Maslamah, “Haditsnya matruk (ditinggalkan). (Lihat Silsilah Al
Ahaditsi Adh-Dha’ifah: 4/70).
Wallahu a’lamu bish shawab.
Sumber: Bule n Islam Al Ilmu Edisi No: 34/VIII/IX/1432