Artikel

 


MENUJU KEMENANGAN DAN KEJAYAAN 


KAUM MUSLIMIN 


Nasehat Emas  


Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani 


Asy-Syaikh Abdul Aziz Bin Abdullah bin Baz Rahimahumallah 


Asy-Syaikh Al-‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al-Albani 


dalam risalahnya Fiqhul Waqi’ hal 48-50 menjelaskan : 


“Sesungguhnya sebab mendasar kehinaan kaum muslimin ialah : 


a. Kebodohan mereka tentang syari’at Islam yang Allah turunkan 


kepada hati Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . 


b. Mayoritas kaum muslimin telah mengetahui hukum-hukum Islam 


dalam sebagian urusan mereka, namun mereka tidak mau 


mengamalkan 


Dengan demikian, kunci kembalinya kemuliaan Islam ialah dengan 


mempraktekkan ilmu yang bermanfaat dan mengerjakan amal shalih. 


Ini adalah masalah besar yang tidak mungkin dicapai oleh kaum 


muslimin melainkan dengan menerapkan manhaj At-Tashfiyyah 


(pembersihan) dan At-Tarbiyyah (pendidikan). Dua hal ini adalah dua 


kewajiban yang sangat penting dan sangat agung kedudukannya. 


Yang saya maksud dengan At-Tashfiyyah adalah beberapa perkara : 


1. Membersihkan aqidah Islamiyyah dari perkara yang menyimpang, 


seperti kesyirikan, menolak sifat-sifat Allah, menta’wilkan sifat-sifat 


Allah, menolak hadits-hadits shahih yang berhubungan dengan 


masalah aqidah, dan yang lainnya. 


2. Membersihkan fiqih islam dari ijtihad-ijtihad keliru yang menyalahi 


Al-Qur’an dan As-Sunnah dan membebaskan akal dari belenggu


belenggu taqlid dan kegelapan ta’asshub. 





 3. Membersihkan kitab-kitab tafsir, fiqih, raqa’iq, dan yang laiinya 


dari hadits-hadits dha’if (lemah), maudhu’ (palsu), riwayat-riwayat 


isra`iliyyat, dan munkar. 


Adapun yang saya maksud dengan At-Tarbiyyah ialah mendidik 


generasi yang tumbuh dengan Islam yang telah dimurnikan dari 


penyimpangan-penyimpangan di atas. Mendidik mereka dengan 


pendidkan Islam yang benar sejak dini dan tidak terpengaruh 


sedikitpun dengan sistem pendidikan ala barat yang kafir.” 


Di tempat lain, Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah juga menjelaskan 


bahwa satu-satunya jalan untuk melepaskan muslimin dari kehinaan 


dan kemundurannya sekarang ini adalah dengan kembali kepada Ad


Dien, yang caranya adalah dengan menerapkan manhaj At-Tashfiyyah 


dan At-Tarbiyyah. Beliau mengatakan : “Agar kita dapat memberikan 


dalil yang menunjukkan benarnya pendapat yang kita pegangi dalam 


manhaj ini, kita kembali kepada Al-Qur’an. Di dalamnya ada satu 


ayat yang menunjukkan kesalahan orang-orang yang menyelisihi kita 


pada perkara yang sudah kita yakini dan kita pastikan dengannya, 


yaitu bahwa Al-Bidayah (langkah pertama untuk kembali kepada 


dien) adalah dengan melakukan At-Tashfiyyah kemudian berikutnya 


At-Tarbiyyah, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 


       


Jika kalian menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong kalian 


dan mengokohkan kedudukan kalian. [Muhammad : 7] 


Inilah ayat yang dimaksud. Di sini para mufassirin telah sepakat : 


bahwa makna nashrullah (pertolongan Allah) adalah menerapkan 


hukum-hukum Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk di antaranya 


adalah beriman dengan hal-hal ghaib yang Allah jadikan syarat 


pertama bagi kaum mukminin (dengan firmannya) : 





Yaitu orang-orang yang beriman terhadap yang ghaib dan menegakkan 


shalat. [Al Baqarah : 3]. 


Maka, apabila pertolongan Allah tidak turun kecuali dengan cara 


menegakkan hukum-hukum-Nya, maka bagaimana kita dapat masuk 


ke dalam jihad ‘amali (yakni perang di medan tempur yang kita 


berharap pertolongan Allah turun padanya) sedangkan kita tidak 


menolong Allah sesuai dengan yang telah disepakati oleh mufassirin? 


Bagaimana kita bisa mendapatkan pertolongan Allah dalam berjihad 


sedang aqidah kita rusak? Bagaimana kita bisa mendapatkan 


pertolongan dalam berjihad sedang akhlak kita bejat? Jadi, sebelum 


berjihad harus membenarkan aqidah dan mendidik diri. 


Sungguh aku tahu bahwa manhaj kita dalam melakukan At


Tashfiyyah dan At-Tarbiyyah tidak terlepas dari pertentangan. Di 


sana ada yang mengatakan : ‘Sesungguhnya perkara At-Tashfiyyah 


dan At-Tarbiyyah adalah perkara yang membutuhkan masa yang 


panjang!‘ Akan tetapi aku katakan bukan itu yang penting dalam 


perkara ini. Yang penting bahwa kita memulai dengan mengenal 


agama kita dan setelah itu, tidak menjadi masalah apakah jalannya 


akan panjang (lama) atau pendek (sebentar).[1]) Sesungguhnya 


perkataanku ini aku tujukan kepada para da’i muslimin, para ‘ulama, 


dan para pembimbing umat. Aku mengajak mereka agar mereka 


berjalan di atas ilmu yang sempurna tentang Islam yang shahih dan 


agar mereka dapat memerangi berbagai macam kelalaian dan 


kelengahan serta berbagai perselisihan dan pertentangan. Allah 


Subhanahu wa Ta’ala berfirman : 





 dan janganlah kalian berselisih sehingga menyebabkan kalian menjadi 


lemah dan hilang kekuatan kalian [An Anfal : 46] 


Apabila kita telah menghilangkan perselisihan dan kelalaian ini, dan 


kita telah menempati Shahwah Islamiyah (kebangkitan Islam) yang 


bersatu dan bersepakat, berarti kita mulai mengarah untuk 


merealisasikan kekuatan materi. Allah Subhanahu wa Ta’ala 


berfirman : 


                


Dan persiapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja 


yangkamu sanggupi dar kuda-kuda yang ditambatkan untuk 


berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh 


Allah dan musuhmu [Al Anfal : 60] 


Merealisasikan kekuatan materi adalah suatu perkara yang harus 


dilaksanakan, misalnya dengan harus membangun pabrik-pabrik 


senjata dan yang lainnya. Tetapi, sebelum itu semua haruslah 


kembali kepada ad-Dien yang benar sebagaimana yang ditempuh dan 


dijalani oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan para 


shahabatnya Radhiallahu ‘Anhum, baik dalam masalah aqidah, 


ibadah, suluk (akhlaq), dan dalam seluruh perkara yang berkaitan 


dengan syariat. 


Oleh karena itu, aku ulangi kembali perkataanku : Tidak ada jalan 


untuk terlepas dari kenyataan yang menyedihkan yang menimpa 


umat ini melainkan (dengan cara kembali) kepada Al-Kitab dan As


Sunnah, dan menerapkan At-Tashfiyyah dan At-Tarbiyyah dalam 


rangka kembali kepada dua dasar tersebut. Untuk itu kita dituntut 


untuk mengetahui ilmu hadits yang dengannya kita bisa 


membedakan antara hadits yang shahih dan hadits yang dhaif, agar 


kita tidak menentukan hukum-hukum (agama) dengan cara yang 


 7


 salah, sebagaimana yang telah terjadi di kalangan muslimin akibat 


terlalu banyaknya mereka berpegang kepada hadits dha’if…” [2]) 


Asy Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin ‘Abdullah bin Baz Rahimahullah 


menerangkan : 


“Jika kaum muslimin jujur dan mau serius serta bersungguh


sungguh dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi musuh


musuhnya, dengan mengerahkan semua potensi dan kemampuan 


yang dimiliki berupa persiapan fisik dan menolong agama Allah, 


niscaya Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolong mereka. Allah 


jadikan mereka kuat di hadapan musuh dan mampu mengalahkan 


mereka serta tidak hina di bawah mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala 


Yang Maha benar perkataan dan janji-janji-Nya telah berfirman : 


       


Jika kalian menolong (agama) Allah, maka Allah akan menolong kalian 


dan mengokohkan kedudukan kalian. [Muhammad : 7] 


Allah tidak lemah serta tidak butuh kepada manusia. Tapi Dia 


menguji hamba-hamba-Nya yang baik dengan hamba-hamba-Nya 


yang jelek agar terlihat kejujuran orang-orang yang jujur dan 


kedustaan para pendusta. Agar terlihat mana yang benar-benar 


sebagai mujahid dan mana yang bukan, siapa yang berharap selamat 


dari adzab dan siapa yang tidak. Sebenarnya Allah, Dia Maha mampu 


untuk menolong wali-wali-Nya dan menghancurkan musuh-musuh


Nya tanpa peperangan, tanpa jihad, dan tanpa yang lainnya. 


Sebagaimana Allah telah berfirman : 


           


 8


 Demikianlah, apabila Allah menghendaki niscaya Allah akan 


membinasakan mereka tetapi Allah hendak menguji sebagian kalian 


dengan sebagian yang lain. [Muhammad : 4] 


Allah berfirman di Surat Al Anfal tentang kisah Perang Badr : 


        


Dan Allah tidaklah menjadikannya kecuali sebagai kabar gembira dan 


agar hati kalian menjadi tentram. [Al Anfal : 10] 


yakni pengiriman bala bantuan dari-Nya berupa bala tentara 


malaikat 


           


Tidaklah pertolongan itu kecuali hanya dari sisi Allah, sesungguhnya 


Allah itu Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. [Al Anfal : 10] 


Allah juga berfirman dalam surat Ali ‘Imran : 


                   


Dan Allah tidaklah menjadikannya (yakni pengiriman bala bantuan 


dari-Nya berupa bala tentara malaikat) kecuali sebagai kabar gembira 


bagi kalian dan agar hati kalian tenang dengannya. Dan tidaklah 


pertolongan itu kecuali hanya dari sisi Allah, sesungguhnya Allah itu 


Maha Perkasa dan Maha Bijaksana. [Ali ‘Imran : 126] 


Maka pertolongan itu hanya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala saja. 


Tapi Allah (mengirimkankannya dalam bentuk) bantuan bala tentara 


malaikat. dan juga kekuatan yang Allah berikan dalam bentuk 


 9


 senjata, materi, dan pasukan yang besar. Semuanya itu merupakan 


sebab-sebab (datangnya) pertolongan serta kabar gembira dan 


ketenangan hati. Sementara pertolongan Allah tidak terkait dengan 


itu semua. Allah berfirman : 


            


Berapa banyak pasukan kecil bisa mengalahkan pasukan besar 


dengan izin Allah. Dan Allah bersama orang-orang yang sabar. [Al 


Baqarah : 249] 


Kita perlu ingat bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam 


dan para shahabatnya, dulu dalam Pertempuran Badr jumlah mereka 


hanya sekitar 310 orang saja. Persenjataan minim, kendaraan hanya 


70 ekor onta, mereka saling bergantian dalam mengendarainya. Tidak 


ada kuda kecuali hanya 2 ekor saja. Adapun pasukan kafir ketika itu 


berjumlah sekitar 1000 personil! Dilengkapi dengan kekuatan yang 


besar dan persenjataan yang banyak. Namun ketika Allah 


menghendaki mereka (kaum kafir) hancur, maka Allah hancurkan 


mereka. Kekuatan dan pasukan dalam jumlah besar itu tidak ada 


gunanya lagi. Allah hancurkan ribuan orang (kuffar) dan kekuatan 


yang besar itu dengan 3000 malaikat dan 310 pasukan dengan 


kekuatan yang sangat lemah. Namun dengan kemudahan, 


pertolongan, dan bantuan Allah kaum muslimin berhasil menang dan 


berhasil menawan 70 kuffar serta membunuh 70 kuffar, serta 


berhasil memukul mundur sisanya. Semuanya itu merupakan tanda 


kekuasan dan kebesaran Allah Subhanahu wa Ta’ala dan itu 


merupakan pertolongan-Nya. 


Demikian juga dalam pertempuran Ahzab. Tentara kuffar memerangi 


Kota Madinah dengan kekuatan 10.000 personil yang merupakan 


gabungan segenap qabilah ‘arab ketika itu, yaitu Quraisy dan yang 


lainnya. Mereka mengepung kota Madinah. Rasullullah Shalallahu 


‘Alaihi Wasallam dan para shahabatnya menghadapi mereka dengan 


strategi khandaq (membuat parit sepanjang perbatasan Kota 


Madinah, sehingga menghalangi tentara kuffar untuk masuk, pent). 


Itu merupakan sebab datangnya pertolongan Allah yang hissi 


(tampak). Sementara tentara kuffar terus mengepung Kota Madinah 


sampai beberapa waktu lamanya. Kemudian Allah porak-porandakan 


barisan mereka tanpa melalui peperangan! Allah masukan ke hati 


mereka ru’b (perasaan takut dan gentar) dan Allah kirimkan angin 


dan tentara dari sisi-Nya (untuk mengacaukan dan menghancurkan 


mereka), sehingga mereka tidak bisa tenang, akhirnya mereka 


memutuskan untuk menghentikan pengepungan dan kembali ke 


daerah masing-masing dengan penuh ketakutan. Ini semua 


merupakan pertolongan dan bantuan dari Allah Subhanahu wa 


Ta’ala. Maka kekuatan kuffar melemah dan mereka tidak jadi 


memerangi Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan para 


shahabat di Madinah. Bahkan sebaliknya Rasulullah Shalallahu 


‘Alaihi Wasallam balik memerangi mereka pada hari Hudaibiyyah. 


Yaitu melalui Perjanjian Hudaibiyyah, di mana terjadi kesepakatan 


gencatan senjata ketika itu. (Ini merupakan bentuk kemenangan 


Rasululullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam atas kuffar). Kemudian 


Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memerangi kuffar tersebut 


secara fisik pada Ramadhan tahun 8 H dan Allah jadikan beliau 


Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berhasil merebut kota Makkah. Yang 


akhirnya setelah itu manusia masuk Islam secara berbondong


bondong. 


Jadi An-Nashr (pertolongan) itu di tangan Allah Subhanahu wa 


Ta’ala. Dialah yang menolong hamba-hamba-Nya (mukminin). Namun 


Allah juga memerintahkan mereka untuk melakukan sebab-sebab 


yang bisa mendatangkan pertolongan-Nya tersebut. Sebab 


terbesarnya adalah ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya. Di antara 


bentuk ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya adalah tafaqquh dan 


mempelajari agama-Nya, sehingga dengannya engkau mengetahui 


10


 11


 hukum-hukum Allah dan syari’at-Nya untuk dirimu dalam hal yang 


berkaitan dengan pribadimu, dengan orang lain, dan dengan jihadmu 


melawan musuhmu. Sehingga mendorongmu untuk melakukan 


persiapan untuk menghadapi musuh. Dengan ilmu tersebut engkau 


menahan diri dari larang-larangan Allah, dan engkau menunaikan 


perintah-perintah Allah, serta berhenti di batas-batas yang Allah 


tentukan. Ilmu tersebut mendorongmu untuk bekerjasama dengan 


saudara-saudaramu muslimin dan engkau rela mengorbankan 


hartamu yang paling mahal dan berharga sekalipun di jalan Allah, 


dalam rangka menolong agama Allah dan meninggikan kalimat Allah. 


Bukan untuk kepentingan negara atau suku (atau yang semisal itu). 


Inilah cara dan jalan untuk mendapatkan pertolongan dari Allah, 


yaitu dengan cara mempelajari ilmu syar’i dan tafaqquh fiddin. 


Semua lapisan Umat Islam harus melakukan ini, baik pemerintah 


maupun rakyat, baik besar maupun kecil. Kemudian mengamalkan 


konsekuensi-konsekuensi ilmu tersebut serta meninggalkan 


larangan-larangan Allah yang selama ini kita masih bergelimang di 


dalamnya. -selesai penjelasan dari Asy-Syaikh Bin Baz Rahimahullah [ dari 


Majmu Fatawa wa Maqalat Mutanawwi’ah V/109-112 ] 


Dari Tsauban Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shalallahu 


‘Alaihi Wasallam bersabda : 





Hampir-hampir umat-umat (di luar kalian) mengerumuni kalian 


sebagaimana orang-orang yang makan mengerumuni piring 


hidangannya. 


Ada yang bertanya kepada beliau : “Apakah disebabkan jumlah kita 


sedikit pada saat itu?” 


Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab : “Bahkan kalian 


pada hari itu jumlahnya banyak, akan tetapi kalian hanyalah buih 


seperti buih yang dibawa air bah (banjir) dan sungguh Allah akan 


mencabut dari dada-dada musuh kalian rasa segan (ketakutan) 


terhadap kalian dan Allah akan lemparkan ke dalam hati kalian ‘Al 


Wahn’.” 


Seseorang bertanya lagi : “Wahai Rasulullah apakah ‘Al Wahn’ itu?” 


Beliau menjawab : “Cinta dunia dan takut mati.” [3]) 


Asy-Syaikh Bin Baz Rahimahullah berkata : “Penyakit al-wahn yang 


tersebut dalam hadits di atas hanyalah muncul disebabkan karena 


kebodohan yang dengannya umat buih sepeti buih yang dibawa 


banjir. Mereka tidak memiliki bashirah (ilmu) tentang kewajiban 


mereka karena kejahilan tersebut, yang karenanya mereka hanya 


bernilai seperti itu (buih).” [ dari Majmu Fatawa wa Maqalat 


Mutanawwi’ah V/106 ] 


Asy-Syaikh ‘Abdul Malik Ramadhani hafizhahullah berkata ketika 


menerangkan hadits tersebut : 


Kalau Hadits Tsauban di atas menyebutkan jenis penyakitnya, yaitu : 


Cinta dunia dan takut mati. Maka hadits Ibnu ‘Umar Radhiallahu 


‘Anhu berikut ini menyebutkan obatnya yang tepat sempurna untuk 


penyakit tersebut, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata :          


         


Apabila kalian telah berjual beli dengan cara ‘inah [4]), dan kalian 


telah disibukkan dengan ekor-ekor sapi (peternakan), dan telah senang 


dengan bercocok tanam, dan juga kalian telah meninggalkan jihad, 


niscaya Allah akan timpakan pada kalian kehinaan kepada kalian, 


tidak akan Allah cabut kehinaan tersebut hingga kalian kembali 


kepada agama kalian. [HR. Abu Dawud] [5]). 


Maka dari sini kita bisa mengambil dua faedah : 


Pertama : Hadits Ibnu ‘Umar Radhiallahu ‘Anhu ini menyebutkan 


obat bagi penyakit yang disebutkan secara global dalam Hadits 


Tsauban serta merincinya. 


· Jadi sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Apabila kalian telah 


berjual beli dengan cara ‘inah, dan kalian telah disibukkan memegang 


ekor-ekor sapi, dan telah senang dengan bercocok tanam”; 


merupakan rincian dari penyakit “Cinta dunia.” 


· Sedangkan sabda beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : “Dan juga 


kalian telah meninggalkan jihad“; itu merupakan akibat (atau rincian) 


dari penyakit “Takut mati.“ Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa 


Ta’ala :           


             


Wahai orang-orang yang beriman, apa sebabnya, apabila dikatakan 


kepada kalian : “Berangkatlah untuk berperang di jalan Allah”, kalian 


merasa berat dan ingin tetap tinggal di tempat kalian? Apakah kalian 


 14


 lebih senang dengan kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat, 


padahal tidaklah kehidupan dunia itu dibanding dengan akhirat 


kecuali sedikit. [At-Taubah : 38] 


Perhatikan dua lafazh hadits di atas, karena itu berasal dari sumber 


yang sama, (yaitu seorang) yang tidak berbicara dengan hawa 


nafsunya, tapi tidak lain itu merupakan wahyu yang beliau terima 


dari Allah Subhanahu wa Ta’ala! 


Kedua : bahwa manusia berbeda-beda dalam menentukan obat dan 


solusi bagi musibah yang menimpa umat ini. Di antara mereka ada 


yang berpendapat dengan cara politik, ada yang berpendapat dengan 


cara perang (pertumpahan darah), dan ada pula yang berpendapat 


dengan cara IPTEK, serta masih banyak lagi pendapat-pendapat 


lainnya. Adapun solusi dan jalan keluar yang ditempuh oleh 


Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam adalah dengan cara dien, 


da’wah dan Tarbiyyah. Karena umat ini jika beragama dengan agama 


yang benar dan beramal dengan sunnah-sunnah beliau niscaya akan 


menjadi baik semua urusan mereka. Namun jika mereka berpaling 


dari sikap ruju’ (kembali) kepada agama mereka niscaya mereka lebih 


tidak mampu lagi untuk mewujudkan cara-cara yang lainnya. Hal itu 


karena Ahlus Sunnah As-Salafiyyun adalah orang yang paling berhak 


atas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan paling bangga 


dengan da’wah beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, yaitu dengan 


bersungguh-sungguh dalam mengajarkan kepada manusia ilmu dan 


bersabar di atasnya. Sampai Allah tampakkan kepada mereka berupa 


disambutnya da’wah tauhid dan terwujudnya kemenangan. 


   ) 4 (          


Dan pada hari itu kaum mu’min bergembira dengan pertolongan Allah. 


Dia menolong siapa yang Dia kehendaki, dan Dia Maha Perkasa lagi 


Maha Penyayang. [Ar Rum : 4-5] 


 15


 Kalaupun umat tidak menerima da’wah mereka –termasuk da’wah 


tauhid– maka mereka tetap kokoh dan bersabar di atas jalan 


tersebut, tidak menyimpang sedikitpun dari jalan ini sampai bertemu 


dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala di atas Rabbaniyyah yang telah 


Allah berfirman tentang mereka : 


           


…tapi jadilah kalian orang-orang Rabbani, dengan sebab kalian selalu 


mengajarkan Al Kitab dan dengan sebab karena kalian selalu 


mempelajarinya. [Ali ‘Imran : 79] 


Oleh karena itu tidak benar ijtihad (pendapat) orang-orang yang 


menyatakan bahwa problematika umat ini akan selesai dengan cara 


politik, atau dengan cara perang, atau melalui jalur IPTEK, atau pun 


cara-cara yang lainnya. Hal ini karena Rasulullah telah menyatakan 


dengan tegas, bahwa solusinya adalah : [sampai kalian ruju’ (kembali) 


kepada Dien (agama) kalian]. Tidak ada cara untuk bisa ruju’ 


(kembali kepada agama) kecuali dengan cara mempelajarinya. Maka 


solusi dari problem tersebut semuanya berporos dan kembalinya 


kepada At-Ta’lim (mempelajari agama), sebagaimana sabda 


Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam: 


      


Hanyalah ilmu itu didapat dengan cara mempelajarinya, dan hanyalah 


hilm (sikap bijak) itu diperoleh dengan cara tahallum (usaha untuk 


bersikap bijak) [HR. Al-Khathib] [6]) 


Maka jelaslah dari dalil-dalil di atas, dan dengan memadukan antara 





 16


 · Kandungan hadits Tsauban -yang menyebutkan bahwa penyakitnya 


itu terletak di hati : [Cinta dunia dan takut mati]- 


· Dan Kandungan hadits Ibnu ‘Umar -yang menyebutkan obatnya, 


yaitu [sampai kalian ruju’ (kembali) kepada agama kalian]- 


Dari sini jelaslah bahwa : Perbaikan pertama kali yang harus 


dilakukan adalah perbaikan hati, yaitu dengan cara membersihkan 


aqidah yang ada di dalam hati. Sebagaimana hal ini telah dinyatakan 


secara tegas oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam : 


                 


Ketahuilah bahwa di dalam jasad itu ada segumpal darah, jika dia 


baik maka baiklah seluruh jasad, dan jika dia rusak maka rusaklah 


seluruh jasad, ketahuilah bahwa segumpal darah itu adalah Al Qalb 


(hati) [7]). [Muttafaqun ‘alaihi] [8]). -sekian- 


[1] Hal ini mengingatkan kita pada sebuah hadits dari shahabat Khabbab Al 


Arat Radhiallahu ‘Anhu : Kami mengadu kepada Rasulullah Shalallahu 


‘Alaihi Wasallam ketika beliau sedang berbantalkan burdahnya di bawah 


Ka’bah –di mana saat itu kami telah mendapatkan siksaan dari kaum 


musyrikin–. Kami berkata berkata kepada beliau : “Wahai Rasulullah, 


mengapa engkau tidak memohonkan pertolongan untuk kita? Mengapa 


engkau tidak berdo’a kepada Allah untuk kita?” 


Maka beliau langsung duduk, wajahnya memerah seraya bersabda : “Dahulu 


umat sebelum kalian ada yang disisir dengan sisir besi, sehingga berpisahlah 


tulang dan dagingnya, akan tetapi perlakuan itu tidaklah menyebabkan 


mereka berpaling dari agamanya. Demi Allah, Allah akan menyempurnakan 


urusan ini (Islam), hingga (akan ada) seorang pengendara yang berjalan 


menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadramaut, dia tidak takut kecuali 


hanya kepada Allah atau (dia hanya khawatir terhadap) srigala (yang akan 


menerkam) kambingnya. Akan tetapi kalian tergesa-gesa. [HR. Al Bukhari No. 


3612, 3852, 6941; Ahmad IV/165-166, VI/395] 


Itulah kalimat yang keluar dari lisan seorang nabi yang sangat menginginkan 


kebaikan bagi umatnya, yang merasa berat dan susah atas segala 


penderitaan yang dialami oleh umatnya. Kalimat ini dinyatakan oleh beliau 


ketika kaum muslimin sedang dalam keadaan tersiksa oleh kekejaman 


Quraisy. Kalimat ini keluar untuk menyejukkan hati para shahabat beliau 


Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, yang sedang mengalami penyiksaan dan 


penderitaan, dirundung berbagai kesusahan dan musibah……dan 


merasakan perjalanan da’wah ini terlalu panjang. Inilah tarbiyah nabawi 


untuk para shahabat Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, generasi 


terbaik dan terutama di umat ini…..tidak kemudian Rasulullah Shalallahu 


‘Alaihi Wasallam mengambil jalan pintas dan merasakan apa yang beliau 


alami selama ini sebagai jalan yang sangat panjang, yang kemudian 


mendorong beliau untuk melakukan tindakan pembunuhan, penculikan, dan 


tindakan-tindakan teror yang lainnya menghadapi kekejaman pemerintahan 


kafir Quraisy. Tidak pula Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melakukan 


orasi-orasi dan provokasi-provokasi terhadap umat untuk melakukan 


tindakan-tindakan di atas. Karena Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam 


tahu dan mengerti kondisi umat yang lemah dan membutuhkan adanya At


Tashfiyyah (pembersihan) aqidah mereka dari segala perkara yang 


mengotorinya serta melakukan At-Tarbiyyah (pembinaan) umat menuju 


kepada ilmu dan aqidah yang benar. 


[2] Dinukil dari Hayatu Al Albani wa Atsaruhu I/389-391 karya Ibrahim Asy 


Syaibani. 


[3] HR. Ahmad V/278 dan Abu Dawud no. 4297, dari hadits Tsuban 


Radhiallahu ‘Anhu, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani Rahimahullah 


dalam Ash-Shahihah no. 958. 


[4] Jual beli ‘inah adalah jual beli dengan cara riba. Contohnya si A menjual 


barang kepada si B dengan harga tertentu dan pembayaran dilakukan di 


belakang hari (kredit). Kemudian sebelum lunas pembayarannya, si A 


17


membeli kembali (dengan kontan) barang yang dia jual tersebut dari si B 


dengan harga yang lebih murah daripada harga yang ditetapkan ketika dia 


menjualnya. Kemudian nantinya si B harus rtetap membayar barang tersebut 


dengan harga semula walaupun barang tersebut sudah tidak lagi dimilikinya. 


(lihat Nailul Authar, V/250). 


[5] HR. Abu Dawud no 3462, Ahmad II/28. Dishahihkan oleh Asy Syaikh Al 


Albani di Ash Shahihah no. 11. 


[6] HR. Al-Khathib di dalam At-Tarikh IX/127, dari Abu Hurairah Radhiallahu 


‘Anhu dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani di dalam Ash-Shahihah 342. 


[7] Maka wajib membersihkan qalbu (hati) umat ini dari aqidah-aqidah yang 


mengotorinya, agar perbuatan dan tindakan anggota tubuhnya menjadi baik. 


Hati mereka harus dibersihkan dari noda kesyirikan agar anggota badan 


mereka tidaklah beribadah kepada selain Allah. Dibersihkan hati mereka dari 


noda aqidah mu’tazilah dan khawarij agar selamat lisan mereka dari 


pengkafiran terhadap kaum muslimin serta caci makian terhadap ‘ulama dan 


para penguasa muslimin dan seterusnya dari berbagai macam aqidah-aqidah 


sesat yang mengotori qalbu mereka. 


[8] HR. Al-Bukhari 7552; Muslim 1599, dari shahabat An-Nu’man bin Basyir 


radhiallahu ‘anhu . 


18



Tulisan Terbaru

Mutiara Nasehat Umar ...

Mutiara Nasehat Umar Al-Faruq  radhiyallahu ‘anhuiyallahu ‘anhu 

Mutiara Nasehat Abu U ...

Mutiara Nasehat Abu Ubaidah   radhiyallahu ‘anhu 

Mutiara Nasehat Abu B ...

Mutiara Nasehat Abu Bakar ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu 

Musibah Umat Yang Mem ...

Musibah Umat Yang Memilukan