Artikel

KONSEP JIHAD DALAM ISLAM


Kenyataan umat Islam pada awal millennium ke-3 ini adalah sebagai


umat terpinggirkan, tertindas dan terjajah hak-haknya. Hal ini menyebabkan


sebagian anggota dari umat yang mempunyai ghirah agama yang tinggi


berbekal dengan ilmu yang diperolehnya mencari cara yang tercepat untuk


mengembalikan izzah umat, dengan niat berjihad mereka melancarkan


serangan-serangan terhadap seluruh kepentingan kekuatan kufur dan syirik


dalam bentuk pemboman titik-titik penting simbol kekuatan durjana.


Ijtihad fardi yang diikuti dengan praktik dari sebagian anggota umat ini


menambah coreng hitam dikening umat sebagai "umat teroris", andai gelar


ini di berikan karena keiltizaman (komitmen) kita dengan Kitabullah dan


sunnah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dapat dipastikan tidak seorang


muslim sejatipun yang menolaknya bahkan diperintahkan meneror kekuatan


syirik dan kufur dalam bentuk I`dadul quwwah. Tetapi jika gelar ini


dianugerahkan lantaran ijtihad fardi dari sebagian umat yang perlu dikaji


ulang, maka disini setiap individu umat harus memberikan nasehat sesuai


dengan kemampuan masing-masing.


Makalah ini hanyalah setetes air untuk memadamkan api yang


menjilati tubuh umat ini,





Aku tidak bermaksud kecuali melakukan perbaikan semampuku (QS Huud:


88)


Konsep Jihad dalam Islam


Makna Jihad Menurut Bahasa:


Kata jihad di dalam bahasa arab, adalah mashdar dari kata:


Yang merupakan turunan dari kata yang


berarti: kesulitan atau kelelahan karena melakukan perlawanan yang optimal


2


terhadap musuh . [1]


Makna Jihad Menurut Istilah:


Dalam terminologi syar`i kata jihad mempunyai beberapa makna:


Suatu usaha optimal untuk memerangi orang-orang kafir.[2] Para fuqaha


mengungkapkannya dengan defenisi yang lebih rinci, yaitu: suatu usaha


seorang muslim memerangi orang kafir yang tidak terikat suatu perjanjian


setelah mendakwahinya untuk memeluk agama Islam, tetapi orang tersebut


menolaknya, demi menegakkan kalimat Allah .[3]


Ini makna umum dari kata jihad dalam terminologi syar`i. Bila kata jihad


dimaksudkan untuk makna selain dari makna diatas biasanya diiringi dengan


sebuah kata lain sehingga konteks dari kalimat tersebut mengindikasikan


makna yang dituju dari kata jihad tersebut, ini berarti setiap kita menemukan


kata jihad dalam Al-Qur`an dan sunnah konotasinya adalah memerangi orang


kafir dengan senjata.


Usaha optimal untuk mengendalikan hawa nafsu dalam rangka


mentaati Allah atau lebih dikenal dengan (mujahadatun nafsi), seperti makna


kata jihad dalam sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam





Seorang mujahid adalah orang yang mengendalikan hawa nafsunya untuk


mentaati Allah [4]


Selain dua makna diatas adalah seperti makna kata jihad dalam sabda Nabi


shallallahu `alaihi wa sallam, ketika seorang pemuda meminta izin beliau


untuk berjihad dan beliau menanyakan, "Apakah kedua orang tuamu masih


hidup?", ia menjawab," Ya", beliau bersabda," optimalkanlah


baktimu terhadap mereka. H.R.Bukhari.


Opini Yang Salah Tentang Maksud "Jihad Akbar":


Ada sebuah opini yang berkembang di tengah masyarakat Islam hampir di


3


seluruh belahan dunia Islam, bahwa jihad yang paling besar adalah jihad


melawan hawa nafsu (Mujahadatun nafsi) sedangkan jihad mengangkat


senjata melawan orang kafir hanyalah jihad kecil, biasanya ungkapan ini


disertai dengan menyitir sebuah hadist Rasulullah shallallahu `alaihi wa


sallam, sepulang beliau dari sebuah peperangan melawan orang kafir,





Kalian datang dari melakukan suatu amal yang paling baik, dan kalian datang


dari jihad kecil menuju jihad yang lebih besar, yaitu: seorang hamba melawan


hawa nafsunya.[5]


Opini ini perlu diberi catatan dari beberapa sisi:


- hadits yang dijadikan landasan opini diatas "mardud" didhaifkan oleh banyak


ulama hadist, diantaranya; Al Baihaqi, Al Iraqi dan As Suyuthi dalam Al Jami`


As Shaghir, dikarenakan seorang perawinya yang bernama Yahya bin Al `Ala`


seorang yang tertuduh sebagai pemalsu hadits seperti yang dijelaskan Ibnu


Hajar dalam "Taqrib at tahzib". [6] Jadi pembagian jihad kepada; jihad


ashghar dan jihad Akbar tidak mempunyai dalil yang kuat.


- Makna jihadun nafsi terlalu luas, sebagian orang memahaminya dengan


terminologi masing-masing, andai maksudnya membersihkan jiwa dengan


zikir, wirid-wirid khusus dan amalan-amalan sunnat tentulah jihad memerangi


orang-orang kafir lebih mulia disisi Allah, (Q.S. An Nisaa` :95-96)





Dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang tidak


ikut berjihad dengan pahala yang besar. Beberapa derajat dari Allah,


maghfirah dan rahmat-Nya, adalah Allah Maha Pengampun Lagi Maha


Penyayang


4


Namun jika yang dimaksud dengan jihadun nafsi mengendalikan jiwa


untuk selalu merealisasikan tauhid, kafir terhadap thaghut dan komitmen


dengan seluruh syari`at Allah, tidak dapat diingkari bahwa jihadun nafsi


adalah asas dan jihad memerangi kekafiran merupakan salah satu hasil dari


jihadun nafsi. Implikasinya bahwa orang yang sukses dalam jihad memerangi


orang kafir dengan meraih syahadah yang dapat memberikan syafa'at untuk


72 orang anggota keluarganya dan kekal dalam surga Allah hanyalah orang


yang berhasil melewati fase awal jihad, yakni jihadun nafsi.


Inilah makna ungkapan Ibnu Al Qayyim, " Manakala jihad memerangi musuhmusuh


Allah (orang-orang kafir) hanya bagian dari jihad nafsi dalam


merealisasikan tauhid … maka jihadun nafsi lebih diprioritaskan dari pada


jihad mengangkat senjata menumpas kekafiran. [7]


- Ungkapan "jihad akbar adalah jihadun nafsi" sering disalah gunakan untuk


mengecilkan peran orang yang memanggul senjata mengorbankan anak,


isteri dan harta benda demi tegaknya kalimat Allah, bahkan untuk


melemahkan dan menghalangi orang berjihad fi sabilillah, dengan


mengatakan bahwa menyibukkan diri dengan jihad akbar lebih afdhal,


padahal andai kita mencermati dengan seksama tentunya kita akan


mengambil kesimpulan bahwa konsisten dengan jihadun nafsi mengharuskan


kita untuk berjihad fi sabilillah jika memang waktunya telah tiba


Fase-Fase Di Syari`atkannya Jihad


Jihad salah satu diantara ibadah yang dalam proses tasyri`nya


mengikuti sunnah tadarruj (bertahap), yang dapat kita bagi menjadi 4 fase:


a. Periode Mekah.


Dalam periode ini jihad dengan mengangkat senjata tidak disyari`atkan, yang


diperintahkan pada periode ini adalah jihad dengan menggunakan hujjah dan


argumen yang bersumber dari Al qur`an dalam menyampaikan risalah Islam


kepada manusia pada umumnya dan khususnya masyarakat Quraisy, Allah


berfirman, (Q.S. Al Furqan: 51-52)


5





Dan andai Kami menghendaki, niscaya Kami utus di tiap-tiap negeri seorang


Rasul. Maka janganlah kamu mengikuti orang-orang kafir, dan berjihadlah


terhadap mereka dengan jihad yang besar


Ibnu qayyim berkata, "Allah telah memerintahkan berjihad sejak periode


Mekah dengan firman-Nya (Q.S. Al Furqan: 52) yang tentunya surat


Makkiyah, menghadapi orang-orang kafir dengan Hujjah, penjelasan dan


menyampaikan Al qur`an …" [8]


Bahkan ketika beberapa orang sahabat yang dipimpin oleh Abdurrahman bin


`Auf datang kepada Nabi mengeluhkan keadaan mereka sambil


berkata,"Kami dahulu berada dalam kemuliaan disaat kami masih musyrik,


apakah kami menjadi hina setelah kami beriman?!", Nabi menjawab,





Aku diperintahkan untuk mema`afkan, maka janganlah kalian mengangkat


senjata! [9]


Juga setelah selesai pembai`atan `Aqabah yang ke dua sebagian para


peserta yang datang dari Yastrib meminta izin dari Nabi untuk menyerang


penduduk `Aqabah dengan pedang, beliau menjawab, aku


tidak diperintahkan untuk melakukan hal ini [10]


Dalam (Q.S. An Nisaa` :77) Allah mempertegas larangan mengangkat senjata


di periode Mekah, firman-Nya:





Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka,


"tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah shalat dan tunaikanlah


zakat!


Nushus diatas sangat jelas bahwa selama periode Mekah jihad


6


mengangkat senjata dilarang (hal ini telah menjadi kesepakatan para ulama


yang dinukil oleh Qurthubi 2/347). Yang ada hanya jihadun nafsi


menanamkan aqidah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, sabar dan


istiqamah menghadapi segala bentuk penindasan dari kaum kafir serta yakin


dengan janji Allah dan Rasul-Nya.


Tidak-disyaria`tkannya jihad mengangkat senjata dalam periode ini -yang


dalam pandangan kasat mata kebanyakan manusia juga termasuk sebagian


sahabat hal itu telah patut karena penindasan kaum Quraisy sampai pada titik


diluar batas kewajaran- tentulah mempunyai hikmah yang sangat dalam


untuk keberlangsungan dakwah islamiyah keseluruh penjuru bumi. [11]


b. Fase dibolehkan Jihad Qital dan belum difardhukan.


Setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam dan para sahabatnya


hijrah ke Madinah, menetap di sana membangun sebuah negeri Islam yang


berdaulat dan memiliki kekuatan, persiapan dan peralatan yang dirasa cukup


untuk menghadapi setiap gangguan, yang dilain pihak kaum kafir Quraisy


selalu melancarkan berbagai bentuk tekanan, maka Allah membolehkan


(bukan difardhukan) kaum muslim mengangkat senjata, membela dan


mempertahankan jiwa dan dakwah Islam dari segala bentuk penindasan,


dengan firman-Nya: (Q.S. Al Hajj: 39)





Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena


sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah Maha Kuasa


menolong mereka


c. Fase difardhukan jihad qital atas kaum muslim terhadap orang yang


memulai memerangi mereka .


Fase ini juga bisa dinamakan dengan jihad difa` (berperang karena


membela diri), yakni kaum muslim diwajibkan mengangkat senjata memasuki


medan pertempuran melawan setiap kekuatan yang memulai menabuh


7


genderang perang terhadap mereka, Allah berfirman, (Q.S. Al Baqarah: 190-


191)





Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, tetapi


janganlah kamu melampaui batas, sesungguhnya Allah tidak menyukai orangorang


yang melampaui batas





Maka jika mereka memerangi kamu, maka bunuhlah mereka! Demikianlah


balasan bagi orang-orang yang kafir


Pada periode ini sekalipun kaum muslim telah mempunyai kekuatan


tetapi belum sanggup memulai pertempuran menghadapi seluruh kekuatan


kafir dan musyrikin, maka dengan hikmah Allah, Dia tidak mewajibkan kepada


hambanya untuk melakukan penyerangan karena mereka belum mampu


melaksanakannya.


d. Fase difardhukan jihad qital terhadap setiap kekuatan kufur apapun agama


dan ras mereka, sekalipun mereka tidak memulai berperang hingga mereka


masuk Islam atau membayar jizyah.


Setelah kekuatan kufur di kota Mekah runtuh di tangan 10.000 orang


sahabat yang dipimpin langsung oleh Nabi shallallahu `alaihi wa sallam,


dengan ini berarti berakhirlah permusuhan kaum Quraisy terhadap kaum


muslimin dan manusia berbondong-bondong memeluk agama Allah sehingga


dakwah islam menjadi memiliki banyak pasukan dan peralatan serta


kekuatan, maka pada tahun ke-9 H Allah mewajibkan kaum muslim


memerangi setiap bentuk kekufuran dengan firman-Nya, (Q.S. At Taubah: 5


dan 36)





Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka bunuhlah orang-orang


musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka


8





Dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana mereka


memerangi kamu semuanya


Dan nabi shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,





Aku diperintahkan memerangi seluruh manusia hingga mereka bersaksi


bahwa tiada tuhan yang berhak diibadati selain Allah dan Muhammad adalah


Rasulullah HR.Muslim


Demikianlah jihad thalab (jihad memerangi setiap aral yang merintangi arus


dakwah islam) akhirnya difardhukan dan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi


wa sallam wafat kewajiban ini tidak berubah. Kemudian kewajiban jihad


thalab ini diteruskan oleh para khulafaur rasyidin dan para khalifah serta para


penguasa setelah mereka. Hingga akhirnya khilafah Utsmaniyah runtuh


kurang dari satu abad yang lalu dan kewajiban inipun terhenti sementara


sampai kaum muslim memiliki kembali kekuatan untuk menumpas segala


bentuk kesyirikan dan kekufuran.


Hukum jihad


Jihad memiliki beberapa hukum :


a. Fardhu `ain (wajib bagi setiap muslim) dalam beberapa kondisi;


- ketika seorang muslim telah berada dalam barisan pasukan yang sedang


menghadapi pertempuran, maka fardhu `ain bagi nya berjihad dan berdosa


meninggalkan medan, Allah berfirman, (Q.S. Al Anfaal: 45)





Hai orang-orang beriman apabila kamu memerangi pasukan (musuh), maka


tetaplah





Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang


yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu mundur ( Al


Anfaal :15)


- bila musuh telah datang menyerang salah satu negeri muslim, maka wajib


bagi setiap penduduknya berjihad mengusir mereka. Jika musuh belum


tertumpas wajib `ain bagi setiap penduduk negeri muslim sekitarnya berjihad


hingga musuh keluar dari negeri tersebut. Allah berfirman (Q.S. At Taubah


:123)





Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang berada


disekitar kamu itu


Jihad ini disebut juga dengan jihad difa` (pembelaan diri)


- bila imam (pemimpin) memerintah seorang muslim untuk pergi berjihad,


maka wajib `ain baginya melaksanakn perintah tersebut, nabi shallallahu


`alaihi wa sallam bersabda,





Bila kamu diperintahkan berjihad, maka pergilah berjihad H.R.Bukhari.


b. Fardhu kifayah


Jihad thalab (memulai penyerangan terhadap sebuah negeri yang


penduduknya tidak beriman kepada Allah dan hari akhir) hukumnya fardhu


kifayah, yang bila dilakukan oleh sebagian kaum muslim terhapuslah dosa


dari seluruh kaum muslim, Allah berfirman, (Q.S. At taubah: 122)





Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin pergi semuanya ke medan


perang


Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam bersabda,


10





muslim mempunyai negeri islam berdaulat yang menerapkan hukum-hukum


Allah dan dipimpin oleh seorang muslim sejati serta memiliki kekuatan,


peralatan dan perlengkapan yang dirasa mampu untuk menegakkan jihad


difa` maupun jihad thalab. Namun disaat kaum muslim tidak mempunyai


negeri Islam, para pemimpinnya mencampakkan hukum Allah dan kekuatan


serta peralatan perangnya tidak sampai seujung kuku kekuatan musuh, maka


hukum diatas tidak berlaku, bahkan lebih dari itu, kaum muslim dibenarkan


membayar upeti kepada musuh jika memang keadaannya menuntut


demikian, hal ini dijelaskan oleh para ulama mazhab [12].


Ibnu Taimiyah berkata," Kaum mukminin yang berada di sebuah negeri


dan mereka tidak mempunyai kekuatan (lemah) maka hendaklah mereka


mengamalkan ayat yang memerintahkan tetap sabar dan memberi maaf


terhadap orang-orang yang menyakiti Allah dan Rasul-Nya baik dari Ahlul


kitab maupun orang musyrik, sedangkan kaum mukminin yang mempunyai


kekuatan maka mereka wajib mengamalkan ayat yang memerintahkan


memerangi para pemimpin kekufuran dan ayat yang memerintahkan


memerangi ahlul kitab hingga mereka mau membayar jizyah (upeti) dan


mereka dalam keadaan yang hina …[13]"


Hal yang senada dengan perkataan diatas yaitu perkataan Az Zarkasyi dan As


Suyuti bahwa bilamana umat Islam melewati masa dan keadaan yang sama


dengan masa dan keadaan periode Mekah maka sepatutnya mereka


mengamalkan ayat-ayat yang diperintahkan untuk sabar dan memaafkan dan


terus mendakwahi setiap musuh dengan cara yang sebijak mungkin.[14]


Implikasinya ayat-ayat sebelum ayat "saif" dalam surat At taubah tidak


11


dimansukhkan tetapi diamalkan manakala kondisi yang serupa terjadi pada


umat Islam.


Jihad terus berlangsung hingga akhir zaman


Jihad sebagai salah satu dari sekian banyak kewajiban yang


difardhukan Allah terhadap hamba-hamba-Nya yang beriman, sudah menjadi


keyakinan kita bahwa seluruh syari`at itu terus berlangsung dan sangat


relevan, kapanpun dan dimanapun seorang muslim berada. Tidak satupun


syari'at dimansukhkan setelah Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam wafat,


berdasarkan dalil-dalil di bawah ini;


- sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Imran


bin Hushain radhiallahu `anhu





Senantiasa ada segolongan dari umatku yang berperang di atas kebenaran


selalu menang hingga hari kiamat. H.R.Muslim


- sabda Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam, yang diriwayatkan dari Anas


bin Malik radhiallahu `anhu,





Dan jihad terus berlangsung semenjak Allah mengutusku hingga akhir umatku


memerangi Dajjal [15]


Dari dua teks hadist di atas sangat jelas bahwa kewajiban berjihad tetap


terus berlangsung hingga akhir zaman.


- firman Allah swt ( Q.S. Al Anfaal: 39)





12


Dan perangilah mereka supaya jangan ada fitnah dan supaya agama itu


semata-mata untuk Allah. Jika mereka berhenti (dari kekafiran), maka


sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.


- firman Allah swt (Q.S. At Taubah: 33)





Dialah yang telah mengutus Rasul-Nya (dengan membawa) petunjuk (al-


Qur'an) dan agama yang benar untuk dimenangkan-Nya atas segala agama


walaupun orang-orang musyrik tidak menyukai.


Dua ayat di atas menjelaskan bahwa jihad harus selalu ditegakkan sampai


yaitu sirnanya setiap kesyirikan dan ،tercapainya tujuan yang diinginkan Allah


dan tiada agama lain di atas permukaan bumi kecuali agama ،kekufuran


selagi kedua tujuan di atas belum tercapai maka jihad Impilkasinya .Allah


.harus terus berlangsung


Kuatn ya dalil ya hingga akhir menjelaskan bahwa jihad terus berlangsung


،zaman menyebabkan Imam At Thahawi dalam buku akidahnya mengatakan


ersama para pemimpin kaum muslim yang Haji dan jihad terus berlangsung b"


dua kewajiban ini tidak ،adil maupun yang lalim hingga terjadinya kiamat


[16]."pernah digugurkan (tolong disusun dulu, bi)


Keberlangsungan jihad hingga akhir zaman ini tidaklah bertentangan dengan


aat ini yang tidak mempunyai kemampuan untuk realita umat islam s


(286 :QS Al Baqarah )karena Allah swt berfirman ،melakukan hal tersebut





Allah tidakmembebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya


Saat kaum muslimin telah mempunyai kesanggupan untuk menjalankan kewajiban


jihad maka mereka berdosa jika meninggalkannya.



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i