BEKAL DAI DALAM BERDAKWAH
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Segala puji hanya milik Allah. Kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta bertobat
kepada-Nya.
Kita juga berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan dari keburukan amal kita. Siapa yang
diberikan petunjuk oleh Allah, tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Sebaliknya, siapa yang
disesatkan-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada
sembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya juga bersaksi bahwa
Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Allah -Ta'ālā- mengutus beliau dengan membawa petunjuk
dan agama yang benar untuk memenangkannya di atas agama seluruhnya. Beliau telah menyampaikan
risalah, menunaikan amanah, menasihati umat, dan berjuang di jalan Allah dengan maksimal. Beliau
tinggalkan umatnya di atas jalan yang terang benderang, malam harinya seperti siang, tidak ada yang
menyimpang darinya kecuali binasa. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada beliau
beserta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari
Kiamat. Saya memohon kepada Allah جل جلاله semoga menjadikan saya dan Anda termasuk pengikut beliau
secara lahir dan batin, mewafatkan kita di atas agama beliau, dan membangkitkan kita bersama golongan
beliau. Semoga Allah memasukkan kita ke dalam syafaat beliau. Juga semoga kita dikumpulkan dengan
beliau di dalam surga Na'īm bersama orang-orang yang Allah berikan karunia, yaitu para nabi, para
pecinta kebenaran, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh.
Saudara-saudaraku sekalian! Sungguh saya merasa bahagia bertemu dengan saudara-saudaraku
seislam di tempat ini[1] dan di tempat mana pun yang diharapkan padanya ada kebaikan dan dengan
tujuan menyebarkan agama ini.
Allah -Ta'ālā- telah mengambil perjanjian dari setiap orang yang diberi-Nya ilmu untuk menjelaskannya
kepada manusia dan tidak menyembunyikannya. Allah -Ta'ālā- berfirman, "(Ingatlah), ketika Allah
mengambil janji dari orang-orang yang telah diberi Kitab (yaitu), 'Hendaklah kamu benar-benar
menerangkannya (isi Kitab itu) kepada manusia dan janganlah kamu menyembunyikannya.'" (QS. Āli
'Imrān: 187) (1) Universitas Raja 'Abdul Azīz di Jeddah.
Perjanjian yang Allah ambil ini bukan perjanjian tertulis dan disaksikan oleh manusia, tetapi ia adalah
perjanjian yang diketahui dengan ilmu yang Allah berikan kepada pemilik perjanjian tersebut.
Bila Allah memberinya ilmu, maka itulah perjanjian yang Allah ambil dari laki-laki ataupun perempuan
yang Allah berikan ilmu tersebut. Sebab itu, setiap orang yang memiliki ilmu wajib menyampaikan syariat
Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- yang diketahuinya di semua tempat dan di semua momen.
Saudara-saudara sekalian! Tema kajian kita ini adalah Bekal Dai Dalam Berdakwah kepada Allah .جل جلاله
Bekal setiap muslim adalah apa yang Allah جل جلاله jelaskan di dalam firman-Nya: "Berbekallah,
sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa, dan bertakwalah kepada-Ku, wahai orang-orang yang
mempunyai akal sehat!" (QS. Al-Baqarah: 197) Jadi, bekal setiap muslim adalah takwa kepada Allah جل جلاله
yang diulang-ulang penyebutannya oleh Allah dalam Al-Qur`ān; dalam bentuk perintah, pujian kepada
orang yang melaksanakannya, menjelaskan pahalanya, dan berbagai ragam gaya bahasa lainnya:
"Bersegeralah kamu mencari ampunan dari Tuhanmu dan mendapatkan surga yang luasnya seluas langit
dan bumi yang disediakan bagi orang-orang yang bertakwa; (yaitu) orang yang berinfak, baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang
lain. Sungguh, Allah mencintai orang yang berbuat kebaikan. (Juga) orang-orang yang apabila
mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, (segera) mengingat Allah, lalu memohon
ampunan atas dosa-dosanya, dan siapa (lagi) yang dapat mengampuni dosa-dosa selain Allah? Mereka
tidak meneruskan perbuatan dosa itu sedang mereka mengetahui. Balasan bagi mereka ialah ampunan
dari Tuhan mereka dan surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di
dalamnya. (Itulah) sebaik-baik pahala bagi orang yang beramal." (QS. Āli 'Imrān: 133-136)
Saudara-saudara yang mulia! Mungkin Anda semua bertanya: Apa itu takwa?
Jawabannya ialah penjelasan yang diriwayatkan dari Ṭalq bin Ḥabīb -raḥimahullāh- bahwa dia berkata,
"Takwa ialah engkau mengerjakan ketaatan kepada Allah di atas cahaya dari Allah karena
mengharapkan pahala Allah, dan engkau meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah di atas cahaya dari
Allah karena takut siksa Allah." Dalam penjelasan ini terkumpul antara ilmu, amal, harapan adanya
pahala, dan rasa takut terhadap azab. Semua ini adalah intisari ketakwaan.
Kita semua mengetahui bahwa seorang dai adalah orang yang paling berhak untuk berhias dengan
akhlak ini; yaitu bertakwa kepada Allah ketika sendiri dan di keramaian. Dengan izin Allah, di kesempatan
ini, saya akan sebutkan perkara-perkara yang berkaitan dengan dai serta bekal yang harus dia miliki.
Bekal pertama: seorang dai harus memiliki ilmu tentang apa yang dia dakwahkan, yaitu ilmu yang benar,
yang bersandar pada Kitābullāh dan Sunnah Rasulullah .صلى الله عليه وسلم
Setiap ilmu yang berasal dari selain keduanya harus ditimbang dengan keduanya terlebih dahulu. Setelah
ditimbang, maka antara sesuai atau bertolak belakang dengan keduanya. Jika sesuai, maka diterima.
Namun jika bertolak belakang, maka wajib ditolak, siapa pun sumbernya. Diriwayatkan secara sahih dari
Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā- bahwa dia berkata, "Kalian hampir saja dihujani batu dari langit; saya
katakan, 'Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda', kalian malah menjawab, 'Abu Bakar dan Umar berkata.'" Jika ini
terkait perkataan Abu Bakar dan Umar yang digunakan membantah sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم, lalu
bagaimana dengan perkataan orang di bawah mereka berdua dalam hal pengetahuan, ketakwaan,
persahabatan, dan kekhalifahan?! Tentu menolak perkataannya jika menyelisihi Kitābullāh dan Sunnah
Rasulullah صلى الله عليه وسلمlebih pantas. Allah جل جلاله berfirman, "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi
perintahnya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa siksa yang pedih." (QS. An-Nūr: 63) Imam Ahmad
-raḥimahullāh- berkata, "Tahukah kamu apakah yang dimaksud dengan fitnah itu? Fitnah pada ayat itu
maksudnya adalah syirik; bisa jadi ketika ia menolak sebagian sabda Nabi صلى الله عليه وسلمmaka akan terjadi dalam
hatinya kesesatan sehingga dia celaka."
Bekal pertama yang harus dimiliki oleh seorang dai ialah membekali diri dengan ilmu yang bersumber
dari Kitābullāh -Ta'ālā- dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلمyang sahih.
Adapun dakwah tanpa ilmu, maka ia adalah dakwah di atas kejahilan. Sedangkan dakwah di atas
kejahilan, mudaratnya lebih besar daripada manfaatnya karena dai tersebut telah menempatkan dirinya
sebagai pengarah dan pembimbing, jika dia orang yang jahil, maka dengan sebab itu dia telah tersesat
dan menyesatkan. Kita berlindung kepada Allah dari yang demikian itu. Bahkan, kejahilannya itu adalah
kejahilan yang murakab. Kejahilan murakab lebih berat daripada kejahilan biasa karena pemilik kejahilan
biasa hanya berdiam diri, tidak berbicara, dan ia dapat dihilangkan dengan cara belajar. Tetapi, problem
terbesar ada pada orang yang jahil murakab karena ia tidak akan diam, bahkan dia akan tetap bicara
walaupun tidak tahu, maka ketika itu dia akan merusak lebih banyak daripada memperbaiki.
Saudara-saudara sekalian! Berdakwah kepada Allah tanpa didasari dengan ilmu bertolak belakang
dengan praktik dakwah Nabi صلى الله عليه وسلمdan pengikut beliau. Lihatlah firman Allah -Ta'ālā- ketika
memerintahkan Nabi Muhammad :صلى الله عليه وسلم
"Katakanlah, 'Inilah jalan (dakwah)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku, aku berdakwah kepada
Allah dengan hujah yang nyata. Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.'" (QS.
Yūsuf: 108) Beliau mengatakan, "Aku dan orang-orang yang mengikutiku, aku berdakwah kepada Allah
dengan hujah yang nyata." Maknanya adalah orang yang mengikuti beliau صلى الله عليه وسلمharus berdakwah kepada
Allah di atas ilmu, bukan di atas kejahilan.
Wahai orang yang berdakwah untuk Allah, renungkanlah firman Allah -Ta'ālā-: "Dengan hujah yang
nyata". Maksudnya adalah bahwa ia harus memiliki ilmu tentang tiga perkara:
Pertama: memiliki ilmu tentang apa yang dia dakwahkan. Jadi dia harus mengetahui hukum agama
terkait apa yang dia dakwahkan.
Alasannya adalah karena bisa saja dia mengajak kepada sesuatu yang dikiranya wajib, padahal dalam
syariat Allah hukumnya tidak wajib, sehingga dia mewajibkan kepada manusia sesuatu yang tidak pernah
diwajibkan oleh Allah. Sebaliknya, bisa saja dia mengajak untuk meninggalkan sesuatu yang dikiranya
haram, padahal dalam agama Allah hukumnya tidak haram, sehingga dia mengharamkan kepada
manusia sesuatu yang Allah halalkan untuk mereka.
Kedua: memiliki ilmu tentang keadaan orang yang dia dakwahi. Karena itu, ketika Nabi صلى الله عليه وسلمmengutus
Mu'āż ke Yaman, beliau berpesan kepadanya,
"Sungguh, engkau akan datang ke orang-orang Ahli Kitab"; Tujuannya adalah supaya dia memiliki
pengetahuan tentang keadaan mereka dan mempersiapkan dirinya. Jadi, Anda harus tahu keadaan
orang yang Anda dakwahi; bagaimana tingkat pengetahuannya? Bagaimana tingkat kemampuan
debatnya? Supaya Anda menyiapkan diri untuk itu sebelum Anda berdiskusi dan berdebat dengannya.
Sebab ketika Anda masuk bersama orang seperti ini dalam debat, lalu Anda kalah lantaran kekuatan
debatnya, hal itu menyebabkan musibah besar terhadap kebenaran dan Anda adalah penyebabnya.
Jangan dikira pengikut kebatilan selalu kalah dalam segala keadaan. Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda,
"Sungguh kalian datang bertikai kepadaku dan mungkin sebagian kalian lebih fasih menyampaikan
hujahnya daripada yang lain, lalu aku memutuskan untuknya sesuai dengan yang aku dengar." Ini
menunjukkan bahwa lawan debat, sekalipun dia yang salah, bisa jadi lebih fasih menjelaskan hujahnya
daripada yang lain, lalu seorang hakim akan memberi keputusan menurut apa yang disampaikan oleh
lawan debat, sehingga dia harus memiliki ilmu tentang keadaan orang yang didakwahi.
Ketiga: memiliki ilmu tentang cara berdakwah. Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- berfirman,
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik dan berdebatlah
dengan mereka dengan cara yang lebih baik." (QS. An-Naḥl: 125)
Sebagian orang kadang menemukan kemungkaran lalu dia menyerangnya tanpa memikirkan akibat yang
akan ditimbulkannya, tidak hanya terhadap dirinya saja, tetapi juga terhadap dai-dai lain yang sama-sama
mengajak kepada kebenaran. Oleh karena itu, sebelum bergerak, seorang dai wajib untuk menimbang
dan mengukur akibat gerakannya.
Bisa jadi pada saat itu dia tidak dapat memadamkan kobaran cemburunya dengan apa yang dia lakukan,
tetapi tindakan itu akan memadamkan api cemburunya dan cemburu selainnya di waktu yang akan
datang. Bahkan, bisa jadi hal itu akan terjadi di waktu yang dekat, tidak lama. Oleh karena itu, saya
menganjurkan saudara-saudara saya, para dai, agar menggunakan sifat hikmah dan tenang, tidak
terburu-buru. Walaupun dakwah diundur sedikit, tetapi asal hasil akhirnya baik, insya Allah.
Jika pembekalan diri seorang dai dengan ilmu yang benar yang dibangun di atas Kitābullāh dan Sunnah
Rasulullah صلى الله عليه وسلمadalah petunjuk dalil syariat, maka ia juga merupakan petunjuk akal yang bersih, yang
terpelihara dari syubhat dan syahwat.
Sebab, bagaimana Anda akan berdakwah kepada Allah -Ta'ālā- sementara Anda tidak mengetahui jalan
yang mengantarkan ke sana dan tidak mengetahui syariat-Nya; bagaimana Anda dapat menjadi seorang
dai?! Jika seseorang tidak memiliki ilmu, hendaklah dia belajar terlebih dahulu kemudian berdakwah
setelahnya.
Mungkin akan ada yang mengatakan: apakah perkataanmu ini menyelisihi sabda Nabi :صلى الله عليه وسلم
"Sampaikan dariku walaupun satu ayat"?
Jawabannya: tidak; karena Rasul صلى الله عليه وسلمmenyebutkan: "sampaikan dariku". Jadi, apa yang kita sampaikan
harus datang dari Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Inilah yang kita inginkan.
Ketika kita mengatakan bahwa seorang dai membutuhkan ilmu, kita tidak bermaksud bahwa dia harus
mencapai derajat yang tinggi dalam ilmu. Tetapi, maksudnya adalah dia tidak boleh berdakwah kecuali
tentang apa yang dia ketahui saja dan tidak berbicara yang tidak dia ketahui.
Bekal kedua: seorang dai wajib bersabar melaksanakan dakwahnya, bersabar menyampaikan apa yang
dia dakwahkan, bersabar menghadapi gangguan yang merintangi dakwahnya, dan bersabar menghadapi
gangguan yang menyakiti dirinya.
• Sabar melaksanakan dakwah maksudnya memperjuangkan dakwah terus-menerus, tidak berhenti dan
tidak bosan. Namun, dia terus-menerus berdakwah kepada Allah sesuai kemampuan dan pada
bidang-bidang dakwah yang lebih bermanfaat, lebih utama, dan lebih maksimal. Hendaklah dia bersabar
di atas dakwah dan tidak bosan.
Sungguh, orang yang dihinggapi rasa bosan akan berhenti dan meninggalkan dakwah. Tetapi, jika dia
berjuang terus-menerus melaksanakan dakwahnya, maka dia akan memperoleh pahala orang-orang
yang sabar dari satu sisi, dan dari sisi lain ia akan meraih kesudahan yang baik. Lihatlah firman Allah جل جلاله
ketika berbicara kepada Nabi-Nya: "Itulah sebagian dari berita-berita gaib yang Kami wahyukan
kepadamu (Muhammad); tidak pernah engkau mengetahuinya dan tidak (pula) kaummu sebelum ini.
Maka bersabarlah, sungguh, kesudahan (yang baik) adalah bagi orang yang bertakwa." (QS. Hūd: 49)
• Seorang dai harus bersabar menghadapi gangguan yang menghadang dakwahnya berupa
penentangan dan bantahan karena setiap orang yang berdakwah kepada Allah جل جلاله pasti ditentang:
"Begitulah, bagi setiap nabi, telah Kami adakan musuh dari orang-orang yang berdosa. Tetapi, cukuplah
Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong." (QS. Al-Furqān: 31) Setiap dakwah yang benar pasti
ada yang menentangnya, pasti ada yang menghadang serta yang mendebat dan meragukannya. Tetapi,
seorang dai wajib sabar terhadap gangguan yang menghadang dakwahnya, sekalipun dakwah tersebut
dilabeli sebagai dakwah yang salah atau batil, sementara dia memahami bahwa dakwah tersebut adalah
sesuai dengan petunjuk Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Hendaklah dia sabar terhadap hal itu.
Namun, ini tidak berarti seseorang harus bersikukuh dengan pendapatnya dan apa yang
didakwahkannya sekalipun kebenaran tampak baginya. Orang yang bersikukuh dengan apa yang dia
dakwahkan sekalipun yang benar telah terang baginya mirip dengan orang yang Allah katakan padanya:
"Mereka membantahmu (Muhammad) tentang kebenaran setelah nyata, (bahwa mereka pasti menang),
seakan-akan mereka dihalau kepada kematian, sedang mereka melihat (sebab kematian itu)." (QS.
Al-Anfāl: 6) Membantah kebenaran setelah ia jelas adalah sifat yang tercela; Allah -Ta'ālā- berfirman
tentang orang yang memiliki sifat ini, "Barang siapa menentang Rasul (Muhammad) setelah jelas
kebenaran baginya dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan dia dalam
kesesatan yang telah dilakukannya itu dan akan Kami masukkan dia ke dalam neraka Jahanam.
Sungguh itu seburuk-buruk tempat kembali." (QS. An-Nisā`: 115) Apa yang berseberangan dengan
dakwahmu, wahai sang dai, jika hal itu benar maka Anda wajib kembali kepada kebenaran tersebut.
Namun jika ia salah, maka hal itu tidak boleh mengendurkan tekadmu untuk terus melanjutkan
dakwahmu.
• Seorang dai juga harus sabar terhadap gangguan yang menyasar dirinya karena seorang dai pasti
disakiti, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Lihatlah para rasul -ṣalawātullāhi wasalāmuhu
'alaihim-; mereka disakiti dengan ucapan dan dengan perbuatan.
Bacalah firman Allah جل جلاله: "Demikianlah setiap kali seorang rasul yang datang kepada orang-orang yang
sebelum mereka, mereka (kaumnya) pasti mengatakan, 'Dia itu pesihir atau orang gila.'" (QS. Aż-Żāriyāt:
52) Apa pendapat Anda tentang orang yang diberikan wahyu oleh Tuhannya, namun malah dikatakan
padanya: engkau tukang sihir atau orang gila? Tidak diragukan dia pasti merasa disakiti. Kendati
demikian, para rasul bersabar atas gangguan yang mereka alami, baik dengan ucapan maupun
perbuatan. Lihatlah rasul pertama, Nuh -'alaihiṣṣalātu wassalām-! Kaumnya berjalan melewatinya ketika
dia sedang membuat kapal sembari mengejeknya, maka dia menjawab mereka, “Jika kamu mengejek
kami, maka kami (pun) akan mengejekmu sebagaimana kamu mengejek (kami). Maka kelak kamu akan
mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakan dan (siapa) yang akan ditimpa azab yang
kekal.” (QS. Hūd: 38-39) Perkaranya tidak sebatas mereka mengejeknya, bahkan mereka mengancam
akan membunuhnya: "Mereka berkata, 'Wahai Nuh! Sungguh, jika engkau tidak (mau) berhenti, niscaya
engkau termasuk orang yang dirajam (dilempari batu sampai mati).'” (QS. Asy-Syu'arā`: 116) Yakni:
engkau termasuk yang akan mati dilempar dengan batu. Di sini beliau diancam akan dibunuh, disertai
dengan tekanan bahwa mereka telah merajam orang-orang selain beliau, untuk menampakkan
keperkasaan mereka dan bahwa mereka telah merajam banyak orang sementara engkau termasuk dari
mereka. Tetapi hal ini tidak memalingkan Nabi Nuh -'alaihiṣṣalātu wassalām- dari dakwahnya, bahkan
beliau tetap lanjut hingga Allah memberikan keputusan antara dia dengan kaumnya.
Lihatlah pula Nabi Ibrahim -'alaihiṣṣalātu wassalām-. Kaumnya menolak, bahkan mereka
mengumumkannya di tengah orang banyak:
"Mereka berkata, '(Kalau demikian) bawalah dia dengan diperlihatkan kepada orang banyak agar mereka
menyaksikan.'” (QS. Al-Anbiyā`: 61)
Kemudian mereka mengancamnya akan dibakar:
"Mereka berkata, 'Bakarlah dia dan bantulah tuhan-tuhan kamu, jika kamu benar-benar hendak berbuat.'”
(QS. Al-Anbiyā`: 68) Lalu mereka menyalakan api yang besar dan melemparnya dengan manjanik (alat
pelontar batu atau sejenisnya untuk menghancurkan atau membakar bangunan) karena jauhnya jarak
mereka dari api tersebut demi menghindari kekuatan panasnya. Tetapi Allah, Rabbul-'Izzah, berfirman,
"Kami (Allah) berfirman, 'Wahai api! Jadilah kamu dingin dan penyelamat bagi Ibrahim!'” (QS. Al-Anbiyā`:
69) Lantas api itu menjadi dingin dan sumber keselamatannya, sehingga dia pun selamat darinya.
Sungguh, ia merupakan kesudahan yang baik bagi Nabi Ibrahim: "Mereka hendak berbuat jahat terhadap
Ibrahim, maka Kami menjadikan mereka itu orang-orang yang paling rugi." (QS. Al-Anbiyā`: 70)
Lihat pula Nabi Musa -'alaihiṣṣalātu wassalām-, dia diancam akan dibunuh oleh Firaun:
“Biar aku yang membunuh Musa dan suruh dia memohon kepada Tuhannya. Sesungguhnya aku
khawatir dia akan menukar agamamu atau menimbulkan kerusakan di bumi.” (QS. Gāfir: 26) Dia
mengancamnya untuk dibunuh. Tetapi, akhirnya kemenangan diraih oleh Musa -'alaihissalām-: "Firaun
beserta kaumnya dikepung oleh azab yang sangat buruk." (QS. Gāfir: 45)
Lihat pula Nabi Isa -'alaihiṣṣalātu wassalām-, dia mengalami berbagai macam gangguan, sampai
orang-orang Yahudi menuduhnya sebagai anak zina dan mereka membunuhnya -sebagaimana yang
mereka yakini- serta menyalibnya.
Tetapi, Allah -Ta'ālā- berfirman, "Sebenarnya mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya,
tetapi (yang mereka bunuh adalah) orang yang diserupakan dengan Isa. Sesungguhnya mereka yang
berselisih pendapat tentang (pembunuhan) Isa, selalu dalam keragu-raguan tentang yang dibunuh itu.
Mereka benar-benar tidak tahu (siapa sebenarnya yang dibunuh itu), melainkan mengikuti persangkaan
belaka, jadi mereka tidak yakin telah membunuhnya. Tetapi, Allah telah mengangkat Isa ke hadirat-Nya.
Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana." (QS. An-Nisā`: 157-158) Nabi Isa pun diselamatkan dari
mereka.
Lihatlah penutup dan imam para rasul serta penghulu umat manusia, Muhammad صلى الله عليه وسلم, Allah berfirman
tentang beliau,
"(Ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan tipu daya terhadapmu (Muhammad) untuk
menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu atau mengusirmu. Mereka membuat tipu daya
dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Allah adalah sebaik-baik pembalas tipu daya." (QS. Al-Anfāl: 30)
"Mereka berkata, 'Wahai orang yang kepadanya diturunkan Al-Qur`ān, sesungguhnya engkau
(Muhammad) benar-benar orang gila.'" (QS. Al-Ḥijr: 6) "Mereka berkata, 'Apakah kami harus
meninggalkan sesembahan kami karena seorang penyair gila?'" (QS. Aṣ-Ṣāffāt: 36) Beliau mendapatkan
gangguan dari mereka secara verbal dan fisik sebagaimana yang masyhur di kalangan para ulama dalam
sejarah. Kendati demikian, beliau tetap bersabar, sehingga kesudahan yang baik menjadi milik beliau.
Jadi, setiap dai pasti akan mendapatkan gangguan, tetapi dia harus bersabar. Oleh karena itu, ketika
Allah -Ta'ālā- berfirman kepada rasul-Nya ,صلى الله عليه وسلم
"Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur`ān kepadamu (Muhammad) secara
berangsur-angsur." (QS. Al-Insān: 23) Yang terbayang dalam pikiran bahwa Allah akan berfirman: maka
syukurilah nikmat Allah yang telah menurunkan Al-Qur`ān itu. Namun ternyata Allah berfirman, "Maka
bersabarlah untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu dan janganlah engkau ikuti orang yang berdosa
dan orang yang kafir di antara mereka" (QS. Al-Insān: 24); sebagai isyarat bahwa semua yang
menjalankan Al-Qur`ān itu pasti akan ditimpa beberapa perkara yang membutuhkan kesabaran yang
besar. Sebab itu, seorang dai harus memiliki kesabaran yang tinggi dengan tetap melanjutkan
dakwahnya sampai Allah memberikan kesuksesan untuknya. Bukan suatu keharusan agar Allah
memberinya kesuksesan di masa hidupnya, karena yang penting ialah dakwahnya bertahan di
tengah-tengah masyarakat. Yang terpenting adalah bukan sosok seorang dai, tetapi urusan dakwah. Jika
dakwahnya tetap tegak, walaupun setelah dia wafat, maka pada hakikatnya dia masih hidup. Allah جل جلاله
berfirman, "Apakah orang yang mati lalu Kami hidupkan dan Kami beri dia cahaya yang membuatnya
dapat berjalan di tengah-tengah orang banyak, sama dengan orang yang berada dalam kegelapan,
sehingga dia tidak dapat keluar dari sana? Demikianlah dijadikan terasa indah bagi orang-orang kafir apa
yang mereka kerjakan." (QS. Al-An'ām: 122) Sejatinya, hidupnya seorang dai bukan hanya ketika ruhnya
masih ada di raganya, tetapi juga ketika dakwahnya tetap hidup di tengah-tengah manusia.
Lihatlah kisah Abu Sufyan bersama Heraklius; ketika dia mendengar berita diutusnya Nabi صلى الله عليه وسلم, dia
mengundang Abu Sufyan dan bertanya kepadanya tentang Nabi صلى الله عليه وسلم; tentang diri, nasab, dakwah, dan
pengikut beliau.
Setelah Abu Sufyan menjawab semua pertanyaannya, Heraklius berkata kepadanya, "Jika apa yang
engkau katakan itu benar, pasti dia akan menguasai kekuasaan yang ada di bawah kedua kaki saya ini."
Subḥānallāh! Siapa yang menyangka seorang raja empirier -sebagaimana yang mereka katakan- akan
mengucapkan kata-kata seperti ini tentang Muhammad صلى الله عليه وسلم, padahal ketika itu beliau belum
membebaskan Jazirah Arab dari perbudakan setan dan hawa nafsu?! Siapa yang menyangka tokoh
seperti ini akan mengucapkan kata-kata seperti ini?! Oleh karena itu, setelah keluar, Abu Sufyan berkata
kepada kaumnya, "Sungguh, perkara cucu Abi Kabsyah (Nabi Muhammad) telah besar. Sungguh dia
ditakuti oleh Raja Bangsa Romawi." Di antaranya firman Allah -Ta'ālā-: "Sungguh, engkau telah berbuat
sesuatu kesalahan yang besar.” (QS. Al-Kahf: 71)
Nabi صلى الله عليه وسلمtelah menguasai kekuasaan Heraklius dengan dakwahnya, bukan dengan fisiknya, karena
dakwah beliau sampai ke negeri tersebut dengan sukses menghancurkan berhala dan kesyirikan
bersama para pelakunya, serta berhasil dikuasai oleh para khulafaurasyidin setelah Nabi Muhammad
صلى الله عليه وسلم. Mereka menguasainya dengan dakwah Nabi صلى الله عليه وسلمdan dengan syariat Nabi .صلى الله عليه وسلم
Jadi, seorang dai harus sabar. Kesudahan yang baik akan menjadi miliknya jika dia jujur terhadap Allah,
baik di masa hidupnya ataupun setelah dia meninggal dunia:
"Sesungguhnya bumi (ini) milik Allah; diwariskan-Nya kepada siapa saja yang Dia kehendaki di antara
hamba-hamba-Nya. Kesudahan (yang baik) adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-A'rāf: 128)
Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Sesungguhnya barang siapa bertakwa dan bersabar, maka sungguh, Allah
tidak menyia-nyiakan pahala orang yang berbuat baik." (QS. Yūsuf: 90)
Bekal ketiga: sifat hikmah; yaitu dia berdakwah kepada Allah dengan hikmah. Betapa pahitnya sikap
hikmah bagi orang yang tidak memiliki sifat hikmah! Berdakwah kepada Allah -Ta'ālā- harus dilakukan
dengan hikmah, kemudian nasihat yang baik, kemudian debat dengan cara yang terbaik terhadap orang
yang tidak zalim, kemudian dengan cara yang tidak terbaik bagi orang yang zalim. Jadi, tahapannya ada
empat.
Allah -Ta'ālā- berfirman, "Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang
baik dan debatlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang lebih
mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui siapa yang mendapat
petunjuk." (QS. An-Naḥl: 125) Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Janganlah kamu berdebat dengan Ahli Kitab
melainkan dengan cara yang baik, kecuali dengan orang-orang yang zalim di antara mereka, dan
katakanlah, 'Kami telah beriman kepada (kitab-kitab) yang diturunkan kepada kami dan yang diturunkan
kepadamu; Tuhan kami dan Tuhan kamu satu dan hanya kepada-Nya kami berserah diri.'” (QS.
Al-Ankabūt: 46)
Sikap hikmah ialah melakukan sesuatu secara profesional dengan menempatkan segala sesuatu pada
tempatnya. Bukanlah sikap hikmah bila Anda terburu-buru dan menginginkan manusia berbalik dari
keadaan mereka sekarang kepada keadaan para sahabat dalam 24 jam.
Siapa yang menginginkan seperti itu maka dia adalah orang yang lemah akalnya dan jauh dari sifat
hikmah karena hikmah Allah جل جلاله tidak memungkinkan yang seperti itu.
Di antara yang menunjukkan hal itu adalah bahwa Rasulullah Muhammad صلى الله عليه وسلمyang diturunkan
kepadanya Al-Qur`ān, syariat turun kepadanya secara bertahap hingga mengakar dalam hati dan
sempurna. Salat diwajibkan pada peristiwa mikraj, tiga tahun sebelum hijrah. Ada yang berpendapat satu
setengah tahun. Yang lain berpendapat lima tahun; seiring dengan perbedaan ulama dalam masalah ini.
Kendati demikian, salat belum diwajibkan seperti modelnya sekarang.
Salat pertama kali diwajibkan dua rakaat untuk Zuhur, Asar, Isya, dan Subuh. Sedangkan Magrib tiga
rakaat, sebagai witir salat siang. Setelah hijrah dan setelah Rasulullah صلى الله عليه وسلمmelewatkan tiga belas tahun
di Makkah, salat ketika mukim ditambahkan menjadi empat rakaat pada salat Zuhur, Asar, dan Isya.
Sedangkan salat Subuh tetap seperti sedia kala karena bacaan pada salat Subuh dipanjangkan.
Demikian juga salat Magrib tetap tiga rakaat karena merupakan witir salat siang.
Zakat diwajibkan pada tahun kedua setelah hijrah atau telah diwajibkan di Makkah, namun belum
ditentukan nisab dan kadarnya. Nabi صلى الله عليه وسلمbelum mengutus amil zakat untuk memungut zakat kecuali
pada tahun kesembilan setelah hijrah.
Kewajiban zakat ditentukan dalam tiga tahapan: Pertama: ketika di Makkah, yaitu dalam firman Allah:
"Tunaikanlah haknya (zakatnya) pada waktu memetik hasilnya." (QS. Al-An'ām: 141) Di sini, belum
dijelaskan apa yang diwajibkan dan berapa kadar yang diwajibkan, melainkan perkara itu diserahkan
kepada manusia. Kedua: pada tahun kedua setelah hijrah. Saat itu, zakat dijelaskan dengan
nisab-nisabnya. Ketiga: pada tahun kesembilan setelah hijrah. Nabi صلى الله عليه وسلمmengirim para amil zakat ke
para pemilik ternak gembala dan perkebunan untuk menarik zakat. Perhatikanlah bagaimana Allah جل جلاله
memperhatikan keadaan manusia dalam pensyariatan. Sungguh Dialah yang Mahabijaksana.
Demikian juga ibadah puasa, pensyariatannya bertahap. Ketika pertama kali diwajibkan, umat Islam
diberikan pilihan antara berpuasa atau memberi makan. Setelahnya, baru puasa diwajibkan tanpa ada
pilihan lain, sedangkan memberi makan diperuntukkan bagi orang yang tidak mampu berpuasa secara
permanen.
Saya katakan: hikmah Allah tidak memungkinkan dunia berubah seketika dalam sehari semalam. Sebab
itu, seorang dai harus bernafas panjang. Terimalah dari saudara Anda kebenaran yang dimilikinya hari ini,
lalu bertahaplah bersamanya sedikit demi sedikit, sampai Anda mencabutnya dari kebatilan secara total.
Jangan jadikan semua manusia itu sama. Ada perbedaan antara orang yang tidak tahu dengan orang
yang sombong.
Barangkali tepat bila saya bawakan beberapa contoh dakwah Rasulullah :صلى الله عليه وسلم
Contoh pertama: Ada seorang laki-laki badui datang, sementara Nabi صلى الله عليه وسلمsedang duduk bersama
sahabat-sahabat beliau di masjid. Lantas laki-laki badui itu kencing di salah satu sudut masjid, sehingga
orang-orang menghardiknya dengan keras. Tetapi, Nabi صلى الله عليه وسلم-sebagai orang yang dianugerahi hikmah
oleh Allah- justru melarang mereka.
Setelah laki-laki itu menuntaskan kencingnya, beliau صلى الله عليه وسلمmemerintahkan supaya kencingnya disiram
dengan satu ember air, sehingga kotorannya itu pun lenyap. Lalu Rasulullah صلى الله عليه وسلمmemanggil laki-laki
badui itu dan berpesan, "Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak layak sedikit pun padanya kencing dan
kotoran. Masjid-masjid itu hanya untuk ibadah salat dan membaca Al-Qur`ān." Atau sebagaimana yang
disabdakan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Maka dada laki-laki badui tersebut menjadi lapang dengan perlakuan
yang baik itu. Oleh karena itu, Anda dapatkan sebagian ulama menukil bahwa laki-laki badui itu berkata,
"Ya Allah! Rahmatilah aku dan Muhammad dan jangan rahmati siapa pun bersama kami." Hal itu karena
Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلمmemperlakukannya dengan muamalah yang baik. Adapun para sahabat
-raḍiyallāhu 'anhum-, mereka berupaya menghilangkan kemungkaran tersebut tanpa mempertimbangkan
keadaan laki-laki yang jahil itu.
Contoh kedua: Mu'āwiyah bin al-Ḥakam -raḍiyallāhu 'anhu- datang saat Nabi صلى الله عليه وسلمsedang salat bersama
para sahabat, lalu turut salat bersama mereka. Lalu ada seorang laki-laki yang bersin, lantas
mengucapkan, "Alḥamdulillāh". Jadi, jika seseorang bersin di dalam salat, dia tetap membaca
"Alḥamdulillāh", baik ketika berdiri, rukuk, ataupun sujud.
Laki-laki itu membaca "Alḥamdulillāh". Maka Mu'āwiyah mengatakan, "Yarḥamukallāh". Tetapi, ini ucapan
kepada sesama manusia yang dapat membatalkan salat. Sebab itu, para sahabat memandangi dan
memelototinya. Mu'āwiyah berkata, "Wā ṡukla ummiyāh (Celaka aku)! Aṡ-ṡukl artinya: kehilangan.
Kalimat ini biasa diucapkan, tetapi tanpa memaksudkan makna aslinya. Nabi صلى الله عليه وسلمpernah
mengucapkannya kepada Mu'āż bin Jabal -raḍiyallāhu 'anhu- tatkala beliau bersabda, "Maukah engkau
kukabari kunci itu semuanya?" Mu'āż menjawab, "Tentu, wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Tahan ini."
Beliau memegang lidah beliau dan berkata, "Tahan ini!" Mu'āż berkata, "Apakah kita akan disiksa dengan
sebab apa yang kita ucapkan?" Beliau bersabda, "ṡakilatka ummuka (Celaka engkau), wahai Mu'āż.
Bukankah manusia dilemparkan ke neraka di atas muka mereka -atau beliau menyebutkan: di atas
hidung mereka- kecuali karena buah dari lidah mereka?!"
Kemudian Mu'āwiyah -raḍiyallāhu 'anhu- meneruskan salatnya. Setelah salatnya selesai, Nabi صلى الله عليه وسلم
memanggilnya. Mu'āwiyah -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Demi Allah! Belum pernah aku melihat seorang
pendidik yang lebih baik cara didikannya daripada beliau. Demi Allah! Beliau tidak menghardikku sama
sekali. Beliau hanya berkata,
'Sesungguhnya di dalam salat itu tidak pantas terdapat ucapan manusia. Salat itu hanyalah tasbih, takbir,
dan bacaan Al-Qur'ān.'" Atau sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah جل جلاله. Lihatlah dakwah yang
disukai oleh jiwa ini, manusia menerimanya serta dadanya lapang dengannya.
Di antara faedah fikih yang dapat kita ambil dari hadis ini adalah bahwa orang yang berbicara dalam
salat, bila dia tidak tahu bahwa berbicara membatalkan salat, maka salatnya tetap sah.
Contoh ketiga: Ada seorang laki-laki datang menemui Nabi صلى الله عليه وسلمlalu berkata, "Wahai Rasulullah! Aku
telah binasa!" Beliau bertanya, "Apa yang membinasakanmu?" Laki-laki itu menjawab, "Aku menggauli
istriku di siang Ramadan sementara aku sedang berpuasa." Maka Nabi صلى الله عليه وسلمmemerintahkannya untuk
memerdekakan seorang budak. Dia berkata, "Aku tidak mampu." Kemudian beliau memerintahkannya
supaya berpuasa dua bulan berturut-turut; dia berkata, "Aku tidak mampu." Kemudian beliau
memerintahkannya supaya memberi makan enam puluh orang miskin; dia berkata, "Aku tidak mampu."
Lalu laki-laki itu duduk, lantas ada kurma dibawakan untuk Nabi صلى الله عليه وسلم, maka beliau bersabda, "Ambil itu,
lalu sedekahkanlah."
Akan tetapi, laki-laki tersebut berharap mendapatkan kemurahan Nabi صلى الله عليه وسلمyang merupakan kemurahan
paling besar bagi makhluk karena Rasulullah صلى الله عليه وسلمadalah orang yang paling dermawan. Maka dia
bertanya, "Apakah kepada orang yang lebih fakir dariku, wahai Rasulullah? Demi Allah! Di Kota Madinah
ini, tidak ada keluarga yang lebih fakir dariku." Maka Nabi صلى الله عليه وسلمtertawa sampai terlihat gigi taring atau gigi
geraham beliau karena laki-laki itu datang dalam keadaan takut dengan mengatakan "saya telah binasa",
namun setelahnya dia pulang dalam keadaan meraih keuntungan. Maka Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Berikan ia
untuk keluargamu." Laki-laki itu pun pulang dengan hati yang tenang, meraih keuntungan, senang
dengan agama Islam, dan meraih kemudahan ini dari dai pertama agama Islam, Muhammad .صلى الله عليه وسلم
Contoh keempat: Mari kita lihat bagaimana Nabi صلى الله عليه وسلمmemperlakukan pelaku dosa.
Nabi صلى الله عليه وسلمpernah melihat seorang laki-laki yang di tangannya ada sebuah cincin emas, maka Nabi صلى الله عليه وسلم
melepasnya dengan tangannya yang mulia dan membuang cincin itu ke tanah, lalu beliau bersabda,
"Salah seorang kalian sengaja mengambil bara api lalu meletakkannya di tangannya!" Nabi صلى الله عليه وسلمtidak
memperlakukannya seperti memperlakukan orang-orang sebelumnya. Melainkan beliau melepas cincin
itu dari tangannya dan membuangnya ke tanah. Ketika Nabi صلى الله عليه وسلمpergi, ada yang berkata kepada laki-laki
tersebut, "Ambillah cincinmu dan manfaatkan." Laki-laki itu menjawab, "Demi Allah! Aku tidak akan
mengambil cincin yang dibuang oleh Nabi صلى الله عليه وسلم." Allāhu akbar! Seperti inilah kepatuhan yang besar dari
para sahabat. Semoga Allah meridai mereka.
Intinya, seorang dai wajib berdakwah kepada Allah جل جلاله dengan hikmah. Orang yang jahil tidak sama
dengan orang yang berilmu, dan orang yang menolak karena sombong tidak sama dengan orang yang
tunduk. Setiap tempat memiliki pembahasan tersendiri dan setiap kedudukan memiliki keadaan.
Bekal keempat: seorang dai harus berakhlak dengan akhlak mulia. Pengaruh ilmu harus tampak pada
akidahnya, pada ibadahnya, pada pembawaannya, dan pada semua perilakunya supaya dia dapat
memerankan peran seorang dai.
Adapun jika sebaliknya, maka dakwahnya akan gagal. Bahkan kalaupun berhasil, maka keberhasilannya
sedikit.
Seorang dai harus mengaplikasikan apa yang dia dakwahkan; berupa ibadah, muamalah, ataupun akhlak
dan perilaku, supaya dakwahnya diterima dan supaya dia tidak termasuk orang yang paling pertama
dimasukkan ke dalam neraka.
Saudara-saudara sekalian! Jika kita melihat keadaan kita, kita mendapatkan realitas bahwa kita kadang
mengajak kepada sesuatu namun kita tidak melaksanakannya. Tidak diragukan bahwa ini adalah cacat
yang besar kecuali kalau kita dihalangi dari pelaksanannya oleh pertimbangan kepada sesuatu yang lebih
maslahat, karena masing-masing tempat memiliki pembahasan.
Sesuatu yang lebih utama bisa menjadi kurang utama lantaran beberapa perkara yang menjadikan
sesuatu yang kurang utama itu menjadi lebih utama. Oleh karena itu, Rasulullah صلى الله عليه وسلمmengajak kepada
sebagian perkara namun beliau kadang lebih menyibukkan diri dengan hal lainnya yang lebih penting.
Terkadang beliau rutin melakukan puasa sampai dikatakan: beliau tidak berhenti puasa. Sebaliknya,
terkadang beliau sering tidak berpuasa sampai dikatakan: beliau tidak pernah puasa.
Saudara-saudara sekalian! Saya menginginkan dari setiap dai agar mengaplikasikan akhlak yang pantas
bagi seorang dai supaya dia menjadi dai sejati dan supaya ucapannya bisa lebih diterima.
Bekal kelima: seorang dai harus merobohkan tembok yang membatasi antara dia dengan masyarakat;
karena banyak di antara saudara kita, para dai, ketika melihat orang-orang melakukan kemungkaran,
terkadang rasa cemburu dan kebenciannya terhadap kemungkaran membawanya untuk tidak menemui
orang-orang itu serta tidak mau menasihati mereka.
Ini salah dan sama sekali bukan sikap hikmah. Sikap hikmah ialah Anda pergi menemui dan mendakwahi
mereka; menyampaikan kebenaran, memotivasi mereka untuk mengikutinya, dan mengingatkan mereka.
Jangan katakan: mereka itu orang-orang fasik, saya tidak mungkin berjalan di seputar mereka! Wahai dai
muslim! Jika Anda tidak mungkin berjalan di sekitar mereka dan tidak juga pergi menemui untuk
mengajak mereka kepada Allah, lalu siapa yang akan mengurus mereka? Apakah mereka akan diurus
oleh salah satu mereka?! Apakah mereka harus diurus oleh orang-orang yang tidak memiliki ilmu?! Sama
sekali itu tidak boleh! Oleh karena itu, seorang dai harus sabar. Perkara ini termasuk jenis sabar yang
telah kita sebutkan sebelumnya, yaitu agar dia menyabarkan dirinya serta memaksanya dan agar dia
menghilangkan pembatas yang memisahkan antara dirinya dengan manusia, supaya dia bisa
menyampaikan dakwahnya kepada orang-orang yang membutuhkannya. Adapun bersikap gengsi, maka
ini bertolak belakang dengan apa yang dilakukan oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Nabi صلى الله عليه وسلم-sebagaimana
diketahui- biasa pergi di hari-hari Mina menemui kaum musyrikin di tempat-tempat mereka dan mengajak
mereka kepada Allah. Diriwayatkan dari Nabi صلى الله عليه وسلمbahwa beliau bersabda, "Adakah satu orang yang mau
membawaku untuk menyampaikan firman Tuhanku? Sungguh orang-orang Quraisy menghalangiku untuk
menyampaikan firman Tuhanku." Jika seperti ini yang dilakukan oleh nabi, imam, dan panutan kita,
Muhammad صلى الله عليه وسلم, maka kewajiban kita ialah meniru beliau di dalam berdakwah kepada Allah.
Bekal keenam: hati seorang dai harus lapang kepada orang yang menyelisihinya, terlebih jika dia
mengetahui bahwa orang yang menyelisihinya itu memiliki niat baik dan tidak menyelisihinya melainkan
karena mengikuti konsekuensi dalil yang dimilikinya.
Sepatutnya bagi seseorang agar bersikap lentur dalam perkara ini dan tidak menjadikan perbedaan
pendapat sebagai penyulut permusuhan dan kebencian. Kecuali seseorang yang menyelisihi karena
sombong; yaitu kebenaran telah diterangkan kepadanya namun dia bersikukuh pada kebatilannya. Orang
yang seperti ini patut disikapi dengan mengingatkan orang lain darinya karena permusuhannya telah
jelas, yaitu kebenaran telah dijelaskan kepadanya namun tidak dia laksanakan.
Ada beberapa masalah furuk yang diperselisihkan oleh manusia, masalah-masalah tersebut sebenarnya
termasuk yang Allah berikan keluasan padanya bagi hamba-hamba-Nya. Maksud saya:
masalah-masalah itu bukan persoalan usul yang penyelisihnya sampai dikafirkan. Masalah-masalah ini
termasuk yang Allah berikan keluasan bagi hamba-hamba-Nya dan kesalahan di dalamnya dijadikan
sebagai hal ringan oleh Allah.
Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Jika seorang hakim hendak memutuskan hukum, maka dia berijtihad lalu dia benar,
baginya dua pahala. Namun jika dia salah, baginya satu pahala." Seorang yang berijtihad sama sekali
tidak keluar dari lingkaran pahala; antara dua pahala jika dia benar atau satu pahala jika dia salah. Jika
Anda tidak ingin diselisihi oleh orang lain, maka orang lain juga menginginkan agar tidak ada seorang pun
yang menyelisihinya. Sebagaimana Anda ingin agar orang-orang mengambil pendapat Anda,
orang-orang yang menyelisihi Anda juga ingin agar semua orang mengambil pendapatnya. Rujukan
ketika terjadi perselisihan ialah yang dijelaskan oleh Allah جل جلاله dalam firman-Nya: "Apa pun yang kamu
perselisihkan padanya tentang sesuatu, keputusannya (terserah) kepada Allah. (Yang memiliki sifat-sifat
demikian) itulah Allah Tuhanku. Kepada-Nya aku bertawakal dan kepada-Nya aku kembali." (QS.
Asy-Syūrā: 10) Allah جل جلاله juga berfirman, "Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah, taatilah Rasul
(Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian jika kamu berbeda
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Al-Qur`ān) dan Rasul (sunnahnya), jika
kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu, lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya." (QS. An-Nisā`: 59).Sebab itu, semua orang yang berselisih dan berbeda pendapat wajib
untuk kembali kepada dua asas ini: Kitābullāh dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Siapa pun tidak boleh untuk
membantah firman Allah -Ta'ālā- dan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلمdengan ucapan siapa pun, siapa pun dia.
Jika kebenaran telah nyata, maka kewajiban Anda ialah membuang jauh perkataan siapa saja yang
menyelisihinya dan tidak menoleh padanya, seperti apa pun kedudukan ilmu dan agamanya; karena
manusia bisa salah, sedangkan firman Allah -Ta'ālā- dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلمtidak mengandung
kesalahan.
Sangat saya sayangkan, saya mendapati sejumlah orang yang tergolong bersemangat dalam menuntut
ilmu, namun kita dapati mereka berpecah belah, masing-masing memiliki nama tertentu atau ciri tertentu.
Ini sebenarnya salah karena agama Allah جل جلاله satu dan umat Islam juga satu. Allah جل جلاله berfirman,
"Sungguh, (agama tauhid) inilah agama kamu, agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka
bertakwalah kepada-Ku.” (QS. Al-Mu`minūn: 52) Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- berfirman kepada
Nabi-Nya, Muhammad صلى الله عليه وسلم, "Sesungguhnya orang-orang yang memecah belah agamanya dan mereka
menjadi (terpecah) dalam golongan-golongan, sedikit pun bukan tanggung jawabmu (Muhammad) atas
mereka. Sesungguhnya urusan mereka (terserah) kepada Allah. Kemudian Dia akan memberitahukan
kepada mereka apa yang telah mereka perbuat." (QS. Al-An'ām: 159) Allah جل جلاله juga berfirman, "Dia
(Allah) telah mensyariatkan padamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa
yang telah Kami wahyukan kepadamu (Muhammad) dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim,
Musa, dan Isa, yaitu tegakkanlah agama (keimanan dan ketakwaan) dan janganlah kamu berpecah-belah
di dalamnya. Sangat berat bagi orang-orang musyrik (untuk mengikuti) agama yang kamu serukan
kepada mereka. Allah memilih orang yang Dia kehendaki kepadanya (agama tauhid) dan memberi
petunjuk kepada (agama)-Nya bagi orang yang kembali (kepada-Nya)." (QS. Asy-Syūrā: 13) Jika ini
adalah arahan Allah جل جلاله untuk kita, maka kewajiban kita adalah mengambil arahan itu dan agar kita
berdiskusi untuk saling menasihati dan memperbaiki, bukan untuk mengkritik ataupun balas dendam.
Siapa saja yang mendebat orang lain dengan tujuan memenangkan pendapatnya dan merendahkan
pendapat orang lain atau dengan tujuan mengkritik, bukan memperbaiki, maka umumnya mereka selesai
dalam bentuk yang tidak mendatangkan rida Allah dan Rasul-Nya. Sebab itu, kewajiban kita dalam
perkara seperti ini adalah agar menjadi umat yang satu.
Saya tidak katakan: tidak ada yang salah. Masing-masing bisa salah dan bisa benar. Tetapi, pembahasan
kita ialah tentang jalan memperbaiki kesalahan itu. Jalan memperbaiki kesalahan bukan dengan saya
berbicara di belakang dan mencelanya. Tetapi, jalan menuju perbaikan ialah saya bertemu dan berdiskusi
dengannya.
Jika tampak setelah itu bahwa orang tersebut mempertahankan keangkuhannya serta kebatilan yang dia
anut, ketika itu saya memiliki uzur dan hak untuk meninggalkannya. Bahkan, saya wajib untuk
menjelaskan kesalahannya serta mengingatkan orang dari kesalahannya. Dengan cara seperti ini, urusan
dapat menjadi baik. Adapun berpecah-belah dan berkelompok-kelompok, hal itu tidak membuat senang
siapa pun kecuali bila dia adalah musuh bagi Islam dan umat Islam.
Hanya kepada Allah saya memohon, semoga Allah menyatukan hati kita untuk melakukan ketaatan
kepada-Nya; semoga kita dijadikan sebagai orang yang mencari solusi perselisihan kepada Allah dan
Rasulullah. Semoga niat kita diikhlaskan dan semoga kita diberikan petunjuk tentang apa yang masih
samar di antara syariat-Nya. Sungguh dia Mahadermawan lagi Maha Pemurah.
Segala puji hanya milik Allah, Tuhan alam semesta. Semoga selawat dan salam dilimpahkan kepada nabi
kita, Muhammad, berserta seluruh keluarga dan para sahabat beliau.
BEKAL DAI DALAM BERDAKWAH