RINGKASAN HUKUM SEPUTAR KURBAN
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Kata Pengantar
Segala puji milik Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan dan ampunan-Nya, serta bertobat
kepada-Nya.
Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan dari keburukan amal kita. Siapa saja yang
diberikan petunjuk oleh Allah, tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Sementara, siapa saja yang
disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya juga bersaksi
bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam
kepada beliau beserta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik. Amabakdu:
Saya pernah menulis sebuah buku [(1)] tentang hukum-hukum kurban dan penyembelihan secara luas
setebal 93 halaman.
Dalam buku tersebut disebutkan perbedaan pendapat para ulama dan diskusi yang panjang bagi para
pembaca. Maka saya berpikir untuk menulis ringkasan buku tersebut dengan menghilangkan apa yang
sekiranya tidak perlu dan menambah hal yang dianggap perlu. (1) Ditulis pada bulan Rajab tahun 1396 H.
Saya memohon kepada Allah agar menjadikan seluruh amal kami ini murni untuk-Nya, mampu
menjelaskan syariat-Nya, bermanfaat untuk kami dan seluruh kaum muslimin. Sungguh, Dia Maha
Pemurah lagi Mahamulia.
Ringkasan ini mencakup beberapa bab sebagai berikut:
Bab 1: Definisi dan Hikmah Kurban
Bab 2: Syarat-syarat Hewan Kurban
Bab 3: Jenis dan Kriteria Hewan Kurban yang Paling Utama dan yang Makruh
Bab 4: Jumlah Orang untuk Satu Hewan Kurban
Bab 5: Hal-hal yang Menjadikan Hewan Berstatus Sebagai Hewan Kurban serta Hukum-hukumnya
Bab 6: Ketentuan Daging Kurban yang Dikonsumsi Sendiri dan yang Didistribusikan
Bab 7: Larangan Bagi Orang yang Akan Berkurban
Bab 8: Penyembelihan dan Syarat-syaratnya
Bab 9: Adab-adab Penyembelihan
Bab 10: Hal-hal yang Makruh dalam Penyembelihan
Penulis.
*
BAB 1: DEFINISI DAN HIKMAH KURBAN
Kurban adalah hewan yang disembelih pada hari-hari Idul Adha dengan sebab hari raya untuk
mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla.
Kurban merupakan salah satu syiar Islam yang disyariatkan berdasarkan Al-Qur`an dan Sunnah
Rasulullah صلى الله عليه وسلمserta ijmak kaum muslimin.
Allah -Ta'ālā- berfirman, "Maka laksanakanlah salat karena Tuhanmu, dan berkurbanlah (sebagai ibadah
dan mendekatkan diri kepada Allah)." (QS. Al-Kauṡar: 2)
Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Katakanlah (Muhammad), 'Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan seluruh alam. Tidak ada sekutu bagi-Nya; dan demikianlah yang
diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama berserah diri (muslim)'." (QS.
Al-An'ām: 162-163). Kata "An-Nusuk" pada ayat di atas maksudnya penyembelihan, sebagaimana
dikatakan oleh Sa'īd bin Jubair. Ada juga yang berpendapat bahwa maksudnya adalah semua jenis
ibadah, termasuk di antaranya menyembelih kurban, dan makna ini lebih umum. Allah -Ta'ālā- juga
berfirman, "Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut
nama Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak. Maka Tuhanmu
ialah Tuhan Yang Maha Esa, karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya." (QS. Al-Ḥajj: 34).
Dalam Sahih Bukhari dan Sahih Muslim diriwayatkan dari Anas bin Mālik -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata,
"Nabi صلى الله عليه وسلمberkurban dengan dua ekor domba berwarna putih campur hitam. Beliau menyembelih
keduanya dengan tangannya sendiri, membaca 'bismillāh, allāhu akbar', dan meletakkan kaki beliau di
samping lehernya."
Abdullah bin Umar -raḍiyallāhu 'anhumā- berkata,
"Nabi صلى الله عليه وسلمtinggal di Madinah selama sepuluh tahun senantiasa berkurban." (HR. Ahmad dan Tirmizi.
Tirmizi berkata, "Hadis hasan").
Uqbah bin 'Āmir -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمmembagikan hewan kurban untuk
sahabat-sahabat beliau. Ternyata Uqbah mendapatkan jaża'ah, dia berkata, "Wahai Rasulullah, saya
mendapatkan jaża'ah." Beliau bersabda, "Berkurbanlah dengannya."
(HR. Bukhari dan Muslim).
Al-Barā` bin 'Āzib -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Siapa yang menyembelih
kurban setelah salat Id maka ibadah kurbannya telah sempurna dan sesuai dengan sunnah kaum
muslimin."
(HR. Bukhari dan Muslim).
Rasulullah صلى الله عليه وسلمtelah berkurban, demikian juga sahabat-sahabat beliau -raḍiyallāhu 'anhum- berkurban.
Beliau mengabarkan bahwa berkurban adalah sunnah kaum muslimin, yakni kebiasaan mereka.
Oleh karena itu, syariat kurban merupakan ijmak kaum muslimin, sebagaimana dinukil oleh banyak
ulama.
Namun mereka berbeda pendapat, apakah berkurban hukumnya sunnah muakadah ataukah wajib yang
tidak boleh ditinggalkan?
Mayoritas ulama berpendapat hukumnya sunnah muakadah, dan ini adalah mazhab Syafi'i serta
pendapat yang masyhur dari Imam Malik serta Imam Ahmad.
Sebagian ulama berpendapat hukumnya wajib. Ini adalah mazhab Abu Hanifah dan salah satu riwayat
dari Imam Ahmad. Pendapat ini yang dipilih oleh Ibnu Taimiyah; beliau berkata, "Pendapat ini adalah satu
dari dua pendapat dalam mazhab Imam Malik atau yang zahir dari mazhab Imam Malik."([2]) ([2]) Lihat
dalil kedua belah pihak dan diskusinya di buku induk hal. 7-15. (Penulis)
Menyembelih hewan kurban lebih utama daripada bersedekah uang senilai harga hewan kurban tersebut,
karena hal itu adalah amalan Nabi صلى الله عليه وسلمdan para sahabat bersama beliau. Demikian juga menyembelih
kurban merupakan salah satu syiar Allah -Ta'ala-, sekiranya umat Islam meninggalkannya dan
menggantinya dengan sedekah maka syiar ini akan terbengkalai. Seandainya bersedekah dengan uang
seharga hewan kurban lebih utama daripada menyembelih hewan kurban, pasti Nabi صلى الله عليه وسلمtelah
menjelaskannya kepada umat beliau, baik dengan perkataan maupun dengan perbuatan;
sebab mustahil beliau tidak menjelaskan yang terbaik untuk umat. Bahkan, seandainya bersedekah
keutamaannya setara dengan menyembelih kurban, tentu beliau juga sudah menjelaskannya, lantaran
beban bersedekah lebih ringan daripada menyembelih, dan tidak mungkin Nabi صلى الله عليه وسلمtidak menjelaskan
amalan yang lebih ringan bagi umat beliau jika keutamaannya sama dengan amalan yang lebih berat.
Masyarakat pernah ditimpa kelaparan di zaman Nabi صلى الله عليه وسلم, maka beliau bersabda, "Siapa saja di antara
kalian yang berkurban, janganlah ia memasuki waktu pagi setelah hari ketiga, sementara di rumahnya
masih ada daging kurban yang tersisa."
Ketika tahun berikutnya, mereka berkata, "Wahai Rasulullah! Apakah kami harus melakukan seperti yang
telah kami lakukan tahun lalu?" Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Makanlah, berilah makan orang lain, serta
simpanlah! Sungguh, tahun itu orang-orang ditimpa kesulitan sehingga aku menginginkan kalian
membantu dalam kesulitan itu." (Muttafaq 'alaih).
Ibnul-Qayyim -raḥimahullāh- berkata,
"Menyembelih sesuai dengan peruntukannya lebih afdal daripada bersedekah dengan harganya." Beliau
berkata, "Karenanya, seandainya seseorang bersedekah untuk dam tamattu' dan qirān dengan
berlipat-lipat kali harganya, hal itu tidak dapat menggantikannya, demikian juga kurban." Selesai.
*
Pasal [Berkurban untuk Orang yang Sudah Meninggal]
Pada dasarnya ibadah kurban disyariatkan untuk orang hidup, sebagaimana dahulu Rasulullah صلى الله عليه وسلمdan
sahabat-sahabat beliau berkurban untuk diri beliau dan keluarganya.
Adapun sangkaan sebagian orang awam bahwa kurban khusus bagi orang yang sudah meninggal,
pendapat itu tidak memiliki landasan. Kurban untuk orang yang telah meninggal terbagi menjadi tiga:
Pertama: Berkurban untuk orang yang telah meninggal, dan ia termasuk anggota keluarga orang yang
berkurban yang masih hidup. Misalnya, seseorang berkurban untuk dirinya dan keluarganya, dan dia
meniatkan keluarga yang masih hidup dan yang telah meninggal.
Dasar hukum masalah ini ialah ibadah kurban Nabi صلى الله عليه وسلمuntuk dirinya dan keluarganya, termasuk di
dalamnya orang yang sudah meninggal dunia sebelumnya.
Kedua: Berkurban untuk orang yang sudah meninggal dalam rangka melaksanakan wasiatnya. Dasar
hukum masalah ini ialah firman Allah -Ta'ālā-,
"Barang siapa yang mengubahnya (wasiat itu) setelah mendengarnya, maka sesungguhnya dosanya
hanya bagi orang yang mengubahnya. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Mengetahui." (QS.
Al-Baqarah: 181).
Ketiga: Berkurban untuk orang yang telah meninggal sebagai sedekah, secara berdiri sendiri terlepas dari
orang hidup. Hal ini hukumnya boleh, sebagaimana ditegaskan oleh para ahli fikih dalam mazhab
Hanbali, bahwa pahalanya sampai dan berguna bagi mayit, dikiaskan pada sedekah untuk mayit. Akan
tetapi kami tidak melihat berkurban untuk mayit secara khusus termasuk amalan sunnah,
karena Nabi صلى الله عليه وسلمtidak pernah berkurban khusus untuk salah satu keluarga beliau yang telah meninggal.
Beliau tidak pernah berkurban untuk paman beliau, Hamzah -raḍiyallāhu 'anhu-, padahal dia termasuk
keluarga yang paling beliau hormati. Tidak juga untuk anak-anak beliau yang meninggal di masa hidup
beliau, yaitu 3 anak perempuan yang telah menikah dan 3 anak laki-laki yang masih kecil. Tidak juga
untuk istri beliau, khadijah, padahal dia adalah istri yang paling beliau cintai. Demikian juga tidak ada satu
orang sekalipun di antara kalangan sahabat -raḍiyallāhu 'anhum- di masa hidup beliau yang berkurban
khusus untuk keluarganya yang sudah meninggal .
Kami juga berpendapat termasuk kesalahan yang dilakukan sebagian orang ialah berkurban untuk mayit
di tahun pertama kematiannya, yang mereka sebut sebagai "kurban ḥufrah", dan mereka meyakini bahwa
tidak boleh menggandengkannya dengan siapa pun dalam pahala kurban itu, atau berkurban untuk
orang-orang yang telah meninggal secara sukarela ataupun untuk melaksanakan wasiatnya, lalu mereka
tidak berkurban untuk diri sendiri dan keluarga mereka.
Seandainya mereka tahu bahwa ketika seseorang berkurban dengan hartanya untuk dirinya dan
keluarganya, dan hal itu mencakup keluarganya yang masih hidup dan yang telah meninggal dunia,
niscaya mereka tidak beralih kepada amalan yang keliru tersebut.
*
BAB 2: SYARAT-SYARAT HEWAN KURBAN
Hewan kurban harus memenuhi enam syarat:
Pertama: Harus berupa hewan ternak, yaitu unta, sapi, dan kambing, termasuk domba. Hal ini
berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-,
"Dan bagi setiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), agar mereka menyebut nama
Allah atas rezeki yang dikaruniakan Allah kepada mereka berupa hewan ternak." (QS. Al-Ḥajj: 34).
Hewan ternak ialah unta, sapi, dan kambing. Ini yang makruf di kalangan bangsa Arab, dan merupakan
pendapat Al-Ḥasan, Qatādah, dan masih banyak lagi.
Kedua: Telah mencapai umur yang ditentukan syariat, yaitu berupa jaża'ah (telah berumur setengah
tahun) pada domba, dan ṡaniyyah pada jenis hewan lainnya.
Hal itu berdasarkan sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم, "Janganlah kalian menyembelih kurban kecuali musinnah
(berganti gigi), kecuali kalian kesulitan mendapatkannya, maka boleh menyembelih jaża'ah pada domba."
(HR. Muslim).
Musinnah ialah umur ṡaniyyah ke atas, sedangkan jaża'ah di bawah itu. Ṡaniyyah pada unta ialah yang
telah berumur genap 5 tahun; ṡaniyyah pada sapi ialah yang telah berumur genap 2 tahun; sedangkan
ṡaniyyah pada kambing ialah yang telah berumur genap 1 tahun. Adapun jaża'ah yaitu yang telah
berumur genap 1/2 (setengah) tahun.
Ibadah kurban tidak sah dengan unta, sapi, dan kambing di bawah umur ṡaniyyah. Demikian juga tidak
sah dengan domba di bawah umur jaża'ah (kurang dari setengah tahun).
Ketiga: Terbebas dari cacat yang akan menjadikannya tidak sah. Cacat di sini ada empat macam:
1- Buta sebelah yang jelas. Yaitu salah satu matanya tidak bisa melihat atau menonjol sampai seperti
kancing, atau putih merata yang menunjukkan kebutaannya.
2- Penyakit yang jelas. Yaitu penyakit yang gejalanya sangat terlihat, seperti demam yang sampai
menahannya pergi ke tempat penggembalaan serta menghilangkan selera makannya; penyakit kulit yang
tampak terlihat serta merusak daging atau berpengaruh terhadap kesehatannya; luka yang dalam yang
berpengaruh terhadap kesehatannya, dan semisalnya.
3- Pincang yang jelas. Yaitu kondisi pincangnya sampai tidak memungkinkannya untuk berjalan mengikuti
hewan lainnya yang sehat.
4- Kurus yang merusak otak. Hal ini berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلمketika ditanya apa yang harus
dihindari pada hewan kurban? Maka beliau berisyarat dengan tangan dan bersabda,
"Ada empat: hewan yang pincang yang jelas pincangnya, hewan yang buta yang jelas butanya, hewan
yang sakit yang jelas sakitnya, dan hewan kurus yang tidak berdaging." (HR. Malik di dalam Al-Muwaṭṭa`
dari hadis Al-Barā` bin 'Āzib). Di riwayat lain dalam kitab Sunan, Al-Barā` bin 'Āzib -raḍiyallāhu 'anhuberkata,
Rasulullah صلى الله عليه وسلمberkhotbah di hadapan kami, seraya berkata, "Empat jenis hewan yang tidak
dibolehkan pada hewan kurban ...", dan dia menyebutkan dengan redaksi yang serupa. Keempat cacat
ini menjadikan hewan kurban tidak sah.
Demikian juga cacat yang semisal atau yang lebih berat, sehingga ibadah kurban tidak sah karena
hal-hal berikut ini:
- Hewan yang buta kedua matanya sehingga tidak dapat melihat.
- Hewan yang kembung perutnya; sampai ia bisa buang kotoran dan risiko (kematian)nya hilang.
- Hewan yang sedang kesulitan melahirkan sampai bisa melahirkan serta risiko (kematian) hilang darinya.
- Hewan yang sedang mengalami musibah mematikan seperti tercekik, jatuh dari tempat tinggi, dan
semisalnya sampai risiko itu hilang.
- Az-Zamnā; yaitu hewan yang tidak kuat berjalan karena suatu penyakit.
- Hewan yang terpotong satu satu kaki depan atau kaki belakangnya.
Jika cacat-cacat ini Anda gabungkan bersama keempat macam cacat yang disebutkan dalam hadis,
maka hewan yang tidak boleh dijadikan sebagai kurban ada sepuluh; enam macam cacat ini dan empat
macam cacat sebelumnya.
Keempat: Merupakan hewan milik yang berkurban atau telah mendapatkan izin secara syariat atau dari
pemiliknya. Jadi, tidak sah berkurban dengan hewan hasil rampasan, curian, pengambilan dengan
gugatan yang batil, dan semisalnya, karena tidak dibenarkan beribadah kepada Allah dengan
kemaksiatan kepada-Nya.
Wali anak yatim boleh berkurban untuk anak yatim menggunakan hartanya jika hal seperti itu biasa di
masyarakat, dan anak yatim itu akan kecewa jika tidak ikut berkurban. Sama halnya seorang wakil boleh
berkurban menggunakan harta orang yang mewakilkan dengan seizinnya.
Kelima: Hewan kurban tidak terikat dengan hak orang lain; sehingga tidak sah hukumnya berkurban
dengan hewan yang digadaikan.([3]) ([3]) Kelima syarat di atas berlaku pada hewan kurban dan semua
penyembelihan yang disyariatkan, seperti hadyu tamattu' serta qirān dan akikah. (Penulis).
Keenam: Disembelih pada waktu yang ditentukan syariat; yaitu sejak selesai salat Id di hari raya Idul
Adha sampai tenggelam matahari di hari tasyrik terakhir, yaitu tanggal 13 Zulhijah. Maka, waktu
menyembelih ada empat hari: hari Idul Adha setelah salat Id dan tiga hari setelahnya.
Siapa yang melakukan penyembelihan sebelum salat Id selesai atau setelah tenggelam matahari di
tanggal 13, ibadah kurbannya tidak sah. Hal itu berdasarkan hadis riwayat Bukhari dari Al-Barā` bin 'Āzib
-raḍiyallāhu 'anhu- bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Siapa yang melakukan penyembelihan sebelum salat Id
maka ia adalah daging biasa yang dia suguhkan kepada keluarganya, sedikit pun tidak terhitung kurban."
Bukhari juga meriwayatkan dari Jundub bin Sufyān Al-Bajaliy -raḍiyallāhu 'anhu-, dia berkata, aku
menyaksikan Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Siapa pun yang melakukan penyembelihan sebelum salat Id,
hendaknya dia menggantinya dengan sembelihan yang lain." Nubaisyah Al-Hużaliy -raḍiyallāhu 'anhuberkata,
Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda, "Hari-hari tasyrik adalah hari makan dan minum serta zikir kepada
Allah -'Azza wa Jalla-." (HR. Muslim). Akan tetapi jika dia memiliki uzur di dalam mengakhirkannya dari
hari-hari tasyrik, misalnya: hewan kurban lepas bukan karena kelalaiannya lalu dia tidak menemukannya
kecuali setelah lewat waktunya, atau dia mewakilkan penyembelihannya kepada orang lain, lalu si wakil
lupa sampai waktunya habis, maka tidak masalah jika hewan kurban itu disembelih setelah lewat
waktunya disebabkan karena ada uzur. Demikian halnya dikiaskan pada orang yang tertidur atau lupa
sebuah salat, maka dia mengerjakannya ketika dia bangun atau ingat.
Boleh menyembelih hewan kurban pada waktunya, siang hari maupun malam. Tetapi menyembelih di
siang hari lebih utama, melakukannya di hari raya Idul Adha setelah khotbah Id lebih utama, dan
masing-masing hari lebih utama dari hari setelahnya, karena di dalamnya terkandung semangat
bersegera mengerjakan kebaikan.
*
BAB 3: JENIS DAN KRITERIA HEWAN KURBAN TERBAIK
DAN YANG MAKRUH
Jenis kurban yang paling utama ialah unta kemudian sapi jika dikurban utuh, kemudian domba, kemudian
kambing, kemudian sepertujuh unta, kemudian sepertujuh sapi.
Sedangkan kriteria kurban yang paling utama ialah yang paling gemuk dan paling banyak dagingnya,
paling sempurna fisiknya, dan paling enak dipandang.
Diriwayatkan di dalam Sahih Bukhari, Anas bin Mālik -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلم
berkurban dengan dua ekor domba besar yang bertanduk berwarna putih campur hitam. "Kabsy" ialah
domba yang besar. Sedangkan "amlaḥ" yaitu yang memiliki warna putih bercampur hitam, sehingga ia
berwarna putih ada kombinasi warna hitam.
Abu Sa'īd Al-Khudri -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Nabi صلى الله عليه وسلمberkurban dengan domba besar jantan yang
bertanduk, bulu-bulu sekitar mulutnya, matanya, dan kakinya berwarna hitam." (HR. Abu Daud, Nasa`i,
Tirmizi, dan Ibnu Majah. Tirmizi berkata, "Hasan sahih").Al-Faḥīl artinya: jantan. Makna "ya`kulu fī sawād
..." yaitu: bulu-bulu sekitar mulut, mata, dan kaki-kakinya berwarna hitam.
Abu Rāfi', mantan budak Nabi صلى الله عليه وسلمberkata, "Apabila Nabi صلى الله عليه وسلمakan berkurban, beliau membeli dua ekor
domba besar yang gemuk." Dalam redaksi lain, "... yang dikebiri." (HR. Ahmad).
Samīn: hewan yang memiliki banyak lemak dan daging. Maujū`: hewan yang dikebiri; biasanya hewan
yang seperti itu lebih enak dagingnya dari pejantan, sementara pejantan lebih sempurna fisiknya.
Itulah jenis dan kriteria hewan kurban yang paling utama.
Adapun hewan kurban yang hukumnya makruh, yaitu:
- Al-Aḍbā`, yaitu hewan yang telinga atau tanduknya terpotong setengah atau lebih.
- Al-Muqābalah, yaitu hewan yang telinganya sobek melintang dari depan.
- Al-Mudābarah, yaitu hewan yang telinganya sobek melintang dari belakang.
Asy-Syarqā`, yaitu hewan yang telinganya sobek memanjang.
- Al-Kharqā`, yaitu hewan yang telinganya berlubang.
- Al-Muṣfarah, yaitu hewan yang telinganya dipotong hingga terlihat liang telinganya. Pendapat lain
mengatakan, yaitu hewan yang kurus namun tidak sampai ke tingkat kehilangan otaknya.
- Al-Musta`ṣalah, yaitu hewan yang hilang seluruh tanduknya.
- Al-Bukhqā`, yaitu hewan yang hilang penglihatannya tetapi matanya masih utuh.
- Al-Musyayya'ah, yaitu hewan yang tidak dapat mengikuti kawanan kambing karena lemah kecuali ada
yang menggiringnya untuk dapat menyusul yang lain. Boleh juga dibaca al-musyayyi'ah, yaitu hewan
yang yang terlambat di belakang kawanan kambing lainnya, karena lemah sehingga seakan-akan ia
menjadi pengantar yang melepas mereka.
Inilah hewan yang hukumnya makruh, yang tertera di dalam hadis, terlarang untuk digunakan berkurban
karena cacat yang dimilikinya atau perintah untuk meninggalkannya. Setelah menggabungkan antara
hadis-hadis tersebut dan hadis riwayatnya Al-Barā` bin 'Āzib -raḍiyallāhu 'anhu- yang telah disebutkan
pada syarat ketiga, disimpulkan bahwa hukumnya makruh.
Ada jenis lain yang status kurbannya juga makruh karena ada unsur kesamaan sifat dengan yang
tersebut sebelumnya, yaitu:
- Al-Batrā` pada unta, sapi, dan kambing; yaitu hewan yang terpotong setengah ekornya atau lebih.
- Hewan yang terpotong kurang dari setengah bokongnya. Jika yang terpotong setengah atau lebih, maka
jumhur ulama berpendapat tidak sah. Adapun yang tidak memiliki bokong sejak bawaan lahir maka tidak
masalah.
- Hewan yang dipotong kemaluannya.
- Hewan yang sebagian giginya tanggal, walaupun itu gigi seri depan atau gigi seri samping. Namun, jika
giginya tidak ada sejak bawaan lahir maka tidak masalah.
- Hewan yang terpotong sebagian puting susunya. Jika tidak ada sejak bawaan lahir maka tidak makruh.
Jika air susunya terhenti padahal ambing susunya sempurna, maka tidak masalah.
Jika Anda gabungkan kelima hewan yang hukumnya makruh ini dengan sembilan yang makruh
sebelumnya, jumlahnya menjadi 14.
*
BAB 4: JUMLAH ORANG UNTUK SATU EKOR HEWAN
KURBAN
Satu ekor hewan kurban berupa kambing sah untuk satu orang beserta keluarganya dan kaum muslimin
lainnya yang dia inginkan.
Hal ini berdasarkan hadis riwayat Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمpernah minta dicarikan
domba besar yang bertanduk, yang berbulu hitam di kaki, di perut, dan sekitar matanya. Maka domba
yang dimaksud dibawakan kepada beliau untuk dikurban (disembelih). Beliau berkata kepada Aisyah,
"Wahai Aisyah, berikan aku pisau." Aisyah pun memberikannya. Beliau mengambilnya dan mengambil
domba tersebut lalu membaringkannya dan bersiap untuk menyembelihnya. Beliau membaca, "Bismillāh,
allāhumma taqabbal min muḥammad wa āli muḥammad wa min ummati muḥammad (Dengan nama
Allah, ya Allah, terimalah ini dari Muhammad dan keluarga Muhammad serta umat Muhammad)."
Kemudian beliau menyembelihnya. (HR. Muslim).
Abu Rāfi' -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan, bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمpernah berkurban dengan dua ekor domba
besar; salah satunya untuk beliau dan keluarganya, dan yang kedua untuk semua umat beliau." (HR.
Ahmad).
Abu Ayyūb -Al-Anṣāri -raḍiyallāhu 'anhu- berkata, "Orang di zaman Nabi صلى الله عليه وسلمbiasa berkurban dengan
kambing untuk dirinya dan keluarganya; ada bagian yang mereka makan dan ada yang dibagikan."
(HR. Ibnu Majah dan Tirmizi. Tirmizi menyatakan sahih).
Apabila seseorang berkurban dengan satu ekor kambing atau domba untuk dirinya dan keluarganya,
maka kurban tersebut mencakup semua keluarga yang diniatkannya, yang masih hidup dan yang telah
meninggal. Tetapi jika dia tidak meniatkan secara umum ataupun secara khusus, masuk dalam
keluarganya itu semua yang dicakup oleh lafal keluarga secara 'urf (budaya) atau bahasa.
Secara budaya, keluarga itu mencakup orang-orang yang dinafkahinya berupa istri, anak, dan kerabat.
Sedangkan secara bahasa mencakup semua kerabatnya; berupa keturunannya, keturunan ayahnya,
keturunan kakeknya, dan keturunan buyut (kakeknya ayah).
Peruntukan sepertujuh unta atau sepertujuh sapi sama seperti peruntukan satu ekor kambing. Sehingga,
bila seseorang berkurban dengan sepertujuh unta atau sapi untuk dirinya dan keluarganya, hal itu sah.
Yang demikian itu karena Nabi صلى الله عليه وسلمmenjadikan sepertujuh unta dan sapi dapat menggantikan kambing
dalam hadyu, maka demikian halnya dalam kurban, karena tidak ada perbedaan antara hewan kurban
dan hewan hadyu dalam hal ini.
Satu ekor kambing tidak sah untuk dimiliki oleh dua orang atau lebih yang bersepakat membeli
bersama-sama, lalu berkurban bersama dengan kambing itu, karena yang seperti itu tidak memiliki dalil
dalam Al-Qur`an dan Sunnah.
Sebagaimana delapan orang atau lebih tidak sah berkelompok dalam kepemilikan seekor unta atau sapi
dikarenakan ibadah itu bersifat tauqīfiyah (baku); tidak boleh melampaui batasan jumlah dan cara yang
telah ditentukan. Ini di luar penyertaan dalam pahala. Sedangkan penyertaan dalam pahala, maka tidak
ada pembatasan, sebagaimana pada dalil yang pernah disebutkan sebelumnya.
Atas dasar itu, jika terdapat sejumlah wasiat untuk sejumlah orang, masing-masing mewasiatkan hewan
kurban dari penghasilan wakaf -misalnya-, tetapi penghasilan setiap wasiat tidak cukup untuk membeli
hewan kurban, maka semua wasiat tersebut tidak boleh disatukan untuk membeli satu hewan kurban,
sebagaimana yang telah Anda ketahui bahwa satu ekor kambing tidak sah untuk dua orang atau lebih,
kecuali dalam hal pahala.
Maka, semua penghasilan wakaf ditabung hingga mencapai harga hewan kurban. Jika penghasilan kecil,
tidak akan terkumpul harga hewan kurban kecuali setelah sekian tahun, maka ia disedekahkan di bulan
Zulhijah.
Adapun jika pewasiat satu orang mewasiatkan sejumlah hewan kurban tetapi penghasilan wakaf tidak
cukup untuk semuanya, maka jika berkenan orang yang diberi wasiat boleh menggabungkan hewan
kurban menjadi satu hewan kurban saja karena yang berwasiat satu orang.
Atau jika berkenan, dia menyembelih satu hewan kurban di tahun tertentu dan satu hewan kurban
berikutnya di tahun yang lain. Akan tetapi pendapat pertama lebih utama.
*
Catatan Penting:
Ada sebagian pewasiat mengasumsikan nilai hewan kurban pada hasil usaha (keuntungan) karena dia
merasa bawah harganya tidak akan mungkin seperti yang disebutknnya. Misalnya dia mengatakan,
"Hewan kurban tetap disembelihkan untuk saya sekalipun harga hewan kurban mencapai satu riyal",
disebabkan hewan kurban di masanya sangat murah. Lalu sebagian orang yang diamanahi wasiat itu,
yang tidak takut kepada Allah, dengan sengaja tidak melaksanakan kurban itu dengan alasan pewasiat
menyebutkan harga satu riyal, sedangkan tidak ada hewan kurban seharga satu riyal, padahal
penghasilannya banyak.
Perbuatan semacam ini hukumnya haram dan dia berdosa dengan sebab itu. Maka, orang yang
diamanahi wasiat tersebut tetap harus melaksanakannya walaupun harga hewan kurban mencapai 1000
riyal selama penghasilan cukup untuk itu, karena tujuan pewasiat dengan angka perkiraan itu ialah
mengantisipasi kemungkinan terburuk dalam harga hewan kurban, bukan untuk membatasinya pada
harga itu.
*
BAB 5: HAL-HAL YANG MENJADIKAN HEWAN BERSTATUS
SEBAGAI HEWAN KURBAN SERTA HUKUM-HUKUMNYA
Seekor hewan ternah berubah status menjadi hewan kurban dengan salah satu hal berikut:
Pertama: Lafal. Yaitu pemiliknya mengatakan "ini kurban" dengan niat untuk menetapkannya. Adapun
kalau dia bermaksud menceritakan keinginannya di waktu depan, maka hewan itu tidak berstatus sebagai
hewan kubran dengan kalimat itu,
karena dia bertujuan mengabarkan apa yang akan dia lakukan di masa depan, tidak sedang berniat
menetapkannya.
Kedua: Perbuatan. Ini melalui dua cara:
A. Dia menyembelihnya dengan niat kurban. Apabila dia menyembelihnya dengan niat itu, maka hewan
tersebut berubah status menjadi hewan kurban dan berlaku padanya hukum-hukum terkait hewan
kurban.
B. Membelinya dengan niat kurban, jika diniatkan sebagai ganti dari hewan yang telah ditetapkan.
Misalnya, dia menetapkan seekor hewan kurban lalu hewan itu hilang atau mati karena kelalaiannya,
maka dia membeli hewan kurban yang lain dengan niat sebagai ganti hewan yang hilang atau mati itu.
Hewan itu menjadi hewan kurban hanya dengan membeli dibarengi niat itu, karena merupakan ganti dari
hewan yang sudah ditetapkan, dan status hukum pengganti sama dengan yang digantikan. Adapun jika
tidak diniatkan sebagai ganti hewan kurban yang telah ditetapkan, maka ia tidak serta-merta berstatus
sebagai hewan kubran dengan tindakan membelinya dengan niat akan berkurban. Sebagaimana ketika
seseorang membeli seorang budak dengan niat akan dimerdekakan, budak tersebut tidak serta-merta
merdeka dengan hanya dibeli. Atau dia membeli sesuatu untuk dijadikan wakaf, ia tidak serta-merta
menjadi wakaf hanya dengan dibeli. Demikian juga halnya ketika dia membeli seekor hewan dengan niat
akan dijadikan kurban, ia tidak serta-merta menjadi hewan kurban hanya dengan hal itu. Ketika hewan
kurban telah berstatus tetap, maka akan tersemat padanya beberapa hukum[4]: (1) Hewan hadyu di
dalam hukum-hukum ini sama seperti hukum hewan kurban. (Penulis).
Pertama: Tidak boleh melakukan tindakan yang akan menghalangi proses kurban, seperti menjual,
menghadiahkan, menggadaikan, dan lain sebagainya, kecuali dia akan menggantinya dengan yang lebih
baik demi kemaslahatan kurban, bukan untuk kepentingan pribadinya. Jika dia telah menetapkan seekor
kambing sebagai kurban, kemudian dia menyayangkannya lantaran suatu kepentingan sehingga dia
menyesal lalu menggantinya dengan yang lebih baik, agar kambing sebelumnya tetap hidup,
perbuatannya ini tidak dibolehkan;
karena hal ini adalah tindakan menarik kembali apa yang telah dia keluarkan untuk Allah -Ta'ālā- untuk
kepentingan pribadi, bukan untuk kemaslahatan kurban.
Kedua: Jika dia meninggal setelah menetapkan hewan kurban, maka ahli waris harus melaksanakannya.
Tetapi jika dia meninggal sebelum penetapan, maka hewan itu menjadi milik mereka dan boleh
melakukan apa saja yang mereka kehendaki.
Ketiga: Tidak mengambil manfaatnya sekecil apapun; tidak digunakan untuk membajak dan semisalnya,
tidak dikendarai kecuali ada kebutuhan dan tidak akan memudaratkannya, tidak mengambil air susunya
yang dapat menjadikannya berkurang atau dibutuhkan oleh anaknya ada bersamanya.
Dan tidak boleh memotong bulunya dan yang semisalnya, kecuali jika hal itu lebih bermanfaat bagi
hewan kurban, maka boleh memotongnya lalu menyedekahkannya, menghadiahkannya, ataupun dia
memanfaatkannya sendiri, dan tidak menjualnya.
Keempat: Jika hewan kurban tersebut mengalami cacat sehingga tidak memenuhi syarat; misalnya: ia
membeli seekor kambing lalu menetapkannya sebagai kurban, lalu salah satu matanya mengalami
kebutaan sehingga ia buta dengan buta yang jelas, dalam hal ini hewan kurban memiliki dua keadaan:
A. Cacat tersebut terjadi karena perbuatannya atau kelalaiannya maka dia wajib menggantinya dengan
yang memiliki kriteria semisal atau yang lebih sempurna; karena dia yang menyebabkannya mengalami
cacat maka dia wajib menggantinya dengan yang semisal, lalu dia sembelih sebagai gantinya.
Sedangkan hewan yang cacat menjadi miliknya, menurut pendapat yang benar, dia boleh melakukan
semua tindakan yang diinginkannya, seperti dijual atau lainnya.
B. Cacat bukan karena perbuatan atau kelalaiannya; dia boleh menyembelihnya dan hewan kurban
tersebut sah, kecuali kalau kurban tersebut telah wajib dalam tanggungannya sejak sebelum ditetapkan
(sebelum dipilih), karena itu merupakan amanah yang ada dalam tanggungannya dan mengalami cacat
bukan karena perbuatannya maupun kelalaiannya, sehingga dia tidak berdosa dan tidak berkewajiban
mengganti.
Namun, jika berkurban telah wajib dalam tanggungannya sebelum ia memilih hewannya, maka dia wajib
menggantinya dengan hewan kurban yang tidak cacat dan yang dapat menggugurkan tanggungannya.
Misalnya, dia berkata, "Saya bernazar kepada Allah untuk berkurban tahun ini", lalu dia membeli seekor
hewan kurban dan menetapkannya untuk nazarnya, lalu hewan tersebut mengalami cacat yang
menyebabkannya tidak memenuhi syarat, maka dia wajib menggantinya dengan hewan kurban yang
memenuhi syarat, dan hewan yang cacat itu menjadi miliknya. Tetapi kalau hewan tersebut lebih tinggi
kualitasnya dari penggantinya, maka dia wajib menyedekahkan selisih harga keduanya.
Kelima: Jika hewan itu hilang atau dicuri, ia memiliki dua keadaan juga:
A. Hal itu disebabkan karena kelalaiannya. Misalnya dia menempatkannya di tempat yang tidak aman,
lalu hewan itu lepas atau dicuri, maka dia wajib menggantinya dengan hewan yang memiliki kriteria
semisal atau yang lebih sempurna, lalu dia sembelih sebagai gantinya. Sedangkan hewan kurban yang
hilang atau yang dicuri menjadi miliknya, dia boleh melakukan semua yang diinginkannya ketika dia
menemukannya kembali, seperti menjualnya dan lain sebagainya.
B. Hal itu terjadi tanpa ada kelalaian darinya, maka dia tidak wajib menggantinya, kecuali jika berkurban
telah wajib dalam tanggungannya sebelum hewan itu dipilih, karena ia adalah amanah yang ada dalam
tanggungannya, sedangkan orang yang diamanahi tidak berkewajiban mengganti jika dia tidak lalai. Akan
tetapi, ketika dia menemukannya kembali, dia wajib menyembelihnya walaupun setelah lewat waktu
menyembelih.
Begitu pula ketika pelaku pencurian membayar ganti rugi kepada pemiliknya, maka dia wajib berkurban
menggunakan uang ganti rugi itu sesuai kriteria hewan kurban itu, tanpa dikurangi.
Adapun jika berkurban telah wajib dalam tanggungannya sebelum ditetapkan, dia wajib menyembelih
penggantinya untuk menggugurkan tanggungannya. Apabila kemudian dia menemukannya kembali,
maka hewan itu menjadi miliknya, dia boleh melakukan semua yang diinginkannya, seperti menjualnya
dan lain sebagainya.
Tetapi jika pengganti yang disembelihnya lebih rendah kualitasnya, maka dia wajib menyedekahkan
selisih harga keduanya.
Keenam: Jika hewannya mati, maka ia memiliki tiga keadaan:
A. Hewan itu mati bukan karena perbuatan manusia, seperti sakit, musibah dari langit, atau perbuatan
hewan itu sendiri yang mengakibatkannya mati, maka dia tidak memiliki kewajiban mengganti, kecuali jika
berkurban telah wajib dalam tanggungannya sebelum hewannya dipilih,
karena ia merupakan amanah di tangannya yang mati karena sesuatu yang tidak ada ganti rugi di
dalamnya, maka dia tidak memiliki kewajiban mengganti. Tetapi jika berkurban telah wajib di dalam
tanggungannya sebelum dia menentukan hewannya maka dia wajib menyembelih penggantinya yang
dapat menggugurkan tanggungannya.
B. Hewan itu mati disebabkan oleh pemiliknya, maka dia wajib menyembelih penggantinya yang memiliki
kriteria semisal atau yang lebih sempurna, karena dalam hal itu dia memiliki kewajiban mengganti.
C. Hewan itu mati disebabkan oleh orang lain. Jika orang tersebut tidak mungkin dimintai ganti rugi,
seperti perampok, maka hukumnya sama seperti hukum hewan yang mati karena suatu sebab di luar
kekuasaan manusia, sebagaimana yang telah dijelaskan pada keadaan yang pertama.
Tetapi jika memungkinkan untuk dimintai ganti rugi, seperti orang tertentu yang menyembelihnya lalu
memakannya atau dia membunuhnya dan semisalnya, dia wajib menggantinya dengan yang semisal lalu
diserahkan kepada pemiliknya untuk disembelih, kecuali jika pemiliknya memaafkan pelaku tersebut dan
dia sendiri yang akan membayar gantinya.
Ketujuh: Apabila hewan kurban disembelih sebelum waktu penyembelihan, sekalipun diniatkan sebagai
kurban, hukumnya sama seperti hukum hewan kurban (yang mati atau hilang) sebagaimana penjelasan
yang telah lalu. Tetapi jika ia disembelih di waktu penyembelihan,
jika orang yang menyembelih adalah pemiliknya atau wakilnya, maka ia telah sah sebagaimana
mestinya. Tetapi jika orang yang menyembelih bukan pemiliknya dan bukan juga wakilnya, maka ia
memiliki tiga keadaan:
A. Si penyembelih meniatkannya untuk pemiliknya. Jika pemiliknya rida terhadap hal itu maka kurban itu
sah. Namun, jika pemiliknya tidak meridai hal itu, kurban itu tidak sah menurut pendapat yang benar, dan
orang yang menyembelih wajib membayar ganti rugi yang semisal dan diserahkan kepada pemiliknya
untuk dikurbankan, kecuali jika pemiliknya membebaskannya dari kewajiban mengganti dan dia sendiri
yang menunaikan ganti yang diwajibkan.
Pendapat lainnya: Kurban itu sah sekalipun pemiliknya tidak meridainya. Ini adalah pendapat yang
masyhur di dalam mazhab Imam Ahmad, Syafi'i, dan Abu Hanifah -raḥimahumullāh Ta'ālā-.
B. Dia meniatkannya untuk dirinya, bukan untuk pemiliknya. Jika dia mengetahui hewan kurban itu milik
orang lain, kurban itu tidak sah untuk dirinya maupun untuk orang lain, dan dia wajib membayar ganti
dengan yang semisal dan diserahkan kepada pemiliknya untuk dikurban, kecuali jika pemiliknya
membebaskannya dari kewajiban mengganti dan dia yang menunaikan ganti yang diwajibkan.
Pendapat lainnya: Kurban itu sah untuk pemiliknya dan dia wajib membayar ganti daging yang telah
dibaginya. Sekalipun dia tidak mengetahui hewan kurban itu milik orang lain, kurban itu sah untuk
pemiliknya. Jika orang yang menyembelih telah membagikan dagingnya, maka dia wajib membayar
gantinya dengan yang semisal kepada pemiliknya, kecuali apabila dia rida dengan pembagian itu.
C. Dia tidak meniatkannya untuk siapa-siapa, maka kurban tersebut tidak sah untuk siapa pun di antara
keduanya karena tidak ada niat. Pendapat lainnya: kurban tersebut sah untuk pemiliknya.
Ketika ia sah untuk pemiliknya di salah satu keadaan di atas, jika daging masih tersisa maka pemiliknya
mengambilnya untuk dibagikan sesuai pembagian daging kurban.
Jika orang yang menyembelih telah membaginya sesuai pembagian daging kurban dan pemiliknya rida
dengan hal itu, tidak ada kewajiban mengganti atas orang yang menyembelihnya. Tetapi jika pemiliknya
tidak rida, maka dia wajib membayar gantinya kepada pemiliknya untuk dibagikan sesuai pembagian
daging kurban.
Dua faedah:
1- Jika hewan kurban itu hilang setelah disembelih, dicuri, atau diambil oleh orang yang tidak mungkin
dituntut, sedangkan pemiliknya tidak lalai, maka pemiliknya tidak berkewajiban menggantinya; tetapi
kalau dia lalai, maka dia berkewajiban mengganti seukuran yang wajib disedekahkan lalu disalurkan.
2- Jika hewan kurban melahirkan setelah ditetapkan sebagai kurban maka hukum anaknya sama dengan
hukum induknya dalam semua hal yang telah disebutkan, tetapi kalau ia melahirkan sebelum ditetapkan
maka hukumnya tersendiri dan tidak mengikuti induknya sebagai kurban,
karena induknya belum menjadi hewan kurban kecuali setelah ia dilahirkan.
*
BAB 6: KETENTUAN DAGING KURBAN YANG DIKONSUMSI
SENDIRI DAN YANG DIDISTRIBUSIKAN
Disunahkan bagi orang yang berkurban agar memakan sebagian daging kurbannya serta ada yang
dihadiahkan dan disedekahkan.
Hal itu berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Maka makanlah sebagian darinya dan (sebagian lagi)
berikanlah untuk dimakan orang-orang yang sengsara dan fakir." (QS. Al-Ḥajj: 28). Demikian juga firman
Allah -Ta'ālā-, "Maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa
yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta." (QS. Al-Ḥajj: 36). Kata al-qāni':
orang yang meminta dan menghinakan diri. Sedangkan "al-mu'tarr" ialah orang yang mengharap diberi
tanpa meminta.
Salamah bin Al-Akwa' -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Makanlah, berilah
orang lain makan, serta simpanlah." (HR. Bukhari).
Memberi makan mencakup hadiah kepada orang kaya dan sedekah kepada orang miskin.
Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- meriwayatkan bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Makanlah, simpanlah, dan
sedekahkanlah."
(HR. Muslim).
Para ulama -raḥimahumullāh Ta'ālā- berbeda pendapat tentang berapa ukuran untuk yang dimakan,
dihadiahkan, dan disedekahkan. Hukum dalam perkara ini fleksibel. Pendapat yang kami pilih yaitu dia
makan sepertiga, dihadiahkan sepertiga, dan disedekahkan sepertiga.
Bagian yang boleh dimakan hukumnya boleh disimpan walaupun dalam waktu lama, selama tidak sampai
kepada tingkat membahayakan ketika dimakan, kecuali sedang musim kelaparan maka tidak boleh
menyimpan lebih dari tiga hari. Hal itu berdasarkan hadis riwayat Salamah bin Al-Akwa' -raḍiyallāhu
'anhu-, dia berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda, "Siapa di antara kalian yang berkurban, janganlah ia
memasuki pagi hari setelah hari ketiga sementara di rumahnya masih ada daging kurban yang tersisa."
Pada tahun berikutnya, para sahabat berkata, "Wahai Rasulullah! Apakah kami tetap melakukan seperti
yang kami lakukan di tahun kemarin?" Rasulullah صلى الله عليه وسلمbersabda, "Makanlah, berilah orang lain makan,
serta simpanlah! Sungguh, tahun itu orang-orang ditimpa kesulitan sehingga aku menginginkan agar
kalian membantu dalam kesulitan itu." (Muttafaq 'alaih).
Tidak ada perbedaan status dalam hal bolehnya memakan dan menghadiahkan sebagian daging kurban,
antara kurban yang sunah dan yang wajib, antara kurban untuk orang yang masih hidup atau yang telah
meninggal, maupun untuk melaksanakan wasiat,
karena posisi orang yang diamanahi wasiat sama dengan orang yang berwasiat, sementara orang yang
berwasiat boleh makan, menghadiahkan dan menyedekahkan. Juga karena seperti itu budaya yang
berjalan di tengah-tengah manusia. Budaya yang berlaku statusnya sama seperti dalil secara lafal.
Adapun wakil, jika pihak pewakil mengizinkannya untuk memakan, menghadiahkan, dan
menyedekahkan, atau ada petunjuk, atau kebiasaan yang ada seperti itu, maka dia boleh melakukannya.
Tetapi jika tidak, maka dia menyerahkannya kepada pewakil dan pembagiannya diserahkan kepadanya.
Haram hukumnya menjual sebagian hewan kurban, berupa daging atau lainnya, termasuk kulit. Juga
tidak boleh memberikan sebagiannya kepada tukang sembelih sebagai ganti seluruh upah atau
sebagiannya, karena hal itu hukumnya sama dengan menjual.
Adapun orang yang diberi hadiah atau sedekah berupa daging kurban atau lainnya, dia boleh melakukan
tindakan apa pun yang dia inginkan, dijual ataupun lainnya, dengan catatan tidak dijual kepada pemberi
hadiah atau sedekah daging itu.
*
BAB 7: LARANGAN BAGI ORANG YANG AKAN BERKURBAN
Apabila seseorang akan berkurban dan bulan Zulhijah telah masuk, baik dengan melihat hilal Zulhijah
atau menggenapkan bulan Zulkaidah 30 hari, maka ia dilarang memotong sebagian rambut, kuku, atau
kulitnya kecuali setelah menyembelih hewan kurbannya.
Hal itu berdasarkan hadis riwayat Ummu Salamah -raḍiyallāhu 'anhā- bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda,
"Apabila kalian melihat hilal Zulhijah -dalam redaksi lain: Apabila sepuluh hari Zulhijah telah masuk- dan
kalian hendak berkurban, maka janganlah dia memotong rambut dan kukunya." (HR. Ahmad dan
Muslim). Dalam redaksi lain, "Janganlah dia memotong rambut dan kukunya sampai dia selesai
menyembelih." Dalam redaksi lain lagi, "Janganlah dia menyentuh sedikit pun rambut dan kulitnya."
Apabila dia berniat kurban di tengah-tengah sepuluh hari pertama Zulhijah, maka dia menahan diri dari
perbuatan itu sejak berniat, dan dia tidak berdosa atas apa yang dilakukannya sebelum berniat.
Hikmah dalam larangan tersebut bahwa ketika orang yang berkurban membersamai jemaah haji di
sebagian rangkaian ibadah haji, yaitu mendekatkan diri kepada Allah -Ta'ālā- melalui menyembelih
sembelihan, maka dia juga membersamai mereka di sebagian kekhususan ihram, berupa tidak
memotong rambut dan semisalnya.
Hukum ini berlaku khusus pada orang yang berkurban. Adapun orang yang disertakan dalam niat kurban,
maka tidak ada kaitannya.
Karena Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "... dan kalian hendak berkurban." Beliau tidak mengatakan, "... atau
diniatkan untuknya berkurban." Juga karena Nabi صلى الله عليه وسلمberkurban untuk keluarga beliau, tetapi tidak ada
diriwayatkan bahwa beliau memerintahkan mereka untuk meninggalkan hal itu.
Atas dasar itu, keluarga yang berkurban di sepuluh hari pertama Zulhijah boleh untuk memotong rambut,
kuku, dan kulit.
Apabila orang yang akan berkurban memotong sebagian rambut, kuku, atau kulitnya, dia wajib bertobat
kepada Allah -Ta'ālā- dan tidak mengulanginya serta tidak ada kafarat atasnya, dan hal itu tidak
menghalanginya untuk berkurban, sebagaimana yang disangka sebagian kalangan awam.
Jika dia memotong sebagiannya karena lupa, tidak tahu, atau rambutnya jatuh tanpa sengaja, maka tidak
ada dosa atasnya. Tetapi jika dia butuh untuk memotongnya, dia boleh memotongnya dan tidak ada
konsekuensi apa pun atasnya. Misal, kukunya pecah sampai mengganggunya lalu dia memotongnya;
atau ada rambut turun ke matanya lalu dia menghilangkannya, atau dia butuh memotongnya untuk
mengobati luka dan semisalnya.
*
BAB 8: PENYEMBELIHAN DAN SYARAT-SYARATNYA
Penyembelihan ialah melakukan sesuatu yang menjadi sebab halalnya hewan berupa naḥr (menusuk
pangkal leher), żabḥ (menyembelih di leher) atau jarḥ (melukai).
Naḥr dilakukan pada unta, sedangkan żabḥ dilakukan pada selainnya. Adapun melukai adalah untuk
hewan yang tidak dapat disembelih kecuali dengan hal itu.
Ada sembilan syarat penyembelihan:
Pertama: Orang yang menyembelih harus berakal dan mumayiz. Hewan yang disembelih oleh orang gila,
mabuk, anak kecil yang belum mumayiz, atau orang tua yang telah hilang tamyiznya, dan semisalnya
tidak halal untuk dimakan.
Kedua: Orang yang menyembelih harus seorang muslim atau ahli kitab, yaitu orang yang beragama
Yahudi atau Nasrani. Sembelihan seorang muslim hukumnya halal, baik laki-laki atau perempuan, taat
atau fasik, suci atau hadas. Adapun Ahli Kitab, sembelihannya halal, baik ayah dan ibunya ahlu kitab
ataupun bukan.
Ijmak para ulama menyebutkan kehalalan hewan sembelihan Ahli Kitab; berdasarkan firman Allah
-Ta'ālā-, "Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal bagimu." (QS. Al-Mā`idah: 5). Juga karena Nabi صلى الله عليه وسلم
memakan kambing yang dihadiahkan oleh seorang perempuan Yahudi, dan beliau memakan suguhan
roti gandum dan lauk berupa minyak ketika diundang oleh seorang yahudi.
Adapun orang-orang kafir selain Ahli Kitab maka sembelihan mereka tidak halal.
Hal itu berdasarkan mafhum dari firman Allah -Ta'ālā-, "Makanan (sembelihan) Ahli Kitab itu halal
bagimu." (QS. Al-Mā`idah: 5). Kalimat "allażīna ūtul-kitāb" (QS. Al-Mā`idah: 5), merupakan isim mauṣūl
bersama ṣilah-nya (penghubung kalimat), keduanya sama dengan isim musytaq (turunan kata) yang
mengandung sifat maknawi; di mana hukum akan berlaku ketika ia (sifat itu) ada, dan hukum tidak akan
berlaku ketika ia tidak ada.
Imam Ahmad berkata, "Saya tidak mengetahui ada orang yang berpendapat sebaliknya kecuali ia pelaku
bidah." Al-Khāzin di dalam tafsirnya menukil adanya ijmak terkait hal itu. Maka, sembelihan orang-orang
komunis dan musyrik tidak halal; baik kesyirikan mereka berupa perbuatan, seperti orang yang sujud
kepada berhala, atau perkataan seperti orang yang berdoa kepada selain Allah.
Sembelihan orang yang meninggalkan salat hukumnya tidak halal karena statusnya kafir menurut
pendapat yang kuat, baik dia meninggalkannya karena malas maupun karena mengingkari kewajibannya.
Demikian juga tidak halal sembelihan orang yang mengingkari kewajiban salat lima waktu walaupun dia
mengerjakan salat itu, kecuali ia termasuk orang yang tidak mengetahuinya karena baru masuk Islam
dan semisalnya.
Tidak ada keharusan untuk menanyakan sembelihan seorang muslim ataupun ahli kitab tentang
bagaimana ia menyembelih dan apakah ia menyebut nama Allah atau tidak?
Bahkan tidak sepatutnya hal itu dilakukan karena termasuk sikap berlebihan dalam agama. Nabi ,صلى الله عليه وسلم
beliau memakan sembelihan orang Yahudi dan tidak bertanya kepada mereka. Diriwayatkan dalam Sahih
Bukhari dan lainnya dari Aisyah -raḍiyallāhu 'anhā- disebutkan bahwa sejumlah orang bertanya kepada
Nabi صلى الله عليه وسلم, "Sebagian orang datang membawakan kami daging, sementara kami tidak mengetahui
apakah mereka membacakannya bismillāh atau tidak?" Maka beliau bersabda, "Bacalah padanya
bismillāh lalu makanlah." Aisyah berkata, "Mereka adalah orang-orang yang baru masuk Islam." Nabi
صلى الله عليه وسلمmemerintahkan mereka untuk memakannya tanpa bertanya-tanya, padahal orang-orang yang
datang membawa daging itu ada kemungkinan tidak mengetahui hukum-hukum Islam karena mereka
baru masuk Islam.
Ketiga: Niat menyembelih.
Berdasarkan firman Allah-Ta'ālā-, "... kecuali yang sempat kamu sembelih." (QS. Al-Mā`idah: 3).
Menyembelih adalah perbuatan khusus yang membutuhkan niat, ketika ia tidak berniat menyembelih,
maka sembelihan tersebut tidak halal. Misalnya, ada seekor ternak menyerangnya lalu ia
menyembelihnya untuk menyelamatkan diri saja.
Keempat: Tidak menyembelih untuk selain Allah. Jika penyembelihan dilakukan untuk selain Allah maka
sembelihan itu tidak halal, seperti orang yang menyembelih untuk mengagungkan berhala, mayit di dalam
kubur, raja, orang tua, atau lainnya.
Hal itu sebagaimana firman Allah -Ta'ālā-, "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai ..." sampai
firman-Nya, "...Dan (diharamkan pula) yang disembelih untuk berhala." (QS. Al-Mā`idah: 3).
Kelima: Tidak menyebut nama selain Allah. Seperti mengatakan: bismin-nabiy, bismi Jibrīl, atau lainnya.
Jika disebutkan nama selain nama Allah ketika menyembeliah maka sembelihan tersebut tidak halal,
sekalipun dibacakan bersamanya nama Allah.
Hal itu sebagaimana firman Allah -Ta'ālā-, "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai ..." sampai pada
firman-Nya "...dan (daging) hewan yang disembelih bukan atas (nama) Allah." (QS. Al-Mā`idah: 3). Dalam
hadis qudsi yang sahih, Allah -Ta'ālā- berfirman, "Siapa yang mengerjakan amalan, di dalamnya dia
menyekutukan-Ku dengan yang lain, maka Aku tinggalkan dia bersama perbuatan syiriknya itu."
Keenam: Harus menyebut nama Allah -Ta'ālā-. Ketika menyembelih dia membaca "bismillāh".
Ini berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Maka makanlah dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih)
disebut nama Allah, jika kamu beriman kepada ayat-ayat-Nya." (QS. Al-An'ām: 118). Juga sabda Nabi
صلى الله عليه وسلم, "Apa yang mengalirkan darah dan dibacakan padanya "bismillāh", maka makanlah." (HR. Bukhari
dan lainnya). Jika tidak disebutkan padanya nama Allah -Ta'ālā- maka ia tidak halal. Hal ini berdasarkan
firman Allah -Ta'ālā-, "Dan janganlah kamu memakan dari apa (daging hewan) yang (ketika disembelih)
tidak disebut nama Allah." (QS. Al-An'ām: 121). Tidak berbeda antara tidak membaca "bismillāh" dengan
sengaja padahal ia tahu, atau lupa, atau tidak tahu([5]). Hal itu berdasarkan keumuman ayat ini. Juga
karena Nabi صلى الله عليه وسلمmemasukkan membaca "bismillāh" sebagai syarat kehalalan, sedangkan syarat itu
tidak gugur dengan sebab lupa dan tidak tahu. Seandainya dia menghilangkan nyawanya tidak dengan
cara mengalirkan darah karena lupa atau tidak tahu maka sembelihan itu tidak halal, sama halnya jika dia
tidak membaca "bismillāh"; sebab hadis mengenai kedua hal itu dalam satu rangkaian kalimat dan
diucapkan oleh satu orang, sehingga tidak ada perbedaan. ([5]) Lihat buku aslinya (hal. 71-77). (Penulis).
Jika orang yang menyembelih itu orang bisu, tidak mampu mengucapkan "bismillāh", ia cukup
menggunakan isyarat yang menunjukkan hal itu.
Hal itu berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut
kesanggupanmu." (QS. At-Tagābun: 16).
Ketujuh: Menyembelih dengan alat tajam yang dapat mengalirkan darah, seperti besi, batu, kaca, atau
lainnya.
Ini berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم, "Apa yang mengalirkan darah dan dibacakan padanya "bismillāh",
maka makanlah, selama bukan gigi atau kuku. Aku akan sampaikan hal itu kepada kalian. Adapun gigi,
termasuk tulang. Sedangkan kuku, maka merupakan pisaunya penduduk Habasyah." (HR. Bukhari,
Muslim, Abu Daud, Tirmizi, Nasa`i, dan Ibnu Majah). Dalam riwayat Bukhari yang lain, "... selain gigi dan
kuku, karena gigi adalah tulang, sedangkan kuku adalah pisau penduduk Habasyah."
Diriwayatkan dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain bahwa seorang budak perempuan milik Ka'ab bin Mālik -raḍiyallāhu
'anhu- sedang menggembalakan kambing milik Ka'ab, tiba-tiba dia melihat seekor kambing hampir mati,
maka dia memecah sebuah batu lalu digunakannya menyembelih kambing itu. Lalu para sahabat
menceritakan hal itu kepada Nabi صلى الله عليه وسلمdan beliau memerintahkan mereka untuk memakannya.
Jika ia menghilangkan nyawa hewan itu tidak menggunakan alat tajam, maka dagingnya tidak halal,
seperti: dicekik atau disetrum dengan listrik dan semisalnya sampai mati. Namun, jika hal itu dilakukan
supaya hilang rasa, dan hewannya masih hidup, lalu disembelih sesuai syariat, sembelihan itu hukumnya
halal.
Ini berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Diharamkan bagimu (memakan) bangkai." sampai pada firman-Nya
"...yang tercekik, yang dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, kecuali yang
sempat kamu sembelih." (QS. Al-Mā`idah: 3).
Ada dua tanda hewan masih hidup:
A. Dia bergerak.
B. Darah merah mengalir keluar dengan kuat.
Kedelapan: Mengalirkan darah dengan penyembelihan. Ini berdasarkan sabda Nabi صلى الله عليه وسلم, "Apa yang
mengalirkan darah dan disebutkan padanya nama Allah, maka makanlah."
Kemudian, jika hewan tersebut tidak mampu dikuasai, seperti hewan yang lepas, jatuh di sumur atau
lubang dan semisalnya, maka dapat dicukupkan dengan mengalirkan darah di bagian tubuh mana saja.
Sebaiknya diusahakan menghilangkan nyawanya secepat mungkin, karena hal itu lebih menenangkan
bagi hewan serta lebih sedikit rasa sakit.
Jika hewan tersebut mampu dikuasai, maka pengaliran darah harus pada leher dari bagian bawah hingga
ke kedua rahang sehingga akan memotong wadajān (urat leher), yaitu dua urat besar yang mengapit
tenggorokan.
Penyembelihan yang sempurna ialah dengan memotong ḥulqūm (saluran pernafasan) serta marī`
(saluran makanan dan minuman) bersama kedua urat leher sehingga darah yang merupakan bahan
keberlangsungan hidup hewan beserta salurannya, yaitu ḥulqūm dan marī` menjadi hilang. Tetapi jika
hanya memotong kedua urat leher, sembelihan tersebut telah halal.
Kesembilan: Hewan yang disembelih secara syariat diizinkan untuk disembelih. Adapun hewan yang
tidak diizinkan, ada dua macam:
A. Hewan yang diharamkan karena hak Allah -Ta'ālā-, seperti hewan buruan wilayah Tanah Haram serta
ketika dalam ihram. Hewan tersebut tidak halal walaupun disembelih,
berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Hewan ternak dihalalkan bagimu, kecuali yang akan disebutkan
kepadamu, dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang berihram (haji atau umrah)." (QS.
Al-Mā`idah: 1). Demikian juga firman Allah -Ta'ālā-, "Dihalalkan bagimu hewan buruan laut dan makanan
(yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam
perjalanan; dan diharamkan atasmu (menangkap) hewan darat, selama kamu sedang ihram."
B. Hewan yang diharamkan karena hak makhluk; seperti hewan yang dirampas dan dicuri lalu si
perampas atau pencuri menyembelihnya. Tentang kehalalannya, ada dua pendapat ulama. Silakan lihat
kedua pendapat tersebut beserta dalilnya di buku aslinya (hal. 88-90).
*
BAB 9: ADAB-ADAB PENYEMBELIHAN
Menyembelih memiliki beberapa adab yang harus diperhatikan, tetapi bukan termasuk syarat kehalalan
sembelihan, dan tetap halal tanpa semua itu, di antaranya:
1- Menghadapkan hewan ke arah kiblat saat penyembelihan.
2- Bersikap sebaik mungkin saat menyembelih; yaitu: menggunakan alat yang tajam serta memotong
pada bagian tubuhnya dengan kuat dan cepat. Bahkan dikatakan, ini termasuk adab yang wajib;
berdasarkan zahir hadis Nabi صلى الله عليه وسلم, "Sesungguhnya Allah telah mewajibkan berbuat ihsan pada segala
sesuatu. Jika kalian membunuh, bunuhlah dengan cara yang baik, dan jika menyembelih, sembelihlah
dengan cara yang baik pula, maka tajamkan pisaunya dan tenangkan hewan sembelihannya." (HR.
Muslim). Dan pendapat ini yang benar.
3- Penyembelihan unta dengan cara naḥr (menusuk pangkal leher) dan pada yang lain dengan cara żabḥ
(menyembelih bagian bawah leher hingga rahang). Unta ditusuk dalam keadaan berdiri terikat kaki kiri
depan. Jika hal itu sulit, maka ia ditusuk dalam keadaan duduk. Sedangkan hewan yang lain disembelih
dalam keadaan dibaringkan di atas sisi kirinya.
Tetapi jika orang yang menyembelih kidal -bekerja dengan tangan kiri- maka dia menyembelihnya dalam
keadaan dibaringkan di atas sisi kanannya, jika hal itu lebih nyaman bagi sembelihan dan lebih
memudahkan.
Disunnahkan untuk meletakkan kaki di atas leher sembelihan supaya mudah dikuasai. Adapun duduk di
atasnya dan memegang kaki-kakinya, tidak ada dasarnya di dalam Sunnah. Sebagian ulama
menyebutkan bahwa di antara faedah tidak memegang kaki ialah menambah pengaliran darah melalui
gerakan.
4- Memotong saluran nafas serta saluran makanan dan minuman di samping memotong dua urat leher.
Lihat syarat penyembelihan yang ke delapan.
5- Menyembunyikan pisau dari pandangan hewan ketika mengasahnya sehingga ia tidak melihatnya
kecuali ketika penyembelihan.
6- Bertakbir (membaca: allāhu akbar) setelah membaca "bismillāh".
7- Menyebut nama pemilik kurban atau pemilik akikah setelah membaca "bismillāh" dan bertakbir serta
memohon kepada Allah agar ia diterima, yaitu dengan mengucapkan: "Bismillāh wallāhu akbar,
allāhumma minka walaka, 'annī [Dengan nama Allah dan Allah Mahabesar, ya Allah ini berasal dari-Mu
dan milik-Mu, dariku] (jika miliknya sendiri). Atau mengatakan: ... 'an fulān [dari polan] (jika milik orang
lain). Allāhumma taqabbal minnī [Ya Allah, terimalah ini dariku] (jika miliknya sendiri), atau: min fulān [dari
polan] (jika ia untuk orang lain).
*
BAB 10: HAL-HAL YANG MAKRUH DALAM PENYEMBELIHAN
Di dalam penyembelihan terdapat beberapa perkara makruh yang patut dihindari, di antaranya:
- Menggunakan alat yang tumpul, yaitu tidak tajam; sebagian berpendapat hal itu hukumnya haram, dan
pendapat itu yang benar.
- Mengasah pisau di hadapan hewan yang akan disembelih.
- Menyembelih hewan di hadapan hewan yang lainnya.
- Melakukan sesuatu yang dapat menyakitinya setelah penyembelihan sebelum nyawanya hilang, seperti:
mematahkan leher, menguliti atau memotong sebagian anggota tubuhnya sebelum ia mati.
Sebagian berpendapat hal itu hukumnya haram, dan pendapat itu yang benar.
Sampai di sini telah selesai semua yang kita ingin ringkas dari buku Aḥkām Al-Uḍḥiyah wa Aż-Żakāh.
Kami memohon kepada Allah -Ta'ālā- agar menjadikannya bermanfaat, demikian juga buku induknya.
Selesai diringkas pada Asar hari Rabu, 13 Zulhijah 1400 H.
Segala puji milik Allah, Tuhan seluruh alam. Semoga selawat dan salam dilimpahkan kepada Nabi kita
Muhammad berserta keluarga dan semua sahabat beliau.
*
RINGKASAN HUKUM SEPUTAR KURBAN
Kata Pengantar
BAB 1: DEFINISI DAN HIKMAH KURBAN
BAB 2: SYARAT-SYARAT HEWAN KURBAN
BAB 3: JENIS DAN KRITERIA HEWAN KURBAN TERBAIK DAN YANG MAKRUH
BAB 4: JUMLAH ORANG UNTUK SATU EKOR HEWAN KURBAN
BAB 5: HAL-HAL YANG MENJADIKAN HEWAN BERSTATUS SEBAGAI HEWAN KURBAN SERTA
HUKUM-HUKUMNYA
BAB 6: KETENTUAN DAGING KURBAN YANG DIKONSUMSI SENDIRI DAN YANG
DIDISTRIBUSIKAN
BAB 7: LARANGAN BAGI ORANG YANG AKAN BERKURBAN
BAB 8: PENYEMBELIHAN DAN SYARAT-SYARATNYA
BAB 9: ADAB-ADAB PENYEMBELIHAN
BAB 10: HAL-HAL YANG MAKRUH DALAM PENYEMBELIHAN