Artikel

AKHLAK MULIA


Bismillāhirraḥmānirraḥīm


Kata Pengantar


Segala puji hanya milik Allah, kita senantiasa memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, dan memohon


ampunan-Nya.


Kita juga berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal kita. Siapa yang diberikan


petunjuk oleh Allah, tidak akan ada yang bisa menyesatkannya. Sebaliknya, siapa yang disesatkan-Nya,


maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada sembahan yang benar


kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya juga bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba


dan utusan-Nya. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada beliau beserta seluruh


keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Kiamat.


Amabakdu: Sumber asli buku yang ada di hadapan Anda ini adalah ceramah yang disampaikan oleh


Syekh kami yang mulia, Muḥammad bin Ṣāliḥ al-'Uṡaimīn -raḥimahullāh-, pada program musim panas di


Mahad Ilmi 'Unaizah dalam rangkaian sumbangsih beliau di bidang pendidikan untuk anak-anak didik


beliau serta upaya memberikan nasihat yang tulus dan bimbingan secara teoritis dan praktis agar mereka


berhias dengan akhlak mulia dan berperangai dengan adab-adab Islam yang indah, untuk meneladan


Rasul kita, Muhammad .صلى الله عليه وسلم


Judul ceramah ini adalah "Ḥusn al-Khuluq" dan sempat diterbitkan tahun 1417 H dengan judul "Makārim


al-Akhlāq" (Akhlak Mulia) oleh Syekh Khālid Muṣṭafā Sālim Abū Ṣāliḥ -semoga Allah memberinya


balasan yang lebih baik-.


Dalam rangka mengikuti dan mewujudkan panduan dan arahan-arahan yang ditetapkan oleh Syekh kami


yang mulia, Muḥammad bin Ṣāliḥ al-'Uṡaimīn -raḥimahullāh-, untuk menerbitkan karya-karya tulis beliau,


buku ini telah selesai divalidasi dan dicocokkan dengan sumber audionya serta tahapan-tahapan


penyiapannya untuk dicetak dan diterbitkan telah dituntaskan. Alhamdulillah.


Dengan demikian, maka cetakan ini menjadi satu-satunya cetakan yang menjadi patokan, tanpa cetakan


lainnya. Kami memohon kepada Allah -Ta'ālā- agar menjadikannya bermanfaat.


Kami berdoa kepada Allah جل جلاله semoga menganugerahi amal kita dengan taufik dan kebenaran serta


menjadikannya ikhlas demi wajah-Nya yang mulia.


Semoga Allah menganugerahi Syekh kami balasan yang terbaik atas sumbangsih yang diberikannya


untuk Islam dan umat Islam, mengangkat derajatnya di antara orang-orang yang diberi petunjuk, dan


menempatkannya di surga yang lapang, sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Mahadekat. Terakhir,


segala puji hanya bagi Allah, Tuhan seluruh alam. Semoga selawat dan salam serta keberkahan


dilimpahkan kepada Nabi kita, Muhammad, beserta seluruh keluarganya, para sahabatnya, dan


orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik hingga hari Kiamat.


Departemen Ilmiah


Yayasan Sosial Syekh Muhammad bin Ṣāliḥ al-'Uṡaimīn


1/6/1428 H


*


Bismillāhirraḥmānirraḥīm


Segala puji hanya milik Allah, kita memuji-Nya, memohon pertolongan-Nya, memohon ampunan-Nya,


dan bertobat kepada-Nya.


Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri kita dan keburukan amal kita. Siapa yang diberikan


petunjuk oleh Allah, maka tidak ada yang dapat menyesatkannya. Sebaliknya, siapa yang disesatkan


oleh Allah, maka tidak ada yang dapat memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa tidak ada sembahan


yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Saya juga bersaksi bahwa Muhammad


adalah hamba dan utusan-Nya. Allah -Ta'ālā- mengutusnya dengan membawa petunjuk dan agama yang


benar untuk memenangkannya atas seluruh agama. Allah -Ta'ālā- mengutusnya menjelang hari Kiamat


sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, serta sebagai dai yang mengajak kepada Allah dengan


seizin-Nya dan pelita yang menerangi kegelapan. Beliau lalu menyampaikan risalah, menunaikan


amanah, menasihati umat, dan berjuang di jalan Allah dengan perjuangan sejati hingga kematian


menjemputnya. Allah memberi taufik kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, lalu


ia pun menyambut dakwahnya dan mengikuti petunjuknya. Sebaliknya, dengan hikmah-Nya Allah


memalingkan siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hamba-Nya, lalu ia pun angkuh untuk


melakukan ketaatan kepada-Nya, mendustakan wahyu-Nya, dan menentang perintah-Nya sehingga


mendapatkan kerugian dan kesesatan. Amabakdu: Pada acara ceramah ini[1], sangat cocok bagi saya


untuk membahas tentang akhlak mulia. [1] Acara ceramah tersebut diselenggarakan dalam program


musim panas di Ma'had Ilmi 'Unaizah.


Akhlak -sebagaimana dikatakan oleh ulama- ialah potret batin manusia; karena manusia memiliki dua


potret:


1- Potret lahir; yaitu bentuk ciptaan yang Allah berikan untuk badannya. Kita ketahui bersama bahwa


potret lahir ini ada yang indah dan bagus, ada yang jelek dan buruk, dan ada juga yang pertengahan di


antara keduanya.


2- Potret batin; ia juga terbagi menjadi potret yang bagus dan potret yang buruk. Potret inilah yang


diistilahkan sebagai akhlak. Jadi, akhlak adalah potret batin yang Allah berikan untuk manusia.


Apakah akhlak itu sifat bawaan atau sifat bentukan?


Jawabannya: tidak diragukan bahwa sebagian akhlak merupakan bawaan lahir dan sebagiannya hasil


bentukan. Hal ini seperti halnya bentuk badannya yang bisa berasal dari sifat bawaan lahir dan bisa juga


berupa sifat bentukan. Dengan kata lain, sebagaimana manusia diciptakan dengan akhlak baik dan


indah, ia juga dapat membentuk akhlak melalui usaha dan latihan.


Oleh karena itu, Nabi صلى الله عليه وسلمberkata kepada Asyajj 'Abdil-Qais, "Sungguh, pada dirimu terdapat dua


perangai yang dicintai oleh Allah; lembut dan tenang." Dia berkata, "Wahai Rasulullah! Apakah saya yang


berperangai dengannya ataukah Allah menciptakanku di atasnya?" Beliau bersabda, "Bahkan Allah


menciptakanmu di atasnya." Dia berkata, "Segala puji bagi Allah yang telah menciptakanku di atas dua


perangai yang dicintai oleh Allah dan Rasul-Nya."


Hadis ini adalah dalil bahwa akhlak terpuji dan mulia bisa merupakan sifat bawaan dan bisa bentukan.


Akan tetapi, tidak diragukan bahwa akhlak yang berupa sifat bawaan lebih bagus daripada yang berupa


sifat bentukan.


Alasannya adalah karena ketika akhlak itu berupa sifat bawaan, maka ia akan menjadi sifat alami dan


fitrah baginya, ia tidak butuh memaksa dan menyesuaikan diri dalam berperangai dengannya. Tetapi, ini


adalah karunia Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Siapa yang tidak mendapatkan


akhlak dalam bentuk sifat bawaan ini, maka ia dapat meraihnya melalui jalur pembentukan sifat, yaitu


dengan cara latihan dan pembiasaan. Hal ini akan kami jelaskan dalam pembahasan ini, insyaallah.


Ada suatu permasalahan, yaitu siapakah yang lebih afdal; orang yang difitrahkan memiliki akhlak terpuji


bawaan atau orang yang berusaha membentuk akhlak terpuji pada dirinya. Siapakah di antara mereka


berdua yang lebih tinggi kedudukannya serta lebih besar pahalanya?


Untuk menjawab permasalahan ini, kami katakan: tidak diragukan bahwa orang yang difitrahkan memiliki


akhlak terpuji bawaan lebih sempurna dari sisi pengamalannya atau dari sisi keberadaan akhlak itu


padanya;


karena ia tidak akan bersusah payah mengamalkannya, serta tidak akan kehilangan akhlak itu di


sebagian momen dan tempat lantaran akhlak baik merupakan watak dan tabiatnya. Kapan pun, di mana


pun, dan dalam kondisi apa pun Anda menemuinya, Anda akan mendapati dirinya sebagai orang yang


berakhlak baik. Dari sisi ini, tidak diragukan dia lebih sempurna.


Adapun akhlak yang dibentuk melalui usaha pembiasaan dan latihan, maka pemiliknya akan diberi


pahala atas perjuangannya dalam menaklukkan dirinya sendiri.


Tetapi, dari sisi kesempurnaan akhlak maka ia lebih kurang dibanding dengan golongan yang pertama.


Bila seseorang dianugerahi kedua akhlak tersebut secara bersamaan, yaitu secara sifat bawaan dan sifat


bentukan, maka itu lebih sempurna. Dari sisi ini, manusia terbagi dalam empat jenis:


1- Orang yang terhalangi dari akhlak baik.


2- Orang yang diberikan sifat bawaan berupa akhlak baik tetapi dia membatasi diri pada sifat bawaan itu.


3- Orang yang diberikan sifat bawaan berupa akhlak baik dan dia meningkatkannya melalui usaha dan


latihan.


4- Orang yang tidak diberikan sifat bawaan berupa akhlak baik tetapi dia membentuknya melalui usaha


dan latihan.


Kesimpulannya: terkait akhlak baik, orang yang difitrahkan memilikinya lewat sifat bawaan, maka dia


lebih sempurna. Adapun dari sisi tantangan dan kesulitan dalam meraih akhlak baik, maka orang yang


mendapatkannya melalui jalur latihan akan mendapatkan pahala usaha dan perjuangan dalam


meraihnya.


Ada juga permasalahan lain: apakah ada akhlak yang tidak ada dalam Al-Qur`ān dan Sunnah? Kalau


ada, bagaimana cara mengetahuinya?


Jawabannya: Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda,


"Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak mulia." Sebabnya adalah karena


syariat-syariat terdahulu yang disyariatkan oleh Allah kepada para hamba menganjurkan pada akhlak


yang mulia. Oleh karena itu, para ulama menyebutkan bahwa akhlak mulia termasuk bagian ajaran yang


semua syariat sepakat dalam memerintahkannya. Tetapi, di dalam syariat yang sempurna ini, Nabi صلى الله عليه وسلم


datang dengan membawa kesempurnaan dari seluruh akhlak mulia tersebut. Kita berikan contoh untuk


itu dengan masalah kisas; yaitu bila seseorang menzalimi orang lain, apakah dia harus dikisas atau


tidak? Para ulama menyebutkan bahwa kisas dalam syariat orang Yahudi hukumnya wajib dan harus


ditegakkan, tidak ada pilihan lain bagi orang yang dizalimi. Sedangkan dalam syariat orang Nasrani


adalah kebalikannya, yaitu wajib memaafkan orang zalim. Sedangkan syariat kita, ia datang secara


sempurna dari dua sisi, yaitu di dalamnya ada kisas dan ada juga pilihan memaafkan; karena


menghukum pelaku kejahatan sesuai dengan kejahatannya adalah bentuk ketegasan dan cara


menghentikan keburukan, sementara memaafkannya mengandung perbuatan baik serta memberi


kebaikan untuk orang yang engkau maafkan. Alhamdulillah, syariat kita datang secara paripurna; ia


memberi pilihan pada orang yang memiliki hak antara memaafkan atau mengisas, supaya dia bisa


memilih memaafkan pada momen memaafkan dan meminta kisas pada momen kisas.


*


Ruang Akhlak Mulia


Banyak orang memahami bahwa akhlak mulia itu khusus pada interaksi dengan makhluk, tidak pada


interaksi dengan Khalik. Namun, pemahaman ini timpang, karena akhlak baik sebagaimana berlaku pada


interaksi dengan makhluk, juga berlaku pada interaksi dengan Khalik.


Jadi, objek akhlak mulia mencakup interaksi dengan Sang Khalik جل جلاله dan juga dengan makhluk.


Permasalahan ini wajib dipahami.


Pertama: Akhlak Baik dalam Interaksi dengan Khalik جل جلاله


Akhlak mulia dalam interaksi kepada Khalik merangkum tiga perkara:


1- Menyikapi wahyu Allah -Ta'ālā- dengan membenarkannya.


2- Menyikapi hukum-hukum Allah dengan menerapkan dan mengamalkannya.


3- Menyikapi takdir Allah dengan sabar dan rida.


Tiga hal inilah yang menjadi ranah akhlak mulia terhadap Allah -Ta'ālā-.


1- Menyikapi wahyu Allah -Ta'ālā- dengan membenarkannya; yaitu tidak boleh ada keraguan atau


kebimbangan dalam membenarkan berita-berita Allah جل جلاله karena berita-Nya muncul dari ilmu dan Dia


adalah sejujur-jujur pembicara.


Allah -Ta'ālā- berfirman tentang diri-Nya, "Siapakah yang lebih benar perkataannya daripada Allah?" (QS.


An-Nisā`: 87)


Konsekuensi membenarkan wahyu Allah ialah mempercayainya, membelanya, dan berjuang


menyebarkannya. Dia tidak ragu ataupun membuat orang lain ragu dengan berita Allah جل جلاله dan berita


Rasulullah .صلى الله عليه وسلم


Bila seorang hamba menerapkan akhlak ini, maka ia akan mampu menepis semua syubhat yang


dilontarkan oleh orang-orang yang menyimpang terkait berita Allah dan Rasul-Nya صلى الله عليه وسلم, baik mereka dari


kalangan umat Islam yang mengada-adakan bidah yang bukan bagian dari agama Allah ataupun dari


kalangan nonmuslim yang melontarkan syubhat ke dalam hati umat Islam.


Tentang hal ini, kita akan sebutkan satu contoh. Diriwayatkan dalam Ṣaḥīḥ Bukhari dari hadis Abu


Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda,


"Jika seekor lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kalian, hendaknya ia


menenggelamkannya lalu mengangkatnya, karena di salah satu sayapnya ada penyakit dan di sayap


lainnya ada obat."


Ini adalah berita Rasulullah صلى الله عليه وسلم. Dalam perkara gaib, beliau tidak berbicara mengikuti hawa nafsu,


melainkan beliau berbicara berdasarkan apa yang diwahyukan oleh Allah -Ta'ālā- kepadanya karena


beliau seorang manusia yang tidak mengetahui perkara gaib.


Bahkan, Allah telah berfirman kepadanya, "Katakanlah (Muhammad), 'Aku tidak mengatakan kepadamu


bahwa perbendaharaan Allah ada padaku dan aku tidak mengetahui yang gaib dan aku tidak (pula)


mengatakan kepadamu bahwa aku malaikat. Aku hanya mengikuti apa yang diwahyukan kepadaku.'"


(QS. Al-An'ām: 50)


Berita ini wajib kita sikapi dengan akhlak yang mulia. Akhlak mulia terhadap berita ini ialah


menyambutnya dengan penuh penerimaan.


Kita meyakini sepenuhnya bahwa apa yang disampaikan oleh Nabi صلى الله عليه وسلمdi dalam hadis ini adalah benar


walaupun disanggah oleh banyak orang, dan kita mengetahui secara yakin bahwa yang menyelisihi berita


yang sahih dari Rasulullah صلى الله عليه وسلمadalah batil; karena Allah -Ta'ala- berfirman, "Tidak ada setelah


kebenaran itu melainkan kesesatan. Maka mengapa kamu berpaling (dari kebenaran)?" (QS. Yūnus: 32)


Contoh lainnya ialah tentang berita hari Kiamat:


Nabi صلى الله عليه وسلمmengabarkan bahwa matahari akan mendekat kepada manusia pada hari Kiamat sejarak 1


mīl. Baik makna mīl di sini adalah mīl al-mikḥalah (seukuran panjang pensil celak) maupun mīl


al-masāfah (seukuran mil jarak tempuh), tetaplah jarak antara matahari dan kepala manusia dalam hal ini


sangat dekat. Kendati demikian, manusia tidak akan terbakar oleh panasnya matahari, padahal


seandainya matahari saat ini dekat ke bumi seukuran 1 ruas jari niscaya bumi akan terbakar.


Mungkin ada yang akan mengatakan: bagaimana bisa matahari mendekat di atas makhluk pada hari


Kiamat dengan jarak seperti ini lalu manusia bisa bertahan sesaat?!


Bagaimanakah berakhlak mulia terhadap hadis ini?


Akhlak mulia terhadap hadis ini ialah menerima dan membenarkannya serta tidak boleh ada dalam dada


kita rasa berat, rasa sempit, maupun keraguan, serta meyakini bahwa apa yang dikabarkan oleh Nabi


صلى الله عليه وسلمdalam hal ini adalah benar.


Tidak mungkin kita menganalogikan keadaan akhirat dengan keadaan dunia karena adanya perbedaan


besar itu. Misalnya: kita meyakini bahwa manusia akan berdiri menunggu keputusan Allah di hari Kiamat


selama 50 ribu tahun; menurut analogi yang ada di dunia, apakah ada seorang manusia yang mampu


berdiri menunggu selama 50 ribu tahun?


Jawabannya adalah tidak ada, lantaran perbedaan keduanya sangat besar. Jika demikian, maka orang


beriman akan menerima berita seperti itu dengan dada lapang dan tenteram, akalnya akan


memakluminya serta hatinya akan terbuka untuknya.


2- Menyikapi hukum-hukum Allah dengan menerapkan dan mengamalkannya, yaitu tidak menolak satu


pun hukum Allah. Ketika ia menolak sebagian dari hukum Allah, maka itu adalah wujud akhlak yang


buruk kepada Allah جل جلاله, baik ia menolaknya karena mengingkari hukumnya, menolaknya karena angkuh


untuk mengamalkannya, atau menolaknya karena meremehkan pengamalannya. Semua itu


bertentangan dengan akhlak baik terhadap Allah .جل جلاله


Tentang ini, kita contohkan dengan amal saleh yang berat ketika kita lakukan di bulan Ramadan. Tidak


diragukan bahwa ibadah puasa berat bagi jiwa karena di siang harinya manusia meninggalkan kebiasaan


makan, minum, dan jimak. Semua ini perkara yang berat bagi manusia.


Tetapi, orang beriman yang berakhlak mulia terhadap Allah جل جلاله akan menerima perintah ini. Atau dengan


kata lain yang lebih tepat: akan menerima pemuliaan ini karena ia adalah nikmat dari Allah جل جلاله. Dia mesti


menerimanya dengan lapang dada dan tenteram serta disenangi oleh jiwanya. Sebab itu, Anda dapatkan


ia berpuasa pada hari-hari yang panjang nan panas. Dia rida dengan hal itu dan berlapang dada karena


ia berakhlak mulia terhadap Tuhannya. Adapun orang yang berakhlak buruk terhadap Allah akan


menyikapi ibadah seperti itu dengan rasa dongkol dan tidak suka. Kalau bukan takut terhadap akibat


meninggalkan puasa, ia tidak akan melaksanakan puasa.


Contoh lainnya adalah salat. Tidak diragukan bahwa salat itu berat bagi sebagian orang munafik;


sebagaimana Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda,


"Salat yang paling berat bagi orang munafik ialah salat Isya dan salat Subuh."


Tetapi, bagi orang beriman salat itu tidak berat.


Allah -Ta'ālā- berfirman, "Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, (salat)


itu amat berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk. (Yaitu) mereka yang yakin bahwa mereka akan


menemui Tuhannya dan bahwa mereka akan kembali kepada-Nya." (QS. Al-Baqarah: 45-46) Bagi


mereka, salat tidak berat, bahkan mudah dan ringan. Oleh karena itu, Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Penyejuk


mataku ditempatkan pada salat."


Akhlak mulia terhadap Allah جل جلاله yang berkaitan dengan salat ialah Anda menunaikannya dengan hati


yang lapang, tenteram, dan bahagia. Anda bahagia ketika melaksanakannya dan senantiasa menantinya


ketika waktunya telah dekat.


Ketika Anda telah mengerjakan salat Subuh, Anda merindukan salat Zuhur, dan ketika Anda telah


mengerjakan salat Zuhur, Anda merindukan salat Asar. Ketika Anda telah mengerjakan salat Asar, Anda


merindukan salat Magrib, dan ketika Anda telah mengerjakan salat Magrib, Anda merindukan salat Isya.


Ketika Anda telah mengerjakan salat Isya, Anda merindukan salat Subuh. Demikian seterusnya hati Anda


terpaut dengan salat itu. Tidak diragukan bahwa hal ini adalah akhlak mulia terhadap Allah -Ta'ālā-.


Contoh ketiga dalam muamalat, yaitu pengharaman riba. Allah telah mengharamkan riba bagi kita


dengan tegas dalam Al-Qur`ān; sebagaimana Allah -Ta'ālā- berfirman,


"Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba." (QS. Al-Baqarah: 275) Dia juga berfirman,


"Barang siapa mendapat peringatan dari Tuhannya, lalu dia berhenti, maka apa yang telah diperolehnya


dahulu menjadi miliknya dan urusannya (terserah) kepada Allah. Barang siapa yang mengulangi, maka


mereka itu penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya." (QS. Al-Baqarah: 275) Allah mengancam orang


yang kembali melakukan riba setelah adanya peringatan dan ia telah tahu hukumnya. Allah


mengancamnya dengan ancaman kekal dalam neraka. Kita memohon perlindungan kepada Allah


darinya.


Orang beriman akan menerima hukum ini dengan lapang dada, sikap rida, dan ketundukan.


Adapun selain orang beriman, ia tidak akan menerimanya, dan dadanya akan terasa sempit. Bahkan,


bisa jadi ia membuat berbagai siasat untuk menolaknya. Kita mengetahui bahwa di dalam riba


terkandung keuntungan yang pasti, di dalamnya tidak ada kemungkinan mendapatkan kerugian. Tetapi


pada hakikatnya, ia adalah bentuk keuntungan untuk orang tertentu, namun bentuk kezaliman bagi orang


lain. Oleh karena itu, Allah -Ta'ālā- berfirman, "Tetapi jika kamu bertobat, maka kamu berhak atas pokok


harta kamu. Kamu tidak berbuat zalim (merugikan) dan tidak dizalimi (dirugikan)." (QS. Al-Baqarah: 279)


3- Menyikapi takdir Allah dengan sabar dan rida. Ini adalah perkara ketiga di antara bentuk akhlak mulia


terhadap Allah. Semua kita mengetahui bahwa ketetapan Allah جل جلاله yang ditetapkan-Nya pada makhluk,


tidaklah semuanya sejalan dengan keinginan makhluk.


Apakah semua yang Allah tetapkan untuk kita sejalan dengan kemauan kita? Dalam artian bahwa jiwa


kita condong kepadanya serta selaras dengan jiwa kita? Realitasnya tidak demikian.


Misalnya: sakit. Ia tidak sejalan dengan kemauan manusia karena manusia ingin sehat.


Demikian juga kemiskinan, ia tidak sejalan dengan kemauan manusia karena manusia ingin kaya.


Demikian halnya kejahilan, ia juga tidak sejalan dengan kemauan manusia karena manusia ingin berilmu.


Akan tetapi, takdir Allah جل جلاله beraneka ragam sesuai hikmah-Nya. Ada yang sejalan dengan kemauan


manusia dan ia menerimanya sesuai tabiatnya. Namun, sebagiannya tidak demikian. Lalu bagaimana


bentuk akhlak mulia terhadap Allah جل جلاله dalam menyikapi ketetapan dan takdir-Nya?


Akhlak mulia terhadap Allah dalam menyikapi takdir-Nya ialah merasa rida dengan apa yang Allah


tetapkan, merasa tenteram kepadanya, dan meyakini bahwa Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- tidak


menetapkannya kecuali untuk suatu hikmah dan tujuan terpuji yang dengannya Allah patut dipuji dan


disyukuri.


Atas dasar itu, maka akhlak baik terhadap Allah dalam menyikapi takdir-Nya ialah agar seseorang rida,


tunduk, dan merasa tenteram terhadapnya. Oleh karena itu, Allah memuji orang-orang yang sabar dalam


firman-Nya,


"Sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. (Yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa


musibah, mereka berkata, 'Innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn' (sesungguhnya kami milik Allah dan


kepada-Nyalah kami kembali)." (QS. Al-Baqarah: 155-156)


Kedua: Akhlak Mulia dalam Interaksi terhadap Makhluk


Adapun akhlak mulia terhadap makhluk, maka didefinisikan oleh sebagian ulama di antaranya al-Ḥasan


al-Baṣriy -raḥimahullāh-, bahwa ia adalah tidak menyakiti, mengulurkan kebaikan, dan bermuka ceria.


Pertama: tidak menyakiti; yaitu seseorang menahan diri dari menyakiti orang lain, baik yang berkaitan


dengan harta, jiwa, ataupun kehormatan. Siapa yang tidak menahan keburukannya dari makhluk, maka


ia bukanlah orang yang berakhlak baik, sebaliknya ia orang yang berakhlak buruk.


Rasulullah صلى الله عليه وسلمtelah mengumumkan pengharaman itu pada perkumpulan paling agung yang umatnya


berkumpul di sana, yaitu beliau bersabda,


"Sesungguhnya darah kalian, harta kalian, dan kehormatan kalian terlindungi bagi kalian, seperti


terlindunginya hari kalian ini, di bulan kalian ini, dan di negeri kalian ini."


Bila ada yang menzalimi orang lain dengan melakukan pencurian, penipuan, pengkhianatan, kejahatan,


atau cacian dan gunjingan, maka ia bukanlah orang yang berakhlak baik terhadap manusia karena ia


tidak menahan diri dari menyakiti mereka.


Bahkan, dosanya akan semakin besar ketika kezaliman itu ditujukan kepada orang yang memiliki hak


yang besar terhadap dirinya.


Misalnya: berbuat buruk kepada kedua orang tua lebih besar dosanya daripada perbuatan buruk kepada


orang lain; berbuat buruk kepada kerabat lebih besar dosanya dari perbuatan buruk kepada orang jauh;


berbuat buruk kepada tetangga lebih besar dosanya dari perbuatan buruk kepada selain tetangga.


Oleh karena itu, Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah, tidak beriman. Demi Allah,


tidak beriman." Para sahabat bertanya, "Siapa, wahai Rasulullah?" Beliau bersabda, "Orang yang


tetangganya tidak merasa aman dari keburukannya."


Kedua: berupaya menebarkan kebaikan. Kebaikan tidak seperti anggapan sebagian yang fokus pada


pemberikan harta saja, melainkan kebaikan ada pada mengerahkan diri, kedudukan, dan harta demi


membantu orang lain.


Ketika kita melihat seseorang menunaikan hajat orang lain, membantu mereka, menyelesaikan urusan


mereka kepada orang yang tidak bisa mereka jangkau, menyebarkan ilmunya di tengah-tengah manusia,


dan mendermakan hartanya di tengah masyarakat, maka kita menyifatinya sebagai orang yang berakhlak


baik karena ia telah menebarkan kebaikan.


Oleh karena itu, Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Bertakwalah kepada Allah kapan dan di mana pun engkau berada,


ikutkanlah keburukan dengan kebaikan niscaya kebaikan itu akan menghapusnya, dan berakhlaklah


kepada orang lain dengan akhlak yang baik."


Di antara bentuk berakhlak baik kepada manusia ialah ketika Anda dizalimi atau diperlakukan tidak baik,


kemudian Anda memaafkan dan berlapang dada. Allah telah memuji orang-orang yang memaafkan


orang lain; Allah berfirman tentang penghuni surga,


"(Yaitu) orang yang berinfak baik di waktu lapang maupun sempit, orang-orang yang menahan


amarahnya, dan memaafkan (kesalahan) orang lain. Allah mencintai orang-orang yang berbuat


kebaikan." (QS. Āli 'Imrān: 134)


Allah -Ta'ālā- juga berfirman, "Memberikan maaf itu lebih dekat kepada takwa." (QS. Al-Baqarah: 237)


Dia juga berfirman, "Hendaklah mereka memaafkan dan berlapang dada." (QS. An-Nūr: 22)


Dia juga berfirman, "Siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat jahat), maka


pahalanya dari Allah." (QS. Asy-Syūrā: 40)


Setiap orang yang berinteraksi dengan orang lain pasti akan mengalami beberapa perlakukan buruk.


Sebab itu, hendaklah ia memaafkan dan berlapang dada. Hendaklah dia yakin bahwa dengan


memaafkan, berlapang dada, dan membalasnya dengan kebaikan, maka permusuhan antara dia dan


saudaranya akan berbalik menjadi pertemanan dan persahabatan.


Allah -Ta'ālā- berfirman, "Tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara


yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti


teman yang setia." (QS. Fuṣṣilat: 34)


Renungkanlah, wahai orang yang mengerti Bahasa Arab, bagaimana hasilnya datang menggunakan kata


إذا) ) yang berarti "tiba-tiba" karena ia menunjukkan munculnya suatu hasil sesegera mungkin.


"Maka tiba-tiba orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia."


(QS. Fuṣṣilat: 34) Tetapi, tidak setiap orang diberikan taufik untuk itu. Allah -Ta'ālā- berfirman, "(Sifat-sifat


yang baik itu) tidak akan dianugerahkan kecuali kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan


kecuali kepada orang-orang yang mempunyai keberuntungan yang besar." (QS. Fuṣṣilat: 35)


Apakah dapat kita pahami dari hal ini bahwa memaafkan pelaku kejahatan terpuji dan diperintahkan


secara mutlak?


Hal itu bisa saja dipahami dari ayat di atas. Tetapi, harus dipahami bahwa memaafkan hanya dipuji ketika


memaafkan itu yang lebih terpuji. Jika membalas lebih terpuji, maka membalas lebih utama. Oleh karena


itu, Allah -Ta'ālā- berfirman, "Siapa yang memaafkan dan berbuat baik (kepada orang yang berbuat


jahat), maka pahalanya dari Allah." (QS. Ay-Syūrā: 40) Di ayat ini, Allah menjadikan sikap maaf


bergandengan dengan perbuatan baik.


Memaafkan bisa jadi tidak memperbaiki. Bisa jadi orang yang menzalimi Anda adalah orang yang dikenal


buruk dan jahat, kalau Anda maafkan maka dia akan keterusan dalam keburukan dan kejahatannya itu.


Sebab itu, hal yang lebih utama pada keadaan seperti ini ialah kita membalas kejahatan itu karena di


dalamnya terkandung perbaikan. Syekh Islam Ibnu Taimiyah -raḥimahullāh- berkata, "Memperbaiki


hukumnya wajib, sedangkan memaafkan hukumnya sunah. Jika memaafkan akan berdampak hilangnya


perbaikan, maka itu artinya kita mengedepankan sunah di atas yang wajib. Tentu ini bukan ajaran


syariat." Sungguh yang beliau ucapkan itu benar.


Pada kesempatan ini, saya ingin mengingatkan satu hal yang dilakukan oleh banyak orang dengan niat


berbuat baik, yaitu ketika terjadi suatu peristiwa dari seseorang yang menyebabkan kematian orang lain,


lalu wali orang yang mati menggugurkan diat dari pelaku yang melakukan kejahatan;


apakah pengguguran diat yang mereka lakukan itu terpuji dan termasuk akhlak baik atau di dalamnya


ada perincian?


Di dalamnya ada perincian. Kita harus mencermati dan memperhatikan keadaan pelaku; apakah dia


termasuk orang yang dikenal sembrono dan tidak peduli? Apakah dia termasuk tipe orang yang tidak


peduli untuk menabrak orang karena merasa mampu membayar diat atau dia adalah orang yang


mengalami kejadian tersebut padahal telah berhati-hati tetapi memang Allah -Ta'ālā- telah


menakdirkannya?


Jika dia termasuk model orang yang kedua, maka pemberian maaf baginya lebih utama. Tetapi sebelum


dimaafkan, sekalipun pada model orang yang kedua, wajib kita perhatikan apakah mayit memiliki


tanggungan hutang?


Jika mayit memiliki tanggungan hutang yang tidak dapat dilunasi kecuali dari diat, maka kita tidak


mungkin memaafkan karena hak hutang lebih didahulukan sebelum warisan. Jika kita memberi maaf,


maka pemberian maaf kita tidak diakui. Permasalahan ini mungkin terpikirkan oleh banyak orang. Kita


katakan demikian karena ahli waris mendapatkan hak memiliki diat dari mayit yang menjadi korban dalam


kejadian dan mereka tidak dapat mengembalikan hak mereka kecuali setelah hutang. Oleh karena itu,


setelah menyebutkan warisan, Allah berfirman, "(Pembagian-pembagian tersebut di atas) setelah


(dipenuhi) wasiat yang dibuatnya atau (setelah dibayar) hutangnya." (QS. An-Nisā`: 11)


Kesimpulannya adalah bahwa memaafkan orang lain termasuk akhlak mulia. Memaafkan ini merupakan


bagian dari menebar kebaikan; karena menebar kebaikan bisa berupa memberi atau menggugurkan


kesalahan orang lain, dan memaafkan termasuk menggugurkan kesalahan orang lain.


Ketiga: bermuka ceria; yaitu agar seseorang selalu ceria. Kebalikannya adalah bermuka cemberut.


Oleh karena itu, Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Jangan meremehkan kebaikan sekecil apa pun, walaupun hanya


dengan muka ceria ketika bertemu dengan bertemu saudaramu."


Muka ceria dapat memasukkan kebahagiaan ke dada orang yang menemui Anda serta orang yang


memandang Anda. Muka ceria akan mendatangkan cinta dan kasih, serta mendatangkan sikap lapang


dada pada Anda dan pada orang yang menemui Anda. Silakan dicoba, niscaya akan Anda temukan.


Sebaliknya jika Anda cemberut, maka orang-orang akan lari dari Anda, serta tidak nyaman duduk


ataupun berbicara bersama Anda. Bisa jadi hal itu menyebabkan Anda diserang penyakit berbahaya


yang dikenal dengan tekanan darah tinggi.


Lapang dada dan muka ceria adalah obat paling mujarab untuk mencegah penyakit ini. Oleh karena itu,


dokter merekomendasikan bagi orang yang diuji dengan penyakit ini untuk menjauhi semua yang dapat


menyulut dan memancing amarah karena hal itu akan menambah penyakitnya. Muka ceria akan


membasmi penyakit ini karena dengan sebab itu orang akan lapang dada dan disukai manusia.


Inilah tiga pondasi yang menjadi poros akhlak mulia dalam berinteraksi dengan makhluk.


Termasuk akhlak mulia terhadap makhluk ialah melakukan interaksi yang baik dengan teman, kerabat


dan keluarga; tidak bersempit dada dengan mereka serta tidak menyulitkan mereka. Bahkan, ia mesti


memasukkan kebahagiaan pada diri mereka sesuai kemampuannya dan dalam batasan syariat Allah.


Syarat "dalam batasan syariat" ini harus ada karena sebagian orang ada yang tidak senang kecuali


dengan bermaksiat kepada Allah. Orang seperti ini tidak kita turuti. Jadi, memasukkan kebahagiaan pada


orang yang terhubung dengan Anda di antara keluarga, teman, dan kerabat dalam batasan syariat


termasuk akhlak mulia. Oleh karena itu, Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Orang yang terbaik di antara kalian adalah


kalian yang terbaik pada keluarganya, sedangkan aku adalah yang terbaik di antara kalian pada


keluarganya."


Banyak orang berakhlak baik terhadap orang lain, tetapi sangat disayangkan ia tidak berakhlak baik


terhadap keluarganya. Ini salah dan membalik fakta. Bagaimana bisa Anda berakhlak baik dengan orang


jauh namun berakhlak buruk dengan kerabat?!


Mungkin dia akan mengatakan: karena saya tidak merasa sulit untuk membuang rasa terbebani dan basa


basi antara saya dengan kerabat, sehingga saya bersikap buruk kepada mereka. Kita katakan: ini tidak


benar karena kerabat adalah orang yang paling berhak untuk Anda berikan interaksi dan muamalah yang


baik. Oleh karena itu, pernah ada seorang laki-laki berkata, "Wahai Rasulullah! Siapakah orang yang


paling berhak mendapatkan pergaulan baikku?" Beliau bersabda, "Ibumu." Dia bertanya, "Kemudian


siapa?" Beliau bersabda, "Ibumu." Dia bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau bersabda, "Ibumu." Dia


bertanya lagi, "Kemudian siapa?" Beliau bersabda, "Ayahmu."


Perkara ini di sebagian orang justru sebaliknya. Anda mendapatinya berinteraksi buruk dengan ibunya,


namun ia berinteraksi baik dengan istrinya. Dia mendahulukan interaksi baik dengan istrinya di atas bakti


kepada ibunya.


Kesimpulannya adalah bahwa berinteraksi baik dengan keluarga, teman dan kerabat, semua itu termasuk


akhlak baik.


Dalam program-program liburan seperti ini, sebaiknya kita memanfaatkan keberadaan para pemuda,


yaitu dengan melatih mereka untuk memperbaiki akhlak supaya program ini menjadi program ilmiah


sekaligus pembinaan akhlak; karena ilmu tanpa pembinaan bisa jadi mudaratnya lebih banyak dari


manfaatnya. Namun dengan adanya pembinaan akhlak, ilmu akan mewujudkan hasilnya yang diinginkan.


Oleh karena itu, Allah -Ta'ala- berfirman, "Tidak mungkin bagi seseorang yang telah diberi kitab oleh


Allah, serta hikmah dan kenabian, kemudian dia berkata kepada manusia, 'Jadilah kamu penyembahku,


bukan penyembah Allah,' tetapi (dia berkata), 'Jadilah kamu pengabdi-pengabdi Allah karena kamu


mengajarkan kitab dan karena kamu mempelajarinya!'" (QS. Āli 'Imrān: 79)


Inilah manfaat ilmu, yaitu supaya manusia menjadi insan rabani, dengan artian mendidik hamba-hamba


Allah di atas syariat Allah. Program-program inilah yang kita harapkan agar para pengurusnya


menjadikannya sebagai medan berlomba-lomba dalam akhlak mulia, di antaranya memperbaiki akhlak.


Telah kami sebutkan sebelumnya bahwa akhlak mulia bisa berupa sifat bawaan dan berupa sifat


bentukan, serta bahwa akhlak mulia yang merupakan bawaan lebih sempurna dari akhlak mulia yang


merupakan bentukan.


Dalam hal ini, kami sampaikan sebuah dalil, yaitu sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلمkepada Asyajj 'Abdil-Qais:


"Allahlah yang telah memfitrahkanmu padanya"


Juga karena akhlak baik yang berupa bawaan tidak akan hilang dari seseorang. Berbeda dengan akhlak


baik yang berupa bentukan, ia kadang hilang dari seseorang di banyak momen karena dia membutuhkan


latihan dan perjuangan, serta harus selalu mengingatnya ketika ada hal yang memicu adanya akhlak


buruk.


Oleh karena itu, ada seorang laki-laki datang menemui Rasulullah صلى الله عليه وسلم, lalu berkata, "Wahai Rasulullah!


Berikan aku wasiat." Beliau bersabda, "Jangan marah." Dia mengulangnya beberapa kali, tapi beliau


tetap bersabda, "Jangan marah." Nabi صلى الله عليه وسلمjuga bersabda, "Orang yang kuat itu bukanlah aṣ-ṣura'ah


(orang yang kuat bergulat). Orang yang kuat sesungguhnya hanyalah yang mampu menguasai diri ketika


marah."


Aṣ-Ṣura'ah ialah yang menumbangkan orang lain. Seperti kata "humazah" dan "lumazah". Al-Humazah


ialah orang yang mengolok orang lain dengan ucapan, sedangkan lumazah ialah yang mengolok orang


lain dengan aib. Orang kuat itu bukan orang yang bisa menumbangkan dan mengalahkan orang lain,


tetapi "orang kuat sesungguhnya hanyalah orang yang mampu menguasai diri ketika marah."


Orang yang mampu mengalahkan dan menguasai dirinya ketika marah adalah orang yang kuat


sesungguhnya. Menguasai diri ketika marah termasuk akhlak mulia.


Sebab itu, ketika Anda marah, maka janganlah menampakkan amarah tersebut. Tetapi, segera


berlindunglah kepada Allah dari setan yang terkutuk. Bila Anda sedang berdiri, maka duduklah, bila Anda


sedang duduk, maka berbaringlah, dan bila amarah Anda bertambah, maka berwudulah hingga amarah


itu hilang.


Kesimpulannya adalah bahwa akhlak baik yang berupa bawaan lebih afdal dari akhlak baik yang berupa


bentukan karena ia bersifat alamiah bagi seseorang serta mudah ia tampakkan di semua momen.


Sementara akhlak baik yang berupa bentukan kadang dapat hilang di sebagian momen.


Kami juga katakan bahwa akhlak baik dapat terwujud dengan usaha, yaitu dengan melatih diri


dengannya. Seseorang dapat melatih diri berakhlak baik melalui beberapa perkara, di antaranya:


Pertama: menadaburi Al-Qur`ān dan Sunnah Rasulullah صلى الله عليه وسلم; yaitu mencermati nas-nas yang


menunjukkan pujian terhadap akhlak yang agung karena orang beriman ketika melihat nas-nas yang


memuji sebagian akhlak atau amal maka ia akan melaksanakannya.


Kedua: berteman dengan orang-orang yang dikenal berakhlak baik. Nabi صلى الله عليه وسلمtelah mengisyaratkan hal


itu dalam sabdanya,


"Perumpamaan teman bergaul yang saleh dan teman bergaul yang buruk bagaikan penjual minyak wangi


dan pandai besi. Penjual minyak wangi, bisa jadi dia akan memberimu atau engkau yang akan membeli


darinya, atau paling tidak engkau bisa mendapatkan aroma yang wangi darinya. Sedangkan pandai besi,


bisa jadi dia akan membakar pakaianmu atau engkau akan mendapatkan aroma tidak sedap darinya."


Sebab itu, semua pemuda harus berteman dengan orang-orang yang dikenal berakhlak baik serta wajib


menjauhi akhlak-akhlak yang buruk dan perbuatan rendahan, supaya dari pertemanan itu, mereka dapat


mengambil pelajaran yang akan membantu mereka berakhlak baik.


Ketiga: mencermati apa yang akan lahir dari akhlak buruknya. Orang yang berakhlak buruk akan dibenci,


dijauhi, dan dibicarakan buruk. Bila seseorang tahu bahwa akhlak buruk akan membawanya kepada


semua itu, maka dia akan menjauhinya.


*


Sang Suri Teladan صلى الله عليه وسلم


Pada diri Rasulullah صلى الله عليه وسلمterdapat teladan yang baik bagi kita. Rasulullah صلى الله عليه وسلمadalah orang yang paling


baik akhlaknya;


karena Allah -Ta'ālā- berfirman tentang beliau, "Sesungguhnya engkau benar-benar berbudi pekerti yang


luhur." (QS. Al-Qalam: 4) Peristiwa dan kejadian yang terjadi di zaman Rasulullah صلى الله عليه وسلمmenunjukkan


akhlak baik beliau. Bahkan, beliau menunjukkan akhlak baik sekalipun terhadap anak-anak dengan cara


menghibur dan mencandai mereka. Beliau pernah berkata kepada salah seorang anak kecil, "Wahai Abu


'Umair! Apa yang dilakukan oleh si nugair?" Abu 'Umair adalah gelar untuk seorang anak kecil; ia memiliki


nugair, yaitu burung kecil seperti pipit. Burung itu mati sehingga membuat anak kecil itu merasa sedih dan


berduka cita, maka Nabi صلى الله عليه وسلمmenghiburnya dengan mengatakan, "Wahai Abu 'Umar! Apa yang


dilakukan oleh si nugair?"


Seorang badui pernah datang lalu kencing di masjid, maka orang-orang menghardiknya dengan keras,


tetapi Nabi صلى الله عليه وسلمmelarang mereka. Setelah orang itu menyelesaikan kencingnya, Nabi صلى الله عليه وسلمmeminta satu


ember air lalu dituangkan pada kencing tersebut. Kemudian beliau memanggil laki-laki badui itu,


lalu bersabda padanya, "Sesungguhnya masjid-masjid itu tidak patut dilumuri kotoran sedikit pun.


Sesungguhnya masjid itu hanyalah untuk salat dan baca Al-Qur`ān." Atau sebagaimana yang disabdakan


oleh Nabi .صلى الله عليه وسلم


Sisi akhlak baik dalam kisah ini jelas, yaitu beliau tidak mencela laki-laki badui itu dan tidak pula


memerintahkan orang untuk memukulnya, tetapi beliau membiarkannya sampai ia menuntaskan


kencingnya, lalu memberitahunya bahwa masjid itu tidak patut untuk apa yang dilakukannya karena


masjid itu untuk tempat salat, berzikir dan membaca Al-Qur`ān.


Seorang laki-laki pernah datang menemui beliau di bulan Ramadan, lalu berkata, "Wahai Rasulullah! Aku


telah binasa!!" Nabi صلى الله عليه وسلمbertanya, "Apa yang membuatmu binasa?" Laki-laki itu menjawab, "Aku telah


menggauli istriku di siang Ramadan sementara aku sedang berpuasa." Maka beliau tidak mencela


maupun menghardiknya, melainkan beliau berkata kepadanya, "Apakah engkau memiliki harta untuk


memerdekakan seorang budak?" Dia menjawab, "Tidak." Beliau bertanya, "Apakah engkau mampu


berpuasa dua bulan berturut-turut?" Dia menjawab, "Tidak." Beliau bertanya, "Apakah engkau memiliki


harta untuk memberi makan 60 orang miskin?" Dia menjawab, "Tidak." Kemudian dia duduk. Lalu Nabi


صلى الله عليه وسلمdibawakan sekeranjang kurma, maka beliau memberikannya kepadanya lalu berkata,


"Bersedekahlah menggunakan kurma ini." Dia berkata, "Apakah kepada orang yang lebih fakir dari


kami?! Tidak ada di antara ujung timur dan barat kota ini orang yang lebih butuh kepada kurma ini dari


kami." Nabi صلى الله عليه وسلمpun tertawa hingga terlihat gigi taringnya, kemudian beliau bersabda, "Pergilah dan


berikan makan untuk keluargamu."


Akhlak baik Nabi صلى الله عليه وسلمdalam kisah ini terang benderang, yaitu beliau tidak menghardik laki-laki itu dan


tidak pula mencela maupun mencacinya. Yang demikian itu disebabkan karena kesantunan dan


kebijaksanaan beliau.


Beliau melihat laki-laki itu datang dengan penuh penyesalan, rasa takut, dan ingin bertobat sehingga


beliau صلى الله عليه وسلمmemandang bahwa dia tidak patut dicela, melainkan harus diberi penjelasan kebenaran serta


diperlakukan dengan lembut.


Ada satu permasalahan, yaitu: banyak orang mengisahkan bahwa orang-orang Barat memiliki akhlak


yang lebih bagus dalam muamalah dan jual beli mereka, sementara Anda akan menemukan tipu daya,


dusta, dan melariskan dagangan dengan sumpah palsu di tengah-tengah kalangan umat Islam. Apa


sebabnya? Apakah kemajuan teknologi mereka memiliki pengaruh besar dalam menciptakan akhlak


mereka?


Jawabannya: Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda,


"Kalau manusia diberikan sesuai klaim mereka, maka orang-orang akan mengklaim nyawa dan harta


benda orang lain. Akan tetapi, bukti wajib dihadirkan oleh orang yang mengklaim." Apa yang tersebar di


tengah masyarakat bahwa orang Barat memiliki akhlak yang baik dalam muamalah adalah tidak benar.


Mereka memiliki muamalah buruk yang diketahui oleh orang-orang yang pernah pergi ke tempat mereka


dan melihat mereka dengan pandangan adil dan objektif, bukan orang yang memandang mereka dengan


pandangan penjunjungan dan pengagungan. Seorang penyair pernah berkata,


Mata yang rida akan buta dari semua aib... sebagaimana mata yang benci akan menampakkan semua


keburukan.


Saya telah diceritakan oleh banyak pemuda yang pergi ke negara Barat tentang berbagai perbuatan


mereka yang merupakan akhlak paling buruk. Namun kalau mereka jujur dalam jual beli, itu bukan karena


mereka orang-orang yang berakhlak, tetapi karena mereka pemuja materi.


Ketika seseorang semakin jujur dalam muamalahnya terkait perkara-perkara ini, maka orang akan


semakin banyak datang padanya dan lebih cepat membeli barangnya dan mempromosikannya.


Mereka tidak melakukan hal itu karena mereka berakhlak sempurna, tetapi karena mereka pemuja materi


dan mereka mengetahui bahwa iklan terbesar untuk mengembangkan harta mereka ialah dengan


memperbaiki muamalah supaya harta-harta itu diterima.


Jika tidak demikian, mereka adalah seperti yang diterangkan oleh Allah جل جلاله dalam firman-Nya: "Sungguh,


orang-orang yang kafir dari golongan Ahli Kitab dan orang-orang musyrik (akan masuk) ke neraka


Jahanam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka itu adalah sejahat-jahat makhluk." (QS.


Al-Bayyinah: 6) Saya tidak menduga ada orang yang lebih jujur keterangannya dari keterangan Allah جل جلاله


tentang orang-orang kafir. Mereka adalah seburuk-buruk makhluk. Bagaimana bisa mengharapkan


adanya kebaikan murni dari orang-orang yang diterangkan oleh Allah bahwa mereka seburuk-buruk


makhluk?! Saya sama sekali tidak meyakini itu akan terjadi. Namun, kejujuran, transparansi, dan


ketulusan dalam muamalah yang didapatkan dari mereka adalah karena ada niat dalam diri mereka, yaitu


meraup materi dan penghasilan. Siapa yang melihat kezaliman, tipu daya, dan kesewenang-wenangan


mereka terhadap umat manusia di berbagai tempat akan mengetahui kebenaran firman Allah -Ta'ālā-:


"Mereka itulah seburuk-buruk makhluk."


Adapun terkait apa yang dilakukan banyak umat Islam berupa penipuan, dusta, dan khianat dalam


muamalah, maka keislaman dan keimanan mereka berkurang seukuran dengan penyelisihan mereka


terhadap syariat di dalam perkara-perkara itu.


Pelanggaran dan penyimpangan sebagian umat Islam dari batasan syariat pada perkara-perkara seperti


itu bukan berarti kekurangan dalam syariat, karena syariat ini sempurna.


Mereka hanya berbuat buruk kepada diri mereka sendiri, kepada syariat Islam, kepada saudara-saudara


mereka sesama muslim, dan kepada teman interaksi mereka dari kalangan nonmuslim. Mereka itu hanya


berbuat buruk kepada diri mereka sendiri. Orang yang berakal tidak menjadikan perbuatan buruk seorang


pelaku sebagai keburukan dalam syariat yang dianut oleh pelaku tersebut.


Oleh karena itu, saya berharap agar semua umat Islam memiliki gerakan yang kuat dalam memerangi


perkara-perkara yang tidak diakui oleh Islam ini berupa dusta, khianat, penipuan, dan semisalnya.


Ada satu permasalahan: siapakah yang lebih afdal, orang yang kurang ibadahnya tetapi berakhlak mulia


atau orang yang mendekati kesempurnaan dalam ketaatan pada syariat namun berakhlak buruk? Apa


hubungan hal itu dengan sabda Nabi صلى الله عليه وسلمkepada Ummu Salamah: "Akhlak baik mendatangkan kebaikan


dunia dan akhirat"?


Jawabannya: tidak diragukan bahwa kesempurnaan akhlak termasuk kesempurnaan agama,


sebagaimana diriwayatkan secara sahih dari Nabi صلى الله عليه وسلمbahwa beliau bersabda,


"Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling bagus akhlaknya."


Atas dasar ini, semua orang yang kurang akhlaknya maka agamanya pun kurang, karena kesempurnaan


agama adalah dengan kesempurnaan akhlak. Juga sebagaimana yang telah kami sebutkan bahwa


akhlak baik tampak pada interaksi dengan Khalik dan interaksi dengan makhluk. Dengan ini, jelaslah


bahwa kesempurnaan agama tergantung pada kesempurnaan akhlak.


Oleh karena itu, pengaruh orang yang sempurna akhlaknya terhadap nonmuslim dalam membuatnya


tertarik kepada Islam lebih besar dari pengaruh orang yang taat beragama tetapi berakhlak buruk. Bila


orang yang kuat dalam ibadah diberikan taufik kepada akhlak baik maka itu lebih sempurna. Adapun


perbandingan antara orang yang kuat dalam ibadah pribadinya, namun memiliki akhlak yang buruk, maka


itu perkara yang tidak mungkin diukur.


Kita memohon kepada Allah agar menjadikan kita termasuk orang-orang yang berpegang teguh dengan


Kitab-Nya dan Sunnah Rasul-Nya secara lahir dan batin serta diwafatkan di atasnya.


Kita juga memohon pada-Nya agar melindungi diri kita di dunia dan akhirat, tidak menyesatkan kita


setelah diberi petunjuk, dan agar Dia mencurahkan rahmat-Nya kepada kita semua; sesungguhnya Dia


Maha Memberi.


*


AKHLAK MULIA


Kata Pengantar


*


Bismillāhirraḥmānirraḥīm


Ruang Akhlak Mulia


Sang Suri Teladan صلى الله عليه وسلم



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i