Hukum Mencela Ulama
Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah
Terjemah :Muhammad Iqbal A.Gazali
Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad
2010 - 1431
Hukum Mencela Ulama
Syaikh Muhammad al-Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan: Apakah pendapat Syaikh terhadap sebagian penuntut ilmu
dari kalangan pemuda yang mempunyai kebiasaan mencela satu sama lain,
membuat manusia menjauh dan menghindar dari mereka? Apakah ini
termasuk perbuatan syar'i yang diberi pahala atasnya atau (tidak syar'i) yang
disiksa atasnya?
Jawaban: Menurut pendapat saya ini adalah perbuatan yang
diharamkan. Apabila seorang muslim tidak boleh mengmpat (ghibah,
menggunjing) saudaranya sesama muslim sekalipun ia bukan seorang yang
alim, maka bagaimana mungkin dibolehkan baginya mengumpat saudaranya
sesama ulama dari golongan orang-orang yang beriman? Orang yang beriman
wajib menahan lisannya dari ghibah terhadap saudara-saudaranya sesama
muslim. Firman Allah :
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka,
sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencaricari
kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing
sebahagian yaang lain. Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging
saudaranya yang sudah mati. Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan
bertaqwalah kepada Allah.Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang. (QS. al-Hujurat:12)
Hendaklah orang yang melakukan hal ini mengetahui bahwa apabila ia
mentajrih (mencela) seorang ulama maka ia menjadi penyebab ditolaknya
kebenaran yang dikatakan oleh ulama ini. Maka tanggung jawab dan dosanya
adalah terhadap orang yang mencela ini, karena mencela seorang ulama pada
kenyataannya bukanlah mentajrih (mencela) pribadinya, bahkan mencela
pewaris Nabi Muhammad . Sesungguhnya para ulama adalah pewaris para
nabi. Apabila ia mentajrih ulama dan mencela mereka niscaya manusia tidak
percaya dengan ilmu yang ada di sisi mereka dan ilmu tersebut diwarisi dari
Rasulullah . Dan pada saat itu mereka tidak percaya dengan syari'at yang
dibawa oleh ulama yang ditajrih ini.
Saya tidak mengatakan bahwa setiap ulama adalah ma'shum, bahkan
setiap manusia bisa melakukan kesalahan. Dan apabila engkau melihat
seorang ulama melakukan kesalahan menurut pendapatmu, maka hubungilah
beliau dengan telepon dan sampaikanlah pendapatmu. Jika jelas bagimu
bahwa kebenaran adalah bersamanya maka engkau harus mengikutinya. Dan
jika tidak jelas bagimu akan tetapi engkau mendapatkan alasan yang
membolehkan ucapannya maka engkau harus menahan diri. Dan jika engkau
tidak mendapatkan alasan terhadap pendapatnya maka peringatkanlah dia
terhadap pendapatnya karena ngotot di atas kesalahan hukumnya tidak boleh.
Akan tetapi engkau tidak boleh mentajrihnya dan ia seorang alim yang dikenal
umpamanya dengan niat yang baik.
Apabila kita ingin mentajrih para ulama yang dikenal dengan niat yang
baik karena kesalahan yang mereka lakukan padanya dari masalah fikih,
niscaya kita akan mentajrih para ulama besar, namun yang wajib adalah yang
telah saya sebutkan. Apabila engkau melihat seorang ulama melakukan
kesalahan maka diskusi dan berbicaralah bersamanya. Bisa jadi bahwa
kebenaran adalah bersamanya maka engkau harus mengikutinya atau
kebenaran ada bersamamu maka ia yang harus mengikutimu. Atau tidak jelas
dan jadilah perbedaan yang terjadi di antara kamu berdua adalah khilaf yang
dibolehkan. Saat itu, engkau wajib menahan diri, ia mengatakan apa yang dia
katakan dan engkau mengatakan apa yang engkau katakan.
Alhamdulillah, khilaf tidak hanya terjadi di masa sekarang. Khilaf sudah
terjadi sejak masa sahabat hingga hari ini. Dan apabila sudah jelas kesalahan
akan tetapi ia tetap bertahan terhadap pendapatnya, engkau harus
menjelaskan kesalahan dan berjauh darinya. Akan tetapi bukan atas dasar
mentajrih dan ingin membalas dendam, karena orang tersebut bisa jadi
mengatakan pendapat yang benar pada masalah lain selain yang engkau
perdebatkan.
Yang penting sesungguhnya saya memperingatkan kepada saudarasaudaraku
dari bala dan penyakit ini. Aku memohon kepada Allah untukku
dan mereka kesembuhan dari segala hal yang menjelekkan kami atau
membahayakan kami pada agama dan dunia kami.
Syaikh Muhammad al-Utsaimin – Kitab Dakwah 5/2/61-64.