23
ada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah)." Kemudian jika dia mengucapkan, "Allāhumma igfir lī (Ya Allah! Ampunilah aku)" atau dia berdoa maka doanya akan dikabulkan. Bila dia mengerjakan wudu dan salat maka salatnya pasti diterima. Kemudian membaca zikir, "Al-ḥamdu lillāh al-lażī aḥyānī ba'da mā amātanī wa ilahin-nusyūr, lā ilāha illā anta waḥdaka, lā syarīka lak, subḥākana astagfiruka li żanbī wa as`aluka raḥmataka (Segala puji milik Allah yang telah menghidupkanku kembali setelah mematikanku. Hanya kepada-Nya kebangkitan. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau semata, tidak ada sekutu bagi-Mu. Aku menyucikan-Mu. Aku memohon ampunan kepada-Mu dari dosaku. Aku memohon kepada-Mu rahmat-Mu)." "Allāhumma zidnī 'ilman wa lā tuzig qalbī ba'da iż hadaitanī wa hab lī min ladunka raḥmatan innaka antal-wahhāb. Al-ḥamdu lillāhil-lażī radda 'alayya rūḥī wa 'āfānī fī jasadī wa ażina lī biżikrihi (Ya Allah! Berikan tambahan ilmu kepadaku dan jangan sesatkan hatiku setelah Engkau menunjukiku. Berikanlah kepadaku rahmat dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pemberi. Segala puji bagi Allah yang masih mengembalikan ruhku dan memberikan keafiatan pada badanku serta memperkenankanku untuk berzikir kepada-Nya)." Setelah itu dia bersiwak. Bila dia mengerjakan salat malam, dia boleh membaca doa iftitāḥ dengan doa iftitāḥ dalam salat fardu bila mau. Atau dengan yang lainnya bila mau, misalnya: “Allāhumma lakal-ḥamdu anta nūrus-samāwāti wal-arḍi wa man fīhinna, wa lakal-ḥamdu anta qayyūmus-samāwāti wal-arḍi wa man fīhinna, wa lakal-ḥamdu anta malikus-samāwāti wal-arḍi wa man fīhinna, wa lakal-ḥamdu antal-ḥaqq, wa wa'dukal-ḥaqq, wa qaulukal-ḥaqq, wa liqā`ukal-ḥaqq, wal-jannatu ḥaqq, wan-nāru ḥaqq, wan-nabiyyūna ḥaqq, was-sā'atu ḥaqq. Allāhumma laka aslamtu, wa bika āmantu, wa 'alaika tawakkaltu, wa ilaika anabtu, wa bika khāṣamtu, wa ilaika ḥākamtu, fa-gfir lī mā qaddamtu wa mā akhkhartu wa mā asrartu wa mā a'lantu wa mā anta a'lamu bihī minni, antal-muqaddimu wa antal-mu`akhkhiru, lā ilāha illā anta, wa lā quwwata illā bika (Ya Allah! Hanya milik-Mu segala pujian. Engkau adalah cahaya bagi langit dan bumi serta semua yang ada padanya. Hanya milik-Mu segala pujian. Engkau yang mengurus langit dan bumi serta semua yang ada padanya. Hanya milik-Mu semua pujian. Engkau pemilik langit dan bumi serta semua yang ada padanya. Hanya milik-Mu segala pujian. Engkaulah Al-Ḥaqq (Mahabenar). Hanya janji-Mu yang benar. Hanya firman-Mu yang benar. Pertemuan dengan-Mu benar ada. Surga itu benar ada, neraka itu benar ada, para nabi itu benar ada, dan hari Kiamat itu benar ada. Ya Allah! Hanya kepada-Mu aku berserah diri.
24
Hanya kepada-Mu aku beriman. Hanya kepada-Mu aku bertawakal. Hanya kepada-Mu aku kembali. Hanya kepada-Mu aku mengadu. Dan hanya kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah dosa-dosaku yang telah aku lakukan maupun yang belum aku lakukan, yang aku sembunyikan maupun yang aku tampakkan, dan yang Engkau lebih mengetahuinya daripada diriku. Engkaulah Al-Muqaddim dan Al-Mu`akhkhir. Tiada tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau. Tidak ada kekuatan kecuali dengan pertolongan-Mu).” Bila mau, dia boleh membaca, "Allāhumma rabba jibrīl wa mikā`īl wa isrāfīl, fāṭiras-samāwāti wal-arḍi, 'ālimal-gaibi wasy-syahādah, anta taḥkumu baina 'ibādika fīmā kānū fīhi yakhtalifūn, ihdinī limā ukhtulifa fīhi minal-ḥaqq bi iżnika, innaka tahdī man tasyā`u ilā ṣirātim-mustaqīm (Ya Allah! Tuhan Jibril, Mikail, dan Israfil, Pencipta langit dan bumi, Yang mengetahui perkara gaib dan yang tampak. Engkaulah yang menetapkan keputusan pada apa yang diperselisihkan di antara hamba-Mu. Tunjukkanlah aku kepada kebenaran yang diperselisihkan (manusia) dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberi petunjuk siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus)."
Disunahkan agar memulai salat tahajud dengan dua rakaat ringan dan agar seseorang memiliki salat sunah yang dia rutinkan dan dia kada bila terlewatkan.
Dianjurkan untuk membaca zikir-zikir yang ada dalam Sunnah ketika pagi dan petang, ketika tidur dan bangun, ketika masuk dan keluar rumah, dan lain sebagainya. Mengerjakan salat sunah di rumah lebih utama, begitu juga membaca dengan pelan dalam salat yang tidak diperintahkan secara berjamaah. Tidak mengapa mengerjakan salat sunah secara berjamaah selama tidak dijadikan sebagai kebiasaan. Dianjurkan untuk memperbanyak istigfar ketika akhir malam. Siapa yang terlewatkan dari rutinitas tahajudnya, dia boleh mengadanya sebelum zuhur. Tidak diperbolehkan salat sunah dalam keadaan berbaring.
Sunah hukumnya mengerjakan salat Duha. Waktunya dimulai dari setelah selesai waktu larangan salat hingga sebelum waktu zawal. Mengerjakannya ketika panas telah menyengat lebih utama. Ia berjumlah dua rakaat, dan bagus lagi bila ditambah.
Disunahkan mengerjakan salat istikharah ketika merencanakan suatu urusan; yaitu mengerjakan salat dua rakaat selain salat fardu. Setelah itu berdoa, "Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepada-Mu supaya diberikan pilihan yang terbaik, karena Engkau Maha Mengetahui. Dan aku
25
memohon kepada-Mu diberikan kemampuan, karena Engkau Mahakuasa. Aku memohon kepada-Mu sebagian dari karunia-Mu yang besar. Sesungguhnya Engkau Mahakuasa sedang aku tidak mampu, Engkau Maha Mengetahui sedang aku tidak mengetahui, dan Engkau Maha mengetahui yang gaib. Ya Allah! Jika Engkau mengetahui perkara ini -dia menyebutkan langsung perkara itu- lebih baik bagiku dalam agama dan duniaku dan dalam kehidupanku dan akhiratku (urusan dunia dan akhiratku), maka tetapkanlah ia untukku dan mudahkanlah, kemudian berkahilah ia untukku. Jika Engkau mengetahui perkara ini buruk bagiku dalam agama dan duniaku dan dalam kehidupanku dan akhiratku, maka palingkanlah ia dariku dan palingkan aku darinya, dan tetapkanlah untukku yang lebih baik di mana pun berada, kemudian buatlah aku rida kepadanya." Setelah itu dia melakukan konsultasi. Istikharah tidak dilakukan ketika dia telah bertekad untuk mengerjakan suatu perbuatan atau meninggalkannya.
Dianjurkan mengerjakan salat Tahiyat Masjid, salat sunah wudu, dan menghidupkan antara Magrib dan Isya (dengan salat). Sujud tilawah hukumnya sunah muakadah, tidak wajib; bedasarkan perkataan Umar, "Siapa yang melakukan sujud, perbuatannya tepat, dan siapa yang tidak melakukan sujud tidak berdosa." (HR. Malik dalam Al-Muwaṭṭa`). Sujud tilawah ini juga dianjurkan bagi orang yang menyimak (bacaan ayat-ayat sajdah). Orang yang sedang berkendara melakukan sujud dengan berisyarat ke arah tujuan kendaraannya. Sedangkan orang yang sedang berjalan, dia bersujud di tanah dengan menghadap ke arah kiblat. Orang yang hanya mendengar (bacaan ayat sajdah) tidak mengerjakan sujud tilawah; berdasarkan riwayat dari para sahabat. Ibnu Mas'ūd berkata kepada seorang remaja yang membaca Al-Qur`ān, "Sujudlah. Karena engkau imam kami."
Juga dianjurkan melakukan sujud syukur ketika ada nikmat baru yang besar pada perkara umum atau perkara yang khusus untuknya. Dianjurkan ketika melihat orang yang mendapat musibah dalam agama atau badannya untuk mengucapkan, "Al-ḥamdu lillāh al-lażī 'āfānī mimmā ibtalāka bihi wa faḍḍalanī 'alā kaṡīrin mimman khalaqa tafḍīlā (Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkanku dari ujian yang Dia timpakan kepadamu serta telah melebihkanku di atas banyak makhluk ciptaan-Nya)."
Waktu-waktu larangan ada lima: setelah salat Subuh hingga matahari terbit, setelah matahari terbit hingga naik seukuran satu tombak, ketika
26
matahari tegak di atas hingga tergelincir, setelah salat Asar hingga matahari menjelang tenggelam, dan setelah itu hingga benar-benar teggelam. Pada waktu-waktu ini diperbolehkan mengada salat fardu, menunaikan nazar, mengerjakan salat sunah dua rakaat tawaf, dan mengulang salat berjamaah jika salat ditegakkan sementara dia ada di masjid. Khusus salat jenazah boleh dilakukan di dua waktu larangan yang panjang.
Bab Salat Berjamaah
Salat berjamaah minimal dilakukan oleh dua orang kecuali pada salat Jumat dan Id. Salat berjamaah hukumnya fardu ain ketika di negeri sendiri dan ketika perjalanan, bahkan ketika takut. Allah -Ta'ālā- berfirman, "Dan apabila engkau (Muhammad) berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu engkau hendak melaksanakan salat bersama-sama mereka ..." (QS. An-Nisā`: 102). Salat berjamaah lebih utama 27 derajat dari salat sendiri. Salat berjamaah dikerjakan di masjid. Masjid yang lebih tua lebih utama, begitu juga masjid yang lebih banyak jemaahnya dan yang lebih jauh. Seseorang tidak boleh menjadi imam di sebuah masjid mendahului imam tetapnya, kecuali dengan seizinnya. Kecuali bila imam terlambat maka hal itu tidak dimakruhkan; berdasarkan perbuatan Abu Bakar dan Abdurrahman bin 'Auf. Tidak boleh memulai salat sunah bila salat berjamaah telah diikamahkan. Bila salat berjamaah diikamahkan sementara dia sedang mengerjakan salat sunah, maka dia harus segera menyelesaikannya dengan ringkas. Siapa yang mendapatkan satu rakaat bersama imam, berarti dia telah mendapatkan salat jamaah tersebut. Dan sebuah rakaat akan didapatkan dengan mendapatkan rukuk bersama imam. Takbīrātul-iḥrām dapat mewakili dan menggugurkan kewajiban takbir rukuk, berdasarkan perbuatan Zaid bin Ṡābit dan Ibnu Umar, sementara tidak diketahui ada sahabat lain yang menyelisihi mereka. Tetapi tetap mengerjakan keduanya lebih utama supaya keluar dari menyelisihi pendapat yang mewajibkannya. Bila dia mendapatkan imam setelah rukuk berarti dia tidak mendapatkan rakaat tersebut, dan kewajibannya untuk mengikuti imam serta dianjurkan langsung ikut bersamanya berdasarkan hadis tersebut. Orang yang masbuk tidak boleh berdiri menyempurnakan keterlambatannya kecuali setelah imam mengucapkan salam yang kedua. Bila dia mendapatkan imam dalam sujud sahwi setelah salam, maka dia tidak ikut masuk bersama imam. Bila dia tertinggal salat jamaah, dianjurkan agar ada yang mau salat bersamanya; berdasarkan saba Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Siapakah yang mau
27
bersedekah kepada orang ini dengan melakukan salat (berjamaah) bersamanya." Makmum tidak wajib membaca Al-Fātiḥah, berdasarkan firman Allat -Ta'ālā-, "Dan apabila dibacakan Al-Qur’ān, maka dengarkanlah dan diamlah, agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al-A'rāf: 204). Ahmad berkata, "Semua ulama berijmak bahwa ayat ini berbicara tentang mendengarkan Al-Qur`ān di dalam salat." Makmum dianjurkan untuk membaca ketika imam tidak mengeraskan bacaan. Mayoritas ulama dari kalangan sahabat dan tabiin berpendapat agar makmum membaca ketika imam membaca dengan pelan sebagai bentuk menghindari ikhtilaf dengan orang yang mewajibkannya. Tetapi kita tidak membacanya ketika imam membaca dengan keras berdasarkan dalil-dalil yang ada. Makmum segera mengerjakan gerakan-gerakan salat setelah imam secara langsung, tanpa menunggu sampai imam selesai. Makruh hukumnya bila makmum melakukan gerakan bersamaan dengan imam, dan haram hukumnya bila mendahului imam. Bila makmum melakukan rukuk atau sujud sebelum imam karena tidak sengaja maka dia harus kembali supaya ia melakukannya setelah imam. Bila tidak dia kerjakan, padahal dia tahu dan dengan sengaja, maka salatnya batal. Bila ia terlambat dari imam satu rukun tanpa uzur, hukumnya sama dengan mendahului imam. Tetapi bila karena sebuah uzur seperti tertidur atau lalai, atau karena imam terlalu cepat maka ia harus mengerjakannya lalu segera menyusul imam. Bila makmum terlambat satu rakaat karena uzur maka ia harus mengikuti imam di sisa salatnya lalu mengganti rakaat tersebut setelah salam imam. Dianjurkan kepada imam bila ada suatu kejadian yang menuntut makmum keluar membatalkan salat supaya ia meringankan salatnya. Tetapi dimakruhkan untuk terlalu cepat dengan kecepatan yang akan menghalangi seorang makmum dari mengerjakan apa yang disunahkan.
Dianjurkan untuk memanjangkan bacaan di rakaat pertama agar lebih panjang dari rakaat kedua. Juga dianjurkan kepada imam supaya menunggu orang yang baru masuk supaya ia bisa mendapatkan rakaat tersebut selama tidak memberatkan makmum lain.
Orang yang paling pantas menjadi imam ialah yang paling banyak dan bagus hafalan Al-Qur`ān-nya. Adapun hal Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mendahulukan Abu Bakar padahal ada sahabat lain yang lebih banyak dan bagus hafalannya seperti Ubay bin Ka'ab dan Mu'āż, maka telah dijelaskan oleh Imam Ahmad bahwa hal itu beliau lakukan agar mereka paham bahwa Abu Bakar lebih didahulukan dalam kepemimpinan yang paling besar (sebagai khalifah). Yang lain menyatakan, bahwa alasan beliau
28
mendahulukan Abu Bakar padahal ada sabda beliau, "Yang berhak mengimami suatu kaum adalah orang yang paling bagus hafalan Al-Qur`ān-nya; jika mereka setara dalam hafalan Al-Qur`ān, maka yang paling berilmu tentang Sunnah," adalah agar dapat diketahui bahwa Abu Bakar adalah yang paling bagus hafalan dan ilmu Al-Qur`ān-nya di antara mereka, karena mereka tidak melewati sebagian Al-Qur`ān hingga mereka mempelajari makna dan pengamalannya; sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas'ūd, "Seseorang di antara kami dahulu, bila mempelajari sepuluh ayat Al-Qur`ān, ia tidak akan melewatinya hingga mempelajari makna dan pengamalannya." Muslim juga meriwayatkan dari Abu Mas'ūd Al-Badriy, bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Yang berhak mengimami suatu kaum adalah orang yang paling bagus bacaan Al-Qur`ān-nya. Jika mereka setara dalam bacaan (hafalan), maka dipilih yang paling menguasai (mengerti) Sunnah. Jika dalam penguasaan Sunnah sama, maka yang dipilih adalah yang paling dahulu hijrah (ke Madinah). Jika dalam hal hijrah sama, maka dipilih yang lebih tua umurnya.
Jangan sekali-kali seseorang mengimami orang lain di tempat kekuasaannya dan tidak duduk di tempat khususnya kecuali dengan izinnya." Dan dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain: "Hendaklah yang mengimami kalian yang paling tua." Di sebagian redaksi Abu Mas'ūd disebutkan: "Jika mereka setara dalam hijrah, maka yang paling lebih dulu masuk Islam."
Tidak boleh salat di belakang orang yang meminta upah dengan menjadi imam. Abu Daud berkata, "Imam Ahmad pernah ditanya tentang imam yang mengatakan: saya menjadi imam salat kalian di bulan Ramadan dengan upah sekian dan sekian, beliau menjawab, 'Aku mohon keselamatan kepada Allah. Siapa yang mau salat di belakang orang ini?!'" Orang yang tidak bisa berdiri jangan dijadikan sebagai imam. Kecuali imam sebuah perkampungan, yaitu semua imam ratib, bila ia mengalami sakit maka mereka salat di belakangnya dengan cara duduk. Bila imam salat dalam keadaan hadas atau membawa najis, tetapi ia tidak mengetahuinya kecuali setelah selesai salat, maka orang-orang yang mengerjakan salat di belakangnya tidak perlu mengulang salat. Yang mengulang salat hanya imam sendiri pada saat hadas. Makruh hukumnya seseorang menjadi imam bagi suatu kaum sementara kebanyakan mereka membencinya dengan sebab yang benar. Sah salat orang yang berwudu di belakang imam yang bertayamum.
29
Disunahkan agar makmum berdiri di belakang imam; berdasarkan hadis Jābir dan Jabbār ketika mereka berdiri di samping kanan dan kiri Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, maka beliau mengambil tangan keduanya lalu mendorong mereka agar berdiri di belakang beliau. (HR. Muslim). Adapun salat Ibnu Mas'ūd bersama 'Alqamah dan Al-Aswad dan dia berdiri di antara mereka berdua, telah dijawab oleh Ibnu Sīrīn bahwa hal itu karena tempatnya sempit. Bila makmum satu orang maka dia berdiri di sebelah kanan imam. Bila ia berdiri di sebelah kiri, maka imam memutarnya ke kanan dan takbīratul-iḥrāmnya tidak batal. Bila ia mengimami satu orang laki-laki dan satu orang perempuan, maka makmum laki-laki di samping kanannya dan makmum perempuan di belakangnya; berdasarkan hadis Anas yang diriwayatkan oleh Muslim. Dekatnya saf makmum dari imam lebih diutamakan. Demikian juga di antara saf makmum satu sama lain. Termasuk berdirinya imam di tengah-tengah saf; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Jadikanlah imam berada di tengah-tengah kalian dan tutuplah celah-celah saf." Anak kecil (yang telah mencapai usia tamyiz) sah berdiri dalam saf; berdasarkan perkataan Anas -raḍiyallāhu 'anhu-, "Aku dan anak kecil itu bersaf di belakang Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, sedangkan nenekku di belakang kami." Bila makmum berdiri sendiri di belakang saf maka salatnya tidak sah. Bila makmum dapat melihat imam atau melihat orang yang di belakang imam, salatnya sah sekalipun saf-saf tidak terhubung. Demikian juga sekiranya dia tidak melihat salah satunya bila dia masih dapat mendengar takbir, karena masih dimungkinkan mengikuti imam dengan mendengar takbir, persis seperti apabila dia melihatnya. Bila mereka dipisahkan oleh jalan dan saf terputus maka salat tersebut tidak sah. Sedangkan Al-Muwaffaq Ibnu Qudāmah dan lainnya memilih pendapat bahwa hal itu tidak menghalangi sahnya bermakmum karena tidak ada nas dan ijmak terkait itu.
Makruh hukumnya bila tempat imam lebih tinggi dari makmum. Ibnu Mas'ūd pernah berkata kepada Ḥużaifah, "Bukankah engkau mengetahui bahwa dahulu para sahabat melarang hal itu?" Dia menjawab, "Benar." (HR. Asy-Syāfi'i yang semua perawi sanadnya ṡiqah). Tetapi tidak mengapa bila lebih tinggi sedikit seukuran tangga mimbar; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Sahl: "bahwasanya Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengerjakan salat di atas mimbar, kemudian beliau turun dengan cara mundur dan bersujud di tanah." Dan tidak mengapa bila tempat makmum lebih tinggi, karena Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- pernah mengerjakan salat di bagian atas masjid dengan mengikuti salat
30
imam. (HR. Asy-Syāfi'i). Makruh hukumnya imam mengerjakan salat sunah di tempat melaksanakan salat fardu setelahnya; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Al-Mugīrah secara marfū' dalam riwayat Abu Daud. Tetapi Imam Ahmad berkata, "Aku tidak mengetahuinya dari selain Ali." Makmun tidak boleh bersalam sebelum imam; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Janganlah kalian mendahuluiku dalam rukuk, sujud, maupun salam." Makruh hukumnya bagi selain imam untuk mengkhususkan tempat salat di dalam masjid, yaitu dia tidak mengerjakan salat fardu kecuali pada tempat tersebut; berdasarkan larangan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dari perbuatan mengkhususkan tempat salat seperti unta mengkhususkan tempat tidur.
Diperbolehkan (diberikan uzur) untuk tidak menghadiri salat Jumat dan salat berjamaah bagi orang sakit dan orang yang takut kehilangan hartanya atau apa saja yang dijaga. Karena kesulitan yang ditimbulkannya lebih banyak daripada basahnya pakaian karena hujan yang merupakan uzur menurut kesepakatan; berdasarkan perkataan Ibnu Umar, "Muazin Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- biasa mengumandangkan, 'Ṣallū fī riḥālikum (salatlah di tempat kalian)', ketika malam yang dingin atau berhujan dalam perjalanan." (HR. Bukhari dan Muslim). Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan, bahwasanya Ibnu 'Abbās memerintahkan muazinnya ketika turun hujan pada hari Jumat, "Jika engkau telah mengumandangkan, 'Asyhadu anna Muḥammadar-Rasūlullāh', maka jangan dilanjutkan dengan, 'Ḥayya 'alaṣ-ṣalāh'. Tetapi serukanlah, 'Ṣallū fī buyūtikum (Salatlah di rumah kalian)'." Namun tampaknya orang-orang mengingkari hal itu, maka Ibnu 'Abbās pun berkata, "Yang demikian itu telah dikerjakan oleh orang yang lebih baik dariku -yakni Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Sesungguhnya aku tidak mau meminta kalian keluar berjalan di lumpur dan licin." Makruh hukumnya datang ke masjid bagi orang yang telah makan bawang merah atau putih sekalipun di masjid tidak ada orang, karena malaikat terganggu juga dengannya.
Salat Orang-orang yang Memiliki Uzur
Orang yang sakit diwajibkan salat dengan berdiri dalam salat fardu; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh 'Imrān: "Salatlah kamu sambil berdiri. Jika tidak mampu, salatlah sambil duduk. Jika tidak mampu, salatlah sambil berbaring." (HR. Bukhari). Ditambahkan dalam riwayat An-Nasā`i: "Jika tidak mampu, salatlah sambil telentang." Kemudian ia berisyarat ketika rukuk dan sujud semampunya; berdasarkan sabda Nabi -
31
ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, “Apabila aku perintahkan kalian dengan sesuatu maka kerjakanlah semampu kalian.”
Sah hukumnya mengerjakan salat fardu di atas kendaraan, baik dengan berhenti atau sambil berjalan ketika khawatir ditimpa kekotoran oleh lumpur atau hujan; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ya'lā bin Umayyah, yang diriwayatkan oleh Tirmizi dan dia berkata, "Seperti inilah yang diamalkan oleh para ulama."
Seorang musafir diperkenankan untuk mengqasar khusus salat yang empat rakaat, juga diperbolehkan tidak berpuasa di Bulan Ramadan. Bila ia mengerjakan salat di belakang imam yang mengerjakan salat sempurna, maka ia wajib mengerjakan salat sempurna. Bila ia tinggal untuk menyelesaikan suatu keperluan tanpa niat menetap dan ia tidak tahu kapan keperluan tersebut akan selesai, atau karena ia tertahan oleh hujan atau sakit, maka selama itu ia boleh mengerjakan salat secara qasar. Hukum yang terkait safar (perjalanan jauh) ada empat: qasar, jamak, mengusap (khuf dan sejenisnya), dan tidak berpuasa.
Diperbolehkan bagi musafir untuk menjamak antara salat Zuhur dan Asar, juga antara salat Magrib dan Isya di waktu salah satunya. Tetapi meninggalkannya lebih diutamakan, kecuali menjamak salat di Arafah dan Muzdalifah pada musim haji. Jamak juga diperbolehkan bagi orang sakit yang mengalami kesulitan jika salat setiap waktu, karena Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah mengerjakan salat jamak tanpa ada sebab takut ataupun safar. Juga telah sah di dalam hadis bolehnya jamak bagi wanita yang istihadah, dan istihadah adalah salah satu jenis penyakit. Imam Ahmad beralasan bahwa kesulitan akibat sakit lebih berat daripada safar. Imam Ahmad juga berpendapat diperbolehkannya jamak ketika di negeri sendiri (tidak musafir) ketika ada kondisi darurat atau kesibukan. Imam Ahmad berkata, "Telah sah di dalam hadis bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- mengerjakan salat khauf sebanyak enam atau tujuh cara, semuanya boleh. Adapun hadis Sahl, maka aku memilihnya." Yaitu tata cara salat khauf ketika Perang Żātur-Riqā': "Sekelompok pasukan berdiri bersama Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam, sedangkan sebagian yang lain berdiri menghadap musuh. Kemudian beliau mengerjakan salat bersama kelompok yang sedang bersama beliau satu rakaat, selanjutnya beliau tetap diam berdiri sedangkan mereka menyelesaikan salat mereka sendiri, kemudian mereka salam dan berdiri menghadap musuh. Kemudian sebagian yang lainnya datang dan Nabi mengerjakan salat bersama
32
mereka satu rakaat yang tersisa, selanjutnya beliau tetap diam duduk sedangkan mereka menyempurnakan salat mereka sendiri, kemudian Nabi bersalam bersama mereka." (Muttafaq 'Alaih). Imam juga diperbolehkan salat bersama masing-masing kelompok dan bersalam bersama mereka. (HR. Ahmad, Abu Daud, dan An-Nasā`i). Dianjurkan untuk tetap membawa senjata dalam salat khauf; berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "... dan hendaklah mereka menyandang senjata mereka." Seandainya ada yang berpendapat wajib, tentu hal itu bisa diterima; berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Dan tidak mengapa kamu meletakkan senjata-senjatamu, jika kamu mendapat suatu kesusahan karena hujan atau karena kamu sakit." (QS. An-Nisā`: 102). Ketika rasa takut tinggi, mereka boleh melakukan salat sambil berjalan dan berkendara, baik menghadap kiblat ataupun tidak; berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Jika kamu takut (ada bahaya), salatlah sambil berjalan kaki atau berkendaraan." (QS. Al-Baqarah: 239). Dan mereka berisyarat sesuai kemampuan dengan menjadikan sujud lebih rendah dari rukuk. Dan salat berjamaah tidak boleh dilakukan jika tidak memungkinkan untuk mengikuti imam.
Bab Salat Jumat
Salat Jumat hukumnya fardu ain bagi setiap muslim, balig, berakal, laki-laki, merdeka, bertempat tinggal tetap, dan tergabung dalam satu nama (kawasan). Siapa yang menghadirinya padahal dia tidak termasuk yang wajib melaksanakannya, maka salatnya itu sah. Bila dia mendapatkan satu rakaat bersama imam, maka dia menyempurnakannya dua rakaat sebagai salat Jumat. Tetapi jika tidak, maka dia menyempurnakannya empat rakaat sebagai salat Zuhur. Salat Jumat harus didahului oleh dua khotbah yang berisi pujian kepada Allah, dua kalimat syahadat, dan wasiat yang menggerakkan hati. Juga disebut khotbah (bentuk tunggal). Imam berkhotbah di atas mimbar atau tempat yang tinggi. Imam memberi salam kepada makmum ketika pertama kali masuk dan ketika telah menghadap makmum. Setelah itu, dia duduk hingga azan selesai; berdasarkan hadis Ibnu Umar yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Kemudian dia duduk sebentar di antara dua khotbah; berdasarkan hadis yang terdapat dalam Aṣ-Ṣaḥīḥain yang diriwayatkan oleh Umar. Imam berkhotbah dengan berdiri; berdasarkan perbuatan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Ia hendaknya menghadap ke depan dan meringkas khotbahnya. Salat Jumat dikerjakan sebanyak dua rakaat dengan mengeraskan bacaan. Pada rakaat pertama membaca Surah Al-Jumu'ah dan pada rakaat kedua Surah Al-Munāfiqūn, atau Surah Sabbiḥ (Al-A'lā) dan Al-Gāsyiyah. Masing-
33
masing telah disebutkan dalam hadis yang sahih. Pada salat Subuh di hari Jumat hendaknya membaca Surah Alif Lām Mīm As-Sajdah dan Surah Al-Insān, tetapi makruh bila dilakukan terus-menerus. Bila hari raya bertepatan dengan hari Jumat, maka salat Jumat gugur bagi orang yang hadir dalam salat hari raya, kecuali imam, salat Jumat tidak gugur darinya.
Salat sunah bakda Jumat sebanyak dua atau empat rakaat. Tidak ada salat sunah qabliyah-nya, tetapi dianjurkan untuk melakukan salat sunah muṭlaq sesukanya. Juga disunahkan sebelum menuju salat Jumat untuk mandi, bersiwak, memakai minyak wangi, dan memakai pakaian yang paling bagus serta berangkat dengan segera dan berjalan kaki. Wajib segera berangkat untuk melaksanakan salat Jumat dengan tenang dan khusyuk ketika azan kedua sudah dikumandangkan, lalu duduk mendekat kepada imam. Dianjurkan untuk memperbanyak doa pada hari itu dengan harapan akan bertepatan dengan waktu dikabulkannya doa. Dan waktu yang paling diharapkan adalah saat-saat terakhir setelah Asar dan bila dia telah bersuci dan sambil menunggu salat Magrib, karena dia dianggap berada dalam salat. Juga dianjurkan agar memperbanyak selawat kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pada siang dan malam hari Jumat. Makruh hukumnya melangkahi pundak-pundak orang, kecuali dia melihat ada tempat kosong dan tidak bisa sampai ke sana kecuali dengan seperti itu. Tidak diperbolehkan memerintahkan orang lain bangun lalu dia duduk di tempatnya, sekalipun itu budak ataupun anaknya. Orang yang datang ke masijd ketika imam sedang berkhotbah, ia tidak boleh duduk hingga melaksanakan salat sunah dua rakaat secara ringan. Tidak boleh berbicara dan berbuat sia-sia ketika imam sedang berkhotbah; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Barang siapa yang mengusap kerikil maka ia telah berbuat sia-sia." (Disahihkan oleh Tirmizi). Siapa yang merasakan kantuk hendaklah berpindah tempat sebagaimana diperintahkan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dalam hadis yang disahihkan oleh Tirmizi.
Bab Salat Hari Raya
Jika hari raya tidak diketahui kecuali setelah waktu zawal (tengah hari), maka imam keluar keesokan harinya dan salat Id bersama manusia. Dianjurkan menyegerakan salat Idul Adha dan mengakhirkan salat Idul Fitri. Juga dianjurkan pada Idul Fitri agar makan beberapa butir kurma dengan bilangan yang ganjil sebelum keluar menuju lapangan. Sedangkan dalam Idul Adha seseorang hendaknya tidak makan kecuali setelah salat.
34
Bila dia pergi melalui sebuah jalan, maka dia pulang melalui jalan yang lain. Salat Id dianjurkan agar dilaksanakan di lapangan terdekat sebanyak dua rakaat. Salatnya dimulai dengan takbīratul-iḥrām kemudian bertakbir enam takbir dan lima takbir di rakaat kedua dengan mengangkat tangan di setiap takbir. Di dua rakaat itu ia membaca Surah Sabbiḥ (Al-A'lā) dan Al-Gāsyiyah. Bila salat telah selesai, imam lalu berkhotbah. Salat Id tidak memiliki salat sunah qabliyah dan ba'diyah. Disunahkan agar penduduk kota dan perkampungan melakukan takbir pada dua hari raya dan mengeraskannya di masjid-masjid dan di jalan-jalan. Dan lebih ditekankan lagi di malam hari raya dan ketika keluar menuju lapangan. Dalam Idul Adha takbir muṭlaq (waktunya tidak ditentukan) dimulai dari awal sepuluh Zulhijah, sedangkan takbir muqayyad (waktunya setelah salat fardu) dimulai dari salat Subuh di hari Arafah hingga Asar terakhir hari tasyrik. Dianjurkan agar bersungguh-sungguh mengerjakan amal saleh pada sepuluh hari pertama Zulhijah.
Bab Salat Gerhana
Waktu salat gerhana dimulai sejak terjadi gerhana hingga gerhana selesai. Salat gerhana hukumnya sunah muakadah baik ketika bermukim ataupun bersafar, bahkan ia juga disunahkan bagi perempuan. Pada saat gerhana dianjurkan agar berzikir kepada Allah, berdoa dan beristigfar, memerdekakan budak, dan bersedekah. Kemudian jika salat telah selesai dikerjakan sementara gerhana belum selesai, maka salat gerhana tidak perlu diulang, tetapi mereka melanjutkan zikir dan istigfar kepada Allah hingga gerhana selesai. Panggilan untuk mengerjakan salat gerhana adalah "Aṣ-ṣalātu jāmi'ah". Salat gerhana dikerjakan sebanyak dua rakaat dengan mengeraskan bacaan dan memperpanjang bacaan surah, rukuk, dan sujud. Setiap satu rakaat terdiri dari dua rukuk. Tetapi rakaat kedua lebih pendek dari rakaat pertama. Setelah itu melakukan tasyahud dan salam. Bila ternyata gerhana sudah selesai, maka salat diselesaikan dengan ringkas; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Maka salatlah dan berdoalah sampai gerhana yang menimpa kalian selesai."
Bab Salat Istiska (Meminta Hujan)
Salat istisqā` (istiska) hukumnya sunah muakadah baik ketika bermukim ataupun bersafar. Tata cara pelaksanaannya seperti salat hari raya. Dianjurkan agar dilaksanakan di awal pagi dan keluar dengan khusyuk, merendahkan diri, dan berdoa; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh
35
Ibnu 'Abbās yang disahihkan oleh Tirmizi. Imam mengimami salat para makmum, kemudian berkhotbah satu khotbah dengan memperbanyak istigfar dan doa dengan mengangkat tangan. Dia berdoa, Allāhumma isqinā gaiṡan mugīṡan hanī`an marī`an gadaqan mujallalan saḥḥan 'āmman ṭabaqan dā`iman nāfi'an gaira ḍārrin 'ājilan gaira ājil (Ya Allah! Turunkanlah kepada kami hujan yang menolong, yang baik dan nikmat, yang menumbuhkan dan menyuburkan, yang melimpah, merata dan deras, yang menyeluruh dan besar, yang terus-menerus tidak berhenti, yang mendatangkan manfaat bukan mudarat, yang segera tidak tertunda). Allāhumma asqi 'ibādaka wa bahā`imaka wa-nsyur raḥmataka wa aḥyī baladakal-mayyit, allāhumma asqinal-gaiṡa wa lā taj'alnā minal-qāniṭīn, allāhumma suqyā raḥmah wa lā suqyā 'ażāb, wa lā balā` wa lā hadmin, wa lā garqin (Ya Allah! Turunkanlah hujan untuk hamba-hamba-Mu dan hewan ternak-Mu, sebarkanlah rahmat-Mu, dan hidupkanlah negeri-Mu yang mati. Ya Allah! Turunkanlah kepada kami hujan dan jangan jadikan kami menjadi bagian orang-orang yang putus asa. Ya Allah! Turunkanlah kepada kami hujan rahmat, bukan hujan siksa dan musibah, bukan hujan mengancurkan dan menenggelamkan). Allāhumma inna bil-'ibādi wal-bilādi minal-awā`i wal-jahdi waḍ-ḍanki mā lā nasykūhu illā ilaika (Ya Allah! Sesungguhnya hamba-hamba-Mu dan negeri-negeri mengalami kelaparan tinggi, kesusahan, dan kesempitan yang tidak kami adukan kecuali kepada-Mu). Allāhumma anbit lanaz-zar'a wa adir lanaḍ-ḍar'a wa asqinā min barakātis-samā` wa anzil 'alainā min barakātik, allāhumma innā nastagfiruka, innaka kunta gaffāran, fa arsilis-samā`a 'alainā midrāran (Ya Allah! Tumbuhkanlah bagi kami tumbuh-tumbuhan, limpahkanlah kepada kami susu, tumpahkanlah kepada kami sebagian berkah langit, dan turunkanlah kepada sebagian keberkahan-Mu. Ya Allah! Sesungguhnya kami memohon ampun kepada-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Pengampun, maka kirimkanlah kepada kami hujan yang lebat dan terus-menerus)." Dianjurkan agar imam berputar ke arah kiblat di ketika khotbah, kemudian membalik sorbannya dengan menjadikan yang sebelah kanan ke kiri dan sebaliknya; karena Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- membalik punggungnya kepada manusia dan menghadap kiblat kemudian beliau membalik sorbannya. (Muttafaq 'Alaih). Kemudian imam berdoa dengan suara pelan ketika telah menghadap kiblat. Bila mereka melakukan doa istisqā` setelah salat lima waktu atau ketika khotbah Jumat, mereka telah melakukan sesuai Sunnah. Dianjurkan untuk diam (berdiri) sejenak di awal hujan dan mengeluarkan barang dan pakaiannya supaya basah oleh hujan, lalu keluar menuju lembah jika air telah mengalir lalu berwudu. Dianjurkan
36
ketika melihat hujan untuk membaca, "Allāhumma ṣayyiban nāfi'an (Ya Allah! Jadikanlah hujan ini bermanfaat)." Bila air bertambah banyak dan dikhawatirkan hujan terlalu besar, dianjurkan untuk membaca, "Allāhumma ḥawālainā wa lā 'alainā, allāhumma 'alaẓ-ẓirābi wal-ākāmi wa buṭūnil-awdiyah wa manābitisy-syajar (Ya Allah! Turunkanlah hujan ini ke sekitar kami, bukan ke tempat tinggal kami. Ya Allah! Alihkanlah hujan ini ke bukit-bukit dan pegunungan serta ke lembah-lembah dan tempat tumbuh pepohonan)." Dianjurkan untuk berdoa ketika turun hujan: "Muṭirnā bi faḍlillāh wa raḥmatihi (Kita telah diberikan hujan dengan karunia dan rahmat Allah)." Bila melihat mendung atau angin bertiup kencang, maka dia memohon kepada Allah kebaikannya dan berlindung dari keburukannya; tidak boleh menghujat hujan, tetapi berdoa, "Allāhumma innī as`aluka khaira hāżihir-rīḥa wa khaira mā fīhā wa khaira mā arsalta bihī, wa a'ūżu bika min syarrihā wa syarri mā fīhā, wa syarri mā arsalta bihī, allāhumma-j'alhā raḥmatan wa lā taj'alhā 'ażāban, allāhumma-j'alhā riyāḥan wa lā taj'alhā rīḥan (Ya Allah! Aku memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, kebaikan yang dibawanya, dan kebaikan yang dikirim bersamnya. Dan aku berlindung kepada-Mu dari keburukannya, keburukan yang dibawanya, dan keburukan yang dikirim bersamanya. Ya Allah! Jadikanlah angin ini sebagai rahmat, dan janganlah Engkau jadikan sebagai azab)." Bila mendengar suara guruh dan halilintar agar membaca, "Allāhumma lā taqtulnā bi gaḍabika wa lā tuhliknā bi 'ażābika, wa 'āfinā qabla żālika, subḥāna man sabbaḥar-ra'du biḥamdih wal-malā`katu min khīfatihi (Ya Allah! Janganlah Engkau musnahkan kami dengan murka-Mu, dan jangan Engkau binasakan kami dengan siksa-Mu. Selamatkanlah kami sebelum itu. Mahasuci Allah, guruh bertasbih dengan memuji-Nya dan juga para malaikat karena takut kepada-Nya)." Bila mendengar ringkikan keledai dan gonggongan anjing agar berlindung kepada Allah dari setan. Dan bila mendengar kokok ayam agar berdoa memohon karunia kepada Allah.
Bab Jenazah
Boleh hukumnya berobat berdasarkan kesepakatan para ulama dan hal itu tidak bertentangan dengan perintah tawakal. Berobat menggunakan kayy (sundutan besi yang dipanaskan) hukumnya makruh. Dianjurkan melakukan tindakan antisipasi dengan meninggalkan sebagian makanan dam minuman (diet). Diharamkan berobat menggunakan sesuatu yang haram, baik berupa makanan, minuman, ataupun suara yang melalaikan; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Janganlah kalian berobat dengan sesuatu yang haram." Haram hukumnya menggunakan
37
jimat (tamīmah), yaitu pelindung atau penangkal yang biasa digantung. Dianjurkan untuk banyak mengingat kematian dan mempersiapkan diri untuk itu serta menjenguk orang yang sakit. Tidak mengapa orang yang sakit mengabarkan penyakit yang ia rasakan selama bukan untuk mengeluh setelah memuji Allah. Wajib hukumnya bersabar, dan mengadu kepada Allah tidak bertentangan dengan kewajiban sabar. Bahkan hal itu dituntut. Dia wajib berprasangka baik kepada Allah dan tidak mengharapkan kematian lantaran musibah dan penyakit yang menimpanya. Orang yang menjenguk dianjurkan mendoakan kesembuhan bagi yang sakit. Bila tanda-tanda kematian telah datang pada orang sakit, dianjurkan untuk menuntunnya mengucapkan Lā ilāha illallāh dan menghadapkannya ke arah kiblat. Bila dia sudah meninggal, kedua matanya dipejamkan dan keluarganya tidak boleh mengucapkan kecuali ucapan yang baik karena para malaikat mengaminkan apa yang mereka ucapkan. Kemudian ia ditutup dengan kain dan disegerakan menyelesaikan hutangnya serta melunasi tanggungannya berupa nazar ataupun kafarat; berdasarnya sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Jiwa seorang mukmin itu tergadai dengan hutangnya hingga dibayarkan." (Dihasankan oleh Tirmizi). Disunahkan agar menyegerakan penyelenggaraan jenazahnya; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Tidak layak jenazah seorang muslim ditahan di antara keluarganya." (HR. Abu Daud). Dimakruhkan melakukan na'yu, yaitu mengumumkan kematian ala jahiliah.
Memandikan, menyalati, memikul, mengafani, dan menguburkan jenazah dengan dihadapkan ke kiblat hukukmnya fardu kifayah, dan makruh hukumnya mengambil upah di salah satunya. Begitu juga dimakruhkan membawa jenazah ke selain negerinya tanpa kebutuhan. Dianjurkan kepada orang yang memandikan agar memulai dari anggota wudu dan bagian kanan. Dianjurkan untuk memandikannya sebanyak tiga atau lima kali, dan boleh sekali. Bila janin gugur setelah berumur lebih dari empat bulan, maka ia dimandikan dan disalati; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Janin yang mati keguguran disalati dan kedua orang tuanya didoakan dengan ampunan dan rahmat." (Disahihkan oleh Tirmizi dengan redaksi: "Anak kecil disalati ..."). Bila jenazah tidak mungkin dimandikan karena tidak ada air atau lainnya, maka ia ditayamumkan. Yang wajib dalam mengafaninya ialah sebuah kain yang bisa menutup seluruh tubuhnya. Bila tidak didapatkan apa yang bisa menutup seluruh tubuhnya, maka dimulai dari menutup auratnya, kemudian kepalanya,
38
selanjutnya ke bawah, lalu sisa tubuhnya ditutup dengan rumput atau daun. Ketika salat jenazah, imam berdiri di arah dada mayat laki-laki dan bagian tengah mayat perempuan. Kemudian ia bertakbir dan membaca Al-Fātiḥah, kemudian bertakbir dan membaca selawat kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, kemudian bertakbir dan mendoakan jenazah yang disalati, kemudian bertakbir yang keempat dan berdiri sejenak kemudian bersalam satu kali ke kanan. Orang yang mengerjakan salat mengangkat tangan di setiap takbir, kemudian tetap berdiri di tempatnya hingga jenazah diangkat. Hal itu diriwayatkan dari Umar. Disunahkan bagi orang yang belum mengerjakan salat untuk menyalatinya setelah ia diletakkan atau setelah selesai penguburannya di area kuburan walaupun dikerjakan berjamaah hingga satu bulan sejak jenazah dikuburkan. Tidak mengapa melakukan penguburan di malam hari. Tetapi makruh ketika matahari baru terbit, ketika matahari baru tenggelam, dan ketika matahari tegak di atas. Dianjurkan untuk membawa jenazah dengan mempercepat langkat dengan kecepatan yang tidak berlebihan. Makruh hukumnya para pengantar duduk hingga jenazah diletakkan di tanah untuk dikuburkan. Orang yang mengantar harus mengikuti jenazah dengan khusyuk dan memikirkan kematian. Makruh hukummnya tersenyum dan membicarakan urusan dunia. Dianjurkan agar jenazah dimasukkan ke dalam kuburnya dari arah kakinya, jika itu lebih mudah, dan makruh hukumnya menutup/memayungi kubur jenazah laki-laki. Tidak dimakruhkan laki-laki menguburkan jenazah perempuan sementara di sana ada mahramnya. Kubur dengan model lahad (ceruk ke samping) lebih utama daripada model syaqq (lubang ke bawah), dan disunahkan agar dibuat lebih dalam dan lebih lebar. Makruh hukumnya menguburkan jenazah dalam peti. Ketika meletakkan jenazah hendaknya membaca, "Bismillāh wa 'alā millati Rasūlillāh." Disunahkan berdoa di kubur setelah penguburan dengan berdiri di dekatnya, dan dianjurkan kepada orang yang hadir untuk menaburinya dengan tanah menggunakan dua tangan dari arah kepalanya sebanyak tiga kali.
Dianjurkan untuk meninggikan kubur seukuran satu jengkal, dan makruh bila lebih dari itu; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- kepada Ali -raḍiyallāhu 'anhu-, "Jangan tinggalkan gambar (bernyawa) kecuali engkau hilangkan, dan tidak pula kubur yang tinggi kecuali engkau ratakan." (HR. Muslim).
Kemudian disiram dengan air dan diberikan batu-batu kecil untuk menyangga tanahnya. Tidak mengapa diberi tanda menggunakan batu dan semisalnya supaya mudah dikenal; berdasarkan hadis yang diriwayatkan
39
tentang kubur 'Uṡmān bin Maẓ'ūn. Tidak diperbolehkan menyemen dan membangun kubur, bahkan bangunannya wajib dirobohkan, serta tidak boleh menambahkan tanah kubur dengan selain tanahnya; karena adanya larangan yang diriwayatkan Abu Daud. Tidak diperbolehkan mencium kubur, memberinya minyak wangi, membakar padanya kemenyan, duduk di atasnya, dan buang air di atasnya dan begitu juga di antara kubur. Begitu juga tidak boleh meminta kesembuhan dengan tanah kubur. Haram hukumnya memberikan lampu pelita untuk kubur dan membangun masjid di atasnya, bahkan wajib dihancurkan. Juga, tidak diperbolehkan berjalan menggunakan sandal di kuburan berdasarkan hadis. Ahmad berkata, "Sanadnya bagus."
Dianjurkan untuk melakukan ziarah kubur tanpa melakukan perjalanan jauh; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Tidak boleh melakukan perjalanan jauh kecuali menuju tiga masjid." Tetapi ziarah kubur tidak diperbolehkan bagi perempuan; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Allah melaknat para wanita yang berziarah kubur dan orang-orang yang menjadikan kubur sebagai masjid dan memasang lampu pelita di atasnya." (HR. Ahli As-Sunan) Dimakruhkan mengusap-usap badan dengannya, salat di sampingnya, dan datang ke kubur untuk berdoa di sisinya karena ini termasuk kemungkaran, bahkan termasuk cabang kesyirikan. Dianjurkan bagi orang yang berziarah dan yang lewat di kubur untuk membaca: "As-salāmu 'alaikum dāra qaumin mu`minīn, wa innā in syā`Allāhu bikum lāḥiqūn, yarḥamul-mustaqdimīna minnā wa minkum wal-musta`khirīn, nas`alullāha lanā wa lakumul-'āfiyah. Allāhumma lā taḥrimnā ajrahum wa lā taftinnā ba'dahum, wa-gfir lanā wa lahum (Semoga keselamatan untuk kalian wahai penghuni kuburan kaum mukminin, sesungguhnya kami insya Allah pasti akan menyusul kalian. Semoga Allah merahmati orang-orang yang lebih dulu meninggal dari kami dan kalian dan yang datang belakangan. Kami memohon keselamatan kepada Allah untuk kami dan untuk kalian. Ya Allah! Jangan halangi kami dari pahala mereka, dan jangan jadikan kami terfitnah setelahnya. Ampunilah kami dan mereka)."
Terdapat keleluasaan antara menggunakan bentuk ma'rifah (as-salāmu) atau nakirah (salāmun) ketika memberi salam kepada orang hidup. Memulai salam hukumnya sunah, sedangkan membalasnya hukumnya wajib. Sekiranya dia telah mengucapkan salam kepada seseorang, kemudian dia bertemu lagi kedua kalinya, atau ketiga dan seterusnya, dia tetap memberinya salam. Tidak boleh membungkuk ketika salam. Tidak
40
diperbolehkan memberi salam kepada perempuan, kecuali perempuan tua yang tidak lagi memikat. Begitu juga dianjurkan memberi salam ketika berpisah. Dia juga memberi salam ketika masuk pada keluarganya lalu mengatakan, "Allāhumma innī as`aluka khairal-mūlij wa khairal-makhraj, bismillāhi walajnā, wa bismillāhi kharajnā, wa 'alallāhi tawakkalnā (Ya Allah! Sesungguhnya aku memohon kepadamu sebaik-baik tempat masuk dan sebaik-baik tempat keluar. Dengan menyebut nama Allah kami masuk, dan dengan menyebut nama Allah kami keluar, dan hanya kepada Allah kami bertawakal)." Dianjurkan untuk berjabat tangan; berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Anas. Tetapi tidak boleh berjabat tangan dengan perempuan bukan mahram. Juga dianjurkan memberi salam kepada anak-anak. Anak kecil, orang yang jumlahnya sedikit, orang yang berjalan kaki, dan orang yang berkendara masing-masing memberi salam kepada yang kebalikannya. Bila disampaikan kepadanya salam dari seseorang, maka dianjurkan agar dia menjawab dengan: 'alaika wa 'alaihis-salām.
Dianjurkan bagi masing-masing dari dua orang yang bertemu agar berusaha memulai salam dan tidak lebih dari ucapan: as-salāmu 'alaikum wa raḥmatullāhi wabarakātuh. Ketika seseorang ingin menguap agar ditahan sebisa mungkin, tetapi jika tidak bisa ditahan maka hendaknya menutup mulutnya. Bila dia bersin, wajahnya ditutup dan suaranya direndahkan lalu memuji Allah -Ta'ālā- dengan suara keras hingga terdengar oleh teman duduknya. Kemudian orang yang mendengarnya mengucapkan: yarḥamukallāh. Setelah itu dijawab oleh orang yang bersin dengan mengatakan: yahdīkumullāhu wa yuṣliḥu bālakum. Orang yang bersin lalu tidak memuji Allah maka dia tidak didoakan "yarḥamukallāh". Bila dia bersin kedua dan ketiga, maka dia tetap didoakan seperti pertama. Kemudian setelah itu didoakan kesembuhan.
Wajib hukumnya meminta izin bagi orang yang mau masuk rumah, baik kerabat ataupun bukan kerabat. Bila diizinkan maka dia masuk, jika tidak maka dia kembali. Meminta izin batasannya sebanyak tiga kali dan tidak lebih dari itu. Tata cara meminta izin yaitu mengucapkan, "As-salāmu 'alaikum. Apakah saya boleh masuk?" Kemudian dia duduk di ujung majelis dan tidak memisahkan antara dua orang kecuali dengan seizin mereka.
Dianjurkan melakukan takziah kepada orang yang diuji dengan kematian. Tetapi makruh hukumnya mengadakan perkumpulan untuk itu. Tidak ada kalimat tertentu yang harus diucapkan oleh orang yang bertakziah. Dia hendaknya menguatkannya untuk bersabar dan mengingatkannya dengan
41
janji pahala serta berdoa untuk yang mati. Orang yang mendapat musibah mengucapkan, "Al-ḥamdu lillāhi rabbil-'ālamīn, innā lillāhi wa innā ilaihi rāji'ūn, allāhumma ajirnī fī muṣībatī wa-khluf lī khairan minhā (Segala puji milik Allah, Tuhan semesta alam. Sesungguhnya kita adalah milik Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya. Ya Allah! Berikanlah aku pahala dalam musibah yang menimpaku, dan berikanlah kepadaku ganti yang lebih baik)." Bila dia mengerjakan salat untuk mengamalkan firman Allah -Ta'ālā-, "Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat", maka hal itu bagus dan telah dikerjakan oleh Ibnu 'Abbās. Sabar hukumnya wajib, tetapi tidak dimakruhkan menangisi mayat. Sedangkan meratap hukumnya haram. Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- berlepas diri dari aṣ-ṣāliqah, al-ḥāliqah, dan asy-syāqqah. Aṣ-Ṣāliqah artinya perempuan yang berteriak-teriak ketika musibah. Al-Ḥāliqah ialah perempuan yang mencukur rambutnya. Sedangkan asy-syāqqah adalah perempuan yang menyobek pakaiannya. Dan haram hukumnya menampakkan keluh kesah.
Kitab Zakat
Zakat wajib pada hewan ternak, hasil bumi, uang, dan barang dagangan dengan lima syarat: Islam, merdeka, memiliki nisab, dimiliki secara utuh, dan genap satu tahun. Zakat diwajibkan pada harta anak kecil dan orang gila, sebagaimana diriwayatkan dari Umar, Ibnu 'Abbās, dan lainnya, sementara tidak diketahui ada yang menyelisihi mereka. Kemudian zakat juga diwajibkan pada kelebihan nisab sesuai dengan hitungannya. Kecuali hewan ternak, tidak ada zakat pada kelebihan antara dua nisabnya (waqṣ). Zakat juga tidak diwajibkan pada harta wakaf yang diperuntukkan untuk umum seperti masjid. Tetapi zakat diwajibkan pada hasil bumi yang diwakafkan untuk orang tertentu. Begitu juga orang yang memiliki piutang pada orang yang kaya, seperti pinjaman utang dan mahar, dan telah genap satu tahun sejak dia memilikinya, maka dia diwajibkan mengeluarkan zakatnya bila telah menerimanya atau menerima sebagiannya. Ini adalah ijmak sahabat, sekalipun yang diterima belum mencapai nisab. Diperbolehkan mengeluarkan zakat sebelum objek zakat dimiliki, bila sebab kewajiban zakat telah ada. Adapun penundaan zakat hingga ia dimiliki adalah rukhsah, sehingga tidak sama seperti menyegerakan zakat. Bila di tangannya terdapat sebagian nisab, sedangkan sisanya berupa piutang atau hewan yang lepas, maka dia diwajibkan mengeluarkan zakat untuk yang ada di tangannya. Begitu juga piutang yang dipinjamkan
42
kepada orang miskin, harta yang dirampas, dan hak yang tidak mau ditunaikan wajib dizakatkan sekali ketika berhasil dimiliki; sebagaimana diriwayatkan dari Ali dan Ibnu 'Abbās berdasarkan keumumannya. Bila dia mendapatkan tambahan harta, maka tambahan harta itu tidak wajib dizakatkan hingga genap satu tahun, kecuali tambahan berupa anak ternak dan laba bisnis; berdasarkan perkataan Umar, "Hitung pada mereka yang belum genap setahun, tetapi jangan itu yang diambil." (HR. Malik). Juga berdasarkan perkataan Ali, dan tidak diketahui ada sahabat yang menyelisihi mereka berdua. Tambahan harta itu bila mencapai nisab digabung dengan harta yang dia miliki bila sejenis atau dihukumi sejenis seperti perak dengan emas. Tetapi jika tidak sejenis dengan tambahan harta yang telah mencapai nisab tersebut atau tidak dihukumi sejenis, maka dia memiliki hukum sendiri.
Zakat Hewan Ternak
Zakat pada ternak tidak diwajibkan kecuali pada ternak yang digembalakan di sebagian besar waktu dari satu tahun. Sehingga bila pakannya dibeli atau dikumpulkan maka tidak ada zakatnya. Ternak yang wajib dizakatkan ada tiga macam:
Pertama; unta. Zakat pada unta tidak wajib kecuali setelah mencapai jumlah 5 ekor, yaitu zakatnya seekor kambing. Selanjutnya 10 ekor zakatnya 2 ekor kambing, 15 ekor zakatnya 3 ekor kambing, 20 ekor zakatnya 4 ekor kambing; berdasarkan ijmak di semuanya. Bila jumlahnya mencapai 25 ekor maka zakatnya seekor bintu makhāḍ, yaitu unta betina yang telah genap setahun. Bila ia tidak memiliki bintu makhāḍ, maka bisa diganti dengan seekor ibnu labūn, yaitu unta jantan yang telah genap 2 tahun. Selanjutnya 36 ekor zakatnya seekor bintu labūn (unta betina yang telah genap 2 tahun), 46 ekor zakatnya seekor ḥiqqah (unta betina yang telah genap 3 tahun), 61 ekor zakatnya seekor jaża'ah (unta betina yang telah genap 4 tahun), 76 ekor zakatnya 2 ekor bintu labūn, 91 ekor zakatnya 2 ekor ḥiqqah, dan 121 zakatnya 3 ekor bintu labūn. Setelah itu hitungan zakatnya stabil, yaitu setiap 40 ekor zakatnya seekor bintu labūn dan setiap 50 ekor zakatnya seekor ḥiqqah. Bila jumlahnya 200 ekor maka berlaku sama dua hitungan, dia boleh mengeluarkan 4 ekor ḥiqqah bila mau, atau 5 ekor bintu labūn bila ia mau.
Kedua; sapi. Zakat pada sapi tidak wajib kecuali setelah mencapai jumlah 30 ekor, yaitu zakatnya seekor tabī' (yang jantan), atau tabī'ah (yang betina), masing-masing adalah sapi yang telah genap satu tahun.
43
Selanjutnya 40 ekor zakatnya musinnah (sapi betina yang telah genap 2 tahun) dan 60 ekor zakatnya 2 tabī'. Selanjutnya setiap 30 ekor zakatnya seekor tabī' dan setiap 40 ekor zakatnya seekor musinnah.
Ketiga; kambing. Zakat pada kambing tidak wajib kecuali setelah mencapai jumlah 40 ekor, yaitu zakatnya seekor kambing hingga jumlah 120. Bila lebih seekor, zakatnya 2 ekor hingga jumlah 200. Bila lebih seekor, zakatnya 3
ekor hingga jumlah 300 maka zakatnya 4 ekor. Selanjutya setiap 100 ekor zakatnya satu ekor. Tidak boleh mengambil tais (kambing pejantan), tidak juga harimah, yaitu betina yang sudah tua. Begitu juga 'awār -yaitu yang memiliki cacat-, rabā -yaitu yang memiliki anak sedang diasuh-, yang sedang bunting, yang gemuk nan sehat, maupun harta yang terbaik; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-: "Tetapi ambillah yang pertengahan dari harta di antara kalian. Sesungguhnya Allah tidak meminta kalian yang terbaik, dan tidak juga memerintahkan kalian sesuatu yang terburuk." (HR. Abu Daud). Penggabungan hewan-hewan ternak menjadikan dua jenis harta seperti satu harta.
Zakat Hasil Bumi
Zakat hasil bumi diwajibkan pada semua yang ditakar dan bisa tersimpan lama berupa makanan pokok dan lainnya dengan dua syarat: Pertama: mencapai nisab; yaitu 5 wasaq, dan 1 wasaq sama dengan 60 ṣā'. Hasil buah dan tanaman satu tahun digabung menjadi satu untuk menyempurnakan nisab. Kedua: nisab tersebut adalah miliknya ketika waktu wajib zakat; sehingga zakat tidak diwajibkan pada penghasilan tukang pungut, atau yang diperoleh sebagai pemberian maupun sebagai upah panen. Ukuran yang diwajibkan ialah sepersepuluh bagi yang disiram tanpa biaya, kemudian setengah dari sepersepuluh bagi yang menggunakan biaya, dan tiga perempatnya bagi yang menggunakan kedua-duanya. Jika terjadi perbedaan maka yang dipakai adalah yang paling banyak manfaatnya. Dan ketika tidak diketahui maka yang dipakai adalah sepersepuluh. Zakat biji-bijian wajib dikeluarkan setelah dibersihkan dan zakat buah setelah kering. Tidak diperbolehkan membeli zakat dan sedekah sendiri. Tetapi jika zakat atau sedekah tersebut kembali kepadanya lewat warisan maka diperbolehkan. Pemerintah hendaknya mengirim tukang taksir zakat, dan cukup satu orang, lalu disisakan untuk pemiliknya seukuran kebutuhannya dan kebutuhan orang-orang yang ada dalam tanggungannya hingga waktu matang. Bila tukang taksir tidak
44
menyisakannya, pemilik tanaman boleh mengambil sendiri. Imam Ahmad menilai makruh melakukan panen di malam hari. Tidak ada pengulangan zakat pada hasil bumi yang disimpan setelah dikeluarkan zakatnya walaupun bertahan sekian tahun, kecuali kalau disimpan sebagai dagangan, maka ia dihitung setiap tahun.
Zakat Uang
Nisab emas ialah 20 miṡqāl (dinar) dan nisab perak 200 dirham, sedangkan ukuran zakatnya ialah seperempat puluh. Masing-masing dari keduanya digabung dengan yang lain untuk menyempurnakan nisab. Begitu juga nilai barang dagangan digabung dengan masing-masing dari keduanya. Tidak ada zakat pada perhiasan yang mubah, tetapi jika disiapkan untuk dagangan maka berlaku padanya zakat. Diperbolehkan bagi laki-laki memakai cincin perak, dan lebih diutamakan agar dipakai di kelingking tangan kiri. Imam Ahmad melemahkan hadis tentang memakai cincin di tangan kanan. Makruh hukumnya bagi laki-laki dan perempuan memakai cincin besi, kuningan, dan logam; sebagaimana disebutkan oleh Imam Ahmad. Diperbolehkan menghias gagang pedang dan ikat pinggang dengan perak karena para sahabat -raḍiyallāhu 'anhum- memakai ikat pinggang yang dihias dengan perak. Juga diperbolehkan bagi perempuan memakai perhiasan-perhiasan emas dan perak yang biasa mereka pakai. Haram hukumnya laki-laki menyerupai perempuan dan juga sebaliknya; dalam hal pakaian dan lainnya.
Zakat Barang Dagangan
Zakat pada barang dagangan diwajibkan bila nilainya telah mencapai nisab dan diniatkan sebagai dagangan. Tidak ada zakat pada barang yang dipersiapkan untuk disewakan berupa properti, hewan, dan lainnya.
Bab Zakat Fitrah
Zakat fitrah adalah pembersih bagi orang yang puasa dari perkataan batil dan keji. Hukumnya fardu ain bagi setiap muslim jika ia memiliki kelebihan makanan pokok untuk dirinya dan untuk orang-orang yang menjadi tanggungannya di hari raya dan malam harinya, kadarnya (setiap jiwa) sebesar satu ṣā' sebagai zakat dirinya dan orang-orang yang dia tanggung dari kalangan kaum muslimin. Dia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat fitrah untuk pekerjanya. Jika dia tidak mampu mengeluarkan untuk semua, maka dia mulai dari dirinya kemudian yang terdekat dan seterusnya. Zakat
45
fitrah tidak wajib terhadap janin secara ijmak. Siapa yang sukarela menyantuni seorang muslim selama bulan Ramadan, seharusnya ia juga mengeluarkan zakat fitrahnya. Zakat fitrah boleh disegerakan sehari atau dua hari sebelum hari raya. Zakat fitrah tidak boleh diakhirkan hingga lewat hari raya Idul Fitri. Bila terjadi, maka dia berdosa dan harus dikada. Yang paling afdal agar dikeluarkan pada hari raya sebelum mengerjakan salat Id. Yang diwajibkan ialah sebesar satu ṣā' kurma, gandum, kismis, jelai, atau keju. Bila ia tidak mendapatkannya, maka ia mengeluarkan yang semisalnya dari makanan pokok negerinya. Imam Ahmad suka bila makanan yang dikeluarkan dibersihkan, dan dia menisbahkannya kepada Ibnu Sīrīn. Diperbolehkan memberi sekian orang dari kewajiban satu orang dan sebaliknya.
Bab Mengeluarkan Zakat
Tidak boleh menunda pengeluaran zakat dari waktu wajibnya ketika hal itu dimungkinkan. Kecuali ketika wakil pemerintah atau mustahik zakat tidak ada. Begitu juga petugas zakat boleh menundanya dan membiarkannya di pemiliknya karena uzur kekeringan dan semisalnya seperti kelaparan. Imam Ahmad berdalil dengan perbuatan Umar.
Bab Mustahik Zakat
Mustahik zakat ada delapan, tidak boleh diberikan kepada yang lain, berdasarkan ayat Al-Qur`ān:
Pertama dan kedua: fakir dan miskin. Seseorang tidak diperbolehkan minta-minta sementara dia masih memiliki sesuatu yang mencukupinya. Dan tidak mengapa meminta air minum, meminjam, dan berhutang. Dan diwajibkan memberi makan orang yang lapar, memberi pakaian orang yang tidak memiliki pakaian, dan menebus tawanan.
Ketiga: amil zakat atau pekerja zakat; seperti tukang pungut, tukang tulis, tukang hitung, dan tukang takar, dan hal ini tidak diperkenankan dari Ahli Bait. Pemerintah diberikan pilihan antara mengutus pekerja zakat tanpa kontrak atau dengan ditentukan upahnya.
Keempat: muallaf (orang yang ingin direbut hatinya); yaitu tokoh-tokoh yang ditaati di tengah kabilahnya, seperti orang kafir yang diharapkan akan masuk Islam atau seorang muslim yang diharapkan akan bertambah kuat imannya ketika diberikan, atau dia akan mengislamkan rekannya atau menasihatinya atau menahan keburukannya. Dan tidak halal bagi seorang
46
muslim yang mengambil apa yang diberikan kepadanya untuk menahan keburukannya, seperti sogokan.
Kelima: budak; yaitu budak mukātab (yang menebus dirinya). Zakat juga boleh digunakan untuk menebus tawanan muslim dari tangan orang kafir karena hal itu bagian dari memerdekakan orang. Juga diperbolehkan membeli budak untuk dimerdekakan; berdasarkan keumuman firman Allah: "... dan untuk memerdekakan hamba sahaya."
Keenam: orang yang terlilit hutang; orang yang berhutang terbagi dua. Salah satunya yang berhutang untuk mendamaikan perselisihan, yaitu orang yang menanggung sejumlah harta untuk meredakan permasalahan. Sedangkan yang kedua ialah orang yang berhutang untuk dirinya sendiri dalam kepentingan yang mubah.
Ketujuh: fī sabīlillāh, yaitu orang-orang yang berperang. Mereka diberikan kebutuhan perangnya sekalipun mereka mampu. Ibadah haji termasuk fī sabīlillāh.
Kedelapan: ibnu sabīl; yaitu musafir yang kehabisan bekal, tidak memiliki sesuatu yang bisa mengantarnya hingga negerinya. Dia diberi sebanyak biaya yang bisa mengantarnya hingga ke negerinya sekalipun dia mampu di negerinya. Bila orang yang tidak diketahui mampu mengklaim miskin, pengakuannya itu diterima. Bila dia memiliki badan kuat dan diketahui memiliki penghasilan maka dia tidak boleh diberikan. Tetapi jika dia tidak diketahui memiliki penghasilan, maka dia diberikan setelah diberi tahu bahwa tidak ada hak di dalam zakat bagi orang yang mampu maupun berbadan kuat dan bisa bekerja. Bila orang yang bukan kerabat kita lebih membutuhkan maka zakat itu tidak diberikan kepada kerabat lalu orang lain dihalangi darinya. Tidak boleh mengutamakan keluarga dengan zakat, tidak juga digunakan untuk menolak celaan, tidak untuk mempekerjakan orang, dan tidak pula untuk melindungi hartanya. Sedekah disunahkan setiap waktu, tetapi secara diam-diam lebih diutamakan. Demikian juga ketika dalam keadaan sehat, dengan hati senang, dan di bulan Ramadan; berdasarkan perbuatan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Termasuk pada waktu-waktu dibutuhkan; berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Atau memberi makan pada hari terjadi kelaparan." Sedekah kepada kerabat adalah sedekah dan silaturahmi, apalagi kalau ada permusuhan sebelumnya; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Engkau bersilaturahmi kepada orang yang memutusmu." Kemudian tetangga, berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Dan tetangga dekat dan tetangga jauh."
47
Juga orang yang sangat membutuhkan; berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Atau orang miskin yang sangat fakir." Tidak boleh bersedekah dengan merugikan diri atau merugikan orang yang memberi pinjaman hutang atau yang wajib dinafkahi. Siapa yang ingin bersedekah dengan seluruh hartanya sementara dia memiliki keluarga yang dapat dia penuhi kebutuhan mereka dengan penghasilannya dan diketahui dia orang yang bertawakal dengan baik, maka hal itu dianjurkan; berdasarkan kisah Abu Bakar Aṣ-Ṣiddīq. Jika tidak, maka hal itu tidak diperbolehkan dan dia dilarang. Dimakruhkan bagi orang yang tidak sabar terhadap kesulitan hidup untuk bersedekah hingga mengurangi dirinya dari kecukupan sempurna. Haram hukumnya mengungkit-ungkit sedekah, dan hal itu adalah dosa besar yang dapat menghapus pahalanya. Siapa yang memisahkan hartanya untuk disedekahkan, kemudian ia terhalang oleh sesuatu, dianjurkan agar ia meneruskannya. Sebagaimana 'Amr bin Al-'Āṣ -raḍiyallāhu 'anhu- bila dia telah mengeluarkan makanan untuk seorang pengemis kemudian dia tidak menemukannya, maka dia akan memisahkannya. Dianjurkan agar bersedekah dengan sesuatu yang bagus, tidak boleh memilih yang jelek kemudian bersedekah dengannya. Sedekah yang paling utama adalah sedekah orang yang memiliki sedikit harta; dan ini tidak bertentangan dengan hadis: "Sebaik-baik sedekah adalah setelah memenuhi kebutuhan diri." Yang dimaksud dengan sedekah orang yang sedikit hartanya yaitu setelah dia memenuhi kebutuhan keluarganya.
Kitab Puasa
Puasa Ramadan adalah salah satu rukun Islam yang diwajibkan pada tahun ke-2 Hijriah. Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- menunaikan ibadah puasa sebanyak sembilan kali Ramadan. Dianjurkan untuk melihat hilal di malam ke-30 Syakban dan wajib menunaikan ibadah puasa bila hilal Ramadan terlihat. Bila hilal tidak terlihat padahal langit cerah, maka umat Islam menyempurnakan Syakban tiga puluh hari kemudian berpuasa setelahnya tanpa ada khilaf. Disyariatkan ketika melihat hilal supaya bertakbir tiga kali lalu berdoa, "Allāhumma ahillahū 'alainā bil-amni wal-īmāni was-salāmah wal-islām wat-taufīq limā tuḥibbu wa tarḍāhu, rabbī wa rabbukallāh, hilāla khairin wa rusydin (Ya Allah! Terbitkanlah hilal ini kepada kami bersama keamanan dan keimanan, keselamatan dan keislaman, dan kemudahan kepada apa yang Engkau cintai dan ridai. Tuhanku dan tuhanmu adalah Allah. Semoga menjadi hilal kebaikan dan kelurusan)." Dalam penetapan hilal Ramadan dapat diterima kesaksian