KITAB ADAB PERGI SALAT
Bismillāhirraḥmānirraḥīm
Bab Adab Pergi Salat Salat
Disunahkan berangkat ke tempat salat dalam keadaan telah bersuci dan
dengan penuh ketenangan; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa
sallam-, "Bila salah seorang kalian berwudu dengan sempurna kemudian
keluar dengan niat ke masjid, maka janganlah dia menyilangkan antara
jari-jari tangannya, karena dia sedang dalam salat." Ketika keluar rumah -
walaupun bukan untuk salat- hendaknya membaca doa, "Bismillāh, āmantu
billāh, i'taṣamtu billāh, tawakkaltu 'alallāh, wa lā ḥaula wa lā quwwata illā
billāh, allāhumma innī a'ūżu bika an aḍilla aw uḍalla, aw azilla aw uzalla,
aw aḥlima aw uḥlama, aw ajhala aw yujhala 'alayya (Dengan menyebut
nama Allah, aku beriman kepada Allah. Aku berlindung kepada Allah. Aku
bertawakal kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan
pertolongan Allah. Ya Allah! Aku berlindung kepada-Mu agar tidak tersesat
atau disesatkan, tidak tergelincir atau digelincirkan, tidak berbuat zalim
atau dizalimi, dan tidak berbuat jahil atau dijahili)." Dia juga hendaknya
berjalan untuk menunaikan salat dengan tenang dan tidak terburu-buru;
berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Apabila kalian
mendengar ikamah dikumandangkan, tetaplah berjalan biasa serta kalian
harus tenang. Apa yang kalian dapatkan (dari salat berjamaah) maka
lakukanlah, dan apa yang terluput maka sempurnakanlah." Dia hendaknya
memperpendek langkah kakinya seraya membaca doa, "Allāhumma innī
as`aluka biḥaqqi as-sā`ilīna 'alaika, wa biḥaqqi mamsyāya hāżā, fa innī lam
akhruj baṭaran wa lā riyā`an wa lā sum'atan. Kharajtu ittiqā`a sakhatika,
wa-btigā`a marḍātika. As`aluka an tunqiżanī minan-nār, wa an tagfira lī
żunūbī jamī'an, innahu la yagfiruż-żunūba illā anta (Ya Allah! Aku
memohon kepada-Mu dengan hak orang-orang yang memohon kepada-
Mu, dengan hak langkahku ini, aku tidak keluar dengan sombong dan
angkuh, tidak juga dengan ria dan sumah. Aku keluar untuk menghindari
murka-Mu serta mencari rida-Mu. Aku mohon kepada-Mu, selamatkanlah
aku dari api neraka dan ampunilah seluruh dosaku. Sesungguhnya tidak
ada yang mengampuni dosa kecuali Engkau." Juga membaca doa,
"Allāhumma ij'al fī qalbī nūran, wa fī lisānī nūran, wa-j'al fī baṣarī nūran, wa
fī sam'ī nūran, wa amāmī nūran, wa khalfī nūran, wa 'an yamīnī nūran, wa
'an syimālī nūran, wa fauqī nūran, allāhumma a'ṭinī nūran (Ya Allah!
Berikanlah cahaya di hati dan lisanku. Berikanlah cahaya di penglihatan
dan pendengaranku, cahaya di depan dan belakangku, cahaya di kanan
dan kiriku, cahaya di atas dan di bawahku. Ya Allah! Berikanlah aku
4
cahaya)." Ketika masuk masjid dianjurkan mendahulukan kaki kanan sambil membaca doa, "Bismillāh a'ūżu billāhil-'aẓīm wa biwajhihil-karīm wa sulṭānihil-qadīm minasy-syaiṭānir-rajīm, allāhumma ṣalli 'alā muḥammad, allāhumma-gfir lī żunūbī wa-ftaḥ lī abwāba raḥmatika (Dengan menyebut nama Allah, aku berlindung kepada Allah Yang Mahaagung, dengan Wajah-Nya yang mulia dan kerajaan-Nya yang azali, dari setan yang terkutuk. Ya Allah! Limpahkanlah selawat kepada Muhammad. Ya Allah! Ampunilah dosaku dan bukakanlah untukku pintu rahmat-Mu)." Ketika keluar hendaknya mendahulukan kaki kiri sambil membaca doa, "... wa-ftaḥ lī abwāba faḍlika (... dan bukakanlah untukku pintu karunia-Mu)." Ketika masuk masjid, janganlah langsung duduk kecuali setelah melaksanakan salat dua rakaat; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Bila salah seorang kalian masuk masjid janganlah dia duduk hingga melaksanakan salat dua rakaat." Dia juga hendaknya menyibukkan diri dengan zikir kepada Allah, atau diam. Tidak menyibukkan diri dalam pembicaraan dunia. Selama dia dalam keadaan seperti itu, maka dia dihukumi sedang dalam salat dan para malaikat akan senantiasa memohonkan ampunan untuknya selama dia tidak menyakiti orang lain atau berhadas (batal wudu).
Bab Tata Cara Salat
Berdiri untuk menunaikan salat dianjurkan ketika muazin membaca, "Qad qāmatiṣ-ṣalāh." Ini dilakukan bila imam ada di dalam masjid. Bila imam tidak ada di masjid, maka hal itu dilakukan setelah melihat imam. Ada yang bertanya kepada Imam Ahmad, "Apa yang Anda baca sebelum takbiratul-iḥrām?" Beliau menjawab, "Tidak ada. Karena tidak ada bacaan yang dinukil dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- maupun salah satu sahabat beliau." Kemudian imam meluruskan saf dengan menyejajarkan pundak dan mata kaki.
Disunahkan agar menyempurnakan saf mulai dari yang paling depan dan seterusnya dan agar para makmum bersaf dengan lurus dan menutup celah saf. Bagian kanan setiap saf lebih utama. Juga dianjurkan agar orang yang paling utama mendekat dari imam; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Hendaklah yang berada di belakangku adalah yang dewasa dan berakal di antara kalian." Sebaik-baik saf laki-laki adalah yang paling depan dan sejelek-jeleknya adalah yang paling belakang. Sedangkan sebaik-baik saf wanita adalah yang paling belakang dan sejelek-jeleknya adalah yang paling depan. Kemudian orang
5
mengerjakan salat bertakbir dalam keadaan berdiri -jika mampu- dengan mengucapkan, "Allāhu akbar." Tidak sah dengan bacaan yang lain. Hikmah dari memulai salat dengan bacaan ini yaitu agar menghadirkan keagungan Allah yang dia berdiri menghadap kepada-Nya sehingga dia akan merasa khusyuk. Salat tidak sah bila dia memanjangkan hamzah pada kata "الله" (Allāh), atau " أَكْبَ ر " (akbar). Begitu juga kalau dia membacanya, "إِكْبَار " (ikbār). Orang yang bisu cukup bertakbir dengan hati dan tidak wajib menggerakkan lidahnya, demikian juga hukum bacaannya pada bacaan Al-Fātiḥah, tasbih, dan lainnya.
Disunahkan agar imam mengeraskan bacaan takbirnya; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Bila imam telah bertakbir, maka bertakbirlah kalian." Begitu juga saat bacaan "sami'allāhu liman ḥamidah"; berdasarkan sabda beliau, "Bila imam telah membaca, 'Sami'allāhu liman ḥamidah', maka ucapkanlah, 'Rabbanā wa lakal-ḥamd.'"
Sedangkan makmun dan yang mengerjakan salat sendiri (munfarid) maka dia membacanya dengan suara sir (pelan), seraya mengangkat kedua tangan dengan meluruskan jari-jari dan merapatkannya, bagian dalam telapak tangan mengarah ke kiblat, sejajar dengan pundak, jika tidak ada uzur (halangan). Ia mengangkat tangannya sebagai isyarat terbukanya tabir antara dia dengan Rabb-nya, sebagaimana telunjuk sebagai isyarat tentang keesaan Allah. Kemudian dia menggenggam pergelangan kiri dengan telapak tangan kanan dan meletakkannya di bawah pusar sebagai isyarat merendahkan diri di hadapan Allah -'Azza wa Jalla-. Orang yang mengerjakan salat dianjurkan melihat ke tempat sujudnya di semua posisi salat, kecuali ketika tasyahud, dia diperintahkan untuk melihat ke telunjuknya. Kemudian orang yang mengerjakan salat membaca doa istiftāḥ dengan suara pelan, yaitu membaca, "Subḥānaka Allāhumma wa biḥamdika ..." Makna: "Subḥānaka Allāhumma" yaitu: aku menyucikan-Mu sesuai dengan keagungan-Mu, ya Allah. Sedangkan bacaan: "wa biḥamdika", ada yang mengatakan maknanya: aku menggabungkan untuk-Mu antara tasbih dan pujian. "Wa tabāraka-i-smuka", maksudnya: keberkahan akan diraih dengan berzikir kepada-Mu. "Wa ta'ālā jadduka" maksudnya: sangat luhur keagungan-Mu. "Wa lā ilāha gairuka" maksudnya: tidak ada sesembahan yang hak di atas bumi dan langit selain-Mu, ya Allah. Diperbolehkan membaca istiftāḥ dengan semua bacaan yang ada dalam hadis. Selanjutnya membaca ta'awwuż secara pelan, yaitu membaca, "A'ūżu billāhi minasy-syaiṭānir-rajīm." Bila ia membaca bacaan ta'awwuż lainnya yang ada dalam hadis-hadis, maka
6
semuanya bagus. Kemudian membaca basmalah secara pelan. Basmalah tidak termasuk Surah Al-Fātiḥah ataupun surah lainnya. Ia hanyalah sebuah ayat Al-Qur`ān di awal Al-Fātiḥah dan di antara setiap dua surah, kecuali antara Surah Barā`ah dan Al-Anfāl. Tulisan basmalah disunahkan diletakkan pada awal tulisan, sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Sulaimān -'alaihis-salām- dan Nabi kita -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Juga dianjurkan dibaca di awal semua aktivitas untuk mengusir setan. Ahmad berkata, "Ia (basmalah) tidak boleh ditulis di awal syair ataupun di tengahnya." Selanjutnya orang yang mengerjakan salat membaca Al-Fātiḥah secara urut dan bersambung serta lengkap dengan tasydidnya. Al-Fātiḥah adalah rukun di setiap rakaat; sebagaimana disebutkan dalam hadis: "Tidak sah salat orang yang tidak membaca Surah Al-Fātiḥah." Al-Fātiḥah dinamakan juga Ummul-Qur`ān (induk Al-Qur`ān) karena di dalamnya terkumpul perkara-perkara ketuhanan, hari akhirat, kenabian, dan penetapan takdir. Dua ayat pertama menunjukkan perkara ketuhanan. "Māliki yaumid-dīn" menunjukkan adanya alam akhirat. "Iyyāka na'budu wa iyyāka nasta'īn" menunjukkan bahwa perintah, larangan, tawakal, dan ikhlas seluruhnya milik Allah. Di dalamnya terkandung peringatan kepada jalan kebenaran dan penganutnya yang harus diikuti. Juga peringatan dari jalan kesesatan dan penyimpangan. Dianjurkan untuk berhenti pada
setiap ayat, sebagaimana cara bacaan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Surah Al-Fātiḥah adalah surah paling agung dalam Al-Qur`ān. Sedangkan ayat yang paling agung dalam Al-Qur`ān adalah ayat Kursi. Di masing-masing keduanya terdapat sebelas tasydid. Makruh hukumnya berlebihan dalam bacaan tasydid dan mad. Bila telah selesai membacanya, dia hendaknya membaca: āmīn, setelah berhenti sejenak supaya bisa diketahui kata "āmīn" tidak termasuk Al-Qur`ān. Ia bermakna: Ya Allah! Kabulkanlah. Ia hendaknya dibaca dengan suara keras (jahr) oleh imam dan makmum secara bersamaan dalam salat jahriyyah. Dianjurkan agar imam berdiam sejenak setelah Al-Fātiḥah pada salat jahriyyah, berdasarkan hadis riwayat Samurah. Orang yang belum mengetahui bacaannya harus mempelajarinya. Kalau dia tidak mempelajarinya padahal dia mampu, maka salatnya tidak sah. Orang yang sama sekali tidak bisa membaca Al-Fātiḥah secara baik dan tidak juga surah lainnya dalam Al-Qur`ān, maka dia harus membaca, "Subḥānallāh wal-ḥamdu lillāh wa lā ilāha illallāh wallāhu akbar." Ini berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Apabila engkau memiliki hafalan Al-Qur`ān, maka bacalah itu. Jika tidak, maka bacalah tahmid, tahlil, dan takbir, kemudian rukuklah."
7
(HR. Abu Daud dan Tirmizi). Kemudian membaca basmalah secara pelan. Setelahnya membaca satu surah yang sempurna, dan boleh juga hanya membaca satu ayat; hanya saja Ahmad menganjurkan agar ayat tersebut panjang. Jika di luar salat, dia boleh membaca basmalah baik dengan keras ataupun pelan, terserah keinginannya. Surah yang dibaca dalam salat Subuh adalah surah-surah Ṭiwāl Al-Mufaṣṣal, yaitu surah-surah yang dmulai dari Surah Qāf; berdasarkan riwayat dari Aus, dia meriwayatkan, Aku bertanya kepada sahabat-sahabat Nabi Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Bagaimanakah kalian membagi bacaan Al-Qur`ān?" Mereka menjawab, "Tiga surah, lima surah, tujuh surah, sembilan surah, sebelas surah, tiga belas surah, dan surah-surah Al-Mufaṣṣal satu hari." Dimakruhkan membaca Qiṣār Al-Mufaṣṣal dalam salat Subuh tanpa uzur seperti safar, sakit, dan semisalnya. Dalam salat Magrib dibaca surah-surah Qiṣār Al-Mufaṣṣal. Di sebagian waktu boleh dalam salat Magrib membaca surah-surah Ṭiwāl Al-Mufaṣṣal; karena Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- pernah dalam salat Magrib membaca surah Al-A'rāf. Sedangkan dalam salat-salat yang lain membaca surah-surah Ausāṭ Al-Mufaṣṣal, jika tidak ada uzur. Tetapi jika ada uzur silakan membaca yang lebih pendek. Wanita boleh membaca dengan suara keras dalam salat jahriyyah bila tidak terdengar laki-laki ajnabi (bukan mahram). Sedangkan orang yang mengerjakan salat sunah di malam hari maka dia harus menimbang maslahat; jika ada orang di dekatnya yang akan terganggu dengan bacaan kerasnya, maka dia membaca secara pelan. Tetapi, jika ada orang yang mendengarkan bacaannya maka dia membaca secara keras. Bila orang yang melakukan salat membaca dengan pelan dalam salat yang seharusnya membaca keras, atau membaca dengan keras dalam salat yang seharusnya membaca pelan, (lalu dia dingatkan), maka dia terus melanjutkan bacaannya. Urutan ayat hukumnya wajib karena ditetapkan berdasarkan nas. Sedangkan urutan surah ditetapkan berdasarkan ijtihad,
bukan berdasarkan nas, menurut pendapat mayoritas ulama; sehingga boleh membaca surah apa saja sebelum surah lain. Oleh karena itu, mushaf para sahabat tidak sama dalam urutan penulisannya. Imam Ahmad membenci qiraah Ḥamzah dan Al-Kisā`iy serta idgām kabīr dalam qiraah Abu 'Amr. Selanjutnya ia mengangkat kedua tangan seperti mengangkat tangan dalam takbīratul-iḥrām setelah selesai membaca surah dan setelah diam sejenak sampai napasnya kembali normal. Tidak boleh menyambung bacaan surah dengan takbir rukuk. Selanjutnya bertakbir, lalu meletakkan kedua tangan dengan jari-jari direnggangkan pada kedua lutut, masing-
8
masing tangan menggenggam lutut, sembari meluruskan punggungnya secara rata dan menjadikan kepalanya lurus dengan punggung, tidak diangkat dan tidak diturunkan; berdasarkan hadis Aisyah. Kedua sikunya direnggangkan dari lambung; berdasarkan hadis Abu Ḥumaid. Ketika rukuk dia membaca, "Subḥāna rabbiyal-'aẓīm"; berdasarkan hadis Ḥużaifah yang diriwayatkan oleh Muslim. Batas minimal kesempurnaan bacaannya adalah tiga kali, dan batas maksimal bagi imam sepuluh kali. Ini sama juga dengan hukum bacaan "subḥāna rabbiyal-a'lā" ketika sujud. Tidak boleh membaca Al-Qur`ān ketika rukuk dan sujud karena adanya larangan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Kemudian dia mengangkat kepala seraya mengangkat kedua tangan seperti mengangkat tangan dalam takbīratul-iḥrām. Imam dan munfarid (orang yang mengerjakan salat secara sendiri) wajib membaca, "Sami'allāhu liman ḥamidah." Makna "sami'a" adalah mengabulkan. Selanjutnya bila telah tegak berdiri dia membaca, "Rabbanā wa lakal-ḥamdu, mil`us-samāwāti wal-arḍi wa mil`u mā syi`ta min syai`in ba'du (Ya Rabb kami! Segala puji milik-Mu sepenuh langit, sepenuh bumi, dan sepenuh apa pun yang Engkau kehendaki setelahnya)." Bila mau, boleh ditambah dengan: "Ahluṡ-ṡanā`i wal-majdi aḥaqqu mā qālal-'abdu, wa kullunā laka 'abdun, lā māni'a limā a'ṭaita wa lā mu'ṭiya limā mana'ta, wa lā yanfa'u żal-jaddi minkal-jaddu (Engkau yang berhak terhadap semua pujian dan pengagungan, paling benar yang dikatakan oleh hamba. Kami seluruhnya adalah hamba-Mu. Tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau beri dan tidak ada yang dapat memberi siapa yang Engkau halangi. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan bagi orang yang memilikinya -selain iman dan amal saleh-, hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan)." Boleh juga membaca bacaan lain yang datang dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Bila mau, dia boleh membaca, "Allāhumma rabbanā lakal-ḥamdu"; yaitu tanpa huruf "wāw", berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Abu Sa'īd Al-Khudriy dan lainnya. Apabila makmum mendapatkan imam di dalam rukuk ini, maka dia telah mendapatkan rakaat ini. Kemudian dia bertakbir dan turun sujud tanpa mengangkat tangan. Dia meletakkan lutut terlebih dahulu, kemudian kedua tangan, lalu wajahnya. Hendaklah dia menempelkan kening dan hidungnya serta kedua telapak tangannya di lantai. Juga agar dia bertumpu di atas jari-jari kakinya dengan mengarahkan jari-jarinya ke kiblat. Sujud di atas tujuh anggota ini adalah rukun salat. Dianjurkan agar orang yang mengerjakan salat menyentuhkan langsung telapak tangannya (pada lantai), dan merapatkan jari-jari kedua tangannya menghadap ke kiblat tanpa menggenggamnya, sambil mengangkat kedua sikunya.
9
Makruh hukumnya salat di tempat yang sangat panas atau sangat dingin karena akan menghilangkan kekhusyukan. Disunahkan bagi orang yang sujud supaya merenggangkan kedua sikunya dari lambung, perutnya dari kedua paha, dan kedua pahanya dari betis. Juga agar meletakkan kedua tangannya sejajar pundak dan memisahkan antara kedua lutut dan juga antara kedua telapak kaki. Kemudian dia mengangkat kepala sembari bertakbir dan duduk secara iftirāsy dengan merebahkan telapak kaki kiri lalu mendudukinya dan menegakkan kaki kanan lalu mengeluarkannya dari bawah badannya, dengan menjadikan bagian bawah telapak kaki ke lantai supaya jari-jarinya mengarah ke kiblat. Ini berdasarkan hadis Abu Ḥumaid tentang tata cara salat Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Kedua tangannya dia hamparkan di atas paha dengan merapatkan jari-jari seraya membaca, "Rabbi igfir lī." Boleh juga ditambahkan dengan doa lain; berdasarkan riwayat Ibnu 'Abbās -raḍiyallāhu 'anhumā-, bahwa Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- ketika duduk antara dua sujud membaca, "Rabbi-gfir lī wa-rḥamnī wa-hdinī wa-rzuqnī wa 'āfinī (Ya Rabb-ku! Ampunilah aku, rahmatilah aku, tunjukilah aku, berilah aku rezeki, dan sembuhkanlah aku)." (HR. Abu Daud). Setelah itu dia melakukan sujud yang kedua seperti sujud pertama. Bila mau, dia boleh berdoa apa saja di dalamnya; berdasarkan hadis Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Adapun sujud, maka perbanyaklah doa di dalamnya karena sangat pantas untuk dikabulkan bagi kalian." (HR. Muslim). Juga diriwayatkan oleh Muslim, dari Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwasanya Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- di dalam sujudnya biasa membaca, "Allāhumma igfirlī żanbī kullahu; diqqahu wa jillahu, wa awwalahu wa ākhirahu, wa 'alāniyyatahu wa sirrahu (Ya Allah! Ampuni dosaku semuanya, yang kecil maupun yang besar, yang pertama maupun yang terakhir, yang tampak maupun yang tersembunyi)." Setelah itu dia mengangkat kepala sambil bertakbir, lalu berdiri dengan bertumpu pada kedua lutut; berdasarkan hadis Wā`il, kecuali jika dia kesulitan karena sudah tua, sakit, atau lemah. Kemudian dia mengerjakan rakaat kedua seperti mengerjakan rakaat pertama, kecuali takbīratul-iḥrām dan doa istiftāḥ, ia tidak melakukannya, sekalipun dia tidak membaca istiftāḥ di rakaat pertama. Kemudian dia duduk tasyahud secara ifitirāsy dengan meletakkan kedua tangan di atas paha, serta jari-jari tangan sebelah kiri diluruskan dan dirapatkan lalu diarahkan ke arah kiblat. Sedangkan tangan kanan, jari kelingking dan jari manis digenggamkan, lalu ibu jari membuat lingkaran bersama jari tengah. Kemudian dia membaca tasyahud dengan suara pelan, dan berisyarat menggunakan jari telunjuk sebelah kanan ketika bertasyahud sebagai
10
isyarat tauhid. Berisyarat dengan telunjuk ketika berdoa dilakukan di dalam salat dan di luar salat; berdasarkan perkataan Ibnu Az-Zubair: "Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- selalu berisyarat dengan telunjuknya ketika berdoa, dan beliau tidak menggerakkannya." (HR. Abu Daud). Lalu dia membaca: "At-taḥiyyātu lillāh, waṣ-ṣalawātu waṭ-ṭayyibāt. As-salāmu 'alaika ayyuhan-nabiyyu wa raḥmatullāhi wa barakātuh. As-salāmu 'alainā wa 'alā 'ibādillāhiṣ-ṣāliḥīn. Asyhadu an lā ilāha illallāh wa asyhadu anna Muḥammadan 'abduhu wa rasūluh (Segala ucapan selamat/penghormatan, selawat dan kebaikan hanya milik Allah. Semoga keselamatan terlimpah kepadamu, wahai Nabi, dan rahmat Allah serta berkah-Nya. Semoga keselamatan terlimpah pada kami dan hamba-hamba Allah yang saleh. Aku bersaksi bahwa tiada ilah yang berhak disembah selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya)." Bacaan tasyahud apa saja yang dia baca asal secara sahih berasal dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, maka hukumnya boleh. Namun, yang paling utama adalah meringankan bacaannya serta tidak ditambah. Ini pada tasyahud awal. Kemudian, jika salat tersebut adalah salat yang terdiri dari dua rakaat saja, maka dia lanjutkan dengan membaca selawat kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan membaca, "Allāhumma ṣalli 'alā Muḥammad, wa 'alā āli Muḥammad, kamā ṣallaita 'alā āli Ibrāhīm, innaka ḥamīdun majīd. Wa bārik 'alā Muḥammad, wa 'alā āli Muḥammad, kamā bārakta 'alā āli Ibrāhīm, innaka ḥamīdun majīd (Ya Allah! Limpahkanlah rahmat atas Muhammad dan keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau melimpahkan rahmat atas keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia. Dan curahkanlah keberkahan atas Muhammad dan atas keluarga Muhammad, sebagaimana Engkau mencurahkan keberkahan atas keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Mahamulia)." Dan dia boleh membaca selawat kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan bacaan-bacaan selawat lainnya yang diriwayatkan dalam Sunnah. "Ālu Muḥammad" ialah ahli bait beliau. "At-Taḥiyyāt" artinya semua ucapan selamat adalah hak dan milik Allah -Ta'ālā-. "Aṣ-Ṣalawāt" artinya doa. Sedangkan "Aṭ-Ṭayyibāt" ialah amal saleh. Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- diberikan taḥiyyah (ucapan penghormatan), tidak diberikan ucapan salam karena ucapan salam adalah doa untuk orang yang diberi salam. Diperbolehkan membaca selawat untuk selain Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dengan ditujukan pada satu orang, jika tidak dilakukan secara sering dan tidak dijadikan sebagai syiar untuk sebagian orang atau sebagian sahabat tanpa yang lain. Disunahkan untuk berselawat kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- di luar salat, dan lebih
11
ditekankan lagi pada saat nama beliau disebut, serta pada pada siang hari Jumat dan malamnya. Disunahkan (setelah membaca selawat di tasyahud ini) untuk membaca, "Allāhumma innī a'ūżu bika min 'ażābi jahannam wa min 'ażābil-qabri, wa a'ūżu bika min fitnatil-maḥyā wal-mamāt, wa a'ūżu bika min fitnatil-masīḥ ad-dajjāl (Ya Allah! Sesungguhnya aku berlindung kepada-Mu dari azab neraka Jahanam dan azab kubur. Aku berlindung kepada-Mu dari fitnah ketika hidup dan setelah mati. Dan aku berlindung kepada-Mu dari fitnah Almasih Dajal)." Seandainya dia tambahkan dengan doa lain yang ada dalam Sunnah, juga bagus; berdasarkan hadis Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, “Lalu ia memilih doa yang paling ia sukai." Ini dilakukan imam selama tidak memberatkan makmum. Juga diperbolehkan berdoa untuk orang tertentu; beradasarkan perbuatan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- ketika beliau mendoakan orang-orang lemah di Kota Mekah. Setelah itu dia bersalam dalam keadaan duduk, dimulai dengan bersalam ke kanan dengan mengucapkan, "As-salāmu 'alaikum wa raḥmatullāh." Begitu juga ketika bersalam ke kiri. Menoleh hukumnya sunah, dan ia hendaknya menoleh ke kiri lebih banyak sampai terlihat pipinya. Imam mengeraskan bacaan salam pada salam pertama saja, sedangkan selain imam keduanya dibaca dengan suara pelan. Disunahkan untuk tidak memanjangkannya, yaitu tidak memanjangkan bacaan salam. Dia meniatkan dengan salam itu untuk menyelesaikan salat. Salamnya itu dia niatkan untuk para malaikat yang menjaga manusia dan untuk orang yang hadir di dekatnya. Bila salat tersebut lebih dari dua rakaat, dia bangkit (ke rakaat ketiga) sambil bertakbir dengan bertumpu pada bagian depan kakinya ketika selesai dari tasyahud pertama, lalu mengerjakan sisa salatnya seperti rakaat sebelumnya. Hanya saja, dia tidak mengeraskan bacaan dan tidak membaca apa pun selain Surah Al-Fātiḥah. Tetapi kalau dia kerjakan, tidak dimakruhkan. Setelah itu dia duduk tasyahud kedua dengan cara tawarruk, yaitu dengan menghamparkan kaki kiri dan menegakkan kaki kanan lalu mengeluarkan kedua-duanya dari arah kanan dan meletakkan pantatnya di atas lantai. Kemudian dia membaca tasyahud seperti dalam tasyahud pertama, kemudian membaca selawat kepada Nabi -ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam-, lalu berdoa, kemudian bersalam. Setelah itu imam berbalik menghadap ke arah makmum dengan berputar menghadap ke kanan atau ke kiri. Imam tidak boleh bertahan lama duduk setelah salam menghadap kiblat, dan makmum tidak boleh berpindah sebelum imam; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Aku adalah imam bagi kalian, maka jangan kalian mendahuluiku dalam rukuk, sujud, dan berpindah." Bila ada jemaah wanita yang ikut salat, para wanita keluar
12
lebih dahulu sementara yang laki-laki bertahan sebentar agar tidak berbaur dengan wanita yang keluar. Disunahkan untuk berzikir, berdoa, dan beristigfar setelah salat; yaitu membaca, "Astagfirullāh", sebanyak tiga kali. Setelah itu membaca, "Allāhumma antas-salām wa minkas-salām, tabārakta yā żal-jalāli wal-ikrām. Lā ilāha illallāhu waḥdahū lā syarīka lah, lahul-mulku wa lahul-ḥamdu, wa huwa 'alā kulli syai`in qadīr. Wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh. Lā ilāha illallāh, wa lā na'budu illā iyyāhu, lahun-ni'mah walahul-faḍlu, wa lahuṡ-ṡanā`ul-ḥasan. Lā ilāha illallāh, mukhliṣīna lahud-dīn wa law karihal-kāfirūn (Ya Allah! Engkau Maha Pemberi Keselamatan, dan hanya dari-Mu semua keselamatan. Mahasuci Engkau, wahai Pemilik keagungan dan kemuliaan. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nya semua kerajaan dan hanya milik-Nya semua pujian, dan Dia Mahakuasa atas segala sesuatu. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah. Kita tidak beribadah kecuali hanya kepada-Nya. Hanya milik-Nya semua nikmat, hanya milik-Nya semua kebaikan, dan hanya milik-Nya semua pujian yang baik. Tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah dengan memurnikan ibadah seluruhnya hanya kepada-Nya, walaupun orang-orang kafir tidak suka)." "Allāhumma lā māni'a li mā a'ṭaita wa lā mu'ṭiya li mā mana'ta, wa lā yanfa'u żal-jaddi minkal-jaddu (Ya Allah! Tidak ada yang mampu menghalangi apa yang Engkau beri dan tidak ada yang dapat memberi siapa yang Engkau halangi. Tidak berguna kekayaan dan kemuliaan itu bagi pemiliknya -selain iman dan amal salehnya-, hanya dari-Mu kekayaan dan kemuliaan)." Kemudian membaca tasbih, tahmid, dan takbir masing-masing 33 kali. Selanjutnya disempurnakan menjadi 100 dengan membaca, "Lā ilāha illallāhu waḥdahū lā syarīka lah, lahul-mulku wa lahul-ḥamdu, wa huwa 'alā kulli syai`in qadīr." Setelah salat Subuh dan Magrib, sebelum ia berbicara dengan orang lain hendaknya ia membaca doa -sebanyak tujuh kali-, "Allāhumma ajirnī minan-nār (Ya Allah! Peliharalah aku dari api neraka)." Berdoa dengan suara pelan lebih utama, demikian juga menggunakan doa yang ada dalam hadis-hadis. Doa hendaklah dilakukan dengan penuh adab, khusyuk, kehadiran hati, serta penuh rasa harap dan takut; berdasarkan hadis Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-,
"Tidak akan dikabulkan doa yang berasal dari hati yang lalai." Dia hendaklah bertawasul dengan nama-nama dan sifat Allah, serta dengan tauhid. Termasuk mengupayakan doa di waktu-waktu yang mustajab, yaitu
13
sepertiga akhir malam, antara azan dan ikamah, setelah salat fardu, dan setelah asar di hari Jumat. Dia harus bersabar dalam menunggu doanya dikabulkan, tidak boleh terburu-buru dengan mengatakan; aku telah berdoa dan berdoa, tetapi tidak dikabulkan. Tidak makruh mengkhususkan doa untuk diri sendiri, kecuali dalam doa yang diaminkan oleh orang lain. Dan makruh hukumnya mengangkat suara ketika berdoa.
Di dalam salat dimakruhkan menoleh dengan tolehan yang sedikit, melihat ke atas, salat menghadap gambar pajangan, atau menghadap pandangan manusia, menghadap api sekalipun berupa lampu minyak, dan menghamparkan lengan ketika sujud. Tidak boleh memulai salat sambil menahan kencing dan buang air besar atau dalam kondisi telah dihidangkan makanan yang dia inginkan, tetapi seharusnya dia menunda salatnya sekalipun berakibat tidak mendapatkan salat berjamaah. Begitu juga makruh hukumnya memegang kerikil, menyilang jari jemari, bertumpu ke tangan ketika duduk, memegang jenggot, mengikat rambut, dan melipat pakaian. Bila dia menguap, agar dia menahannya sebisa mungkin, tetapi jika tidak bisa ditahan, maka dia meletakkan tangan di atas mulutnya. Termasuk makruh hukumnya meratakan tanah tanpa alasan. Dia hendaknya mencegah apa yang lewat di hadapannya, walaupun harus dicegah dengan dorongan keras; baik yang lewat tersebut manusia atau yang lain, baik salat tersebut fardu atau sunah. Kalau orang itu enggan, maka dia boleh menyerangnya, walaupun berakibat dia harus sedikit berjalan. Haram hukumnya lewat di antara orang yang mengerjakan salat dengan sutrah (pembatasnya), dan di hadapannya jika dia tidak memakai sutrah. Orang yang mengerjakan salat boleh membunuh ular, kalajengking, dan kutu. Begitu juga merapikan pakaian dan serban, membawa dan meletakkan sesuatu, serta berisyarat dengan tangan, muka, dan mata karena suatu keperluan. Tidak dimakruhkan mengucapkan salam kepada orang yang sedang mengerjakan salat, dan dia boleh menjawabnya dengan isyarat. Seorang makmum hendaknya membetulkan bacaan imam jika imam keliru atau lupa. Bila imam lupa atau keliru di dalam gerakan salatnya, maka makmum laki-laki bertasbih dan makmum perempuan menepuk tangan. Bila dia terpaksa meludah atau membuang ingus ketika salat, maka dia meludah di pakaiannya jika sedang berada di dalam masjid, dan meludah ke sebelah kiri jika di luar masjid. Makruh hukumnya meludah ke arah depan atau ke sebelah kanan.
Makruh hukumnya bagi selain makmum untuk salat tidak menghadap sutrah, walaupun tidak dikhawatirkan akan ada yang lewat, baik berupa
14
dinding atau sesuatu tegak seperti tombak ataupun yang lainnya seukuran tinggi sandaran pelana. Disunahkan agar dia mendekat dari sutrah; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Jika salah seorang dari kalian melaksanakan salat, hendaklah dia menghadap ke sutrah dan mendekatinya." Dia juga harus sedikit bergeser darinya, berdasarkan amalan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Bila tidak ada yang bisa dijadikan sebagai sutra, maka dia boleh membuat garis. Bila ada sesuatu yang lewat di belakang sutrah, hukumnya tidak makruh. Bila sutrah tidak ada, atau sutrah ada, lalu lewat di hadapannya antara dia dan batasan sutrah seorang perempuan, anjing, atau keledai, maka salatnya batal.
Dia boleh membaca dalam salat dengan melihat mushaf, dan boleh berdoa ketika melewati ayat rahmat dan memohon perlindungan ketika melewati ayat tentang azab.
Berdiri adalah rukun dalam salat fardu; berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Dan berdirilah melaksanakan (salat) karena Allah dengan khusyuk." (QS. Al-Baqarah: 238). Ini dikecualikan bagi orang yang tidak mampu berdiri, orang yang tidak memiliki pakaian, orang yang ketakutan, atau makmum yang salat di belakang imam ratib yang tidak mampu berdiri. Bila dia mendapatkan imam sedang melakukan rukuk, maka dia wajib berdiri terlebih dahulu seukuran untuk takbīratul-iḥrām.
Takbīratul-iḥrām adalah rukun, begitu juga membaca surah Al-Fātiḥah bagi imam dan orang yang mengerjakan salat sendiri, dan juga rukuk; berdasarkan firman Allah -Ta'ālā-, "Wahai orang-orang yang beriman! Rukuklah dan sujudlah ..." (QS. Al-Ḥajj: 77). Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu- juga meriwayatkan bahwasanya ada seorang laki-laki yang datang ke masjid lalu melaksanakan salat. Setelah salat, dia datang menemui Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan mengucapkan salam kepada beliau. Beliau bersabda, "Kembalilah, dan ulangi salatmu karena kamu belum mengerjakan salat!" Hingga dia melakukannya sebanyak tiga kali. Setelah itu dia berkata, "Demi Allah yang telah mengutusmu sebagai seorang nabi yang membawa kebenaran! Aku tidak bisa melakukan yang lebih baik dari ini. Maka ajarilah aku." Maka Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda kepadanya, “Jika kamu hendak mengerjakan salat, maka bertakbirlah, kemudian bacalah ayat-ayat Al-Qur`ān yang mudah bagimu. Kemudian rukuklah hingga kamu melakukan rukuk dengan tenang, kemudian bangkitlah dari rukuk hingga kamu berdiri tegak. Lalu sujudlah hingga kamu sujud dengan tenang, kemudian bangkitlah hingga kamu duduk
15
dengan tenang. Kemudian kerjakanlah semua hal tersebut pada seluruh rakaat salatmu.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, Tirmizi, An-Nasā`i, dan Ibnu Majah). Ini menunjukkan bahwa semua yang disebutkan dalam hadis ini tidak boleh gugur dari amalan salat sama sekali. Karena kalau boleh gugur, pasti telah dibolehkan gugur dari laki-laki badui yang jahil ini.
Ṭuma`nīnah (tenang) di dalam gerakan-gerakan ini adalah rukun, sebagaimana telah dijelaskan. Ḥużaifah pernah melihat seorang laki-laki yang tidak melakukan rukuk dan sujud dengan sempurna, maka dia berkata, "Engkau belum menunaikan salat dengan benar. Seandainya engkau meninggal, engkau meninggal tidak di atas agama yang Allah fitrahkan kepada Muhammad -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-."
Tasyahud akhir adalah salah satu rukun salat; berdasarkan hadis Ibnu Mas’ūd -raḍiyallāhu 'anhu-, ia meriwayatkan, Sebelum bacaan tasyahud diwajibkan kepada kami, kami membaca, "As-salāmu 'alallāh, as-salāmu 'alā Jibrīl, as-salāmu 'alā Mīkā`īl’ (Semoga keselamatan bagi Allah, semoga keselamatan bagi Jibril, semoga keselamatan bagi Mikail)." Kemudian Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- bersabda, "Janganlah kalian mengucapkan demikian, tetapi bacalah, 'At-Taḥiyyātu lillāh ...'" (HR. An-Nasā`i dan semua perawinya ṡiqah).
Wajib-wajib salat yang dapat gugur karena lupa ada delapan: takbir selain takbīratul-iḥrām, ucapan "sami'allāhu liman ḥamidah" bagi imam dan yang salat sendiri, bacaan "rabbanā walakal-ḥamdu" untuk semua, bacaan tasbīḥ ketika rukuk, tasbīḥ ketika sujud, bacaan "rabbi igfir lī" ketika duduk antara dua sujud, tasyahud pertama, dan duduk untuk tasyahud pertama. Selebihnya merupakan sunah bacaan maupun gerakan.
Yang merupakan sunah bacaan ada tujuh belas: membaca istiftāḥ, membaca ta'awwuż, membaca basmalah, membaca āmīn, membaca surah di dua rakaat pertama dan di semua rakaat pada salat Subuh, Jumat, Id, dan salat sunah, mengeraskan bacaan pada tempat bacaan keras dan membaca pelan pada tempat bacaan pelan, bacaan zikir "mil`us-samā`i wal-arḍi" sampai selesai, tambahan bacaan tasbih setelah yang pertama ketika rukuk dan sujud, begitu juga dalam bacaan "rabbi igfir lī", membaca doa perlindungan setelah tasyahud akhir, membaca selawat dan doa keberkahan kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan keluarga beliau. Selain hal tersebut adalah sunah-sunah gerakan, seperti merapatkan jari-jari, meluruskannya, dan menghadapkannya ke arah kiblat ketika takbīratul-iḥrām, juga ketika hendak rukuk, dan bangkit dari rukuk,
16
lalu menurunkan tangan setelah itu, menggenggamkan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri dan meletakkannya di bawah pusar, melihat ke tempat sujud, merenggangkan kedua kaki ketika berdiri dan bertumpu kepadanya secara bergiliran, membaca secara tartil, meringankan bacaan bagi imam, bacaan rakaat pertama lebih panjang dari rakaat kedua, kedua tangan menggenggam kedua lutut dengan jari-jari direnggangkan ketika rukuk, juga meluruskan dan meratakan punggung serta menjadikan kepala sejajar dengan punggung, meletakkan kedua lutut sebelum dua tangan ketika sujud dan mengangkat kedua tangan sebelum dua lutut ketika bangkit, menempelkan kening dan hidung ke lantai saat sujud, merenggangkan kedua lengan dari lambung, perut dari dua paha, dan dua paha dari kedua betis saat sujud, menegakkan kedua kaki dan meletakkan bagian dalam jari-jari kaki menyentuh lantai dengan direnggangkan, meletakkan tangan sejajar pundak dengan jari-jari diluruskan ketika sujud disertai mengarahkan jari-jari tangan dengan dirapatkan ke arah kiblat, menempelkan tangan dan kening ke tempat sujud, berdiri menuju rakaat berikutnya dengan bertumpu di atas ujung telapak kaki dengan menumpukan tangan di atas paha, duduk iftirāsy ketika duduk antara dua sujud dan tasyahud pertama, kemudian duduk tawaruk di tasyahud kedua, meletakkan tangan di atas paha dengan jari-jari diluruskan dan dirapatkan serta diarahkan ke arah kiblat ketika duduk antara dua sujud dan tasyahud, serta menggenggam jari kelingking dan jari manis tangan kanan disertai melingkarkan ibu jari bersama jari tengah dan berisyarat dengan telunjuk, menoleh ke kanan dan ke kiri ketika bersalam, dan melebihkan salam ke kiri atas salam ke kanan ketika menoleh.
Adapun sujud sahwi, Imam Ahmad menerangkan bahwa terdapat lima hadis dan peristiwa dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tentangnya; yaitu beliau bersalam setelah baru mengerjakan salat dua rakaat, beliau bersalam setelah baru mengerjakan tiga rakaat, juga dalam perihal kelebihan, perihal kekurangan, dan beliau berdiri setelah rakaat kedua tanpa bertasyahud. Al-Khaṭṭābiy berkata, "Yang menjadi patokan di kalangan ulama ialah kelima hadis ini." Maksudnya adalah dua hadis Ibnu Mas'ūd, hadis Abu Sa'īd, hadis Abu Hurairah, dan hadis Ibnu Buḥainah. Sujud sahwi diperintahkan ketika ada penambahan, pengurangan, dan ragu-ragu di dalam salat fardu dan sunah. Kecuali kalau ragu-ragu tersebut sering, maka dianggap waswas setan sehingga harus dibuang. Demikian halnya dalam wudu, mandi, dan istinja. Bila dia menambah gerakan yang merupakan amalan salat seperti berdiri, rukuk, sujud, atau duduk secara
17
sengaja, maka salatnya itu batal. Tetapi bila dia melakukannya karena lupa maka dia melakukan sujud sahwi; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-: "Apabila seseorang menambah atau mengurangi di dalam salatnya, hendaklah dia melakukan sujud sahwi dua kali sujud." (HR. Muslim). Kapan dia ingat, maka dia langsung kembali ke urutan salat itu tanpa takbir. Bila dia menambah rakaat, dia langsung menghentikannya ketika ingat dan melanjutkan perbuatan sebelumnya, dan dia tidak perlu bertasyahud lagi jika sebelumnya telah bertasyahud, kemudian dia melakukan sujud sahwi dan salam. Makmum yang masbuk tidak boleh menghitung rakaat yang lebih. Orang yang yakin bahwa imam menambah rakaat tidak boleh mengikuti kesalahan imam tersebut. Bila dia sebagai imam atau salat sendiri, lalu diingatkan oleh dua orang yang terpercaya, maka dia harus kembali. Dan dia tidak boleh kembali jika diingatkan hanya oleh satu orang, kecuali dia meyakininya benar, karena Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- tidak langsung menerima ucapan sahabat Żul-Yadain.
Gerakan yang sedikit tidak membatalkan salat, seperti perbuatan Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- membuka pintu untuk Aisyah serta perbuatan beliau menggendong dan meletakkan Umamah. Jika dia membaca bacaan yang disyariatkan dalam salat di selain tempatnya, seperti membaca Al-Qur`ān ketika duduk dan membaca tasyahud ketika berdiri, salatnya tidak batal.
Tetapi dia harus sujud sahwi karena telah lupa; berdasarkan keumuman sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-: "Apabila salah seorang kalian lupa, hendaklah dia melakukan sujud sahwi dua kali sujud." Bila dia bersalam sebelum salatnya selesai dengan sengaja, maka salatnya batal. Tetapi jika karena lupa, kemudian dia ingat tidak lama setelahnya, maka dia menyempurnakan salatnya walaupun sudah keluar dari masjid atau berbicara sedikit untuk kepentingan salat itu. Bila dia berbicara karena lupa, atau dia tertidur kemudian berbicara, atau ketika sedang membaca dia salah mengucapkan selain kata Al-Qur`ān, maka salatnya tidak batal. Bila dia tertawa terbahak-bahak, salatnya dihukumi batal berdasarkan ijmak, namun salatnya tidak batal bila hanya tersenyum.
Bila dia lupa satu rukun selain takbīratul-iḥrām, lalu dia ingat ketika sedang membaca Al-Fātiḥah di rakaat setelahnya, maka rakaat yang ada kurangnya menjadi batal dan rakaat berikutnya langsung menggantikannya, dan dia tidak perlu mengulangi doa iftitāḥ, sebagaimana disebutkan oleh Ahmad. Tetapi kalau dia mengingatnya sebelum membaca
18
Al-Fātiḥah, maka dia mengulang doa iftitāḥ dan yang setelahnya. Bila dia lupa tasyahud pertama dengan langsung bangkit, maka dia harus kembali dan mengerjakan tasyahud selama dia belum berdiri sempurna; berdasarkan hadis Al-Mugīrah yang diriwayatkan oleh Abu Daud. Bila dia sudah tegak berdiri, maka makmum wajib mengikutinya dan tasyahud gugur darinya lalu diganti dengan sujud sahwi. Siapa yang ragu dengan jumlah rakaat, maka dia ambil yang pasti (lebih sedikit). Ketika makmum ragu maka dia mengikuti sesuai gerakan imamnya. Bila dia mendapatkan imam sedang rukuk kemudian dia ragu apakah imam telah mengangkat kepala sebelum berhasil menyusulnya dalam keadaan rukuk, maka dia tidak menghitung rakaat tersebut. Bila dia bersikap mengambil yang pasti, maka dia mengerjakan sisanya, sedangkan makmum mengerjakannya setelah imam bersalam, setelah itu ia bersujud sahwi. Makmum tidak memiliki kewajiban untuk sujud sahwi kecuali bila imam lupa, maka dia bersujud bersamanya walaupun dia belum menyelesesaikan tasyahud, kemudian dia menyempurnakan salatnya setelah sujud tersebut. Makmum yang masbuk melakukan sujud sahwi bila dia bersalam bersama imam karena lupa, demikian juga kalau dia lupa ketika bersama imam atau setelah terlepas dari imam. Momen sujud sahwi ialah sebelum salam, kecuali bila dia bersalam sementara salatnya masih kurang satu rakaat atau lebih maka ia bersujud setelah salam; berdasarkan hadis 'Imrān dan Żul-Yadain. Juga kecuali dia mengambil yang lebih kuat menurut dugaannya, jika kita mengambil pendapat itu, maka dia bersujud setelah salam, berdasarkan hadis Ali dan Ibnu Mas'ūd. Bila dia lupa sujud sahwi sebelum salam atau setelahnya, maka dia melakukan sujud sahwi itu selama jeda waktunya tidak lama. Cara sujud sahwi serta apa yang dibaca ketika sujud dan setelah bangun sama seperti sujud salat.
Bab Salat Sunah
Abul-'Abbās berkata, "Kelak hari Kiamat salat sunah akan digunakan untuk menyempurnakan salat fardu manakala tidak dikerjakan dengan sempurna. Tentang ini terdapat dalam sebuah hadis marfū'. Begitu juga zakat dan amal saleh lainnya." Ibadah sunah yang paling utama ialah jihad, kemudian yang mengikutinya seperti infak di medan jihad dan lainnya. Kemudian menuntut ilmu dan mengajarkannya. Abu Ad-Dardā` berkata, "Orang yang berilmu dan penuntut ilmu sama dalam hal pahala. Sedangkan orang-orang yang lainnya adalah bodoh, tidak memiliki kebaikan." Diriwayatkan dari Ahmad, bahwa ia berkata, "Menuntut ilmu adalah amal saleh yang afdal bagi orang yang benar niatnya." Ahmad juga berkata, "Belajar di
19
sebagian malam lebih aku sukai daripada menghidupkannya dengan salat." Ahmad juga berkata, "Seseorang wajib menuntut ilmu yang akan menegakkan agamanya." Ada yang bertanya, "Apa misalnya?" Dia menjawab, "Yaitu yang tidak boleh tidak diketahui, seperti salat, puasa, dan semisalnya." Kemudian setelah itu salat (yang sunah), berdasarkan hadis: "Istikamahlah kalian. Kalian tidak akan mampu melakukan semuanya. Ketahuilah, sesungguhnya amal saleh kalian yang paling utama adalah salat." Kemudian setelahnya ibadah yang manfaatnya dirasakan orang lain seperti menjenguk orang sakit, membantu kebutuhan seorang muslim, dan mendamaikan di antara orang yang berselisih; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Maukah aku kabarkan kepada kalian tentang amal kalian yang paling baik dan lebih utama dari derajat puasa dan salat? Yaitu mendamaikan hubungan antara manusia. Sesungguhnya kerusakan hubungan di antara manusia itulah yang memutuskan (merusak)." (Disahihkan oleh Tirmizi). Ahmad juga berkata, "Mengantar jenazah lebih utama dari salat." Perbuatan yang manfaatnya dirasakan orang lain bertingkat-tingkat; sehingga sedekah kepada kerabat yang membutuhkan lebih utama daripada memerdekakan budak, dan memerdekakan budak lebih utama daripada bersedekah kepada selain keluarga, kecuali pada masa kelaparan. Kemudian mempelajari ibadah haji. Anas -raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan secara marfū', "Siapa yang keluar dalam rangka mencari ilmu, maka dia berada di jalan Allah sampai kembali." (Tirmizi berkata, "Hasan garīb"). Syekh berkata, "Menuntut ilmu dan mengajarkannya termasuk jihad, dan merupakan salah satu jenisnya." Beliau juga berkata, "Mengisi sepuluh Zulhijah dengan ibadah sepanjang siang dan malam lebih utama daripada jihad yang tidak sampai mengorbankan nyawa dan harta." Dalam riwayat dari Ahmad disebutkan, bahwa tidak ada sesuatu pun yang bisa menyerupai ibadah haji karena beratnya rasa letih yang terkandung di dalamnya, juga karena agungnya syiar-syiarnya, di dalamnya terdapat momen perkumpulan manusia yang tidak ada tandingannya dalam Islam, terdapat momen sore di Arafah (yang merupakan waktu yang sangat utama), dan sebagaimana ibadah haji juga menguras harta dan tenaga. Abu Umāmah meriwayatkan, bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Amalan apakah yang paling utama?" Beliau bersabda, "Hendaklah engkau berpuasa, karena ia tidak ada bandingannya." (HR. Ahmad dan lainnya dengan sanad hasan). Syekh berkata, "Bisa jadi masing-masing amalan lebih utama di sebagian keadaan, berdasarkan praktik Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- dan para Khulafa Rasyidin sesuai kebutuhan dan
20
kepentingan." Ini senada dengan perkataan Ahmad, "Lihatlah apa yang lebih bermaslahat bagi hatimu lalu kerjakanlah." Ahmad juga menguatkan keutamaan tafakur di atas salat dan sedekah. Hal itu dapat dipahami bahwa amalan hati lebih utama daripada amalan anggota badan, sedangkan yang dimaksud oleh ulama-ulama mujtahid mazhab ḥanbaliy ialah amalan anggota badan. Ini dikuatkan oleh hadis: "Amalan yang paling dicintai Allah adalah cinta karena Allah dan benci karena Allah." Juga hadis: "Tali Islam yang paling kuat ..."
Salat sunah yang paling utama secara berurutan adalah salat kusuf, salat witir, salat sunah subuh, salat sunah magrib, kemudian salat-salat rawatib lainnya. Waktu salat witir dimulai setelah salat Isya sampai terbit fajar, sedangkan waktunya yang paling utama adalah di akhir malam bagi orang yang yakin akan bangun. Jika tidak, maka dia mengerjakan witir sebelum tidur. Ia minimal satu rakaat dan maksimal sebelas rakaat. Yang afdal agar ia bersalam setiap dua rakaat kemudian ditutup dengan satu rakaat. Tetapi jika dia melakukan cara yang lain sebagaimana beberapa variasi yang diriwayatkan secara sahih dari Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam- maka bagus. Minimal yang sempurna ialah tiga rakaat, dan paling utama dikerjakan dengan dua salam. Boleh dikerjakan dengan satu salam dan satu tasyahud, dan boleh juga dikerjakan seperti salat Magrib.
Salat sunah rawatib ada sepuluh rakaat, dan mengerjakannya di rumah lebih utama. Yaitu; 2 rakaat sebelum Zuhur, 2 rakaat setelah Zuhur, 2 rakaat setelah Magrib, 2 rakaat setelah Isya, dan 2 rakaat sebelum Subuh.
Disunahkan untuk meringankan salat sunah Subuh dengan membaca Surah Al-Kāfirūn dan Al-Ikhlāṣ. Atau pada rakaat pertama membaca ayat, "Qūlū āmannā billāhi wamā unzila ilainā ..." yang ada dalam QS. Al-Baqarah (136). Dan pada rakaat kedua membaca, "Qul yā ahlal-kitābi ta'ālaū ilā kalimatin sawā`in bainanā wa bainakum ..." (QS. Āli 'Imrān: 64) Salat sunah boleh juga dikerjakan di atas kendaraan.
Tidak ada sunah sebelum salat Jumat, sedangkan setelahnya disunahkan salat dua rakaat atau empat rakaat. Salat sunah ini bisa sekaligus sebagai salat Tahiyat Masjid. Dianjurkan untuk memisahkan antara salat fardu dan salat sunah dengan berbicara atau berjalan; berdasarkan hadis Mu'āwiyah. Siapa yang yang tidak mendapatkan sebagiannya dianjurkan untuk mengadanya. Juga dianjurkan mengerjakan salat sunah antara azan dan ikamah.
21
Salat tarawih hukumnya sunah yang dianjurkan oleh Rasulullah -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-. Mengerjakannya secara berjamaah lebih diutamakan, dan imam mengeraskan bacaannya, sebagaimana diwarisi oleh generasi khalaf dari generasi salaf. Kemudian melakukan salam setiap dua rakaat; berdasarkan hadis: "Salat malam itu dua rakaat-dua rakaat." Waktunya dimulai setelah salat Isya dan sunah Isya, dan sebelum witir hingga terbit fajar. Kemudian mengerjakan witir setelah itu. Jika dia memiliki kebiasaan salat tahajud, dia hendaknya menjadikan salat witirnya setelah itu; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-: "Jadikanlah akhir salat malam kalian dengan witir." Bila orang yang memiliki kebiasaan tahajud berniat mengikuti imam sampai selesai, maka dia berdiri ketika imam bersalam lalu menambah satu rakaat; berdasarkan sabda Nabi -ṣallallāhu 'alaihi wa sallam-, "Siapa yang melakukan salat tarawih bersama imam hingga imam selesai, Allah tuliskan baginya pahala salat satu malam." (Disahihkan oleh Tirmizi).
Disunahkan menghafal Al-Qur`ān sesuai ijmak dan membacanya lebih utama dari semua zikir lainnya. Seseorang diwajibkan menghafal yang wajib dibaca dalam salat. Orang tua/wali hendaknya mengajarkan anaknya mulai dari Al-Qur`ān sebelum ilmu yang lain, kecuali kalau sulit. Dianjurkan untuk mengkhatamkan Al-Qur`ān setiap minggu, dan kurang dari itu sesekali. Dan diharamkan menundanya jika dikhawatirkan lupa. Dia hendaknya membaca taawuz sebelum membaca, dan berusaha ikhlas serta mengusir perusak-perusaknya. Juga hendaknya mengkhatamkan Al-Qur`ān pada musim dingin di awal malam dan pada musim panas di awal siang. Ṭalḥah bin Muṣarrif berkata, "Aku menemukan orang-orang baik dari umat ini menganjurkan hal itu. Mereka mengatakan, 'Bila khatam di awal siang maka malaikat akan mendoakannya hingga petang, dan bila khatam di awal malam maka malaikat akan mendoakannya hingga pagi.'" (HR. Ad-Dārimiy dari Sa'ad bin Abi Waqqāṣ dengan sanad hasan). Dianjurkan agar membaguskan bacaan Al-Qur`ān serta membacanya dengan tartil, membaca dengan khusyuk dan tadabur, memohon kepada Allah -Ta'ālā- ketika membaca ayat rahmat dan berlindung kepada-Nya ketika membaca ayat tentang siksa, dan tidak mengeraskan bacaan di tengah-tengah orang yang sedang salat, tidur, atau membaca Al-Qur`ān sampai mengganggu mereka. Tidak mengapa membaca Al-Qur`ān sambil berdiri, duduk, berbaring, berkendara, dan berjalan. Juga tidak makruh hukumnya membaca Al-Qur`ān di jalan ataupun dalam keadaan hadas kecil. Makruh hukumnya membaca di tempat-tempat yang kotor. Dianjurkan berkumpul
22
untuk membaca Al-Qur`ān dan mendengarkan orang yang membacanya. Tidak boleh berbicara di dekat orang yang membaca Al-Qur`ān dengan pembicaraan yang tidak bermanfaat. Imam Ahmad memakruhkan bacaan yang cepat. Ahmad juga membenci bacaan secara laḥn, yaitu bacaan menyerupai nyanyian. Dan tidak makruh hukumnya membaca dengan tarjī' (lebih tinggi dari tartil). Siapa yang menafsirkan Al-Qur`ān dengan logikanya tanpa dasar ilmu, silakan mengambil tempat di neraka, dan dia telah salah jalan walaupun benar.
Orang yang berhadas tidak boleh memegang mushaf. Dia boleh membawanya dengan gantungan, atau di dalam kantung barang dan dengan lapis lengan tangan. Dia boleh membuka lembarannya dengan lidi dan semisalnya. Dia juga boleh menyentuh buku tafsir dan buku-buku lainnya yang mengandung ayat Al-Qur`ān. Orang yang berhadas boleh menulis Al-Qur`ān tanpa menyentuhnya. Diperbolehkan mengambil upah dari menyalin Al-Qur`ān. Juga diperbolehkan melapisinya dengan sutra. Al-Qur`ān tidak boleh dibelakangi atau menjulurkan kaki kepadanya dan hal-hal lain yang mengandung tindakan tidak menjunjung dan mengagungkan Al-Qur`ān. Makruh hukumnya menghias Al-Qur`ān dengan emas atau perak, menuliskan tanda pembagian-pembagian Al-Qur`ān, nama surah, jumlah ayat, dan lainnya yang tidak pernah ada di zaman sahabat.
Haram hukumnya menulis Al-Qur`ān atau apa saja yang mengandung nama Allah dengan sesuatu yang tidak suci. Jika ada yang ditulis dengan itu atau ditulis di atasnya maka wajib dicuci. Bila mushaf telah lapuk atau rusak maka ia harus ditanam karena Uṡmān -raḍiyallāhu 'anhu- menanam mushaf-mushaf itu di antara kubur Nabi dan mimbar.
Dianjurkan mengerjakan salat sunah muṭlaq di semua waktu kecuali di waktu-waktu terlarang. Salat malam lebih dianjurkan dan lebih utama daripada salat sunah di waktu siang. Salat malam setelah tidur lebih diutamakan karena istilah nāsyi`ah tidak berlaku kecuali setelah tidur. Dianjurkan berzikir kepada Allah -Ta'ālā- ketika bangun tidur dan membaca zikir-zikir yang ada dalam Sunnah, di antaranya: "Lā ilāha illallāhu waḥdahū lā syarīka lah, lahul-mulku wa lahul-ḥamdu, wa huwa 'alā kulli syai`in qadīr. Alḥamdulillāh wa subḥānallāh wa lā ilāha illallāh wallāhu akbar, wa lā ḥaula wa lā quwwata illā billāh (Tidak ada tuhan yang berhak disembah dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Hanya milik-Nya semua kerajaan dan hanya milik-Nya semua pujian, dan Allah Mahakuasa atas segala sesuatu. Segala puji milik Allah, aku menyucikan Allah, tidak