Hukum Mengganti Shalat dan Puasa
yang Sengaja ditinggal Sebelum
Bertaubat
Tanya :
Seseorang tenggelam dalam dosa besar, tidak pernah
shalat dan puasa. Kemudian Allah memberinya hidayah
semenjak dua tahun. Dia pun meninggalkan dosa besar,
mengerjakan shalat pada waktunya dan berpuasa. Apakah
ia harus mengganti puasa atau shalat yang telah lalu
sebelum mendapatkan hidayah?0F
1
Jawab :
Taubat menutup yang telah lalu. Jika tidak pernah shalat
tidak pula puasa dan melakukan dosa besar kemudian
bertaubat, taubatnya itu menutup apa yang telah lalu.
Allah –jalla wa ‘ala- berfirman dalam kitab-Nya yang
agung,
1 Pertanyaan yang diajukan kepada Syaikh Bin Bâz seusai pelajaran yang
disampaikannya di Masjidil Haram tanggal 27-12-1418 H.
“Dan bertaubatlah kamu semua kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman, agar kamu beruntung.” (QS. An-Nur :31)
Siapa yang bertaubat maka ia telah beruntung. Allah -subhânahu wata'âla- berfirman,
“Wahai orang-orang yang beriman! bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menghapus kesalahan-kesalahanmu...” (QS. At-Tahrim :8)
Kata “’asa” (mudah-mudahan) dari Allah maknanya adalah wajib. Allah menghapus kesalahan-kesalahan jika bertaubat. Allah -azzawajalla- berfirman,
“Dan sungguh, Aku Maha Pengampun bagi yang bertaubat, beriman dan berbuat kebajikan, kemudian tetap dalam petunjuk.” (QS. Thaha :82)
Dan berfirman-Nya -subhânahu wata'âla-,
“Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina...” (QS. Al-Furqan :68)
Maksudnya Allah –jalla wa ‘ala- menjelaskan keadaan orang yang berzina, mencuri dan melakukan kemaksiatan,
“dan orang-orang yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain dan tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina; barang siapa melakukan demikian itu, niscaya dia mendapat hukuman yang berat,”
Di antara karakteristik "'Ibâdur Rahman" (hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih), adalah mereka yang tidak mempersekutukan Allah dengan sembahan lain, tidak membunuh orang yang diharamkan Allah kecuali dengan (alasan) yang benar dan tidak berzina. Yang juga merupakan karakteristik hamba-hamba Allah adalah menjaga kehormatan dari berzina dan dari membunuh jiwa tanpa alasan yang benar. Karakteristik hamba-hamba Allah yang Maha Pengasih lain: ikhlas (memurnikan ibadah) hanya kepada Allah dan mengesakan-Nya dengan seutuhnya. Siapa yang melakukan sebaliknya: berbuat syirik, membunuh jiwa tanpa alasan yang benar atau berzina, niscaya dia mendapat hukuman yang berat.
“...(yakni) akan dilipatgandakan azab untuknya pada hari kiamat dan dia akan kekal dalam azab itu, dalam keadaan terhina,” (QS. al-Furqan :69)
7
Kita berlindung kepada Allah dari semua itu.
“Kecuali orang-orang yang bertaubat dan beriman dan mengerjakan kebajikan, maka kejahatan mereka diganti oleh Allah dengan kebaikan. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. al-Furqan :70)
Nabi -shalallahu alaihi wasallam- bersabda,
“Taubat itu menutup apa yang telah lalu." 1F2
Dan bersabdanya -shalallahu alaihi wasallam- pula,
2 HR. Ahmad dalam Musnad as-Syamiyîn, baqiyyatu Hadits Amr Ibn al-‘Âsh no.17357. dengan lafal: Innal Islâm Yajubbu Mâ Qoblahu wa innal Hijrah Tajubbu Mâ Kâna Qoblaha....”.
8
“Orang yang bertaubat dari dosa seperti orang yang tidak memiliki dosa.” 2F3
Siapa yang bertaubat dari keburukan dan segala perbuatannya, Allah ampuni dia. Taubat memiliki tiga syarat yaitu, menyesal atas perbuatan buruk yang telah lalu, meninggalkan perbuatan jeleknya dan bertekad dengan tulus untuk tidak mengulanginya lagi.
Taubat di sini menyesali perbuatan-perbuatan jelek seperti kesyirikan dan kemaksiatan, melepaskan dan meninggalkannya karena takut kepada Allah, mengagungkan-Nya dan ikhlas semata karena-Nya. Bertekad dengan tekad yang tulus untuk tidak mengulanginya lagi. Jika telah melakukan hal seperti itu, maka ia telah bertaubat dengan taubat yang semurni-murninya dan Allah mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu. Ada syarat yang ke empat. Jika kemaksiatannya berhubungan dengan makhluk, harus ada syarat ke empat yaitu meminta dihalalkan atau mengembalikan haknya. Jika kemaksiatannya berhubungan dengan menzalimi manusia seperti mengambil hartanya, memukulnya atau membunuhnya, maka harus mengembalikan haknya atau meminta untuk dihalalkannya darinya. Mengembalikan hak orang yang dibunuh adalah dengan kisas, kecuali wali yang dibunuh memaafkannya. Pada harta, harus
3 HR. Ibnu Majah dalam kitab az-Zuhd bab: Zikrut Taubah no.4250.
9
mengembalikan harta yang diambilnya. Dan dalam kehormatan, minta dimaafkan jika berkenaan dengan gibah. Jika tidak memungkinkan, doakan dia dan sebut kebaikan orang itu yang diketahuinya di majelis yang pernah disebut kejelekannya.
Maksudnya adalah jika berhubungan dengan hak makhluk, maka selain memenuhi syarat yang tiga juga harus memenuhi syarat yang ke empat yaitu mengembalikan hak orang itu atau minta dihalalkan.
[Majmu Fatwa wa Maqolât Mutanawi’ah juz XXVIII]