Kenapa Mereka Yang Melaknat ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- Menjadi Kafir, Sedangkan Mereka Yang Memeranginya Dalam Perang Jamal Tidak Kafir ?

Pertanyaan

Pada saat perang Jamal, pasukan Ali bin Abi Thalib telah memerangi ‘Aisyah dan pasukannya dengan pedang, dan tidak seorang pun yang mengatakan bahwa Ali dan pasukannya telah menjadi kafir; karena mereka memerangi ummul mukminin, yang menjadi pertanyaan di sini adalah: Apakah akan menjadi kafir mereka yang melaknat ‘Aisyah sementara yang memeranginya tidak menjadi kafir ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Tidak diragukan lagi bahwa masalahnya berbeda, maka dari itu hukumnya pun berbeda; karena pada diri ‘Aisyah tidak ada sesuatu yang bisa dijadikan alasan untuk menghina dan menuduhnya berbuat serong; karena Allah telah membebaskannya dari semua tuduhan keji orang-orang munafik; oleh karena itu siapa saja yang masih menuduhnya dengan sesuatu yang telah Allah bebaskan, maka ia menjadi kafir dan murtad; karena dengannya dia telah mendustakan Allah –ta’ala-, inilah yang disepakati oleh para ulama termasuk mereka yang menuduhnya berbuat zina, menghinanya dan melaknatnya karena hal tersebut.

Ibnu Katsir –rahimahullah- berkata pada saat menafsiri ayat Allah:

( إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ ) النور/ 23 - :

“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka kena la`nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang besar”. (QS. An Nur: 23)

Para ulama –rahimahumullah- telah melakukan ijma’ (konsensus) bahwa siapa yang menghinanya setelah ini dan menuduhnya dengan tuduhan sebelumnya setelah diturunkannya ayat ini, maka ia menjadi kafir; karena dia membangkang kepada Al Qur’an. Dan kalau tuduhan tersebut ditujukan kepada para ummul mukminin lainnya, ada dua pendapat: pendapat yang benar adalah sama dengan ‘Aisyah, wallahu a’lam”. (Tafsir Ibnu Katsir: 6/31-32)

Beberapa pendapat para ulama tentang hukum orang yang mencelanya bisa didapatkan pada jawaban soal nomor: 954.

Tidak demikian dengan peristiwa terjadinya perang Jamal, dalam hal ini Ummul Mukminin ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- ikut serta di dalamnya, beliau keluar menuju Bashrah karena mentakwil bahwa beliau mengira dengan mengqishas para pembunuh Utsman bin ‘Affan –radhiyallahu ‘anhu- ada jaminan untuk ishlah antara Mu’awiyah dan orang-orang yang bersamanya di Syam dengan Ali bin Abi Thalib dan orang-orang yang bersamanya di Madinah, kemudian pada saat terjadinya perang antara pasukan Mu’awiyah dan pasukan Ali –radhiyallahu ‘anhuma- beliau (‘Aisyah) tidak ikut di dalamnya, akan tetapi beliau datang dengan onta tunggangannya di tengah peperangan dengan mengira bahwa beliau akan mampu menghentikan peperangan, akan tetapi orang-orang khawarij dan para penebar fitnah tidak menghendaki hal itu dan melanjutkan peperangan, bahkan onta beliau terkena anak panah mereka sampai roboh di tengah peperangan.

At Thabari –rahimahullah- berkata:

“Ka’ab bin Sur mendekat dan mendatangi ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- lalu berkata: “Ayo naiklah; karena mereka tidak menghendaki kecuali peperangan semoga Allah akan memperbaiki keadaan dengan keberadaan anda”, maka beliau menaikinya kembali, dan mereka pun memasangkan kembali tenda beliau yang di atas ontanya, kemudian mereka mengutus ontanya dan onta beliau dijuluki dengan “askar” dibawakan oleh Ya’la bin Umayyah dan dibelinya dengan harga 200 dinar”. (Tarikh At Thabari: 3/40)

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Sungguh ‘Aisyah beliau tidak ikut berperang dan beliau tidak keluar untuk berperang, beliau keluar dengan tujuan untuk mengishlah kaum muslimin, beliau mengira bahwa keluarnya beliau akan membawa kemaslahatan bagi umat Islam, kemudian setelah itu menjadi jelas bagi beliau bahwa tidak keluar sebenarnya lebih utama, maka setiap kali beliau mengingat keluarnya beliau menuju peperangan tersebut, beliau selalu menangis sampai membasahi jilbabnya. Demikianlah mayoritas generasi pertama ummat ini, mereka menyesali keikutsertaan mereka di dalam peperangan, maka menyesal juga Thalhah, Zubair, dan Ali –radhiyallahu ‘anhum- dan tidaklah pada perang Jamal itu ada tujuan dari mereka untuk saling berperang, akan tetapi terjadi peperangan tersebut di luar keinginan mereka”. (Minhajus Sunnah: 4/316)

Sebagaimana yang anda ketahui bahwa ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- mempunyai kesalahan karena beliau keluar ke Bashrah, beliau tidak maksum sehingga terjadi kesalahan seperti ini dengan pentakwilannya.

Dari Qais bin Abi Hazim berkata:

“Pada saat ‘Aisyah keluar dan telah sampai di perairan Bani ‘Amir pada malam hari, banyak anjing yang menggonggong. Beliau bertanya: “Air apakah ini ?”, mereka menjawab: “Air Hau’ab, perairan dengan Bashrah yang berada di jalur Makkah”. Beliau berkata: “Saya berpikir sebaiknya saya kembali”, namun sebagian orang-orang yang bersamanya mengatakan: “Jalan terus saja, sampai keberadaan engkau dilihat oleh ummat Islam dan Allah akan mengishlah keadaan mereka”. Beliau berkata: “Sungguh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah bersabda kepada beliau pada suatu hari:

( كَيْفَ بِإِحْدَاكُنَّ تَنْبَحُ عَلَيْهَا كِلاَبُ الحَوْأب ؟.

“Bagaimana dengan salah satu dari kalian (para istri Nabi), jika anjing-anjing Hauab menggonggong ?”.

Syeikh Muhammad bin Nashir Albani –rahimahullah- berkata:

“Tidak semuanya yang sempurna itu sesuai dengan mereka, karena maksum adalah mereka yang dijaga oleh Allah, seorang sunni tidak selayaknya berlebihan mereka yang dihormati sampai mengangkat mereka sama dengan para imam syi’ah yang menurut mereka adalah maksum semuanya. Tidak diragukan lagi bahwa keluarnya Ummul Mukminin adalah sebuah kesalahan sebenarnya, oleh karenanya beliau di tengah jalan ada keinginan untuk kembali, pada saat terealisasinya berita kenabian Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- di daerah Hauab, akan tetapi Zubair –radhiyallahu ‘anhu- telah meyakinkan beliau agar tidak kembali dengan ucapannya: “Semoga Allah akan mengishlah ummat dengan keberadaan anda”, tidak diragukan lagi bahwa Zubair dalam hal ini juga bersalah dalam hal itu. Secara akal dalam hal ini tidak perlu untuk menyalahkan salah satu pihak yang saling berperang yang sampai menelan korban ratusan jiwa. Tidak diragukan juga bahwa ‘Aisyah bersalah dengan beberapa sebab dan bukti-bukti yang jelas: Penyesalannya karena beliau keluar, inilah yang sesuai dengan keutamaan dan kesempurnaannya, dalam hal ini juga menunjukkan bahwa kesalahannya termasuk kesalahan yang dimaafkan, bahkan berpahala”. (Silsilah Shahihah: 474)

Oleh karena sebagaimana dalam riwayat yang shahih bahwa beliau menyesal dan menangisi apa yang pernah beliau lakukan.

Adz Dzahabi –rahimahullah- berkata:

“Dan tidak diragukan lagi bahwa ‘Aisyah sangat menyesal karena telah keluar menuju Bashrah, dan kehadiran beliau pada perang Jamal, beliau tidak mengira akan terjadi seperti apa yang sudah terjadi”. (Siyar A’lam Nubala’: 2/177)

Adapun peperangan yang terjadi antara Mu’awiyah dan pasukannya dengan Ali dan pasukannya adalah peperangan fitnah, penyebabnya adalah para penyebar fitnah dan kerusakan. Posisi kebenaran berada pada pihak Ali bin Abi Thalib. Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- telah menghukumi ke dua belah pihak masih tetap  sebagai umat Islam, maka bagaimana bisa ada seseorang yang mengkafirkan mereka !??. Tidak ada bedanya dalam hukum syar’i antara mereka yang memerangi ‘Aisyah dan memerangi Ali, Thalhah, Zubair dan Mu’awiyah –radhiyallahu ‘anhum-. Hal ini tentunya berbeda dengan mereka yang mencela ‘Aisyah dan menuduhnya telah berbuat zina padahal tidak beliau lakukan, bahkan termasuk yang dibebaskan oleh Allah dari tuduhan tersebut.

Dari Abu Sa’id Al Khudri –rahimahullah- berkata: “Rasulullah –shallallah shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda:

( تَمْرُقُ مَارِقَةٌ عِنْدَ فُرْقَةٍ مِنْ الْمُسْلِمِينَ يَقْتُلُهَا أَوْلَى الطَّائِفَتَيْنِ بِالْحَقِّ ) . رواه مسلم ( 1064 (

“Sekelompok orang telah membuat lubang pada saat umat Islam terpecah, dan mereka akan dibunuh oleh kedua kubu yang paling utama dalam kebenaran”. (HR. Muslim: 1064)

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Hadits yang shahih ini menjadi bukti kedua kubu yang berada dalam pertempuran –Ali dan pasukannya dengan Mu’awiyah dan pasukannya- mereka semuanya dalam kebenaran, dan bahwa Ali bersama pasukannya lebih mendekati kebenaran dari pada Mu’awiyah dan pasukannya; karena Ali bin Abi Thalib yang telah membunuh orang-orang para pembuat lubang, mereka adalah orang-orang khawarij haruriyah yang sebelumnya termasuk para pendukung Ali kemudian keluar dari kepemimpinannya, mereka mengkafirkannya, dan mengkafirkan siapa saja yang berwala’ kepadanya, mengobarkan permusuhan kepada beliau, memeranginya dan siapa saja yang berpihak kepadanya”. (Majmu’ Fatawa: 4/467)

Kesimpulannya adalah sebagai berikut:

1.      Menuduh ‘Aisyah dengan zina, mencela dan melaknatnya dengan apa yang telah Allah bebaskan dari segala tuduhan tersebut, adalah kekufuran dan pemurtadan sesuai dengan ijma’ para ulama

2.      ‘Aisyah telah berbuat kesalahan karena keluar untuk memerangi para pembunuh Utsman –radhiyallahu ‘anhuma-, bahwa beliau telah mentakwil perbuatannya dengan tujuan untuk mengishlah antara kubu Ali dengan kubu Mu’awiyah –radhiyallahu ‘anhuma-.

3.      ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- telah menyadari kesalahannya, makanya beliau menyesal, menangis dengan apa yang sudah terjadi.

4.      ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha- tidak mengikuti perang Jamal, kehadiran beliau di atas ontanya justru ingin menghentikan peperangan, akan tetapi para penebar fitnah dan khawarij terus melanjutkan peperangan, bahkan mengarahkan panah mereka kepada beliau dan ontanya.

Wallahu A’lam .

< PREVIOUS NEXT >