Rambu-rambu Takwil Yang Tidak Menyebabkan Kekufuran & Manfaatnya Dalam Masalah Ini

Pertanyaan

Pada website anda telah anda jelaskan dengan rinci dengan fatwa yang bermacam-macam, khususnya tentang ketidaktahuan yang dimaafkan dan bagaimana caranya menegakkan hujjah, akan tetapi saya tidak mendapatkan rambu-rambu yang jelas khususnya pada masalah takwil pada website anda tersebut.
Saya telah membaca dalam masalah tersebut akan tetapi justru saya mendapatkan hal yang berlawanan untuk mempraktekkan apa yang telah saya baca dari pendapat para ulama yang telah menjelaskan rambu-rambu tersebut.
Sebagai contoh, sebagian ulama berkata: “Jika takwil mereka masih sesuai dengan bahasa Arab, maka masih bisa ditoleril, namun jika tidak sesuai dengan bahasa Arab, kami tidak bisa menerimanya dan kami mengkafirkan mereka. Dan pada saat anda menemukan praktek kasus tersebut pada Asy’ariyah, yang mereka mengatakan sebagai ganti dari “Istiwa’ ” (bersemayam) adalah “Istaula” (menguasai), dan untuk menjawab sikap tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu tidak bisa diterima oleh bahasa Arab, dan pada saat yang sama orang yang mengingkari ke-Maha Tingginya Allah tidak dihukumi dengan kafir, padahal Syeikh Islam telah menukil dari Abu Hanifah akan kekafiran orang yang mengingkari ke-Maha Tinggian Allah.
Kami ingin penjelasannya, khususnya para ulama banyak yang mengkafirkan beberapa firqah, seperti Jahmiyyah dan Qadariyyah.
Apakah ada ketetapan salah satu ulama yang mengkafirkan Asy’ariyyah ?

Teks Jawaban

Alhamdulillah.

Ini adalah masalah yang berat, maka penjelasannya akan bertumpu pada beberapa poin terbatas.

1.Tidak ada bedanya antara dimaafkan karena mentakwil dan  dimaafkan karena tidak tahu masalah agama, bahkan orang yang mentakwil lebih utama untuk dimaafkan dari pada orang yang tidak tahu; karena dia mengetahui apa diyakininya, bahkan meyakininya sebagai kebenaran, mempunyai dalil dan membelanya. Tidak ada bedanya dalam masalah ini, baik dimaafkan dalam masalah-masalah praktis atau yang bersifat ilmiyah.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata: “Sesungguhnya orang yang mentakwil yang bermaksud untuk mengikuti Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidak kafir, bahkan tidak menjadi fasik jika dia telah berijtihad namun salah pada ijtihadnya”. Hal ini sudah tidak asing lagi pada masalah-masalah amaliyah (praktis). Adapun dalam masalah-masalah akidah, maka banyak orang yang mengkafirkan orang-orang yang telah melakukan kesalahan di dalamnya. Pendapat ini tidak diketahui dari salah seorang pun dari para sahabat dan para tabi’in bagi mereka kebaikan, dan juga tidak dari salah seorang pun dari para imam umat Islam. Akan tetapi asalnya dari pendapat para ahli bid’ah”. (Minhajus Sunnah: 5/239) 

2. Hal ini tidak berarti bahwa mereka tidak berhak mendapatkan had (hukuman) -sebagaimana Qudamah bin Mazh’un telah ditegakkan had atasnya karena telah mentakwil minum khamar-, juga tidak berarti bahwa mereka tidak berhak untuk di ta’zir (hukuman tambahan yang tidak tertulis) dan dicela, hanya saja keyakinannya tidak disifati dengan sesat atau kafir –sebagaimana yang akan dijelaskan rinciannya nantinya-, bahkan bisa jadi sampai pada memerangi mereka; karena tujuannya adalah menjauhkan masyarakat luas dari kebid’ahannya dan dalam rangka menjaga agama.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Hal inilah yang telah saya sebutkan dalam hal seorang muslim yang telah meninggalkan kewajiban atau telah melakukan yang diharamkan dengan mentakwil karena ijtihad atau karena taklid: Jelas bagi saya, kondisinya lebih baik dari pada seorang kafir yang melakukan takwil, hal ini tidak menghalangi untuk memerangi pelaku keji yang  melakukan takwil, mencambuk peminum khomr yang melakukan takwil, dan lain sebagainya; karena secara umum takwil tidak bisa menghapus sangsi dunia; karena tujuan dari hukuman adalah menghalau bahaya kerusakan.” (Majmu’ Fatawa: 22/14) 

Beliau –rahimahullah- juga telah berkata: 

“Adapun seseorang yang menimbulkan bahaya, maka bahaya tersebut dihalau dengan tetap memberikan hukuman kepadanya, meskipun dia seorang muslim yang fasik, atau pelaku maksiat, atau seorang yang adil, mujtahid dengan ijtihad yang salah. Bahkan kalau misalnya dia seorang yang shaleh atau seorang alim, baik dia dalam keadaan koperatif atau menolaknya, termasuk seseorang yang mengajak kepada bid’ah yang membahayakan banyak orang pada agama mereka juga akan dihukum, meskipun bisa jadi dia dimaafkan pada saat yang sama karena telah melakukan ijtihad atau karena taklid”. (Majmu’ Fatawa: 10/375) 

3.Tidak semua takwil diakomodasi oleh syari’at, maka tidak ada takwil pada dua kalimat syahadat dan keesaan Allah –Ta’ala-, ketetapan risalah Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, hari kebangkitan, surga dan neraka. Penyebutan hal ini sebagai takwil sejak awal adalah tidak bisa diterima, bahkan termasuk kebatinan dan zindiq yang akan membatalkan agama.

Abu Hamid Al Ghazali –rahimahullah- berkata: 

“Kita harus sadar pada kaidah lainnya, yaitu; bahwa orang yang menyimpang itu bisa jadi dia telah menyalahi nash yang mutawatir, dan mengklaim bahwa dia telah melakukan takwil, akan tetapi hasil takwilnya itu tidak bisa diterima oleh lisan, baik dilihat dari dekat maupun jauh. Itulah kekufuran, pelakunya termasuk pendusta meskipun dia mengklaim bahwa dia seorang pentakwil. 

Sebagai contoh: Saya saksikan sebagian pendapat aliran kebatinan bahwa Allah –ta’ala- adalah Esa artinya bahwa Dia memberikan keesaan dan menciptakannya, Maha Mengetahui artinya bahwa Dia memberikan ilmu kepada selain-Nya dan menciptakannya, Maha Ada artinya Dia telah menjadikan selain-Nya ada.  Adapun bahwa Dia adalah Esa pada Dzat-Nya, Maha Ada, Maha Mengetahui sesuai dengan makna sifat-Nya, maka hal itu tidak benar, ini bentuk kekafiran yang nyata; karena membawa keesaan pada menciptakan keesaan bukanlah termasuk takwil sama sekali dan tidak bisa diterima oleh bahasa Arab, maka contoh yang serupa dengan itu adalah bentuk kedustaan yang diungkapkan dengan takwil”. (Faishalut Tafriqah: 66-67) 

Ibnul Wazir –rahimahullah- berkata: 

“Demikian juga tidak ada perbedaan akan kekafiran orang yang mengingkari hal yang dengan mudah dapat diketahui oleh semua orang, dia berlindung di balik ilmu takwil pada sesuatu yang tidak mungkin ditakwil, seperti kekufuran dalam hal mentakwil semua asmaul husna, bahkan semua isi al Qur’an, syari’at dan kejadian pada kehidupan akhirat kelak dari mulai hari kebangkitan, kiamat, surga dan neraka”. (Itarul Haq ‘alal Kholq: 377)

4. Takwil yang masih diperbolehkan adalah yang tidak membatalkan agama, bisa diterima oleh bahasa Arab, dan pelaku takwil tersebut dengan sengaja mengatakannya untuk mencapai kebenaran, diucapkan berdasarkan kaidah-kaidah ilmu, mereka itulah yang bisa dimaafkan jika mereka melakukan takwil. Alasan seperti itulah yang telah disebutkan oleh para ulama dalam hal penyebab adanya perbedaan pendapat pada masalah-masalah amaliyah (terapan).

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Demikianlah, pendapat yang menyebabkan pelakunya menjadi kafir, bisa jadi seseorang belum sampai kepadanya nash-nash yang mewajibkannya untuk mengenali kebenaran, bisa jadi dia telah mengetahui namun tidak menganggapnya shahih, atau belum mampu untuk memahami kebenaranya, dan bisa jadi juga dia masih menganggap ada syubhat yang Allah telah memaafkannya. Maka, barangsiapa di antara orang-orang mukmin melakukan ijtihad guna mencari kebenaran namun salah, Allah akan mengampuni kesalahannya dalam masalah apapun, baik dalam masalah teori maupun praktis, inilah yang telah dilakukan oleh para sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan jumhur ulama Islam.” (Majmu’ Fatawa: 23/346) 

Al Hafidz Ibnu Hajar –rahimahullah- berkata: 

“Para ulama berkata: Setiap orang yang mentakwil, maka hasil takwilnya dimaafkan, tidak berdosa jika takwilnya bisa diterima oleh bahasa Arab, dia juga mempunyai bekal ilmu yang cukup”. (Fathul Baari: 12/304)
 

5.Ada beberapa hadits shahih yang menunjukkan bahwa orang yang melakukan takwil dalam masalah keyakinan tidak menjadikannya kafir, jika takwilnya tidak membatalkan agama, di antara hadits-hadits tersebut adalah sabda Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam-:

افْتَرَقَتْ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ ، وَافْتَرَقَتْ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ ، وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِي عَلَى ثَلاثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُونَ فِي النَّارِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللَّهِ مَنْ هُمْ قَالَ الْجَمَاعَةُ (رواه ابن ماجه، رقم 3992 وصححه الألباني)

            “Orang-orang Yahudi telah terpecah menjadi 71 firqah (kelompok), satu firqah berada di surga dan 70 lainnya di neraka, orang-orang Nasrani terpecah menjadi 72 firqh, 71 firqah berada di neraka dan satu lainnya di surga. Demi jiwa Muhammad yang ada ada genggaman-Nya, umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok, satu kelompok berada di surga dan 72 kelompok di neraka”. Dikatakan kepada beliau: “Siapa mereka wahai Rasululllah ?”. Beliau menjawab: “Al Jama’ah (yang senatiasa berjama’ah)”. (HR. Ibnu Majah: 3992 dan dishahihkan oleh Albani) 

Abu Salman Al Khathabi –rahimahullah- berkata: 

“Sabda Nabi (Umatku akan terpecah menjadi 73 kelompok) bahwa hal ini menunjukkan semua firqah yang tidak sampai keluar dari agama; karena Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih tetap menjadikan mereka termasuk dalam umat beliau, berkaitan dengan ini pula bahwa seseorang yang melakukan takwil tidak keluar dari agama jika dia telah melakukan kesalahan pada takwilnya”. (Ma’alim Sunan / Al Khitabi: 4/295 dan baca juga As Sunan Kubro / Al Baihaqi: 10/208) 

Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata: 

“Demikian juga yang masuk ke dalam 72 kelompok tersebut, barangsiapa di antara mereka ada yang munafik, maka dia telah menjadi kafir pada batinnya, dan barang siapa yang tidak sebagai orang munafik, bahkan dia beriman kepada Allah dan Rasul-Nya di dalam batinnya, maka ia bukan orang yang kafir pada batinnya, meskipun ia telah melakukan kesalahan pada takwilnya, bagaimanapun kesalahannya tersebut.

Dan barangsiapa yang berkata bahwa 72 firqah masing-masing dari mereka sebagai orang kafir dengan kekafiran yang mengeluarkannya dari agama, maka dia telah menyimpang al Qur’an dan Sunnah dan ijmak (konsensus) para sahabat –radhiyallahu ‘anhum ajma’in-, bahkan termasuk juga telah menyelisihi ijma’nya para imam empat dan yang lainnya, tidak ada di antara mereka yang telah mengkafirkan salah satu dari ke-72 firqah tersebut, akan tetapi sebagian mereka telah mengkafirkan sebagian lainnya pada beberapa masalah”. (Majmu’ Fatawa: 7/218)

6. Barangsiapa di antara para ulama yang telah menghukumi ahli bid’ah –yang tidak sampai kafir- dengan kekafiran, maka yang dimaksud adalah kekufuran yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama.

Imam Baihaqi –rahimahullah- telah berkata: 

“Yang telah kami riwayatkan dari Imam Syafi’i dan dari para imam lainnya dengan mengkafirkan ahli bid’ah maka yang mereka inginkan adalah kekafiran yang bukan kekafiran (kekafiran yang tidak sampai mengeluarkannya dari agama)”. (Sunan Baihaqi Al-Kubro: 10/207) 

Imam Al Baghowi –rahimahullah- berkata: 

“Imam Syafi’i telah memperbolehkan kesaksian ahli bid’ah, menjadi makmum shalat di belakangnya, meskipun secara umum dianggap makruh. Pendapat beliau ini menjadi bukti bahwa jika secara umum sebagian mereka dianggap kafir pada kondisi tertentu, maksudnya adalah kekufuran di bawah kekufuran (tidak sampai mengeluarkannya dari agama), sebagaimana firman Allah –ta’ala-:

ومن لم يحكم بما أنزل الله فأولئك هم الكافرون (سورة المائدة: 44)

“Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir”. (QS. Al Maidah: 44)

(Syarhus Sunnah: 1/228) 

Boleh jadi yang dimaksud Imam Al-Baghawi dengan kekufuran adalah peringatan agar berhati-hati dalam masalah keyakinan.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata: 

“Terkadang dikutip dari salah satu ulama yang telah mengkafirkan seseorang karena ucapan tertentu, yang dimaksud kekafiran di sini adalah agar menjadi peringatan, dan tidak berarti bahwa ucapan kafir tersebut akan menjadikan siapapun yang mengatakannya menjadi kafir, baik karena ketidaktahuannya atau karena dia melakukan takwil; karena tetapnya kekufuran pada diri seseorang tertentu sebagaimana tetapnya ancaman di akherat kelak pada dirinya, hal itu sama harus ada syarat-syarat dan penghalang-penghalangnya”. (Minhajus Sunnah An Nabawiyah: 5/240)

7. Adapun perbedaan pendapat para ulama terhadap para pelaku bid’ah yang bisa menjadikannya kafir, bahwa mereka dianggap kafir atau tidak, kembali kepada rincian antara jenis dan dzatnya bid’ah tersebut. Mereka memastikan hukum meyakininya dengan kekafiran, akan tetapi mereka tidak menerapkannya kepada orang yang meyakininya kecuali setelah meneliti syarat-syarat dan tidak adanya penghalang dalam masalah tersebut.

Syeikh Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah- berkata:

“Akan tetapi maksudnya di sini adalah bahwa madzhab dari para imam bertumpu pada rincian tersebut antara jenis dan dzatnya. Oleh karenanya sebagian kelompok berbeda dalam masalah ini, mereka tidak memahami surutnya pendapat mereka. Sebagian mereka meriwayatkan dari Ahmad akan kekafiran ahli bid’ah secara umum ada dua riwayat, sehingga mereka berbeda pendapat akan kekafiran Murji’ah dan Syi’ah yang mengutamakan Ali. Kemungkinan mereka menganggapnya kafir dan kekal di dalam neraka, hal ini bukan pendapatnya Ahmad juga bukan pendapat para imam lainnya. Bahkan tidak ada perbedaan dalam madzhab beliau bahwa beliau tidak mengkafirkan Murji’ah yang mengatakan bahwa iman itu ucapan tanpa amal, dan beliau juga tidak mengkafirkan orang yang mengutamakan Ali dari pada Utsman, bahkan secara tekstual dengan jelas beliau menahan diri tidak mengkafirkan Khowarij, Qadariyah dan yang lainnya. Akan tetapi beliau mengkafirkan Jahmiyyah yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah; karena pendapat mereka tersebut bertentangan dengan apa yang dibawa oleh Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- dengan sangat jelas dan juga disebabkan bahwa pendapat mereka tersebut telah menta’thil (menafikan) Sang Pencipta. Beliau telah diuji dengan keberadaan mereka sehingga beliau mengetahui hakekat mereka yang bertumpu pada masalah ta’thil. Mengkafirkan Jahmiyyah sudah tidak asing lagi bagi ulama salaf dan para imam, akan tetapi tetap tidak megkafirkan perorangan mereka. Karena orang yang mengajak pada pendapat tersebut tentu lebih berat dari pada orang yang hanya berpendapat dengannya. Orang yang menghukum yang tidak sependapat dengannya lebih berat dari mereka yang hanya mengajak saja. Dan yang mengkafirkan yang tidak  sependapat dengannya lebih berat dari pada yang hanya menghukumnya. Bersamaan dengan itu, mereka yang tergolong sebagai waliul amr (penguasa) berpendapat dengan pendapatnya Jahmiyyah: “Bahwa Al Qur’an adalah makhluk, bahwa Allah di akherat tidak terlihat dan lain sebagainya. Mereka mengajak masyarakat untuk meyakini hal itu, menguji mereka, menyiksa mereka jika tidak mengiyakan pendapat mereka, mengkafirkan semua yang tidak sependapat dengan mereka, bahkan jika mereka sampai menahan tawanan mereka tidak melepaskannya sampai menyetujui pendapat Jahmiyyah bahwa al Qur’an adalah makhluk dan lain sebagainya. Bersamaan dengan itu imam Ahmad –rahimahullah- mengucapkan mereka yang meninggal dunia sebagai almarhum (yang dikasihi), memintakan ampun bagi mereka, karena dengan beliau mengetahui bahwa mereka tidak dengan jelas mendustakan Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam- juga tidak mengingkari apa yang dibawa oleh beliau, akan tetapi mereka telah mentakwil maka mereka menjadi salah dan bertaklid kepada orang yang mengucapkan hal itu.

Demikian pula imam Syafi’i pada saat beliau berkata kepada Hafsh secara personal yang berkata bahwa Al Qur’an adalah makhluk: “Engkau telah kafir kepada Allah Yang Maha Agung”, beliau telah menjelaskan bahwa ucapan tersebut adalah bentuk kekafiran, dan tidak menghukumi bahwa Hafsh langsung menjadi murtad karena ucapan tersebut; karena belum ditegakkan hujjah kepadanya dengan ucapan menjadikan kafir karenanya, kalau seandainya beliau meyakininya sebagai orang murtad, maka beliau akan berusaha untuk membunuhnya, beliau juga telah berterus terang di dalam bukunya dengan menerima persaksian mereka pengikut hawa nafsu dan shalat di belakang mereka”. (Majmu’ Fatawa: 23/348-349)

8. Adapun berkaitan dengan Asy’ariyyah secara khusus, maka tidak diragukan lagi bahwa mereka mempunyai beberapa syubhat pada kayakinan mereka yang menyelisihi keyakinan ulama salaf, mereka mempunyai beberapa ulama yang menjadi tokoh, rujukan dan bertaklid kepada mereka, mereka semua tidak berada pada satu tingkat dalam keyakinan, akan tetapi mereka madrasah dan manhaj (masing-masing), yang paling dekat dengan tiga generasi terbaik maka merekalah yang lebih dekat dengan kebenaran, dan dengan menerapkan rincian yang telah kami sebutkan sebelumnya kepada Asy’ariyyah bisa diketahui bahwa barang siapa yang mengatakan pada diri mereka ada sedikit kekafiran, maka maksudnya adalah apa yang terjadi pada keyakinan mereka dari masalah-masalah kekafiran, tidak berarti menghukumi kafir kepada perorangan dari mereka, atau dengan cara mengucapkannya secara umum, dan yang dimaksud adalah kekafiran di bawah kekafiran, tidak termasuk kelompok yang keluar dari Islam, tidak juga perorangan mereka telah keluar dari Islam, akan tetapi mereka termasuk yang bisa dimaafkan dengan takwil pada pengakuan mereka dalam beberapa masalah dan akidah.

Syeikh Al Utsaimin –rahimahullah- berkata:

“Saya tidak mengetahui seorang pun yang telah mengkafirkan Asy’ariyyah”. (Tsamaratut Tadwiin: masalah no: 9 karya DR. Ahmad bin Abdurrahman Al Qadhi)

9. Memungkinkan bagi kita untuk merangkum hukum syar’i dari firqah-firqah yang berbuat bid’ah dengan ucapan Syeikh Abdurrahman as Sa’di –rahimahullah- dengan ucapan ilmiyah yang kuat:

“Maka barang siapa yang mengingkari apa yang dibawa oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- atau mengingkari sebagiannya tanpa mentakwil dari para ahli bid’ah maka dia adalah kafir; karena dia telah mendustakan Allah dan Rasul-Nya, bertakabur (tidak menerima) kebenaran dan membantahnya.

a. Setiap pelaku bid’ah dari golongan Jahmiyyah, Qadariyyah, Khawarij, dan lain sebagainya, telah diketahui bahwa bid’ahnya bertentangan dengan al Qur’an dan sunnah, kemudian mereka bersikukuh pada sikapnya dan membelanya, maka dia telah berubah menjadi kafir kepada Allah Yang Maha Agung, menentang Allah dan Rasul-Nya setelah mereka mendapatkan petunjuk.

b. Barang siapa yang termasuk ahli bid’ah yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dengan lahir batin, mengagungkan Allah dan Rasul-Nya, beriltizam (berkomitmen) dengan apa yang dibawa oleh Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, akan tetapi dia telah menyelisihi kebenaran dan telah melakukan kesalahan pada beberapa makalah, dia telah melakukan kesalahan dalam takwilnya namun tidak sampai pada kekafiran dan mengingkari petunjuk yang sudah menjadi jelas baginya, maka orang tersebut tidak termasuk kafir, akan tetapi sebagai orang fasik dan pelaku bid’ah, atau sebagai pelaku bid’ah yang sesat, atau dimaafkan karena makalahnya yang tersembunyi, dank arena kuatnya ijtihadnya dalam mencari kebenaran yang belum diraihnya.

Oleh karenanya orang-orang Khowarij, Mu’tazilah, Qadariyah dan yang serupa dengan mereka dari para pelaku bid’ah ada beberapa macam:

a.Di antara mereka ada yang sudah pasti kafir, seperti; mereka yang guluw (berlebihan) dari kalangan Jahmiyah yang telah menafikan Asma’ dan Sifat Allah, bid’ah mereka telah dikenal menyimpang dari ajaran Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, dan mereka mendustakan Rasulullah dengan sengaja.

b.Di antara mereka ada yang menjadi pelaku bid’ah sesat sebagai orang fasik, seperti; orang-orang Khowarij yang melakukan takwil, dan mu’tazilah yang tidak mendustakan Rasul, akan tetapi mereka telah sesat dengan bid’ah mereka, mereka mengira bahwa keyakinan mereka adalah al haq, oleh karenanya para sahabat –radhiyallahu ‘anhum- telah bersepakat akan bid’ahnya Khawarij dan kekufuran mereka, sebagaimana telah diriwayatkan dalam beberapa hadits shahih tentang mereka, mereka juga bersepakat bahwa mereka tidak keluar dari Islam padahal mereka telah menghalalkan darah umat Islam, mengingkari pelaku dosa besar menerima syafa’at dan mengingkari banyak hal dari dasar-dasar agama, akan tetapi karena takwil merekalah yang  menghalangi mereka dikafirkan.

c.Di antara pelaku bid’ah ada yang berada di bawah kedua kelompok di atas, seperti kebanyakan kelompok qadariyah, Kilabiyah dan Asy’ariyyah, mereka semua pelaku bid’ah, sesat dalam masalah mendasar mereka menyelisihi al Qur’an dan Sunnah, hal ini sudah bisa diketahui dan dikenal, mereka dalam bid’ah mereka ada beberapa tingkatan dari sisi dekat dan jauhnya mereka dari kebenaran, dan dari sisi sikap berlebihan mereka kepada pelaku kebenaran dengan mengkafirkan, menganggap mereka fasik dan membid’ahkan mereka, dan dari sisi kemampuan mereka untuk sampai pada kebenaran dan ijtihad mereka di dalamnya dan lawan katanya, rincian penjelasan dalam masalah ini sangat panjang”. (Taudhihul Kafiyah Syafiyah: 156-158)

Kami berharap dengan apa yang telah kami sebutkan sebelumnya menjadi jelas bagi anda, kami mohon kepada Allah bagi anda dan kita semua petunjuk-Nya agar memberikan ilmu yang bermanfaat dan amal shalih.

Wallahu A’lam.

< PREVIOUS NEXT >