Kenapa seseorang diharuskan mencintai Allah Ta’ala? Saya tahu bahwa kita diharuskan mencintai Allah Subhanahu akan tetapi (bagaimana) saya dapat menambah kecintaan ini begitu juga dengan mencintai agamaku?
Alhamdulillah.
Pertama,
Sesungguhnya pertanyaan anda dengan redaksi seperti itu, sangat aneh sekali. Bukan aneh kita mencintai Allah, tidak juga mencintai melebihi dari diri kita. Akan tetapi yang aneh adalah seseorang mempercayai bahwa dia punya Tuhan Pencipta kemudian dia tidak mencintai-Nya, tidak mengedepankan cinta-Nya daripada cinta pada diri, anak, orang tua dan seluruh manusia.
Semua keindahan disenangai, karena itu orang-orang pada senang. Maka hanya dari Allah saja. Allah Jalla Jalaluhu Maha Indah, dan Dia mempunyai keindahan yang layak untuk dirinya di tempat tertinggi.
Setiap ketinggian disenangi, karena itu orang-orang pada senang. Maka Allah Maha Besar dari semua yang besar dan paling Tinggi dari semua yang agung.
Dan semua kesempurnaan, orang-orang pada senang. Maka milik Allah Ta’ala kesempurnaan yang maha tinggi dan tempat tertinggi.
Setiap kebaikan dan keutamaan, orang-orang ihsan menyenanginya. Dari pemberian dan ihsan-Nya, bagaimana tidak disenangi Tuhan dalam masalah ini, dan Dialah Tuhan di tempat seperti.
Ibnu Qoyyim rahimahullah berkata: ‘Ketahuilah, bahwa macam kecintaan yang paling bermanfaat secara mutlak, yang lebih ditekankan, paling tinggi dan paling mulia adalah kecintaan yang hatinya diberikan untuk mencintai-Nya. Dan diberi fitrah penciptaannya untuk penyembahan. Dengannya bumi dan langit ditegakkan. Dengannya para makhluk diberi fitrah dan ini adalah rahasia Syahdah (persaksian) tiada Tuhan melainkan Allah. karena Tuhan adalah yang disembah oleh hati dengan kecintaan, ketinggian, keagungan, kehinaan, merendahkan diri serta beribadah. Dan ibadah tidak layak melainkan untuk-Nya saja. Dan ibadah adalah kesempurnaan cinta disertai dengan kesempurnaan merendah dan hina. Sementara kesyirikan dalam ubudiyah ini termasuk bentuk kedholiman terbesar yang Allah tidak akan mengampuninya. Allah Ta’ala mencintai untuk Dzat-Nya dari semua sisi, sementara lainnya hanyalah mengikuti dari kecintaan kepada-Nya.
Telah ada yang menunjukkan kewajiban kecintaat kepada-Nya Subhana semua kitab yang diturunkan, dan dakwah para rasul, serta fitrah yang (Allah) berikan fitrah kepada para hamba-Nya. Dan apa yang dipasang di akal, serta semua kenikmatan yang diberikan. Maka hati secara fitrah mencintai kepada yang memberi nikmat kepadanya, berbuat baik kepadanya. Bagaimana lagi bagi orang yang telah berbuat baik darinya? Apa saja dari kenikmatan yang ada pada makhluk, maka itu semua dari-Nya saja tidak ada sekutu bagi-Nya. Sebagaimana firman Allah Ta’ala:
( وَمَا بِكُمْ مِنْ نِعْمَةٍ فَمِنَ اللَّهِ ثُمَّ إِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَإِلَيْهِ تَجْأَرُونَ ) [ سُورَةُ النَّحْلِ : 53 )
“Dan apa saja nikmat yang ada pada kamu, maka dari Allah-lah (datangnya), dan bila kamu ditimpa oleh kemudharatan, maka hanya kepada-Nya-lah kamu meminta pertolongan.’ SQ. An-Nahl: 53.
Dan apa yang dikenal para hamba-Nya dari nama-nama-Nya nan Indah dan sifat yang tinggi, serta apa yang menunjukkan dampak dari penciptaan-Nya adalah kesempurnaan dan akhir dari ketinggian dan keagungan-Nya. Kecintaan dengannya ada dua faktor, keindahan dan ijmal (berbuat baik dan memberi kenikmatan). Dan Tuhan Ta’ala mempunyai kesempurnaan mutlak akan hal itu. karena Dia adalah Maha Indah senang terhadap keindahan. Bahkan semua keindahan adalah milik-Nya. Dan kebaikan semuanya adalah dari-Nya. Maka tidak berhak selain Dia untuk dicintainya dari segala sisi.
Sungguh orang yang menyamakan antara Dia dengan lainnya dalam mahabbah (kecintaan) telah mengingkarinya. Dan (Allah) telah memberitahukan bahwa orang yang melakukan seperti itu telah menjadikan selain Dia sebagai tandingan, mereka mencintai seperti kecintaan kepada Allah, Allah berfirman:
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ ) [ سُورَةُ الْبَقَرَةِ : 165 )
“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” SQ. Al-Baqarah: 165.
(Allah) memberitahukan kepada orang yang menyamakan antara Dia dengan tandingan dalam kecintaan, bahwa mereka akan mengatakan ketika di neraka kepada sesembahannya, ‘"Demi Allah: sungguh kita dahulu (di dunia) dalam kesesatan yang nyata, karena kita mempersamakan kamu dengan Tuhan semesta alam." SQ. As-Syuara’: 97-98.
Dengan Tauhid (penuh dengan) kecintaan, maka Allah Subhana mengutus semua Rasul-Nya, menurunkan semua kitab-Nya dan mencakup semua utusan-Nya dari awal sampai terakhir. Karena (kecintaan) diciptakan langit, bumi, surga dan neraka. Menjadikan surga untuk penghuninya dan neraka untuk orang-orang musyrik di dalamnya.
Sungguh Nabi sallallahu’alaihi wa sallam telah bersumpah bahwa, ‘Tidak sempurna keimanan seorang hamba sampai Dia (Allah) lebih dicintai dari anak, orang tua, dan seluruh manusia. Bagaimana dengan kecintaan Tuhan Jalla Jalaluhu?
Kalau Nabi sallallahu’alaihi wa sallam lebih utama dari kita dan diri kita dalam kecintaan serta kelazimannya. Bukankah Tuhan Jalla Jalaluhu, maha suci Nama-Nya lebih utama untuk dicintai-Nya, dan beribadah kepada-Nya dari diri mereka. Dan semua hal dari-Nya untuk hamba-Nya yang beriman mengajak kepada kecintaan-Nya. Dari apa yang dicintai dan dibenci seorang hamba, pemberian dan pelarangan-Nya, kesehatan dan cobaan-Nya, digenggam dan dilapangkan, keadilan dan keutamaan, mematikan dan menghidupkan, kasih sayang dan kebaikan, rahmat dan kebaikan, ditutupi dan pengampunan-Nya, kasih sayang dan sabarnya kepada hamba-Nya, mengabulkan doanya, menghilangkan kesusahan, membantu yang membutuhkan, melepaskan kesulitan tanpa minta imbalan darinya, bahkan tanpa membutuhkan sama sekali dari seluruh sisi. Semuanya itu mengajak hati untuk menuhankan dan mencintainya. Bahkan memberikan kesempatan hamba melakukan kemaksiatan kepadanya serta membantu atasnya serta menutupinya sampai selesai keinginannya, menjaganya sampai selesai keinginan berbuat kemaksiatannya, dibantunya dengan kenikamatan. Merupakan faktor terkuat untuk mencintai-Nya. Kalau sekiranya seorang makhluk melakukan sedikit saja hal itu kepada makhluk lainnya, maka hatinya tidak dapat menguasi untuk mencintainya. Bagaimana mungkin seorang hamba tidak mencintai dengan sepenuh hati dan jiwa raganya kepada orang yang berbuat baik kepadanya secara berkesinambungan sebanyak hembusan nafas. Dengan melakukan kejelekan kepada-Nya. Kebaikannya turun, kejelekannya naik, mencoba mencintai dengan kenikmatannya sementara Dia tidak membutuhkan, seorang hamba marah kepadanya dengan melakukan kemaksiatan, sementara dia sangat membutukan kepadanya. Maka kebaikan, bakti serta kenikmatannya tetap diberikan kepadanya, tidak mengahalangi dengan kemaksiatannya. Begitu juga kemaksiatan dan kejelekan seorang hamba tidak memutuskan kebaikan Tuhannya kepadanya.
Yang jadi celaan, hatinya tidak mencintai dari urusan ini, sementara kecintaannya tergantung dengan lainnya.
Begitu juga, setiap orang yang anda cintai dari makhluk, atau mencintai anda. Sesungguhnya dia menginginkan anda untuk dirinya, dan menawarkan kepada anda. Sementara Allah subhana Wata’ala menginginkan anda untuk anda. Sebagaimana dalam atsar ilahi, ‘Hamba-Ku semuanya menginginkan anda untuk dirinya. dan Saya menginginkan anda untuk anda’. Bagaimana seorang hamba tidak malu bahwa Tuhannya dengan posisi seperti ini. Sementara dia berpaling dari-Nya, sibuk dengan mencintai lainnya, tenggelam hatinya dengan kecintaan lainnya.
Begitu juga, setiap orang yang berinteraksi dari makhluk, kalau dia tidak untung, maka dia tidak akan berinteraksi dengan anda. Harus ada salah satu bentuk keuntungan. Sementara Tuhan Ta’ala sesungguhnya, berinteraksi dengan anda, agar keuntungan untuk anda dengan sebanyak dan setinggi keuntungan. Satu dirham dilipatkan sepuluh kali sampai tujuh ratus kali sampai berlipat-lipat. Sementara kejelekan satu, amat cepat sekali terhapuskan.
Begitu juga Dia Subhanahu menciptakan anda untuk dirinya, menciptakan segala sesuatu untuk anda di dunia dan akhirat. Maka siapakah yang lebih utama dicurahkan untuk kecintaan dan mencurahkan semangat dalam (menggapai) keredhoan-Nya?
Begitu juga keinginan anda bahkan keinginan semua makhluk –kepada-Nya- dan Dia paling dermawan, paling mulia. Memberikan kepada hamba-Nya sebelum dia memintanya melebihi dari harapannya, mensyukuri sedikit amalannya dan akan menambahkan. Memaafkan banyak kesalahan dan menghapuskan.
يَسْأَلُهُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ كُلَّ يَوْمٍ هُوَ فِي شَأْنٍ. الرحمن :29
“Semua yang ada di langit dan bumi selalu meminta kepadaNya. Setiap waktu Dia dalam kesibukan.” SQ. Ar-Rahman: 29.
Tidak tersibukkan pendengaran dari pendengaran (hamba), tidak salah dari banyaknya permintaan. Tidak sumpek rengekan orang yang meminta, bahkan senang dengan orang yang bersungguh-sungguh dalam berdoa. Senang diminta, marah kalau tidak meminta. Malu kepada hamba-Nya dimana seorang hamba tidak malu kepada-Nya. Menutupi dimana dia tidak menutupi dirinya. menyayangi dimana Dia tidak menyayangi dirinya. Dipanggil dengan kenikmatan dan kebaikannya menuju kemulyaan dan keredhoan-Nya tapi menolaknya. Mengutus utusan-Nya ketika memintanya, diutus bersamanya janjinya. Kemudian Allah subhanahu turun sendiri dan berfirman, ‘Barangsiapa yang meminta kepada-Ku, maka akan Saya beri. Dan barangsiapa yang memohon ampunan, maka Saya ampuni?
Bagaiamana tidak dicintai sementara hati, kebaikan tidak datang kecuali dari-Nya. Tidak menghilangkan kejelekan kecuali Dia, tidak mengabulkan doa, mengalihkan kesalahan, memaafkan dosa-dosa, menutupi aurat, menghilangkan kesusahan, menolong yang membutuhkan, sementara ingin mendapatkan keinginan selain dari-Nya? ‘selesai dari kitab Ad-Da’ Wa Ad-Dawa’, 534-538.
Kalau sekiranya dibuka penutup kasih sayang Allah Ta’ala, kebaikan, perbuatan kepada hamba-Nya dari yang diketahui dan tidak diketahui, maka hati meleleh dengan kecintaan dan kerinduan kepada-Nya. Akan tetapi hati ditutup untuk melihat itu semua. Tenggelam ke alam syahwat, bergantung dengan sebab-sebab. Maka menutup kesempurnaan kenikmatannya. Dan itu ketentuan (Allah) Yang Maha Bijak dan Maha Mengetahui. Kalau tidak, hati mana yang meleleh menikmati manisnya pengetahuan kepada Allah dan kecintaan kepada-Nya. Kemudian memberikan (kecintaan) kepada yang lainnya, dan merasa tenang dengan yang lain. Dan ini tidak akan mungkin selamanya.’ ‘Toriq Al-Hijrotain, hal. 281.
Kedua,
Allah telah menjelaskan kepada hamba-Nya jalan menuju kepada kecintaan-Nya Subhanahu, dengan berfirman:
( قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ ) آل عمران / 31-32.
“Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu." Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir." SQ. Ali Imron: 31-32.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, ‘" ( قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ ) yakni kamu akan mendapatkan diatas apa yang kamu minta dari kecintaan kamu kepada-Nya. Yaitu kecintaan Dia kepada kamu semua. Dan ini lebih agung daripada yang pertama. Sebagaimana perkataan sebagian ahli hikmah dan ulama’, ‘Urusan bukan mencintai, akan tetapi urusannya adalah dicintai.’ Hasan al-Basri dan ulama’ salaf lainnya mengatakan, ‘Suatu kaum menyangka mereka mencintai Allah, maka Allah uji mereka dengan ayat ini.
( فَإِنْ تَوَلَّوْا ) yakni menyalahi perintah-Nya, ( فَإِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ ). Hal itu menunjukkan menyalahi jalan-Nya itu kufur. Dan Allah tidak menyukai orang yang mempunyai sifat seperti itu. meskipun dia mendakwakan dan menyangka dirinya mencintai karena Allah dan mendekatkan kepada-Nya. Sampai dia harus mengikuti Rasul Nabi Ummi (buta aksara) penutup seluruh Rasul dan utusan Allah untuk seluruh makhluk jin dan manusia.’ Selesai ‘Tafsir Ibnu Katsir, 2/32.
As-Sa’dy rahimahullah berkata dalam mentafsirkan ayat ini, ‘Ayat ini di dalamnya ada kewajiban mencintai Allah. Begitu juga tanda, hasil dan buahnya. Maka Allah berfirman, ‘قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ ‘ yakni dakwaan anda semua dengan tempat yang tinggi, dimana tingkatan yang diatasnya tidak ada lagi tingkatan. Maka tidak cukup dengan hanya dakwaan, akan tetapi harus dibuktikan. Dan tanda kejujurannya adalah mengikuti Rasul-Nya sallallahu’alaihi wa sallam pada semua kondisi, ucapan dan perbuatannya. Pada pokok dan cabang agama, yang nampak maupun yang tersembunyi. Barangsiapa yang mengikuti Rasul, hal itu menunjukkan kejujuran dakwaannya mencintai Allah Ta’ala. Allah mencintai dan memaafkan dosanya. Mengasihi dan menguatkan semua gerakan dan diamnya. Barangsiapa yang tidak mengikuti Rasul, maka tidak mencintai Allah Ta’ala. Karena kecintaan kepada Allah, mengharuskan mengikuti Rasul-Nya. Barangsiapa yang tidak ada hal itu, menunjukkan ketiadaan (kecintaan) bahwa dia itu pembohong kalau sekiranya dia menyangka (mencintai Allah). meskipun kalau sekiranya ditakdirkan ada (kecintaan itu), maka tidak bermanfaat kalau tanpa ada syaratnya. Dengan ayat ini, semua makhluk ditimbang, sejauh mana bagian dia mengikuti Rasul, maka keimanan dan kecintaan untuk Allah (seperti itu juga). Dan kalau berkurang, maka berkurang juga.’ Selesai ‘tafsir As-Sa’dy, hal. 128.
و فد روي البخاري (6502) عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : ( إِنَّ اللَّهَ قَالَ : مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ ، وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا ، وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لأُعِيذَنَّهُ ) .
Diriwayatkan oleh Bukhori, 6502 dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu berkata, Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah berfirman, ‘Barangsiapa yang memusuhi kekasih-Ku (wali), maka saya telah izinkan untuk diperangi. Dan apa yang didekatkan oleh hamba-Ku yang lebih Saya senangi dengan apa yang Saya wajibkan kepadanya. Dan hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan (melakukan amalan-amalan) sunnah sampai Saya mencintainya. Kalau Saya telah mencintainya, maka Saya adalah kuping yang digunakan untuk mendengarkan. Dan mata yang digunakan untuk melihatnya. Tangan yang digunakan untuk memukulnya serta kaki yang digunakan untuk berjalan. Kalau dia meminta-Ku, (pasti) akan Saya beri. Kalau dia meminta perlindungan, (pasti) Aku lindungi.
Maka dalam hadits qudsi yang agung itu menjelaskan bahwa barangsiapa yang mencintai Allah, maka dia akan mendekatkan diri kepada-Nya dengan apa yang dicintai-Nya. Dari menunaikan kewajiban dan sunnah-sunnah. Maka hal itu seorang hamba akan mendapatkan kecintaan Allah Ta’ala.
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, ‘Dan Kecintaan Allah tumbuh dari mengenal-Nya. Dan kesempurnaan pengenalan-Nya didapatkan dengan mengenal nama, sifat dan pekerjaan-Nya yang mulia. Serta memikirkan penciptaan-Nya yang mana didalamnya ada kecanggihan, hikmah dan penuh keajaiban. Maka hal itu menunjukkan kesempurnaan, kekuasaan, hikmah, ilmu dan rahmat-Nya.
Terkadang tumbuh dari memperhatikan nikmat-nikmat. Dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu’anhuma dari Nabi sallallahu’alaihi wa sallam (marfu’an),
( أحبوا الله لما يغدوكم من نعمه ، وأحبوني لحب الله ) . خرجه الترمذي في بعض نسخ كتابه [ضعفه الألباني] .
“Cintailah Allah dikarenakan memberikan kepada kamu dari kenikmatan-kenikmatan-Nya. Dan cintailah aku karena kecintaan kepada Allah.’ HR. Tirmizi dalam sebagian naskah kitabnya, dan dilemahkan oleh Al-Albany.
Sebagian ulama’ salaf berkata, ‘Barangsiapa yang mengenal Allah, maka dia akan mencintai-Nya. Dan barangsiapa yang mencintainya, maka dia akan mentaati. Karena kecintaan itu mengandung ketaatan. Sebagaimana ungkapan sebagian ahli makrifah, ‘Sesuai dalam segala kondisi.’
Kecintaan kepada Allah itu ada dua derajat,
Salah satunya fardu (wajib) yaitu kecintaan yang terkandung melakukan perintah wajib dan meninggalkan dari larangan yang diharamkan. Sabar terhadap takdir yang menyakitkan. Batasan ini merupakan suatu keharusan dalam mencintai Allah. barangsiapa yang kecintaannya bukan dalam taraf ini, maka dia pembohong mendakwakan kecintaan kepada Allah. sebagaimana perkataan ahli makrifah, ‘Barangsiapa yang mengaku cinta kepada Allah sementara tidak menjaga batasan-batasan-Nya, maka dia pembohong. Barangsiapa yang jatuh melakukan sesuatu yang diharamkan atau kurang dalam melaksanakan kewajiban, maka kecintaan kepada Allah berkurang. Dimana dia lebih mengedepankan kecintaan kepada diri dan hawa nafsunya dibandingkan kecintaan kepada Allah. Karena kecintaan kepada Allah, kalau sempurna. Akan menghalangi terjerumus dari sesuatu yang tidak disukainya. Sesungguhnya terjerumus dari apa yang tidak disukainya dikarenakan kurangnya kecintaan yang wajib dalam hati. Mengedepankan hawa nafsu dari pada kecintaan kepada-Nya. Oleh karena itu keimanannya berkurang. Sebagaiamana sabda Nabi sallallahu’alaihi wa sallam, ‘Tidaklah orang akan berzina ketika dia berzina sementara dia dalam kondisi beriman.’ Al-Hadits
Derajat kedua dari kecintaan, yaitu sunnah. Menaikkan kecintaan itu dengan mendekatkan diri melakukan ketaatan yang sunnah. Menahan dari (terjerumus) syubhat dan makruh yang kecil. Redho dengan qadho yang menyakitkan. Sebagaimana perkataan ‘Amir bin Abdul Qais, ‘Saya mencintai Allah dengan kecintaan yang meringankan diriku pada semua musibah. Saya redho dengan semua bencana, saya tidak perduli dengan kecintaanku dalam kondisi apa waktu pagi dan petangku.’
Umar bin Abdul Aziz berkata, ‘Saya waktu pagi hari tidak ada kesenangan kecuali pada ketentuan qada’ dan qadar. Ketika anaknya yang sholeh meninggal beliau berkata, ‘Sesungguhnya Allah menyukai untuk diambilnya. Dan saya berlindung dengan (nama) Allah saya mempunyai kecintaan yang menyalahi kecintaan kepada Allah. sebagian tabiin berkata dalam kondisi sakitnya, ‘Dia mencintai diriku, maka saya mencintai-Nya.’ Selesai dari ‘Fathul Bari, karangan Ibn uRajab, 1/46-48.
Wallahu’alam .