Beberapa Kesalahan Saat Menunaikan Ibadah Haji
Haji merupakan ibadah yang sangat mulia, yang akan
mendekatkan diri kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Oleh
karena itu, dalam melakukan haji, harus dikerjakan dengan
mencontoh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah
berfirman:
﴿
َ
م
ْ
و
َ
ْ
اْل
َ
و
وا اهللَ
ُ
ج
ْ
ر
َ
ي
َ
ن
َ
ن َك
َ
يم
ل
ٌ
ة
َ
ن
سَ
َ
ح
ٌ
ة
َ
و
ْ
س
ُ
ويل اهللي أ
ُ
س
َ
ييف ر
ْ
م
كُ
َ
ل
َ
ن
َ
َك
ْ
د
َ
ق
َّ
ل
َ
يطخر
َ
أل
ْ
ا
ا
ثيريً
َ
ك
اهللَ
َ
ر
َ
ك
َ
ذ
َ
و ﴾ ] األحزاب : 21]
"Sungguh telah ada pada Rasulullah suri tauladan yang terbaik
bagi orang yang mengharapkan Allah dan hari akhir dan bagi
orang yang banyak berdzikir kepada Allah". [Al Ahzab : 21].
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda pada waktu haji
wada':
َ )) يذهي
يِت ه
َّ
ج
َ
ح
َ
د
ْ
ع
َ
ب
َّ
ج
ُ
ح
َ
أ
َ
َل
ْ
ن
َ
أ
ي
ّل
َ
ع
َ
يي ل
ر
ْ
د
َ
أ
َ
ي َل
يّن
إ
َ
ف
ْ
م
كُ
َ
ء يسك
َ
ن
َ
وا م
ُ
ذ
ُ
طخ ((
]رواه أمحد[
"Ambillah manasik haji kalian, sesunguhnya aku tidak
mengetahui barangkali aku tidak akan mengerjakan haji lagi
setelah ini". [HR Ahmad].
Betapa banyak kaum Muslimin yang pergi menunaikan ibadah
haji, namun mereka tidak memahami hukum-hukumnya, dan
tidak mengetahui hal-hal yang bisa membatalkan ibadahnya,
4
atau yang bisa mengurangi kesempurnaan hajinya. Hal ini terjadi,
bisa jadi karena haji merupakan ibadah yang pelaksanaannya
membutuhkan waktu yang lama, serta hukum-hukumnya lebih
banyak jika dibandingkan dengan ibadah-ibadah lainnya.
Sehingga bisa menyebabkan seseorang yang melaksanakan haji
melakukan penyimpangan dan kesalahan. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyyah rahimahullah berkata: "Ilmu manasik haji adalah yang
paling rumit di dalam ibadah".
Sebagian jama'ah haji, mereka mengerjakan hal-hal yang tidak
ada asalnya dari Al Kitab dan As Sunnah. Hal ini disebabkan oleh
dua hal. Pertama, adanya orang-orang yang berfatwa tanpa ilmu.
Kedua, mereka taklid buta kepada pendapat seseorang tanpa
adanya alasan yang dibenarkan.
Dalam tulisan ini kami akan menjelaskan beberapa kesalahan
yang sering terjadi di kalangan jama'ah haji pada umumnya,
supaya kita mampu menghindarinya dan bisa memperingatkan
saudara-saudara kita agar tidak terjatuh dalam kesalahan ini.
1. KESALAHAN KETIKA IHRAM.
a. Sebagian jama'ah haji, ketika melewati miqat atau sejajar
dengannya di atas pesawat, mereka menunda ihram sehingga
turun di bandara Jeddah.
Dalam Al Bukhari dan Muslim, dan selainnya dari Ibnu Abbas, dia
berkata:
((
ي
ن
َ
م
َ
ْ
اْل
ي
ل
ْ
ه
َ
يأل
َ
ي يل و
ءز
َ
ن
َ
م
ْ
ال
َ
ن
ْ
ر
َ
ٍد ق
ْ
َ
ي َن
ل
ْ
ه
َ
يأل
َ
ةي و
َ
ف
ْ
ي
َ
ل
ُ
ْ
ا احل
َ
ةي ذ
َ
يدين
َ
م
ْ
ال
ي
ل
ْ
ه
َ
يأل
تَ
َّ
ق
َ
و
5
َ
ة
َ
ر
ْ
م
ُ
ع
ْ
ال
َ
و
َّ
ج
َ
ْ
احل
َ
اد
َ
ر
َ
أ
ْ
ن
َّ
يمم
ْ
يهيم
ْ
ري
َ
غ
ْ
يمن
َّ
ين
ه
ْ
ي
َ
ل
َ
ع
َ
َت
َ
آ ٍت أ
ي
ليك ُ
َ
و
َّ
ن
ُ
ه
َ
ل
َّ
ن
ُ
ه
َ
م
َ
ل
ْ
م
َ
ل
َ
ي ((
]متفق عليه[
"Nabi telah menentukan miqat untuk penduduk Madinah di Dzul
Hulaifah, dan untuk penduduk Syam di Al Juhfah, dan untuk
penduduk Najd di Qarnul Manazil, dan bagi penduduk Yaman di
Yalamlam. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Tempat-tempat itu untuk mereka dan untuk orang yang
melewatinya, meskipun bukan dari mereka (penduduk-penduduk
kota yang telah disebutkan), bagi orang yang ingin menunaikan
haji dan umrah".
Dari 'Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata:
ٍق ))
ْ
يعر
اتَ
َ
يق ذ
ا
َ
عير
ْ
ال
ي
ل
ْ
ه
َ
يأل
تَ
َّ
ق
َ
و
َ
م
َّ
ل
َ
س
َ
هي و
ْ
ي
َ
ل
َ
ع
اهلل َُّ
َّ
ّل
ي صَ
اهلل َّ
َ
ول
ُ
س
َ
ر
َّ
ن
َ
أ ((
]رواه أبو داود و النسءيئ[
"Sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menentukan
miqat untuk penduduk Irak di Dzatu 'Irq". [HR Abu Dawud dan
An Nasa-i].
Tempat-tempat tersebut adalah miqat-miqat yang telah
ditetapkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam sebagai
batasan syar'i. Maka tidaklah halal bagi seseorang yang ingin
menunaikan ibadah haji dan umrah untuk merubahnya atau
untuk melewatinya tanpa ihram.
Dalam Shahih Al Bukhari, dari Abdullah bin Umar, dia berkata:
Ketika dibuka dua kota ini, yakni Bashrah dan Kufah, mereka
datang kepada Umar, lalu berkata: “Wahai, Amirul Mukminin.
6
Sesungguhnya Nabi telah menetapkan miqat untuk penduduk
Najd di Qarnul Manazil, dan tempat itu menyimpang dari kita.
Apabila kita hendak pergi ke Qarnul Manazil, maka akan
memberatkan kita”. Umar berkata,”Lihatlah kepada tempat yang
sejajar dengannya (Qarnul Manazil, Pen) dari jalan kalian.”
Dalam atsar ini Umar bin Khaththab telah menentukan miqat
bagi orang yang tidak lewat di tempat tersebut, namun mereka
sejajar dengannya. Tidak ada bedanya orang yang melewati
miqat lewat udara ataupun lewat darat.
b. Keyakinan sebagian jama'ah haji atau umrah, bahwa yang
dimaksud ihram adalah sekedar mengenakan pakaian ihramnya
setelah mengganti dari pakaian biasa; padahal, ihram adalah niat
untuk masuk ke dalam ibadah umrah atau haji.
Yang benar, bahwa seseorang ketika mengenakan pakaian ihram,
hal ini adalah persiapan untuk ihram. Karena ihram yang
sebenarnya adalah niat untuk masuk ke dalam manasik. Hal
inilah yang belum diketahui oleh kebanyakan orang, mereka
mengira, hanya dengan mengenakan pakaian ihram, telah mulai
menjauhi larangan ihram, padahal larangan-larangan ihram
dijauhi ketika seseorang mulai niat masuk ke dalam manasik.
c. Ketika seorang wanita dalam keadaan haidh, dia tidak
melakukan ihram karena adanya keyakinan bahwa ihram harus
dalam keadaan suci, kemudian dia melewati miqat tersebut
tanpa ihram.
Hal ini merupakan kesalahan yang nyata, karena haidh tidak
menghalanginya untuk ihram. Seorang wanita yang haidh, ia
tetap melakukan ihram dan mengerjakan semua yang harus
dikerjakan oleh jama'ah haji, kecuali thawaf. Dia menunda
thawaf sehingga suci dari haidhnya.
7
Dari Aisyah Radhiyallahu 'anha, dia berkata: “Nabi telah masuk
ke tempatku, (dan) aku sedang menangis”. Beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam bertanya: “Apa yang membuatmu menangis?”
Aku menjawab: “Demi Allah, aku berkeinginan seandainya aku
tidak haji pada tahun ini”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam
bertanya: “Barangkali engkau sedang haidh?” Aku menjawab:
“Benar”. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
((
َ
َل
ْ
ن
َ
أ
َْ
ري
َ
غ
ُّ
ءج
َ
ْ
احل
ُ
ل
َ
ع
ْ
ف
َ
ء ي
َ
يّل م
َ
ع
ْ
ءف
َ
ف
َ
م
َ
ء يت آد
َ
ن
َ
ب
اهلل َُّ لَع ََ
ُ
ه
َ
ب
َ
ت
َ
ك
ٌ
ْ
لي يكَش َ
َ
ذ
َّ
ين
إ
َ
ف
يي
ر
ُ
ه
ْ
ا
َ
ت
ِت َّ
َ
يت ح
ْ
ي
َ
ْ
يءْل
يِف ب
و
ُ
ا
َ
ت (( ]رواه اْلخءري[
"Itu adalah sesuatu yang telah Allah tetapkan untuk wanita
keturunan Adam. Kerjakanlah semua yang dikerjakan oleh orang
yang haji, kecuali engkau jangan thawaf di Ka'bah, sehingga
engkau suci". [HR Al Bukhari].
d. Keyakinan sebagian jama'ah haji bahwa pakaian ihram bagi
kaum wanita harus memiliki warna tertentu, seperti warna hijau
atau warna lainnya.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz berkata: "Adapun sebagian orang
awam yang mengkhususkan pakaian ihram bagi wanita dengan
warna hijau atau hitam, dan tidak boleh dengan warna yang lain,
maka hal ini tidak ada asalnya”.[1]
e. Keyakinan bahwa pakaian ihram yang dipakai oleh jama'ah haji
tidak boleh diganti meskipun kotor.
Hal ini merupakan suatu kesalahan dari jama'ah haji. Sebenarnya
boleh untuk mengganti pakaian ihram mereka dengan yang
semisalnya, dan boleh juga untuk mengganti sandal. Tidak
8
menjauhi kecuali larangan-larangan ketika ihram, sedangkan hal
ini bukanlah termasuk larangan.
Berkata Syaikh Abdul Aziz bin Baz: "Tidak mengapa untuk
mencuci pakaian ihram dan tidak mengapa untuk menggantinya,
atau menggunakan pakaian yang baru, atau yang sudah
dicuci”.[2]
f. Talbiyah secara berjama'ah dengan satu suara.
Ibnu Al Haaj berkata : "Yakni, hendaknya mereka tidak
mengerjakannya dengan satu suara, karena hal ini termasuk
bid'ah, bahkan setiap orang bertalbiyah sendiri-sendiri tanpa
bertalbiyah dengan suara orang lain, dan hendaknya terdapat
ketenangan dan keheningan yang mengiringi talbiyah ini...".[3]
g. Ketika ihram, sebagian jama'ah membuka pundak-pundak
mereka seperti dalam keadaan idh-thiba' (Membuka pundak
sebelah kanan dan menutup sebelah kiri dengan kain ihram).
Idh-thiba' tidak disyari'atkan kecuali ketika thawaf qudum atau
thawaf umrah. Selain itu, tidak disyari'atkan dan pundak tetap
dalam keadaan tertutup dengan pakaian ihramnya.
Berkata Ibnu Abidin dalam Hasyiyah-nya: "Yang sunnah adalah
melakukan idh-thiba' sebelum thawaf hingga selesai, tidak ada
yang lain daripada itu".[4]
Berkata Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah : "Apabila telah
selesai dari thawaf, maka dia mengembalikan rida'nya (pakaian
atas dari ihramnya) seperti keadaan semula, karena idh-thiba'
dikerjakan ketika thawaf saja".[5]
h. Keyakinan bahwa shalat dua raka'at setelah ihram hukumnya
wajib.
9
Tidak ada dalil yang menunjukkan wajibnya shalat dua raka’at
setelah ihram. Bahwasanya, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam
ihram setelah melakukan shalat fardhu, maka dianjurkan ihram
setelah shalat fardhu.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :
"Disunnahkan untuk ihram setelah selesai shalat, baik fardhu
atau sunnah, jika dikerjakan pada waktu sunnah. (Demikian)
menurut satu di antara dua pendapat. Dan menurut pendapat
yang lain, jika dia shalat fardhu, maka dia ihram sesudahnya, dan
jika bukan waktu shalat fardhu, maka bagi ihram tidak ada shalat
yang mengkhususkannya. Dan ini adalah pendapat yang paling
kuat".[6]
2. KESALAHAN KETIKA THAWAF.
a. Memulai thawaf sebelum Hajar Aswad.
Hal ini termasuk perbuatan ghuluw dalam agama. Sebagian
orang mempunyai keyakinan agar lebih berhati-hati. Akan tetapi,
hal ini tidak bisa diterima, karena sikap hati-hati yang benar
adalah apabila kita mengikuti syari'at dan tidak mendahului Allah
dan RasulNya.
b. Sebagian jama'ah haji berpedoman dengan do'a-do'a khusus,
terkadang mereka dipimpin oleh seseorang untuk mentalkin,
kemudian mereka mengulang-ulanginya secara bersama-sama.
Hal ini tidak dibenarkan, karena dua hal. Pertama. Karena di
dalam thawaf tidak ada do'a khusus. Tidak pernah diriwayatkan
dari Nabi n bahwa di dalam thawaf terdapat do'a khusus. Kedua.
Bahwa do'a secara berjama'ah adalah perbuatan bid'ah.
10
Perbuatan ini mengganggu bagi orang lain yang juga sedang
thawaf. Yang disyari'atkan ialah, setiap orang berdo'a sendiri-
sendiri tanpa mengeraskan suaranya.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Didalam
hal ini –yakni thawaf-tidak ada dzikir yang khusus dari Nabi, baik
perintah atau ucapan. Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak
mengajarkan hal itu. Bahkan setiap orang berdo'a dengan do'a-
do'a yang masyru' (disyariatkan). Adapun yang disebut oleh
kebanyakan orang bahwa terdapat do'a tertentu di bawah Mizab
dan tempat lainnya, maka hal itu sama sekali tidak ada
asalnya”.[7]
c. Sebagian jama'ah haji mencium Rukun Yamani.
Hal ini merupakan kesalahan, karena Rukun Yamani hanya
disentuh dengan tangan saja, tidak dicium. Yang dicium hanyalah
Hajar Aswad, apabila kita mampu untuk menciumnya. Jika tidak
mampu, maka diusap. Jika tidak bisa (diusap) juga, maka kita
cukup dengan memberi isyarat dari jarak jauh.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah : "Adapun
Rukun Yamani, menurut pendapat yang shahih, dia tidak boleh
dicium". [8]
Berkata Ibnul Qayyim rahimahullah : "Telah shahih dari beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam menyentuh Rukun Yamani. Dan tidak ada yang sah dari
beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam bahwa beliau Shallallahu
'alaihi wa sallam menciumnya, atau mencium tangan beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah menyantuhnya".[9]
11
d. Sebagian jama'ah haji mengerjakan thawaf dari dalam Hijir
Isma'il.
Dalam masalah ini, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah
berkata: "Tidak diperbolehkan untuk masuk ke dalam Hijir Ismail
ketika thawaf, karena sebagian besar hijir termasuk dalam area
Ka'bah, padahal Allah memerintahkan untuk thawaf mengelilingi
Ka'bah, bukan thawaf di dalam Ka'bah".[10]
e. Keyakinan sebagian orang yang thawaf, bahwa shalat dua
raka'at setelah thawaf harus dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim.
Yang benar, shalat dua raka'at setelah thawaf boleh dikerjakan
dimana saja dari Masjidil Haram, dan tidak wajib untuk
dikerjakan di dekat Maqam Ibrahim, sehingga tidak berdesak-
desakan dan mengganggu jama'ah lainnya.[11]
f. Ketika thawaf, sebagian jama'ah haji mengusap-usap setiap
yang mereka jumpai di dekat Ka'bah, seperti Maqam Ibrahim,
dinding Hijir Isma'il dan kain Ka'bah, dan yang lainnya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata: "Adapun
seluruh sudut Ka'bah dan Maqam Ibrahim, dan seluruh masjid
dan dindingnya, dan kuburnya para nabi dan orang-orang yang
shalih, seperti kamar Nabi kita, dan tempatnya Nabi Ibrahim dan
tempat Nabi kita yang dahulu mereka gunakan untuk shalat, dan
selainnya dari kuburnya para nabi serta orang yang shalih, atau
batu yang di Baitul Maqdis, maka menurut kesepakatan ulama,
semuanya itu tidak boleh untuk diusap dan tidak boleh juga
untuk dicium".[12]
g. Sebagian jama'ah wanita berdesak-desakan ketika hendak
mencium Hajar Aswad.
12
Padahal Allah telah berfirman:
﴿
َ
َل
َ
و
َ
وق
سُ
ُ
ف
َ
َل
َ
و
ثَ
َ
ف
َ
ر
َ
ال
َ
ف
َّ
ج
َ
ْ
احل
َّ
ين
فييه
َض َ
ر
َ
ف
ْ
ن
َ
م
َ
ُ ف
ءتُ
َ
وم
ُ
ل
ْ
ع
َّ
ُ م
ُ
ر
ُ
ه
ْ
ش
َ
أ
ُّ
ج
َ
ْ
احل
ي
ج
َ
ْ
ييف احل
َ
ال
َ
اْلقرة : 197 ]يجد ﴾ ]
"Haji adalah pada bulan-bulan yang telah ditetapkan, barangsiapa
yang mengerjakan haji, maka janganlah berbuat rafats dan
berbuat fasik dan berbantah-bantahan dalam mengerjakan haji".
[Al Baqarah : 197].
Berdesak-desakan ketika haji akan menghilangkan rasa khusyu'
dan akan melupakan dalam mengingat Allah. Padahal, dua hal ini
termasuk maksud yang utama ketika kita thawaf.[13]
h. Sebagian jama’ah haji tetap idh-thiba' setelah selesai thawaf
dan shalat dua raka'at dalam keadaan idh-thiba'.
Dalam hal ini terdapat dua kesalahan. Pertama. Yang sunnah
dalam idh-thiba', yaitu ketika thawaf qudum.
Kedua. Mereka terjatuh ke dalam larangan Nabi Shallallahu
'alaihi wa sallam tentang shalat sedangkan pundak mereka
terbuka. Dari Abu Hurairah Radhiyallahu 'anhu, dia berkata: Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
ْ َس ))
ي
َ
ا يح يد ل
َ
و
ْ
يب ال
ْ
و
َّ
ييف اثل
ْ
م
ُكُ
د
َ
ح
َ
أ
ي
ّل
صَ
ُ
ي
َ
َل
ٌ
ْ
هي َش َ
ْ
ي
َ
تيق
َ
َع
ََ
لَع (( ]رواه
اْلخءري[
13
"Janganlah salah seorang di antara kalian shalat dengan satu
baju yang tidak ada di atas kedua pundaknya sesuatu dari
kain". [HR Al Bukhari].
i. Mengeraskan niat ketika memulai thawaf.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Nabi tidak mengatakan ‘aku
niatkan thawafku tujuh putaran di Ka'bah begini dan begini’ -
hingga beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata- bahkan hal ini
termasuk bid'ah yang munkar".[14]
j. Raml (lari kecil) pada tujuh putaran seluruhnya.
Yang sunnah ialah, melakukan raml pada tiga putaran yang
pertama. Adapun pada empat putaran yang terakhir berjalan
seperti biasanya.
k. Keyakinan mereka bahwa Hajar Aswad bisa memberi manfaat.
Sebagian di antara jamaah haji, setelah menyentuh Hajar Aswad,
mereka mengusapkan tangannya ke seluruh tubuhnya atau
mengusapkan kepada anak-anak kecil yang bersama mereka. Hal
ini merupakan kejahilan dan kesesatan, karena manfaat dan
madharat datangnya dari Allah. Dahulu Umar bin Al Khaththab
Radhiyallahu 'anhu berkata:
اهلل َّ )) ي
َ
ول
ُ
س
َ
ر
تُ
ْ
ي
َ
أ
َ
ي ر
ّن
َ
أ
َ
َل
ْ
و
َ
ل
َ
و
ُ
ع
َ
ف
ْ
ن
َ
ت
َ
َل
َ
َ ُ ُُّض و
ت
َ
َل
ٌ
ر
َ
ج
َ
ح
كَ
َّ
ن
َ
أ
ُ
م
َ
ل
ْ
ع
َ َ
ي أل
ِإَوّن
كَ
ُ
ت
ْ
ل
َّ
ب
َ
ء ق
َ
م
كَ
ُ
يل
ب
َ
ق
ُ
ي
َ
م
َّ
ل
َ
س
َ
هي و
ْ
ي
َ
ل
َ
ع
اهلل َُّ
َّ
ّل
َ
ص ((
"Dan sesungguhnya aku mengetahui bahwa engkau adalah batu,
tidak memberi madharat dan tidak bermanfaat. Jika seandainya
14
aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
menciummu, maka aku tidak akan menciummu".
l. Setelah selesai dari shalat dua raka'at, mereka berdiri dan
berdo'a secara berjama'ah dan dikomando oleh seseorang.
Hal ini bisa mengganggu orang lain yang sedang shalat di dekat
maqam. Mereka melampaui batas ketika berdo'a. Padahal Allah
Subhanahu wa Ta'ala telah berfirman:
﴿
يدينَ
َ
ت
ْ
ع
ُ
م
ْ
ال
ُّ
يب
ُ
ُي
َ
َل
ُ
ه
َّ
ين
إ
ً
ة
َ
ي
ْ
ف
ُ
طخ
َ
و
ً
َ َ ُُّضَع
ت
ْ
م
َّكُ
ب
َ
وا ر
ُ
ع
ْ
اد ﴾ ] األعراف : 55]
"Berdo'alah kepada Rabb kalian dengan khusyu' dan perlahan,
sesungguhnya Dia tidak mencintai orang-orang yang
melampaui batas". [Al A'raf : 55].
3. KESALAHAN DALAM SA'I.
a. Melakukan sa'i antara Shafa dan Marwa sebanyak empatbelas
kali, dimulai dari Shafa dan berhenti di Shafa kembali.
Padahal yang sunnah ialah tujuh kali, bermula dari Shafa dan
berakhir di Marwa.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: "Hal ini adalah salah
terhadap sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam. Tidak pernah
dinukil oleh seorangpun dari beliau, dan tidak pernah dikatakan
oleh seorangpun dari para imam yang telah dikenal pendapat
mereka, meskipun hal ini dikatakan oleh sebagian orang
belakangan yang menyandarkan kepada imam. Di antara hal
yang menjelaskan kesalahan pendapat ini (sa'i empatbelas kali),
bahwasanya beliau berbeda dalam hal ini. Beliau mengakhiri sa'i
di Marwa. Jika seandainya berangkat dan kembali dihitung sekali,
15
pasti beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam akan mengakhiri sa'i di
Marwa".[15]
b. Shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i, seperti ketika
selesai dari thawaf.
Shalat dua raka'at setelah selesai thawaf telah ditetapkan oleh
sunnah. Adapun shalat dua raka'at setelah selesai dari sa'i adalah
bid'ah yang munkar dan menyelisihi petunjuk Nabi. Dalam
masalah ini tidak bisa diqiyaskan, karena bertentangan dengan
nash yang shahih dalam sa'i.
c. Terus melakukan thawaf dan sa'i meskipun shalat di Masjidil
Haram telah dikumandangkan iqamat.
Dalam masalah ini, Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah
berkata: "Hendaknya (orang yang sedang sa'i atau thawaf) shalat
bersama orang lain, kemudian baru menyempurnakan thawaf
dan sa'inya yang telah dia kerjakan sebelum shalat".[16]
d. Sebagian jama'ah haji, mereka sa'i dalam keadaan idh-thiba'.
Seharusnya dia tidak idh-thiba', karena tidak ada dalilnya dalam
hal ini. Imam Ahmad mengatakan: "Kami tidak mendengar
sesuatu (tentang sunnahnya ketika sa'i) sedikitpun juga". [17]
e. Sebagian jamaah haji berlari-lari di seluruh putaran antara
Shafa dan Marwa.
Hal ini menyelisihi sunnah, karena berlari hanya di antara dua
tanda hijau saja. Yang lainnya adalah jalan seperti biasa.
f. Sebagian wanita berlari di antara dua tanda hijau seperti yang
dilakukan oleh kaum lelaki.
Padahal wanita tidak dianjurkan untuk lari, namun berjalan biasa
16
di antara dua tanda hijau. Ibnu Umar berkata: "Bagi kaum wanita
tidak disunnahkan raml (berlari kecil) di sekitar Ka'bah, dan
(tidak) juga antara Shafa dan Marwa".
Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: "Adapun kaum
wanita, (ia) tidak disyari'atkan untuk berjalan cepat di antara dua
tanda hijau, karena wanita adalah aurat. Akan tetapi,
disyari'atkan bagi mereka untuk berjalan di seluruh
putaran".[18]
g. Sebagian orang yang sa'i, setiap kali menghadap Shafa dan
Marwa selalu membaca:
اهللي
ي
ير
﴿ آئ
َ
ع
َ
يمن ش
َ
ة
َ
و
ْ
ر
َ
م
ْ
ال
َ
ء و
َ
ف
الصَّ
َّ
ين ﴾
إ
Padahal yang sunnah ialah membaca ayat ini ketika pertama kali
menghadap kepada Shafa saja.
4. KESALAHAN KETIKA WUKUF DI ARAFAH.
a. Sebagian jama'ah haji berdiam di luar batasan Arafah dan
tinggal di tempat itu hingga terbenam matahari, kemudian
mereka langsung menuju Muzdalifah.
Hal ini merupakan kesalahan besar. Karena wukuf di Arafah
hukumnya rukun, dan tidak akan sah hajinya tanpa rukun ini,
berdasarkan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam :
17
((
ج
َ
ْ
احل
َ
ك
َ
ر
ْ
د
َ
أ
ْ
د
َ
ق
َ
ي ف
ر
ْ
ج
َ
ف
ْ
و يع ال
ُ
ل
ُ
ط
َ
ل
ْ
ب
َ
ٍع ق
َجَ ْ
َ
ة
َ
ل
ْ
َ
ْل
َ
ء
َ
ج
ْ
ن
َ
م
ُ
ة
َ
ف
َ
ر
َ
ع
ُّ
ج
َ
ْ
احل ((
]رواه الرتمذي[
"Haji adalah Arafah, barangsiapa yang datang pada malam
harinya sebelum terbit fajar (hari kesepuluh), maka dia telah
mendapatkan wukuf". [HR At Tirmidzi]
b. Meninggalkan Arafah sebelum terbenamnya matahari.
Dalam masalah ini Syaikh Ibnu 'Utsaimin rahimahullah
mengatakan, hal ini adalah haram, menyelisihi sunnah Nabi.
Karena beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam wukuf hingga matahari
terbenam dan hilang cahayanya. Meninggalkan Arafah sebelum
terbenamnya matahari merupakan hajinya orang jahiliyah.
c. Mereka menghadap ke arah bukit Arafah, sedangkan kiblat
berada di belakang atau di arah kanan dan kirinya. Sebagian
mereka mempunyai keyakinan, bahwa ketika wukuf harus
memandang bukit Arafah atau pergi dan naik kesana.
Anggapan seperti ini menyelisihi sunnah, karena sunnah dalam
hal ini ialah menghadap ke arah kiblat sebagaimana dikerjakan
oleh Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam.
Syaikh Shalih Alu Syaikh berkata: "Menghadap ke arah bukit
Arafah atau tempat lain tidaklah terdapat keutamaan atau
anjuran. Bahkan, jika dia mengharuskan hal ini dan meyakini
bahwa perbuatan ini afdhal, maka mengerjakannya merupakan
bid'ah. Dan naik ke atas bukit dengan maksud beribadah disana
merupakan bid'ah yang tidak pernah dikerjakan oleh Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam".[20]
18
d. Bercepat-cepat dan bersegera ketika meninggalkan Arafah
menuju Muzdalifah.
Sebagian orang sangat tergesa-gesa dengan kendaraan mereka
dan dengan suara klakson yang mengganggu orang lain, sehingga
terjadi hal-hal yang tidak terpuji, seperti saling mencela dan
saling mendo'akan kejelekan di antara mereka.
Berkata Ibnu Al Haaj: "Apabila seseorang meninggalkan Arafah
setelah matahari terbenam, maka hendaknya dia berjalan pelan-
pelan, dan wajib baginya untuk tenang, perlahan dan khusyu".
[21]
5. KESALAHAN KETIKA MELEMPAR JUMRAH
a. Keyakinan, bahwa mereka harus mengambil kerikil dari
Muzdalifah.
Anggapan seperti ini tidak ada asalnya sama sekali. Dahulu, Nabi
Shallallahu alaihi wa sallam ialah memerintahkan Ibnu Abbas
untuk mengambil kerikil, sedangkan beliau Shallallahu 'alaihi wa
sallam naik di atas kendaraan. Yang nampak dari kisah ini, beliau
Shallallahu 'alaihi wa sallam berada di dekat jumrah.
Berkata Syaikh Ibnu Baz: "Apa yang dikerjakan oleh sebagian
orang untuk mengambil kerikil ketika sampai di Muzdalifah
sebelum mengerjakan shalat, kebanyakan mereka berkeyakinan
bahwa hal itu masyru', maka hal ini merupakan kesalahan yang
19
tidak ada asalnya. Nabi n tidak memerintahkan untuk diambilkan
kerikil, kecuali ketika beliau n meninggalkan Masy'aril Haram
menuju Mina. Kerikil yang diambil dari mana saja sah baginya,
tidak harus dari Muzdalifah, akan tetapi boleh diambil di Mina".
[22].
b. Keyakinan mereka bahwa ketika melempar jumrah, seakan-
akan sedang melempar setan.
Maka dari itu, ketika melempar jumrah mereka berteriak dan
memaki, yang mereka yakini sebagai setan. Semua hal ini tidak
ada asalnya di dalam syari'at kita yang mulia.
c. Melempar dengan sandal atau sepatu dan batu yang besar.
Hal ini bertentangan dengan Sunnah Nabi, karena beliau n
melempar dengan batu kerikil, dan beliau memerintahkan
umatnya untuk melempar dengan semisalnya. Dalam hal ini,
beliau memperingatkan dari ghuluw.
d. Mereka tidak berhenti untuk berdo'a setelah melempar
jumrah yang pertama dan kedua pada hari tasyrik.
Padahal Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu berdiri setelah
melempar jumrah ula dan wustha, dengan menghadap ke arah
kiblat mengangkat kedua tangannya dan berdo'a dengan do'a
yang panjang.
6. KESALAHAN KETIKA MENCUKUR RAMBUT.
Sebagian jama'ah haji mencukur sebagian dari rambutnya dan
menyisakan sebagian lainnya.
Mengomentari hal ini Syaikh Ibnu Baz berkata: "Menurut
20
pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama, tidak sah
jika memendekkan sebagian rambut atau hanya mencukur
sebagian rambutnya. Bahkan yang wajib adalah mencukur
seluruh rambutnya atau memendekkan seluruhnya. Dan yang
afdhal ialah memulai dengan bagian kanan terlebih dahulu
sebelum yang kiri".[23]
7. KESALAHAN KETIKA ZAIARAH KE MASJID NABAWI.
a. Keyakinan bahwa ziarah ke Masjid Nabawi ada hubungannya
dengan haji dan termasuk penyempurna bagi hajinya.
Anggapan seperti ini merupakan kesalahan yang nyata, karena
ziarah ke Masjid Nabawi tidak ditetapkan dengan waktu tertentu,
dan tidak ada hubungannya dengan haji. Barangsiapa yang pergi
haji dan tidak ziarah ke Masjid Nabawi, hajinya sah dan
sempurna.
b. Sebagian orang yang ziarah ke kubur Nabi, mereka
mengeraskan suara di dekat kuburan. Mereka berkeyakinan,
bahwa jika berdo'a di dekat kubur Nabi akan memiliki
kekhususan tertentu.
Hal ini merupakan kesalahan yang besar, dan tidak disyari'atkan
untuk berdo'a di dekat kuburan, meskipun orang yang berdo'a
tidak menyeru kecuali kepada Allah. Hal ini meruapakan
perbuatan bid'ah dan menjadi wasilah menuju kesyirikan.
Dahulu, kaum salaf tidak pernah berdo'a di dekat kubur Nabi
Shallallahu 'alaihi wa sallam ketika mereka mengucapkan salam
kepada beliau.
Wallahu a'lam.