Agama adalah Nasehat
عن أبي رقية تميم بن أوس الداري رضي الله عنه أن النبي صلى الله
عليه وسلم قال: «الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ» ، قلنا: لمن ؟ قال: «لله ولكتابه
ولرسوله لأئمة المسلمين وعامتهم » [ رواه مسلمٍ ]
Dari Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-Daary radhiyallahu ‘anhu,
bahwasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Agama
itu nasihat”. Kami pun bertanya, “Hak siapa (nasihat itu)?”. Beliau
menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya,
pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum
muslimin)”. (HR. Muslim)
Derajat Hadits:
Shahih, diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam kitab Shahihnya,
hadits no. 55 dan no. 95.
Biografi Singkat Perawi Hadits:
Perawi hadits ini, Abu Ruqayyah Tamim bin Aus ad-
Daary radhiyallahu ‘anhu adalah salah seorang sahabat
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari negeri
Palestina, tepatnya di kota Bait al-Lakhm (Betlehem). Meninggal
pada tahun 40 H. Beliau termasuk sahabat yang sedikit riwayat
haditsnya, di dalam kutub as sittah (Kutub as-Sittah adalah enam
buku inti yang menghimpun hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi
4
wa sallam, buku-buku itu adalah: Shahih al-Bukhari, Shahih
Muslim, Sunan Abi Dawud, Sunan at-Tirmidzi, Sunan an-Nasai dan
Sunan Ibn Majah) beliau hanya memiliki sembilan hadits saja, di
dalam shahih muslim hanya ada satu hadits saja yang beliau
riwayatkan, yaitu hadits yang akan kita bahas kali ini, yang mana
dia merupakan hadits yang paling masyhur di antara hadits-hadits
yang beliau riwayatkan. (Lihat: Siyar A’lam an-Nubala, (II/442-
448))
Kedudukan Hadits Ini:
Hadits ini merupakan salah satu hadits yang sangat agung
kedudukannya, karena dia mencakup seluruh ajaran agama Islam,
entah itu yang berkaitan dengan hak-hak Allah, hak-hak rasul-Nya
maupun hak-hak umat manusia pada umumnya. (Lihat: Syarh al-
Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 54).
Penjelasan Hadits:
«الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ»
“Agama itu nasihat.”
Kata ad-dien dalam bahasa Arab mempunyai dua makna:
1. Pembalasan, contohnya firman Allah ta’ala, مَالِكِ
يَوْمِ الدِّيـن Artinya: “Yang menguasai hari pembalasan“. (QS. Al-
Fatihah [1]: 4)
2. Agama, contohnya firman Allah ta’ala, وَرَضِيتُ لَكُمُ
الْأِسْلامَ دِيناً Artinya: “Dan telah Ku-ridhai Islam itu
jadi agama bagimu”. (QS. Al-Maidah [5]: 3)
Adapun dalam hadits kita ini, yang dimaksud dengan kata ad-
dien adalah: agama (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, hal: 135-136).
Kata an-nashihah berasal dari kata an nush-hu yang secara
etimologi mengandung dua makna:
1. Bersih dari kotoran-kotoran dan bebas dari para sekutu.
2. Merapatnya dua sesuatu sehingga tidak saling berjauhan.
5
Adapun definisi an-nashihah secara terminologi dalam hadits ini
adalah: Mengharapkan kebaikan orang yang dinasihati, definisi ini
berkaitan dengan nasihat yang ditujukan kepada pemimpin umat
Islam dan rakyatnya. Adapun jika nasihat itu diarahkan kepada
Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya, maka yang dimaksud adalah
merapatnya hubungan seorang hamba dengan tiga hal tersebut di
atas, di mana dia menunaikan hak-hak mereka dengan baik.
Dalam memahami sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, “agama itu nasihat”, para ulama berbeda pendapat; ada
yang mengatakan bahwa semua ajaran agama Islam tanpa
terkecuali adalah nasihat. Sebagian ulama yang lain menjelaskan
maksud dari hadits ini adalah bahwa sebagian besar ajaran agama
Islam terdiri dari nasihat, menurut mereka hal ini senada dengan
sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((الدعاء هو العبادة)) [ أبو داود ]
“Doa adalah ibadah.” (HR. Abu Dawud (II/109 no. 1479), at-
Tirmidzi (V/456 no. 3372) dan Ibnu Majah (V/354 no. 3828), At-
Tirmidzi berkata: hadits ini hasan shahih, Ibnu Hajar dalam Fath al
Bari, (I/49) berkata, sanadnya jayyid (bagus), Al-Albani berkata:
shahih.)
Juga semisal dengan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
((الحج عرفة)) [ ألترميذي ]
“Haji adalah Arafah.” (HR. At-Tirmidzi (III/228 no. 889), an-Nasai
(V/256), Ibnu Majah (IV/477 no. 3015), Ahmad (IV/309) dan Ibn
Khuzaimah (IV/257). Al-Albani berkata: shahih.)
Bukan berarti bahwa ibadah dalam agama Islam itu hanya
berbentuk doa saja, juga bukan berarti bahwa ritual ibadah haji
hanya wukuf di Arafah saja, yang dimaksud dari kedua hadits
6
adalah: menerangkan betapa pentingnya kedudukan dua macam
ibadah tersebut.
Akan tetapi jika kita amati dengan seksama hal-hal yang memiliki
hak untuk mendapatkan nasihat -yang disebutkan dalam hadits
ini- akan kita dapati bahwa betul-betul ajaran agama Islam
semuanya adalah nasihat, tanpa terkecuali. Entah itu yang
berkenaan dengan akidah, ibadah, maupun muamalah.
(Lihat: Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu
Syaikh, hal 54-55)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sengaja tidak langsung
menjelaskan dari awal siapa saja yang berhak mendapatkan
nasihat ini, agar para sahabat sendiri yang bertanya untuk
siapakah nasihat itu. Tujuan metode ini -yakni metode
melemparkan suatu masalah secara global kemudian setelah itu
diperincikan-, adalah agar ilmu tersebut membekas lebih dalam.
Hal itu dikarenakan tatkala seseorang mengungkapkan suatu hal
secara global, para pendengar akan mengharap-harap perincian
hal tersebut, kemudian datanglah perincian itu di saat kondisi jiwa
berharap serta menanti-nantikannya, sehingga membekaslah ilmu
itu lebih dalam di dalam jiwa. Hal ini berbeda jika perincian suatu
ilmu sudah disampaikan kepada pendengar sejak awal
pembicaraan. (Syarh al-Arba’in an-Nawawiyah, oleh Syaikh
Muhammad bin Shalih al-Utsaimin hal: 136)
قلنا: لِمَـنْ ؟
Kami (para sahabat) bertanya, “Hak siapa nasihat itu wahai
Rasulullah?”
Huruf lam dalam perkataan para sahabat لِمنْ fungsinya adalah
untuk istihqaq (menerangkan milik atau hak), yang berarti:
nasihat ini haknya siapa wahai Rasulullah? (Syarh al-Arba’in an-
Nawawiyah, oleh Syaikh Shalih Alu Syaikh, hal 55).
قال: لله ولكتابه ولرسوله لأئمة المسلمين وعامتهم
7
Beliau menjawab, “Nasihat itu adalah hak Allah, kitab-Nya, Rasul-
Nya, pemerintah kaum muslimin dan rakyatnya (kaum
muslimin)”.
Dalam jawaban beliau ini diterangkan bahwa yang berhak
untuk mendapatkan nasihat ada lima:
Pertama: Nasihat untuk Allah ta’ala
Nasihat untuk Allah ta’ala artinya: menunaikan hak-hak Allah baik
itu hak yang wajib maupun yang sunnah (Ibid, lihat pula: Ta’dzim
Qadr ash-Shalah, karya Muhammad bin Nashr al-Marwazy, II/691-
692).
Hak-hak Allah yang wajib mencakup antara lain:
1. Beriman terhadap rububiyah Allah ta’ala, yang berarti:
meyakini bahwa Allah-lah satu-satunya Rabb segala sesuatu,
satu-satunya pencipta, Yang memberi rezeki, Yang
menghidupkan dan mematikan, Yang mendatangkan
manfaat dan melindungi dari marabahaya, Yang
mengabulkan doa, Yang Maha memiliki dan menguasai
segala sesuatu, tidak ada sekutu bagi-Nya (Taisir al- ‘Aziz al-
Hamid, oleh Sulaiman bin Abdullah bin Muhammad bin
Abdul Wahab, hal 26). Allah ta’ala berfirman,
﴿ الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ﴾ [الفتحة : 1]
“Segala puji bagi Allah Rabb semesta alam.” (QS. Al-Fatihah:
1)
2. Beriman terhadap uluhiyah Allah ta’ala, yang berarti:
mengesakan Allah ta’ala dalam segala macam bentuk ibadah
(Al-Irsyad ila Shahih al-I’tiqad, karya Dr. Shalih al-Fauzan, hal
30). Jadi kita harus mengikhlaskan semua ibadah kita, mulai
dari shalat, doa, kurban, sampai al-khauf (rasa takut),al-
8
mahabbah (cinta), dan ibadah-ibadah yang lainnya.
Allah ta’ala berfirman,
﴿ وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ﴾ [الذريات : 56]
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan
hanya untuk beribadah kepada-Ku.” (QS. Adz-Dzariyat: 56)
3. Beriman terhadap asmaa’ (nama-nama) dan shifaat (sifat-
sifat) Allah ta’ala. Maksudnya adalah: Mengesakan
Allah ta’ala dalam nama-nama-Nya yang mulia serta sifat-
sifat-Nya yang agung, yang disebutkan di dalam al-Qur’an
dan al-Hadits, sembari mengimani makna dan hukum-
hukumnya, tanpa mengotorinya
dengan tahrif (mengubah), ta’thil (menafikan), takyif (berusa
ha mencari-cari caranya), atau tamtsil (meyakini bahwa sifat-
sifat Allah seperti sifat-sifat para makhluk).
Allah ta’ala berfirman,
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾ [الشرى : 11]
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah
Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy-Syuraa:
11). (Lihat: Mu’taqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah fi Tauhidil
Asma’ wash Shifat, karya Prof. Dr. Muhammad bin Khalifah
at-Tamimi, hal 31)
4. Melaksanakan kewajiban-kewajiban yang diperintahkan-Nya
dan menjauhi larangan-larangan yang diharamkan-Nya. Ini
adalah salah satu tanda rasa cinta seorang hamba kepada
Rabbnya. (Ad-Durar as-Saniyyah bi Fawaid al-Arba’in an-
Nawawiyah, karya Dr. Bandar al-’Abdaly, hal 37). Allah
berfirman,
﴿ قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ
وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ * قُلْ أَطِيعُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللَّهَ
لا يُحِبُّ الْكَافِرِينَ﴾ [ال عمران : 32-31]
9
“Katakanlah, “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah,
ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-
dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Katakanlah, “Ta’atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu
berpaling, maka sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-
orang kafir.” (QS. Ali Imran: 31-32)
Hal-hal yang wajib contohnya: mendirikan shalat,
menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan, berdakwah
kepada agama Allah dan lain-lain. Contoh larangan-larangan:
syirik, berzina, bermain judi, dan lain sebagainya.
5. Tidak rela melihat larangan-Nya dilanggar, serta merasa
bahagia jika melihat para hamba-Nya taat dalam
menjalankan perintah-Nya (Ta’zhim Qadr ash-Sholah,
II/692).
Nasehat Untuk KitabNya
Yaitu beriman dengan kitabNya menurut cara yang dicontohkan
para salaful ummah. Keyakinan para salaf tentang Al Qur’an
adalah meyakini bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, dan bukan
makhluk. Al Imam Abu Utsman Ash Shabuni mengatakan dalam
risalah Aqidatus Salaf Ashabil Hadits: “Para ahlul hadits bersaksi
dan meyakini bahwa Al Qur’an adalah kalamullah, kitab dan
wahyuNya bukan makhluk. Barangsiapa yang mengatakan Al
Qur’an adalah makhluk dengan keyakinan, maka dia dianggap
kafir oleh para ahlul hadits.” Al Qur’an adalah kalamullah dan
wahyuNya yang dibawa oleh Jibril kepada Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam, berbahasa Arab untuk kaum yang mengetahui
10
sebagai pemberi peringatan dan kabar gembira, sebagaimana
firman Allah (yang artinya):
“Dan sesungguhnya Al Qur’an ini benar-benar diturunkan oleh
Rabb semesta alam. Dia dibawa oleh Ar Ruhul Amin (Jibril) ke
dalam hatimu agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-
orang yang memberi peringatan dengan bahasa Arab yang jelas.”
(Asy Syu’ara: 192-195)
Al Qur’an adalah wahyu yang disampaikan oleh Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wasallam kepada umatnya, sebagaimana beliau
diperintahkan oleh Allah dalam ayat:
“Wahai Rasul, sampaikanlah apa yang telah diturunkan
kepadamu dari Rabbmu.” (Al Maidah: 67).
Dan Al Qur’an adalah kalamullah sebagaimana hadits dari Jabir
yang menceritakan Nabi menawarkan dirinya kepada orang yang
pulang haji:
“Adakah seorang yang akan membawaku kepada kaumnya,
sebab orang Quraisy telah melarangku untuk menyampaikan
kalam Rabbku.” (HR. Bukhari dalam Khalqul Af’alil Ibad 86, 205).
Itulah Al Qur’an, dia bukan makhluk. Barangsiapa yang mengira
dia makhluk, maka dia dianggap kafir menurut para ahlul hadits.
11
Imam Al Qurthubi mengatakan dalam tafsirnya Al Jami’ li Ahkamil
Qur’an, ketika menafsirkan makna ‘nasehat bagi kitab
Allah’ adalah dengan:
a. Membacanya
Membaca Al Qur’an memiliki banyak keutamaan. Hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam yang berkaitan dengan hal
ini di antaranya adalah:
“Bacalah Al Qur’an oleh kalian, karena dia akan datang di hari
kiamat sebagai pemberi syafaat bagi para pembacanya.” (HR.
Muslim dalam Kitabul Musafirin No.252/804)
b.Memahaminya
Kebanyakan kaum muslimin membaca Al Qur’an dengan indah,
tetapi tidak memahami arti dan tafsir yang benar tentangnya.
12
Demikian juga orang-orang yang menghafal Al Qur’an tetapi tidak
memahaminya dan hanya sebatas menghafal huruf-hurufnya saja.
Al Imam Ath Thurthusi dalam Al Hawadits hal. 96, yang ditahqiq
oleh Syaikh Ali Hasan, menyatakan: “Termasuk kebid’ahan yang
dilakukan oleh orang-orang tentang Al Qur’an adalah sekedar
menghafal huruf-hurufnya tanpa memahaminya.” Imam Malik
meriwayatkan dalam Muwatha’nya 1/205 menyatakan: “Abdullah
bin Umar berhenti pada surat Al Baqarah selama delapan tahun.
Para ulama berkata bahwa maknanya adalah beliau mempelajari
faraidlnya, hukumnya, halal haramnya, janji, ancamannya dan
lain-lain.”
Diriwayatkan dari Malik dalam Al Utaibah, beliau berkata:
“Pernah ditulis surat kepada Umar bin Al Khathab dari Irak yang
mengabarkan kepadanya bahwa beberapa orang telah
menghafal Al Qur’an. Maka Umar memberikan imbalan pada
mereka dengan mengatakan: Berikan kepada mereka harta.”
Kemudian bertambah banyaklah orang yang menghafal Al
Qur’an. Satu tahun setelah itu ditulis surat kepada Umar bahwa
ada 700 orang yang telah menghafal Al Qur’an. Kemudian Umar
membalas: “Aku khawatir kalau mereka bersegera dalam Al
Qur’an tanpa memahaminya.” Imam Malik berkata: “Maknanya
13
adalah beliau khawatir kalau mereka menakwilkannya dengan
tidak benar.”
Beginilah keadaan para pembaca Al Qur’an di masa ini. Kamu
dapati mereka sanggup meriwayatkan Al Qur’an dengan 100 jenis
riwayat, mengatur hurufnya dengan rapi, padahal dia sangat jahil
terhadap hukum-hukumnya. Kalau engkau menanyakan
kepadanya permasalahan sebenarnya tentang niat dalam wudlu,
tempatnya, membawakannya, membatalkannya dan dalam
memisah-misahkannya terhadap anggota-anggota wudlu, dia
tidak bisa menjawab padahal dia membaca dan menghafal ayat:
“Wahai orang-orang yang beriman, bila kalian hendak
mengerjakan shalat maka basuhlah mukamu dan tanganmu
sampai siku.” (Al Maidah: 6).
Bahkan kalau engkau bertanya kepadanya apakah perintah Allah
dalam ayat ini menunjukkan wajib atau nadb atau istihbab atau
waqf atau mubah, belum tentu ia dapat menjawab secara rinci.
Imam Malik pernah ditanya tentang anak berumur 7 tahun yang
telah menghafal Al Qur’an, maka beliau menjawab: “Menurutku
hal itu tidak patut.” Sisi pengingkaran beliau dalam hal ini adalah
karena para shahabat membenci cepat-cepat menghafal Al
Qur’an tanpa memahami maknanya. Al Hasan berkata:
14
“Sesungguhnya Al Qur’an ini telah dibaca oleh para hamba dan
anak-anak. Tapi mereka tidak tahu tafsirnya dan tidak memulai
dari awalnya padahal Allah telah berfirman:
“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh
dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya
dan mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran”
(Shad : 29)
Tadabur terhadap ayat-ayat-Nya adalah mengikutinya dengan
Ilmu. Demi Allah, bukan dengan menghapal huruf-hurufnya dan
menyia-nyiakannya hukum-hukumnya, sampai salah seorang
mereka ada yang berkata :’Demi Allah, aku telah membaca Al-
Qur’an semuanya dan tidak satupun tertinggal dari hurufnya.’
Padahal dia-demi Allah- telah meninggalkannya. Tidak terlihat Al-
Qur’an pada Akhlak dan amalnya. Diantaranya lagi ada yang
berkata :’ Demi Allah aku bisa membaca Al-Qur’an dengan satu
nafas.’ Meraka bukanlah qurra’ dan bukan pula ulama yang
wara’. Kapan para qurra’ mengatakan demikian? Semoga Allah
tidak memperbanyak orang-orang sepertimereka.”
Al-Hasan berkata lagi :” Orang yang membaca Al-Qur’an ada tiga
jenis :
15
Pertama, Dia membaca Al-Qur’an dia jadikan Al-Qur’an sebagai
barang dagangan dan dengannya dia mengharap harta manusia
dari satu negeri ke negeri yang lain
Kedua, Ada yang membaca Al-Qur’an dengan indah, tetapi
mereka menyia-nyiakan hukum-Nya. Meraka mengalirkan harta
banyak harta yang dimiliki para penguasa dan memfitnah para
penduduk negerinya. Alangkah banyak yang demikian. Semoga
Allah tidak memperbanyak orang-orang yang demikian.
Ketiga, Ada yang membaca Al-Qur’an, dia memulai dengan yang
mengandung obat yang dia ketahui dari Al-Qur’an. Kemudian dia
gunakan untuk mengobati hatinya. Meleleh air matanya. Dia
bergadang tidak tidur, sedih, khusyu’. Karena mereka, Allah
menurunkan hujan, memusnahkan musuh-musuh, menolak bala.
Demi Allah, pemikul Al-Qur’an seperti ini sangat sedikit di
kalangan manusia.” (Masih dalam Tafsir Al-Qurthubi).
Beliau melanjutkan:” Allah telah berfirman tentang orang-orang
yang menghafal kitab-kitab yang turun dari langit yang mereka
tidak mengerti hukum-hukumnya, halal dan haramnya dengan
ucapan-Nya : “Di antara mereka ada orang-orang yang ummi,
mereka tidak mengetahui tentang Al-Kitab kecuali membaca
(amani) dan mereka hanya menduga-duga” (Al-Baqarah : 78).
16
Meraka menghafal Al-Qur’an tetapi tidak mengetahui apa yang
telah diturunkan oleh Allah di dalamnya tentang hikmah-hikmah
ddan pelajaran. Maka Allah mensifati mereka bahwa mereka
hanya sekedar amani. Amani dalam konteks ini berarti tilawah
(membaca).
Sufyan pernah berkata : “Tidak ada di dalam kitabullah ayat yang
paling berat bagiku kecuali: Katakanlah :” Wahai ahli kitab, kalian
tidak dipandang beragama sedikitpun sampai kalian menegakkan
ajaran Taurat dan Injil (Al-Maidah : 68). Menegakkan artinya,
memahami dan mengamalkannya.” (Selesai ucapan Thurthusyi).
c. Membelanya
Selanjutnya Imam Qurthubi mengatakan :”Seseorang tidak akan
bisa membela Al-Qur’an, kecuali kalau dia memahami isinya“.
(Selesai Ucapan Imam Qurthubi). Baik dari segi bahasa (nahwu,
sharaf dan lain-lain) atau tafsirnya. Bagi orang yang lemah dalam
hal-hal tersebut biasanya ketika diterpa badai syubhat dari ahlul
bid’ah, dia akan tenggelam.
Membela Al-Qur’an bisa dalam banyak hal. Yaitu dalam semua
perkara yang telah diterangkan Allah dalam Al-Qur’an. Yang
terpenting adalah dalam hal-hal yang berkaitan dengan perkara
I’tiqad dan hukum.” (Sumber yang sama).
17
d. Mengajarkannya
Pada point berikutnya beliau berkata :”Mengajarkan Al-Qur’an
mengandungkeutamaan, sebagaimana sabda Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam (yang artinya)
“Sebaik-baik kalian adalah yang mempelajari Al-Qur’an dan
mengajarkannya” (HR. Bukhari, Abu Daud, Tirmidzi, Ibnu Majah,
dan Ad-Darimi)”.
e. Memuliakannya
Memuliakan Al-Qur’an ketika membacanya berarti kita harus
beradab ketika itu, seperti dalam keadaan wudlu, tidak bersandar
dan tidak duduk seperti orang yang sombong. Memuliakan Al-
Qur’an bukan hanya seperti yang dipahami oleh orang-orang
awam yaitu dengan meletakkannya di tempat yang bersih,
melainkan dibaca dan diamalkan setelah dipahami. Bahkan
kadang-kadang ada rumah kaum muslimin yang tidak memiliki Al-
Qur’an. Kalaupun punya, diletakan dalam lemari dan disimpan
tanpa pernah disentuh.
f. Berakhlaq dengannya
Manusia yang telah mengamalkan Al-Qur’an adalah Rasulullah
shalallau’alaihi wa sallam. Bila kita ingin mengamalkan Al-Qur’an
18
dan berakhlak dengannya maka hendaknya kita melihat Akhlak
beliau. Hal itu pernah diucapkan oleh Aisyah radliyallahu’anha –
Ibu kaum muslimin.
“Akhlak Nabi shalallahu’alaihi wa sallam adalah Al Qur’an” (HR.
Muslim no. 746).
Syaikh As Sa’diy menjelaskan bahwa nasehat kepada kitabullah
adalah dengan menghafalnya dan mentadabburinya, mempelajari
lafadz-lafadz dan makna nya, dan bersungguh-sungguh dalam
mengamalkan kandungannya. (Asy Syarhul Kabiir ‘alal arba’in An
Nawawiyyah, 187)
Nasehat Bagi Rasul-Nya
Imam Al-Qurthubi dalam tafsir itu juga menyatakan bahwa
maksud nasehat kepada Rasulullah shalallhu’alaihi wa sallam
adalah :
-Membenarkan kenabiannya.
-Iltizam taat kepadannya dalam larangan dan perintah.
-Mencintai orang yang mencitainya dan membenci orang yang
membencinya.
-Menghormatinya.
19
-Mencintai beliau dan keluarganya.
-Mengagungkan beliau.
-Mengagungkan sunnah beliau.
-Menghidupkan sunnahnya setelah wafatnya dengan:
Membahasnya, Memahaminya, Membelanya, Menyebarkannya,
Berdakwah kepadanya.
-Berakhlak dengan akhlak beliau yang mulia (8/227).
Syaikh As Sa’diy menjelaskan bahwa nasehat kepada Rasul adalah
dengan mengimani dan mencintai-nya, mendahulukannya
dibanding dirinya, hartanya maupun anaknya.Ittiba’ (meneladani)
para Rasul dalam perkara pokok-pokok agama maupun perkara
cabangnya. Mengutamakan perkataan Rasul dibanding perkataan
manusia lain dan bersungguh-sungguh dalam mengambil
petunjuk dari petunjuk-petunjuknya dan dalam menolong
agamanya. (Asy Syarhul Kabiir, 187)
Nasehat kepada pemimpin kaum muslim
Maksudnya adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Al-Hafidh
Ibnu Hajar dalam Al-Fath I/167 “Membantu mereka pada perkara
yang mereka pikul, mengiatkan mereka ketika lupa atau lalai,
menutup kesalahan mereka ketika bersalah, menyatukan suara
20
untuk mereka, mengembalikan hati-hati yang lari kepada mereka
dan nasehat terbesar bagi mereka adalah menyelamatkan mereka
dari kedhaliman dengan cara yang baik.
Termasuk pemimpin kaum muslimin adalah para imam
mujtahidin. Nasehat untuk mereka adalah dengan menyebarkan
ilmu mereka dan menyebarkan kebaikan-kebaikan mereka serta
berbaik sangka kepada mereka. ” (Fathul Bari).
Menurut Imam Qurthubi : “Maksudnya tidak memberontak
kepada mereka, membimbing mereka kepada kebenaran,
mengiatkan mereka tentang perkara kaum muslimin yang mereka
lalaikan, tetap taat kepada mereka dan menunaikan hak mereka
yang wajib.” (Tafsir Al-Qurthubi, 8/227).
Sedangkan Al-Hafidh Ibnu Rajab berkata :”Maksudnya mencintai
kebaikan, kecerdasan dan keadilanmereka, mencintai agar
ummat ini bersatu di bawah kepemimpinan mereka, benci kalau
terpecahnya ummat ini di bawah kepemimpinan mereka,
beragama dengan taat kepada mereka dalam perkara taat
kepada Allah, membenci orang-orang memiliki pendapat
memberontak kepada mereka, mencintai kemulaan mereka
dalam taat kepada Allah.” (Iqadhul Himam).
21
Syaikh Shalih Alu Syaikh menjelaskan bahwa nasehat bagi
pemimpin kaum muslim adalah dengan memberikan hak-hak
mereka yang telah Allah berikan kepada mereka, yang telah Allah
jelaskan dalam kitab-kitab-Nya maupun yang telah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam jelaskan dalam sunnah
beliau. Di antara hak tersebut adalah mentaati mereka dalam
perkara yang ma’ruf, meninggalkan ketaatan dalam perkara
maksiat, berkumpul dengan mereka dalam perkara hak dan
petunjuk dan pada perkara yang kita ketahui tidak ada
kemaksiatan di dalamnya. Dan termasuk nasehat bagi mereka
yaitu memberikan nasehat dengan makna mengingatkan
keasalahan-kesalahan mereka. Ibnu Daqiqil ‘id berkata bahwa
bentuk nasehat ini hukumnya adalah fardhu kifayah, maka jika
sudah ada sebagian orang yang melakukannya maka gugurlah
kewajiban yang lainnya. (Asy Syarhul Kabiir, 633).
Nasehat kepada kaum muslim secara umum
Imam Quthubi berkata: “Maksudnya tidak memusuhi mereka,
membimbing mereka, mencintai orang shalih diantara mereka,
mendoakan kebaikan untuk mereka dan menginginkan agar
mereka mendapat kebaikan.”
Ibnu Hajar berkata: “Maksudnya menyayagi mereka, berusaha
pada hal-hal yang bermanfaat bagi mereka, mengerjakan yang
bermanfaat bagi mereka, menhan gangguan terhadap mereka,
22
mencintai bagi mereka apa yang dicintainya bagi dirinya dan
membenci bagi mereka apa yang dibencinya bagi dirinya.“
Imam An-Nawawi berkata: “Maksudnya membimbing mereka
menuju kebaikan di dunia dan akhirat mereka, tidak mengganggu
mereka, mengajarkan kepada mereka yang tidak mereka ketahui
tentang agama mereka, membantu mereka untuk itu
denganucapan dan amalan, menutup aurat mereka, menolak
bahaya terhadap mereka, mengusahakan agar mereka mendapat
kebaikan, menyuruh mereka kepda yang ma’ruf, mencegah
mereka dari yang mungkar dengan kasih sayang dan ikhlas,
menyayangi mereka, menghormati yang tua dari mereka,
menyayangi yang muda, selalu menasehati mereka, tidak menipu
mereka, tidak dengki kepada mereka, mencintai bagi mereka apa
yang dicintai bagi dirinya dari kebaikan, membenci bagi mereka
apa yang dibenci bagi dirinya dari kejahatan dan kejelekan,
membela harta dan kehormatan mereka serta yang selain itu
dengan ucapan dan tindakan, menganjurkan mereka untuk
berakhlak dengan seluruh apa yang telah kita sebutkan tadi,
memberi semangat agar mereka melakukan amalan-amalan
taat.” (syarah shahih Muslim, 1/239).
23
“Dan termasuk jenis nasehat bagi Allah, kitab-Nya dan Rasul-Nya
dan hal ini khusus bagi para ulama adalah membantah pendapat-
pendapat yang sesat dengan Al-Quran dan as-sunnah dan
menerangkan dalil-dalil keduanya kepada yang menentang dan
begitu pula membantah ucapan-ucapan yang lemah dari para
ulama karena ketergelinciran dengan berdasarkan dalil-dalil dari
Al-Qur’an dan as-sunnah dan menerangkan hadits yang shahih
atau dlaif serta rawi-rawinya, yang diterima dan yang ditolak.”
(Ibnu Rajab dalam Iqadhatul Himam hal.129).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin menjelaskan bahwa
bentuk nasehat kepada kaum muslim secara umum adalah
dengan menampakkan kecintaan kepada mereka, menampakkan
wajah yang berseri-seri, menebarkan salam, menasihati, saling
tolong-menolong dan hal-hal lain yang dapat mendatangkan
maslahat dan menghilangkan mafsadat. (Asy-Syarhul Kabiir, 181)
Syaikh Al ‘Utsaimin berkata, Ketahuilah bahwa perkataanmu
terhadap salah seorang kaum muslim tidaklah boleh disamakan
dengan perkataanmu terhadap seorang pemimpin. Perkataanmu
terhadap seorang pembangkang tidaklah boleh disamakan
dengan perkataanmu terhadap orang yang masih bodoh. Maka,
setiap kondisi orang ada perkataan (yang sesuai). Maka, berilah
nasehat kepada kaum muslimin secara umum semampumu. (Asy
Syarhul Kabiir, 181)
24
Semoga yang sedikit ini dapat memberikan manfaat bagi penulis
maupun orang-orang yang membacanya.
Wa shallallahu ‘ala nabiyyina muhammadin wa ‘ala aalihi wa
shahbihi ajma’in
Rujukan:
“Agama Adalah Nasihat “ yang ditulis oleh: Al Ustadz
Muhammad Zain MA dan Muhammad Ali Ishmah
http://muslim.or.id/akhlaq-dan-nasehat/agama-adalah-
nasihat-1.html