Artikel

Sahabat Nabi 1 memiliki posisi sangat penting dalam


Islam. Merekalah generasi yang tumbuh langsung di bawah


naungan tarbiyah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.


Karenanya, mereka ibarat menara benderang dalam hal


pemahaman akan kebenaran, kelurusan aqidah,


1 Yang dimaksud sahabat ialah :" Orang yang pernah melihat atau


berjumpa dengan Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan


beriman dan wafat dalam keadaan Islam, meskipun pernah


murtad" lihat : Al-Baa'itsul Hatsits Syarah Ikhtisar 'Uluumil-Hadits


Lil-Hafizh Ibnu Katsir oleh Syaikh Ahmad Muhammad Syakir hal.


151 cet. Darut turats Th. 1399H/1979M ; Asy-Syahid ats-Tsani, ar-


Ri’ayah fii ‘ilmi ad-Dirayah, tahqiq Abdul Husai Muhammad ‘Ali


Baqal, (Iran: Matba’ah Bihmin, 1408), hal. 339, nama lengkapnya


Zainuddin Ibnu ‘Ali ibnu Ahmad al-Jab’i al-‘Amili, hidup pada


tahun 911-965 H., Walaupun ada dari kalangan ulama menolak


untuk memasukkan orang yang pernah murtad kemudian kembali


ke Islam dalam katagori sahabat, seperti Al-Hafidz al-Iraqi,


sebagaimana perkataan Abu Hanifah dan Imam Syafi'I bahwa


kemurtadan telah menggugurkan seluruh amal. Lihat: Jalaluddin


as-Suyuthi, Tadribur Rawi, jld.3 hal. 208-209., Demikian juga


orang munafik tidak termasuk sahabat Nabi SAW, meskipun


mereka bergaul dengan Rasulullah SAW.Karena Allah dan Rasul-


Nya mencela orang-orang munafik. Lihat: firman Allah (At-


Taubah:73), (At-Tahriim:9), (At-Taubah:84), (At-Taubah:80), (Al-


Munafiquun:6), (Muhammad:19), (Asy-Syu'araa' :215), dan (Al-


Fath:29).; Ibnu Hajar, Al-Ishabah fil Tanyizis-Shahabah jld.I hal. 7-


8 cet. Daarul-fikr 1398H.





4





kesungguhan ibadah, kemuliaan akhlak dan kesahajaan


hidup. Dengan posisi ini, sahabat menjadi jembatan pada saat


Islam diwariskan kapada generasi berikutnya. Merekalah


generasi terbaik dibanding generasi-generasi yang datang


berikutnya. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Rasulullah


dalam salah satu sabdanya 2 yang menegaskan pujian Allah


SWT dalam beberapa ayat al-Quran. 3


Kemuliaan yang disematkan kepada sahabat bukan


berarti menempatkan mereka sebagai sosok yang steril dari


salah dan dosa.Sahabat juga manusia, terkadang ada


2Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:


((لا يَدْخُلُ النَّارَ إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّجَرَةِ أَحَدٌ الَّذِينَ بَايَعُوا


تَحْتَهَا)) [ رواه مسلمٍ ]


“Tidak akan masuk neraka dengan izin Allah seorang-pun yang


ikut berbai’at di bawah (pohon)”.HR. Muslim, no. 2496.


3Allah berfirman:


﴿ قَدْ رَضِيَ اللَّهُ عَنِ الْمُؤْمِنِينَ إِذْ يُبَايِعُونَكَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمْ


فَأَنْزَلَ السَّكِينَةَ عَلَيْهِمْ وَأَثَابَهُمْ فَتْحًا قَرِيبًا﴾ [الفتح : 18]


“Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin


ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon, Maka


Allah mengetahui apa yang ada dalam hati mereka lalu


menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan


kepada mereka dengan kemenangan yang dekat (waktunya)”.


(Qs: al-Fath : 18).





5





sebahagian dari mereka yang terjebak dalam kesalahan dan


kemaksiatan.Namun hal tersebut tidak menjatuhkan


reputasinya sebagai pribadi yang baik, jujur dan adil,


terutama dalam meriwayatkan sesuatu yang datang dari


Rasulullah. Oleh karenanya, dalam pandangan mainstream


Sunni, seluruh sahabat adalah 'adil (as-shahabah kulluhum


'udul), dalam arti mereka bisa jadi bersalah dan berdosa, tapi


tidak mungkin mereka berdusta atas nama Rasulullah.


Kesepakatan ulama sunni tentang keadilan sahabat


ternyata tidak diamini oleh kaum Mu'tazilah dan Syiah. Bagi


kedua kelompok ini, tidak seluruh sahabat hadir dengan


keimanan yang sempurna kepada Allah dan rasul-Nya, di


antara mereka ada yang jatuh dalam lembah dosa dan


maksiat. Perbedaan dalam memandang sahabat ini akan


berdampak kepada kedudukan hadits yang diriwayatkan


sahabat itu. Artinya, jika di antara sahabat ada yang tidak


berperilaku baik, masihkan yang bersangkutan bisa dipegang


riwayatnya?Mungkin pertanyaan itulah yang menghinggapi


benak sementara kalangan yang menggugat kaidah bahwa


seluruh sahabat adalah 'Adil.


Di antara mereka yang menggugat kaidah tersebut


adalah Jalaludin Rakhmat 4 -salah seorang tokoh Syiah


4 Jalaluddin Rakhmat, lahir di Bandung, 29 Agustus 1949. Kang


Jalal, begitu panggilan populernya dikenal sebagai salah satu


tokoh cendikiawan dan mubaligh Islam terkemuka di Indonesia,


bersama Gus Dur (KH Abdurahman Wahid) dan Cak Nur


almarhum (Prof.Dr. Nurcholis Madjid). Pada tahun 2013, dia


tercatat sebagai mahasiswa program doctoral UIN Alauddin


Makassar yang sedang menulis disertasi seputar "Pergeseran dari


Sunnah Nabi kepada Sunnah Sahabat Nabi". Ia aktifis membidani





6





Indonesia- yang mengungkapkan pandangannya dalam


beberapa karya tulisnya. Baginya, banyak ayat-ayat al-Qur'an


yang turun menegur beberapa perilaku sahabat yang tidak


etis. Bahkan ada ayat-ayat yang turun menjelaskan bentuk


hukuman yang harus mereka terima lantaran maksiat yang


mereka lakukan.


Ternyata ada beberapa kalangan akdemisi yang


notabenenya beraliran Sunni juga setuju atau sepakatdengan


pandangan Jalaludin Rakhmat tentang sahabat Nabi. Salah


satunya adalah Fuad Jabali yang mempertanyakan 'Adalah


sahabat dalam bukunya "Shahabat Nabi: Siapa, kemana, dan


bagaimana?" atas keberaniannya di buku tersebut, Jalaludin


Rakhmat memuji sang penulis-sebagaimana yang tertera


dalam cover buku-dengan mengatakan: "buku ini merupakan


penelitian yang terbaik yang pernah saya baca. Untuk


melakukan seperti itu, orang memerlukan kecerdasan,


ketekunan, dan keberanian. Jabali memasuki wilayah-wilayah


penelitian yang boleh jadi masih tabu buat akademisi


Islam…" 5


Dalam berbagai forum, kang Jalal sebutan akrab Jalaludin


Rakhmat yang juga ketua dewan Syura jema'ah Ahlul Bait


Indonesia (IJABI) sering diundang sebagai narasumber untuk


mempresentasikan pandangannya tentang sahabat. Dalam


dan menjadi ketua Dewan Syura Ikatan Jama'ah Ahlul Bait


Indonesia (IJABI) yang kini sudah hampir 100 pengurus Daerah


(tingkat kota) di seluruh Indonesia dengan jumlah anggota sekitar


2,5 juta orang. Ia juga menjadi pendiri Islamic Cultural Center


(ICC) Jakarta bersama Dr. Haidar Bagir dan Umar Shihab.


5 Fuad Jabali, Sahabat Nabi: Siapa, kemana, dan Bagaimana?


(Bandung: Mizan,2010), cover belakang.





7





diskusi bulanan di teater utan kayu yang diadakan oleh


Jaringan Islam Liberal, Jalaludin Rakhmat hadir sebagai


narasumber dalam diskusi yang berjudul:"sahabat Nabi


dipuji, dicaci." 6


Sulit untuk disangkal bahwa pandangan Jalaludin


Rakhmat tentang sahabat Nabi adalah adopsi dari kaum Syiah


tentang sahabat. Dan kenyataanya, tidak sedikit dari kaum


Sunni yang terkontaminasi oleh cara pandang Jalaludin


Rakhmat. Dari sini, perlu ada penelitian dan kajian yang serius


sekaligus kritis tentang pandangan Jalaludin Rakhmat tentang


sahabat Nabi.


A. Kritik Jalaluddin Rakhmat Terhadap Sahabat Nabi


shallallahu alaihi wasallam.


a) Terhadap Mu'awiyah


Dalam bukunya, al-Musthafa, Jalaluddin Rakhmat


mengikuti jejak ulamanya yang menuduh Mu'awiyah Ra. Sebagai


seorang yang sering menghujat Nabi SAW, dan ia ingin


menghapussemua hal yang berhubungan dengan Nabi SAW.


Berikut penuturan Jalaludiin Rakhmat:


Pada suatu hari, pada akhir pemerintahannya


dan juga akhir hayatnya, Mu'awiyah ditemui


penasihatnya Mughirah bin Syu'bah. Mughirah


berkata, "Ya Amirul Mukminin, anda sudah


berusia tua. Alangkah baiknya kalau anda


menegakkan kebenaran dan menyebar kebaikan.


Sungguh sudah sampai waktunya. Alangkah


baiknya kalau anda memperhatikan saudara anda


6 www.islamlib.com





8





dari kalangan Bani Hasyim dan penyambung


persaudaraan bersama mereka. Demi Allah


mereka tidak perlu ditakuti." Lalu ia berkata


kepada Mughirah, " Tidak, tidak! Saudaraku dari


Bani Taim-Abu Bakar- telah berkuasa dan berbuat


adil. Ia telah lakukan apa yang telah ia lakukan.


Demi Allah setelah ia mati ia tidak pernah


disebut-sebut lagi kecuali namanya Abu Bakar.


Kemudian saudara dari Bani 'Adi berkuasa.Ia


berkuasa dan berusaha keras selama dua puluh


tahun. Demi Allah setelah ia mati tidak pernah


perbuatannya desebut-sebut kecuali namanya


Umar. Kemudian berkuasalah saudara kita


Utsman. Kemudian ia berkuasa dengan tidak


seorangpun menandingi nasabnya. Ia bertindak


dengan tindakan yang ia lakukan. Tetapi demi


Allah, tidak tertinggal kenangan tentang apapun


yang ia lakukan. Lalu lihatlah saudara Hasyim.


Namanya disebut lima kali sehari- Asyhadu anna


Muhammadan Rasulullah. Lalu tindakan apa lagi


yang masih kita lakukan? Tidak, demi Allah,


sampai mati sekalipun. 7 Pada hari yang lain


Mu'awiyah mendengar azan. Ia berkata, Demi


Allah, wahai putra Abdillah. Engkau betul-betul


ambisius.Hatimu belum puas sebelum namamu


7 Muruj al-Dzahab, 4; 41, peristiwa tahun 202 H. Ibnu Abi al-


Hadid, setelah mengutip kisah ini berkata, "Banyak diantara


sahabat kami mengecam agama Mu'awiyah. Mereka tidak hanya


menganggapnya fasik, bahkan ada yang mengatakan dia kafir


karena tidak meyakini kenabian.Mereka banyak mengutip


ucapan-ucapan yang meunjukkan ke arah situ."Lihat juga al-


Nihayah, 4: 44 dan Syarh Nahjul Balaghah, 5:129.





9





didampingkan bersama Tuhan Alam Semesta". 8


Mu'awiyah ingin menghapus semua hal yang


berhubungan dengan Nabi SAW.Dengan kisah-


kisah yang diciptakan oleh para pengikutnya. 9


Tanggapan


Membaca kritik-kritik Jalaluddin Rakhmat terhadap


sahabat yang diutarakan dalam bukunya, al-Musthafa, lalu


membandingkannya dengan kitab al-Sahahih min Sirah al-Nabiy


al-Adham karya seorang tokoh Syiah, al-Sayyid Ja'far Murtadla al-


Amiliy, akan mendapati banyak kesamaan. Dalam kitab sirah


tersebut, pengarangnya juga mengkritik Mu'awiyah dengan


menyetir riwayat yang sama dengan riwayat yang disitir oleh


Jalaluddin Rakhmat. Berikut kutipan riwayat tersebut (bandingkan


dengan tulisan Jalaluddin di atas):


روي أحمد ابن أبي طاهر فى كتاب "أخبار الملوك" أن معاوية سمع


المؤذن يقول : " أشهد أن محمدا رسول الله " فقال: لله يابن عبد الله, لقد


كنت عالي الهمة, ما رضيت لنفسك إلا أن يقرن اسمك باسم رب


العالمين.


Ahmad bin Abi Thahir meriwayatkan dalam kitab


"Akhbar al-Mulluk" bahwa suatu hari Mu'awiyah mendengar


seorang muadzin mengumandangkan : 'Asyhadu anna


Muhammaddan Rasulullah', lalu ia (Mu'awiyah) berkata: wahai


putra Abdullah. engkau betul-betul ambisius belum puas sebelum


namamu didampingkan bersama nama Tuhan Alam Semesta". 10





8 Syarh Nahjul Balaghah, 10:101.


9 Jalaluddin Rakhmat, al-Musthafa, hal. 15-16.





10





Menanggapi riwayat tentang Mu'awiyah yang


dilontarkan Jalaluddin Rakhmat dan kitab yang masih


dipertanyakan keabsahannya, cukup dengan mengetengahkan


pujian Rasulullah SAW sendiri terhadap salah seorang penulis


wahyu ini (baca: Mu'awiyah) yang jelas-jelas shahih. Diantara


pujian tersebut ialah:


-Do'a Rasulullah SAW kepada Mu'awiyah:





((اللهم اجعله هاديا مهديا واهد به)) [رواه الترمذي]


"Ya Allah, jadikan dia (Mu'awiyah) orang yang memberi petunjuk


(kebaikan), orang yang mendapat petunjuk, dan dengannya


orang mendapat petunjuk (HR. Tirmidzi)". 11


-Do'a Rasulullah SAW yang lain kepada Mu'awiyah:


((اللهم علم معاوية الكتاب و الحساب وقه العذاب)) [رواه أحمد]


"Ya Allah ajarilah Mu'awiyah menulis, hitungan dan lindungilah


dia dari siksaan (HR. Ahmad)". 12


Tentang keutamaan Mu'awiyah , setidaknya ada dua


kitab yang khusus membahas hal tersebut, yaitu "Min Aqwal al-


10 Al-Sayyid Ja'far Murtadla al-Amiliy, al-Shahih min Sirah al-


Nabiy al-Adham (Tehran: al-Markaz al-Islamiy li al-Dirasat, cet.5,


2005) jld. 31, hal. 31-32.


11 Hadits riwayat Tirmidzi di Sunannya, kitab al-Manaqib, bab


Manaqib Mu'awiyah bin Abi Sufyan, (Kairo: Maktabah Musthafa


al-Baby al-kalaby, 1975), jld. 5, hal. 678. Dishahihkan oleh Al-Bani.


12Hadits riwayat imam Ahmad dalam Musnadnya, (Beirut:


Muassasah al-isalah, 1999). Jld. 27, hal. 383.





11





Munshifin fi al-Shahaby al-Khalifah Mu'awiyah" karangan Abdul


Muhsin bin Hamd al-Abbad al-Badr dan " Min Fadlail wa Akhbar


Mu'awiyah": Dirasah Haditsiyyah karangan Muhammad Ziyad bin


Umar al-Taklah. 13


Jika kita perhatikan kitab yang dirujuk oleh Jalaluddin


Rakhmat saat melontarkan tuduhan kepada Mu'awiyah yaitu


Syarh Nahjul Balaghah, maka kita patut mempertanyakan


keabsahan riwayat tersebut.Sebagaimana lazim diketahui bahwa


kitab Nahjul Balaghah adalah kitab yang amat popular di kalangan


penganut Islam dan penganut Siyah. Isinya terdiri dari ucapan


,dan surat yang disandarkan kepada saidina Ali bin Abi Thalib Ra.


Bagi kaum Syiah, kedudukan kitab Nahjul Blaghah ini hampir


mendindingi Al-Quran bahkan saudaranya. 14 Pertanyaannya yang





13 Kedua kitab tersebut bisa dibaca di program Maktabah


Syamilah.


14Demikian Khomeini menyatakan berkenaan Kitab Nahjul


Balaghah :


نهج البلاغة : هو مجموعة منتخبة من كلام أمير المؤمنين علي رضي


الله عنه جمعها محمد بن الحسين الشريف الرضى المتوفى عام 406 هـ


وقد اعتبر علماؤ الإسلام الكبار هذا الكتاب أنه أخ للقرآن وأنه ليس من


كلام أفضل منه سوى كلام الله وكلام رسوله صلى الله عليه وسلم …


Artinya : “Nahjul Balaghah : Ia itulah himpunan terpilih daripada


perkataan Amirul Mukminin Ali a.s yang dihimpun oleh


Muhammad bin al-Husain al-Syarif al-Reda wafat pada tahun 406


H dan Ulama-ulama besar Islam (yakni Syiah) telah menanggap


ianya sebagai Saudara al-Qur’an dan tiada perkataan yang lebih





12





mendasar adalah: Apakah benar isi Nahjul Balaghah benar-benar


dari Ali bin Abi Thalib Ra.? 15


Bagi mereka yang peduli dalam studi hadits, pasti tidak


asing dengan perkataan Ibnu Mubarak :





[ الإسناد من الدين، ولو لا الإسناد لقال من شاء ما شاء ]


"Sanad itu bagian dari agama, kalau tidak ada isnad maka


siapapun akan berbicara semaunya saja"


Kembali ke kitab Nahjul Balaghah. Kitab ini disusun oleh


al-Murtadha Ali bin Husain bin Musa al-Musawi (lahir tahun 355


hijriyah, meninggal thaun 436 hijriyah). Tentang orang ini dan


kitab yang disusunnya, Imam al-Dzahabi mengatakan:


"Menurutku dia adalah penulis kitab Nahjul Balaghah,


yang dinisbahkan lafaznya kepada Imam Ali Ra. Tanpa


sanad.Sebagaimana mengandung kebatilan dan terselip juga di


dalamnya kebenaran. Namun di sana terdapat tema-tema yang


tidak mungkin diucapkan oleh imam Ali bin Abi Thalib Ra. Lalu ,


siapa sebenarnya yang menyusun kitab itu? Ada yang


mengatakan : Malah ia (Nahjul Balaghah) disusun oleh


saudaranya yang bernama al-Syarif al-Radhi… 16


afdal daripadanya selain Kalam Allah dan Rasul-Nya s.a.w.” [al-


Nidaa al-Akhir , Muassasah Imam al-Khomeini, Tehran-Iran].


15Menurut Syiah al-Qur’an mempunyai tandingan bahkan


saudara iaitu Nahjul Balaghah sedangkan Nahjul Balaghah


hanyalah kata-kata Saidina Ali r.a yang tidak sahih daripadanya


kerana penulis kitab ini tidak meriwayatkan secara bersanad


sedangkan dia tidak hidup di zaman Saidina Ali r.a. [Lihat :


Taammulat fi Nahjil Balaghah oleh Soleh al-Darwish].





13


b) Terhadap Amru bin Al-'Ash


Masih dalam bukunya, al-Musthafa, Jalaluddin Rahmat


kali ini menunjukkan kebenciannya kepada sahabat Nabi lain yang


dianggap 'setali tiga uang' dengan Mu'awiyah, yaitu Amru bin al-


'Ash. Sebagaimana lazin diketahui bahwa Amru adalah salah


seorang sahabat yang berada di barisan Mu'awiyah ketika


peristiwa Tahkim (perjanjian damai) antara Mu'awiyah dengan Ali


bin Abi Thalib. Di mata orang Syiah, Amru adalah seorang


politikus yang licik. Maka, tak ayal lagi, hujatan dan cercaan kerap


menimpanya setelah itu.


Dalam usahanya menebar kebencian terhadap Amru


Jalaluddin Rakhmat- sebagaimana yang biasa dilakukan- mengutip


kitab-kitab Syiah yang menghujat para sahabat. Berikut hujatan


Jalaluddin Rakhmat kepada Amru bin al-'Ash.:


"Marilah kita perhatikan apa yang telah


dilakukan oleh tonggak-tonggak kekuasaan


Bani Umayyah. Salah satu di antaranya adalah


Amru bin al-'Ash. Ibnu Abi Hadid menceritakan


16 Berikut teks aslinya:


"هو جامع كتاب" نهج البلاغة " المنسوبة ألفاظه إلى الإمام علي رضي


الله عنه ولا أساند لذلك و بعضها باطل و فيه حق و لكن فيه


موضوعات حاث الإمام من النطق بها, ولكن أين المصنف! و قيل : بل


جمع أخيه الشريف الرضي"


Lihat: Syamsuddin Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi, Syiar


Aa'lam al-Nubala' (Beirut: Mu'assasah al-Risalah, 1983), jld. 17,


hal. 589.





14





kepada kita secara riwayat Amru bin al-'Ash: 17


Amru adalah seorang di antara yang menyakiti


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Di


Makkah. Ia suka memaki Nabi dan meletakkan


batu-batu di jalan-jalan yang dilewatinya. Nabi


sering keluar dari rumahnya di malam hari


untuk tawaf di Ka'bah.Amrumenaburkan


bebatuan di jalan supaya Nabi shallallahu


alaihi wasallam tergelincir. Ia juga salah


seorang di antara yang mencegat Zainab putri


Rasulullah ketika hijrah ke madinah…Al-Wqidi


dan ahli hadits lainnya meriwayatkan bahwa


Amru sering mencemooh Rasulullah


shallallahu alaihi wasallam. Ia ajarkan cemooh


itu kepada anak-anak Makkah…Al-Zubair bin


Bakkar menyebutkan dalam kitab al-


Mufakharat, dari al-Hasan al-Mujtaba bahwa


ia pernah berkata kepada Ibnu al-'Ash,


"Adapun engkau hai anak al-'Ash. Urusan


kamu diperselisihkan.ibumu mengandung


kamu dari hasil promiskuitas. Tidak jelas siapa


bapakmu. Kemudian empat orang Quraish


berunding di antara mereka dan ditetapkan


sebagai bapak kamu orang yang paling buruk


nasabnya dan paling jelek kedudukannya… 18


Tanggapan


Menanggapi tuduhan yang dilontarkan Jalaluddin


Rakhmat terhadap Amru, kita patut menanyakan keabsahan


17 Syarh Nahjul Balaghah, 11: 44-46.


18 Jalaluddin Rakhmat, al-Musthafa, hal.13-14.





15





riwayat tersebut. Seandainya riwayat tersebut benar, maka


dengan mudah kita katakana bahwa itu semua merupakan bagian


dari masa lalu Amru bin al-'Ash sebelum masuk Islam. dan setelah


masuk Islam, semua kesalahan dan dosanya telah terhapus.


Bukankah al-Islam wal Hijratu yahjubu ma wablahu (Islam dan


hijrah menghapus dosa-dosa seseorang yang


sebelumnya/berlalu)? Kata-kata itulah yang diucapkan Rasulullah


SAW keapda Amru beberapa saat setelah dia masuk Islam dan


dibaiat seraya memohon kepada Rasulullah SAW agar dosa-


dosanya yang lalu diampuni. Berikut sekelumit tentang Amru bin


al-'Ash: 19


Dia adalah Amru bin 'Ash bin Wail bin Hasyim bin Sa'id


bin Sahm. Julukannya adalah Abu Abdillah.Ada yang mengatakan


julukannya adalah Abu Muhammad. Ibunya adalah al-Nabighah


binti Harmalah Sabiyah dari Bani Jalan bi 'Atik bin Aslam.


Saudaranya yang satu ibu adalah Amru bin Utsatsah al-'Adawiy


dan Uwbah bin Nafi' bin Abd Qois al-Fahriy.


Suatu hari ada seseorang bertanya kepada Amru tentang


ibunya, Amru menjawab: ibuku adalah Salma binti Harmalah,


julukannya al-Nabighah dari Bani 'Atrah yang dulunya adalah


seorang budak kemudian dijual di pasar 'Ukkadz, lalu dibeli al-


Fakih bin Mughirah, kemudian debeli Abdullah bin Jad'an terus


pindah tangan ke al-Ash bin Wail, dan lahirlah Amru bin 'Ash.





19 Yusuf ibnu Abdillah ibnu Abdil Br, al-Isti'ab fi Ma'rifatil Ashab


(Amman: Dar al-I'lam, 2002) jld. 1,hal. 366-368 ; Abu al-Hasan Ali


bin Muhammad Izzuddin Ibnu al-Atsir, Usd al-Ghabah fi Ma'rifati


as-Shahabah (Beirut: Dar al-Kutub al-'Ilmiyyah, t.t), jld. 1. Hal.


856-858; Ibnu Hajar al-Asqalani, al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah


(Kairo: Musthafa al-Babiy al-Kalabiy, t.t), jld. 4, hal. 650-653.





16





Dialah Amru bin 'Ash orang yang diutus suku Quraish ke


raja Najasyi supaya menyerahkan kembali kepadanya kaum


muslimin yang hijrah ke sana yang dipimpin Ja'far bin Abi Thalib.


Namun raja Najasyi menolak permintaan Amru seraya berkata:


"Wahai Amru, bagaimana anda tidak menyadari siapa sebebarnya


putra pamanmu itu. Demi Allah sesungguhnya dia (Muhammad)


adalah utusan Allah", "Benarkah apa yang kamu katakana?" sahut


Amru. Najasyi kembali menegaskan : "Demi Allah (benar),


percayalah kepadaku". Setelah mendengar penuturan Najasyi


tersebut, Amru langsung pergi menemui Rasulullah shallallahu


alaihi wasallam untuk mengikrarkan keislamannya pada perang


Khaibar. Dalam riwayat lain dituturkan: dia (Amru) masuk Islam di


hadapan Najasyi, kemudian hijrah ke Nabi shallallahu alaihi


wasallam. Ada yang mengatakan : Amru masuk Islam pada bulan


Safar tahun ke-8 hijriyah, tepatnya enam bulan sebelum Fath


Makkah (Pembukaan Kota Makkah). Sebelum itu, sebenarnya dia


sudah punya keinginan kuat untuk berjumpa dengan Nabi


shallallahu alaihi wasallam. Tepatnya pasca pertemuan dengan


Najasyi. Namun keinginannya tersebut tertunda. Akhirnya dia


datang menemui Nabi shallallahu alaihi wasallam bersama Khalid


bin Walid dan Utsman bin Thalhah al-'Abdari. Mulanya, Khlaid


yang masuk Islam, lalu dibaiat, lalu Amru bin 'Ash menyusul Khalid


masuk Islam dan dibaiat secara minta kepada Nabi shallallahu


alaihi wasallam Agar dosa-dosanya yang lalu diampuni. Rasulullah


shallallahu alaihi wasallam Mengatakan kepadanya: "al-Islam wa


al-Hijrah yahjubu ma qablahu (Islam dan Hijrah mengahpus apa-


apa (dari dosa) sebelumnya)".


Perlu diketahui, seburuk apapun masa lalu seseorang,


sebanyak apapun bilangan dosanya, selama yang bersangkutan


benar-benar taubat, maka ia bagaikan bayi yang baru saja


dilahirkan. Apalagi orang tersebut adalah seorang sahabat Nabi.


Dalam haditsnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Bersabda:





17





((التائب من الذنب كمن لا ذنب له)) [رواه ابن ماجه]


"Orang yang bertaubat dari dosanya seperti orang yang tidak


punya dosa.(HR. Ibnu Majah). 20


B. Kritik Jalaluddin Rakhmat Terhadap Riwayat Hadits


1) Kritik Riwayat Puasa Asyura


Dalam bukunyam Islam Aktual, Jalaluddin Rakhmat


menulis salah satu sub bab dengan judul : Tarikh Nabi


Muhammad SAW. : Kritik Historis, di sini dia mengajak pembaca


agar bersikap kritis saat mempelajari sirah Nabi, dalam arti tidak


menerima apa saja yang dikisahkan oleh buku sejarah. Ada


beberapa riwayat yang dianggap 'mapan' oleh mayoritas kaum


muslimin yang ditinjau ulang oleh Jalaluddin Rakhmat.Diantara


riwayat tersebut adalah tradisi puasa Asyura. Berikut kritik


Jalaluddin Rakhmat:


"Pada tanggal 10 Muharram, banyak Muslim


yang saleh melakukan puasa Asyura (Asyura


artinya tanggal 10 Muharram).Mereka ingin


mencontoh Rasulullah shallallahu alaihi


wasallam yang berpuasa pada hari itu. Saya


kutipkan salah satu hadits tentang puasa Asyura


dari Shahih Bukhari: "Dari Ibnu Abbas, ketika


Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam


tiba di Madinah dia melihatorang Yahudi


berpuasa pada hari Asyura. Nabi shallallahu


alaihi wasallam bertanya: "Apkah ini?" orang





20 Muhammad Ibnu Yazid Ibnu Majah, Sunan, kitab al-Zuhd, Bab


Dzikr al-Taubah, tahqiq: Muhammad Fuad Abdul Baqi (Beirut: Dar


al-Fikri, t.t), jld. 2, hal. 1419.





18





–orang Yahudi berkata: "Ini hari yang baik. Pada


hari inilah Allah menyelamatkan Bani Israil dari


musuh mereka, maka Musa As. Berpuasa pada


hari itu." Kata Nabi SAW.: "Aku lebih berhak


terhadap Musa daripada kalian." Maka Nabipun


melakukan puasa dan menyuruh orang


melakukannya juga."Bukhari menyatakan hadits


ini sahih.Tetapi merilah kita teliti dengan ilmu


hadits dan kritik historis.Segera kita menemukan


beberapa hal yang janggal.


Pertama, sahabat yang meriwayatkan peristiwa


ini adalah Abdullah Ibnu Abbas.Menurut para


penulis biografi, Ibnu 'Abbas lahir tiga tahun


sebelum hijrah.Ia hijrah ke Madinah pada tahun


ketujuh Hijri. Jadi, ketika Nabi shallallahu alaihi


wasallam tiba di Madinah, Ibnu 'Abbas masih di


Makkah dan belum menyelesaikan masa


balitanya.


Darimana Ibnu 'Abbas mengetahui peristiwa itu?


Mungkin dari sahabat Nabi yang lain, tetapi ia


tidak menyebutkan siapa sahabat Nabi itu. Ia


menyembunyikan sumber berita, sehingga


seakan-akan ia menyaksikan sendiri peristiwa


itu. Dalam ilmu hadits, perilaku seperti itu


disebut tadlis (pelakunya disebut Mudallis).


Kedua, bandingkanlah riwayat ini dengan


riwayat-riwayat yang lain dari Ibnu 'Abbas.


Menurut Muslim, Nabi diriwayatkan bermaksud


puasa pada hari Asyura tetapi tidak kesampaian.


Dia keburu meninggal. Masih menurut muslim,


dan juga Ibnu 'Abbas, dari Nabi shallallahu alaihi





19





wasallam sempat melakukannya setahun


sebelum dia wafat. Bila kita bandingkan riwayat


Ibnu 'Abbas ini dengan riwayat-riwayat para


sahabat yang lain, kita akan menemukan lebih


banyak lagi pertentangan. Menurut siti Aisyah


Nabi sudah melakukan puasa Asyura sejak


zaman jahiliyah. Nabi meninggalkan puasa


Aysura setelah turun perintah puasa Ramadhan


(Sahih Bukhari).Menurut Mu'awiyah, Nabi


shallallahu alaihi wasallam memerintahkan


puasa Asyura pada waktu haji wada' (Sahih


Bukhari).


Ketiga, Nabi shallallahu alaihi wasallam


menemukan orang Yahudi berpuasa Asyura


ketika dia tiba di Madinah.Semua ahli sejarah


sepakat Nabi tiba di Madinah pada bulan Rabi'ul


Awwal. Bagaimana mungkin orang berpuasa 10


Muharram pada 12 Rabi'ul Awwal? Mungkinkah


orang shalat pada hari Senin?


Keempat, Nabi shallallahu alaihi wasallam


diriwayatkan meniru tradisi Yahudi untuk


melakukan puasa Asyura.Bukankah Nabi


berulang-ulang mengingatkan umatnya untuk


tidak meniru tradisi Yahudi dan Nashara?


"Bedakan dirimu dari orang Yahudi ," kata


Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.. Begitu


seringnya Nabi shallallahu alaihi wasallam


Mengingatkan umat Islam waktu itu untuk


berbeda dengan Yahudi, sampai orang Yahudi


berkata: "Lelaki ini (maksudnya Muhammad)


tidak ingin membiarkan satupun tradisi kita yang





20





tidak ditentangnya.' (Lihat Sirah al-Halabiyah,


2:115).


Kelima, bila kita mempelajari ilmu perbandingan


agama, kita tidak akan menemukan tradisi puasa


Asyura pada agama Yahudi. Puasa Asyura hanya


dikenal sebahagian umat Islam, berdasarkan


riwayat yang otentitas dan validitasinya kita


ragukan itu. 21


Tanggapan


Sebagaimana jalaludin Rahmat mengkritisi hadits di atas


dengan lima poin, maka sanggahan penulis juga tertuju pada lima


poin tersebut.


Pertama, tuduhan jalaludin Rahmat bahwa Ibnu Abbas


dalam riwayat di atas adalah mudallis- karena tidak menyebutkan


nama sahabat dimana dia (Ibnu Abbas) mengmabil hadits dari


sahabat tersebut- berangkat dari kebodohannya bahwa jenis


riwayat seperti ini disebut hadits mursal, tepatnya mursal as-


shahabi. Jumhur ulama sepakat bahwa mursal al-Shahabiyi adalah


hujjah (bisa dijadikan sandaran hukum), setidaknya karena dua


hal. Yang pertama dan utama, tidak mungkin sahabat berdusta


atas nama Rasulullah SAW. Kedua, tidak mungkin seluruh sahabat


selalu hadir dalam majelis Rasulullah, pasti diantara mereka ada


yang tidak hadir karena satu dan lain hal.Oleh karenanya, dalam


banyak kesempatan, Rasulullah SAW.Sendiri sering menyuruh


sahabatnya yang hadir (mendengar hadits beliau) supaya


menyampaikannya kepada yang tidak hadir.





21Jalaluddin Rakhmat, Islam Aktual, hal.166-167.





21





Kedua, Jalaludin Rahmat mengklaim bahwa riwayat


tentang puasa asyura ini mutaharribah (berbenturan satu dengan


yang lainnya). Maka marilah kita uraikan satu persatu:


Adapun riwayat Ibnu Abbas- di shahih Muslim- bahwa


Nabi bermaksud puasa pada hari Asyura tetapi tidak kesampaian


(keburu beliau meninggal) adalah benar (Shahih) 22 . Sedangkan


argument Jalaludin Rahmat bahwa ada riwayat Ibnu Abbas yang


lain-di shahih Muslim juga- bahwaNabi pernah puasa Asyura satu


tahun sebelum beliau wafat, maka penulis katakan: mungkin


riwayat yang Jalaludin Rahmat maksud adalah sebagai berikut: "


dari AL-Hakam bin al-A'raj berkata: "Saya mendatangi Ibnu Abbas


yang kala itu sedang rebahan dengan jubahnya di dekat sumur


Zamzam. Saya bertanya kepadanya: beritahu kepada saya tentang


puasa Asyura? Dia (Ibnu Abbas) menjawa: ketika saya melihat


hilal bulan Muharram, maka saya mulai menghitung, dan pada


hari kesembilan, saya berpuasa. Saya (Al-Hakam) bertanya:


"Apakah demikian Rasulullah mengerjakannya? Ia (Ibnu Abbas)


menjawab: "Iya". 23


22 Riwayatnya sebagai berikut:


عن عَبْدَ اللهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا يَقُولُ: حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ


صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ


يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «


فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ » قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ


الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ





23 Riwayatnya sebagai berikut:


عَنِ الْحَكَمِ بْنِ الْأَعْرَجِ قَالَ: انْتَهَيْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا وَهُوَ


مُتَوَسِّدٌ رِدَاءَهُ فِي زَمْزَمَ فَقُلْتُ لَهُ : أَخْبِرْنِي عَنْ صَوْمِ عَاشُورَاءَ فَقَالَ:





22





Riawayat yang kedua memberi kesan bahwa Rasulullah


pernah puasa Asyura yang didahului puasa pada tanggal 9


muharram. Sedangkan riwayat yang pertama bahwa Rasulullah


belum sempat puasa Asyura (termasuk sehari sebelumnya) Karen


keburu meninggal.Bagaimana mengkompromikan kedua riwayat


ini?


Jawabannya adalah perkataan Ibnu Abbas :"


(Demikianlah Rasulullah mengerjakannya (puasa Asyura yang


didahului puasa Sembilan Muharram)" tidak harus dipahami


bahwa Rasulullah benar-benar sudah melakukannya, melainkan


lebih merupakan azzam atau niat beliau akan melakukannya dan


memerintahkan sahabatnya untuk melakukannya. Pendapat ini


diperkuat oleh al-Adzim Abadi yang mengkompromikan dua


riwayat di atas dengna mengatakan:"perkataan Ibnu Abbas


"Demikianlah Rasulullah mengerjakannya", maksudnya adalah


–Wallahu 'alam- jika aku (Rasulullah) hidup sampai tahun depan


maka aku akan puasa tangggal sembilan". Jadi, hal ini merupakan


azzam (keinginan) sekaligus pemberitahuan beliau untuk puasa


pada tanggal Sembilan muharram. Sehingga dengan demikian,


tidak ada benturan antar riwayat Ibnu Abbas" 24 .


Adapun riwayat yang disodorkan Jalaludin Rahmat, yaitu


riwayat Muawiyah yang mengatakan bahwa puasa Asyura baru


dianjurkan Nabi pada waktu hari wada', sama sekali tidak bisa


dibenarkan, Karen atidak sedikitpun redaksi mengatakan


«إِذَا رَأَيْتَ هِلَالَ الْمُحَرَّمِ فَاعْدُدْ وَأَصْبِحْ يَوْمَ التَّاسِعِ صَائِمًا» قُلْتُ: هَكَذَا


كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُهُ قَالَ: «نَعَمْ»


24 Muhammad Syamsul Haq al-Adzim Abadi, 'Aun al-Ma'bud


Syarh sunan Abi Dawud, (Madinah: al-Maktabah al-Salafiyah,


1388 H), jld. 7, hal. 112.





23





demikian. Muawiyah hanya menyerukan penduduk Madinah,


pada saat haji wada' supaya puasa Asyura. Berikut riwayat


Muawiyah tersebut;


((عن مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَوْمَ عَاشُورَاءَ عَامَ حَجَّ


عَلَى المِنْبَرِ يَقُولُ: يَا أَهْلَ المَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى


اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا


صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ)) [رواه البخاري]


عن مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي سُفْيَانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا يَوْمَ عَاشُورَاءَ عَامَ حَجَّ عَلَى


المِنْبَرِ يَقُولُ: يَا أَهْلَ المَدِينَةِ أَيْنَ عُلَمَاؤُكُمْ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ


عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: «هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ وَأَنَا


صَائِمٌ فَمَنْ شَاءَ فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ فَلْيُفْطِرْ»(رواه البخاري)


"Dari Muawiyah bin Abi Sufyan berkata pada hari Asyura pada


tahun haji (saat itu) di atas mimbar: "wahai penduduk Madinah,


dimana ulama kalian? Sesungguhnya saya pernah mendengar


Rasulullah bersabda: ini hari Asyura, Allah tidak mewajibkan


kepada kalian semua puasa, tapi saya puasa sekarang .siapa yang


mau, boleh berpuasa. Siapa yang tidak mau, boleh berbuka" 25 .


Jadi, Muawiyah hanya mengingatkan kembali pada


musim haji apa yang pernah dia dengar dari Rasulullah tentang


puasa Arafah. Perlu diketahui bahwa Rasulullah sudah berpuasa


Asyura sejak zaman Jahiliyah-sebagaimana riwayat Aisyah, tapi


setelah turun perintah puasa Ramadhan, puasa Asyura tidak


menjadi wajib lagi.


Ketiga, adapun tuduhan Jalaludin Rahmat bahwa hadits


tentang puasa Asyura trsebut berbenturan dengan fakta sejarah


25 Hadits riwayat Bukhari dalam Shahihnya, Kitab al-Shaum, bab


Shiyam Yaum 'Asyura', jld. 3, hal. 44.





24





(karena redaksi hadits member kesan bahwa ketika Rasulullah


datang di Madinah, beliau mendapati kaum Yahudi sedang


berpuasa Asyura, sedangkan sejarah mencatat bahwa beliau tiba


di Madinah pada bulan Rabi'ul Awal), maka bisa dijelaskan


sebagai berikut: redaksi hadits yang menuturkan: "ketika


Rasulullah tiba di Madinah, beliau melihat orang Yahudi berpuasa


pada hari Asyura….." bukan berarti bahwa Rasulullah melihat


orang Yahudi berpuasa Asyura di hari-hari atau bulan-bulan


bahkan tahun-tahun pertama setelah beliau di Madinah. Tetapi


beliau tiba di Madinah pada bulan Rabiul Awal, dan menetap


sekian lama di Madinah, lalu mendapati orang Yahudi berpuasa


Asyura. Bahkan riwayat yang lain menegaskan, beliau mendapati


orang Yahudi berpuasa Asyura di tahun terakhir beiau di


Madinah. Buktinya adalah, beliau menyuruh sahabatnya untuk


puasa Asyura dan ditambah satu hari sebelum atau sesudahnya,


biar tidak sama dengan Yahudi (yang hanya puasa tanggal


sepuluhnya saja).


Dalam tata cara perpuasa As-Syuro para ulama


Ahlussunnah berbeda pendapat. Apakah puasa dua hari yaitu


pada tanggal 9 dan 10, puasa pada tanggal 10 dan 11, atau


berpuasa satu hari saja yaitu pada 10 Muharrom atau juga puasa


tiga hari sekalian, pada 9,10 dan 11 Muharrom. Dalam hal ini


bukan berarti ulama mengingkari puasa tersebut, akan tetapi


berbeda dalam waktu yang boleh berpuasa di dalamnya.


Pertama, Berpuasa selama 3 hari tanggal 9, 10, dan 11 Muharram.


Berdasarkan hadits Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhu yang


diriwayatkan oleh Imam Ahmad dengan lafadz sebagaimana telah


disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam al-Huda dan al-Majd Ibnu


Taimiyyah dalam al-Muntaqa 2/2:





25





“Selisihilah orang Yahudi dan berpuasalah sehari


sebelum dan setelahnya.”


Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang Al-


Urf asy-Syadzi:


“Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum dan


setelahnya dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi.”


Namun di dalam sanadnya ada rawi yang


diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata (dalam Zaadud Ma’al


2/76):”Ini adalah derajat yang paling sempurna.” Syaikh Abdul


Haq ad-Dahlawi mengatakan:”Inilah yang Utama.”


Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan


keutamaan cara ini. Dan termasuk yang memilih pendapat puasa


tiga hari tersebut (9, 10 dan 11 Muharram) adalah Asy-Syaukani


(Nailul Authar 4/245) dan Syaikh Muhamad Yusuf Al-Banury


dalam Ma’arifus Sunan 5/434


Namun mayoritas ulama yang memilih cara seperti ini


adalah dimaksudkan untuklebih hati-hati.Ibnul Qudamah di dalam


Al-Mughni 3/174 menukil pendapat Imam Ahmad yang memilih


cara seperti ini (selama tiga hari) pada saat timbul kerancuan


dalam menentukan awal bulan.


Kedua, Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram.


Mayoritas Hadits menunjukkan cara ini:


“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada hari


Asyura dan memerintahkan berpuasa. Para shahabat berkata:”Ya





26





Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh Yahudi.” Maka


beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Di tahun depan


insya Allah kita akan berpuasa pada tanggal 9.”, tetapi sebelum


datang tahun depan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah


wafat.” 26


Dalam riwayat lain :


“Jika aku masih hidup pada tahun depan, sungguh aku akan


melaksanakan puasa pada hari kesembilan.” 27


Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245)


:”Keinginan beliau untuk berpuasa pada tanggal sembilan


mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak hanya berpuasa


pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari


kesepuluh. Kemungkinan dimaksudkan untuk berhati-hati dan


mungkin juga untuk menyelisihi kaum Yahudi dan Nashara,


kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang itu ditunjukkan


sebagian riwayat Muslim”


“Dari ‘Atha’, dia mendengar Ibnu Abbas berkata:”Selisihilan


Yahudi, berpuasalah pada tanggal 9 dan 10”.





26Hadits Shahih Riwayat Muslim 2/796, Abu Daud 2445, Thabary


dalam Tahdzibul Atsar 1/24, Baihaqi dalam Al-Kubra 4/287 dan


As-Shugra 2/119 serta Syu’abul Iman 3506 dan Thabrabi dalam Al-


Kabir 10/391


27Hadits Shahih Muslim 2/798, Ibnu Majah 736, Ahmad 1/224,


236, 345, Baihaqi 4/287, Ibnu Abi Syaibah dalam Mushanafnya


3/58, Thabrani dalam Al-Kabir 10/401, Thahawi 2/77 dan lain-lain





27





Ketiga, berpuasa dua hari yaitu tanggal 9 dan 10 atau 10 dan 11


Muharram.


“Berpuasalah pada hari Asyura dan selisihilah orang Yahudi,


puasalah sehari sebelumnya atau sehari setelahnya”


Hadits marfu’ ini tidak shahih karena ada 3 illat (cacat):


a. Ibnu Abi Laila, lemah karena hafalannya buruk.


b. Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah


c. Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan


lebih hafal daripada perawi jalan/sanad marfu’


Jadi hadits di atas Shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-


Sunan al-Ma’tsurah karya As-Syafi’i no 338 dan Ibnu Jarir ath-


Thabari dalam Tahdzibul Atsar 1/218.


Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma’arif hal 49):”Dalam sebagian


riwayat disebutkan atau sesudahnya maka kata atau di sini


mungkin karena keraguan dari perawi atau memang


menunjukkan kebolehan….”


Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246):”Dan ini


adalah akhir perkara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,


dahulu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam suka menyerupai ahli


kitab dalam hal yang tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu


menyelisihi orang-orang musyrik. Maka setelah Fathu Makkah


dan Islam menjadi termahsyur, beliau suka menyelisihi ahli kitab


sebagaimana dalam hadits shahih.Maka ini (masalah puasa


Asyura) termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau





28





menyerupai ahli kitab dan berkata :”Kami lebih berhak atas Musa


daripada kalian (Yahudi).”, kemudian beliau menyukai menyelisihi


ahli kitab, maka beliau menambah sehari sebelum atau


sesudahnya untuk menyelisihi ahli kitab.”


Ar-Rafi’i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213) :”Berdasarkan ini,


seandainya tidak berpuasa pada tanggal 9 maka dianjurkan untuk


berpuasa pada tanggal 11″


Keempat, berpuasa pada 10 Muharram saja.


Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/246) :”Puasa Asyura


mempunyai 3 tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja,


tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9, dan


tingkatan diatasnya ditambah puasa pada tanggal 9 dan 11.


Wallahu a’lam.”


Dengan demikian, kita sudah menyanggah keberatan


Jalaludin yang keempat, bahka puasa Asyura sama dengan orang


Yahudi, padahal Nabi dalam banyak kesempatan melarang


sahabatnya untuk menyerupai kaum Yahudi.


Kelima, Jalaludin Rahmat menganggap bahwa tradisi


puasa Asyura tidak ditemukan dalam agama Yahudi. Menaggapi


pernyataannya kali ini, penulis tidak habis fikir, sebelumnya ia


bilang bahwa, puasa Asyura adalah tradisi Yahudi dan sebagai


muslim, Nabi melarang umatnya menyerupai Yahudi. Kali ini dia


bilang bahwa tidak ada tradisi puasa Asyura dalam ajaran Yahudi.


Penulis katakan pada Jalaludin Rahmat, kalau dia tidak


mendapati orang Yahudi puasa Asyura sekarang, bukan berarti


tradisi itu tidak pernah ada (dulunya). Sama halnya dengan tradisi


khitan.Dulu tradisi itu ada, baik di kalangan Yahudi maupun





29





Nasrani. Tapi, apakah tradisi khitan itu masih dijumpai dalam


ajaran mereka (Yahudi dan Nasrani) sekarang?


2) Kritik Riwayat Kekafiran Abu Thalib


Masih dalam buku yang sama (Islam aktual) Jalaludin


Rahmat melayangkan kritikannya terhadap riwayat yang


menuturkan kekafiran Abu Thalib. Menurutnya, riwayat tersebut


sarat dengan rekayasa politik. Berkut penuturannya:


"Riwayat lain yang sangat popular di kalangan


kaum muslim dan tampaknya juga hasil rekayasa


politik adalah kisah kekafiran Abu Thalib. Abu


Thalib adalah paman dan ayah asuh


Rasulullah.Dia membela Nabi dengan jiwa


raganya……musuh Abu Thalib dan musuh besar


Rasulullah waktu itu adalah Abu Sufyan.


Sekarang apa yang kita ketahui tentang kedua


tokoh ini? Menakjubkan. Kita menyebut Abu


Thalib kafir dan Abu Sufyan muslim……."


Untuk membuktikan bahwa Abu Thalib itu kafir,


ditunjukkan dalam Bukhari dan Muslim:


menjelang wafatnya Nabi menyuruh Abu Thalib


mengucapkan "Laa ilaha illlah". Abu Jahal dan


Abdullah bin Umayah memeperingatkan Abu


Thalib untuk tetap berpegang pada agama Abdul


Muthalib. Sampai menghembuskan nafasnya


yang terakir, dia tidak mau mengucapkan


kalimat tauhid itu…. Nabi ingin memohonkan


ampunan bagi Abu Thalib, tetapi turunlah ayat


at-Taubah 113….