زياد إيكو هاريانتو
2015 - 1436
3
Teori Jahmiyah Tentang Ketuhanan
Segala puji hanya bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla, kami
memuji -Nya, memohon pertolongan dan ampunan kepada -Nya,
kami berlindung kepada -Nya dari kejahatan diri-diri kami dan
keburukan amal perbuatan kami. Barangsiapa yang Allah
Shubhanahu wa ta’alla beri petunjuk, maka tidak ada yang dapat
menyesatkannya, dan barangsiapa yang -Dia sesatkan, maka tidak
ada yang dapat memberinya petunjuk.
Aku bersaksi bahwasanya tidak ada ilah yang berhak
diibadahi dengan benar kecuali Allah Shubhanahu wa ta’alla
semata, yang tidak ada sekutu bagi -Nya. Dan aku juga bersaksi
bahwasannya Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam
adalah hamba dan Rasul -Nya. Amma Ba'du:
Penjelasan Mengenai Bentuk-bentuk Kesyirikan dalam
Rububiyah Dengan Mengingkari (Ta’thil) Sang Pencipta dari
Kesempurnaan -Nya yang Suci dan Tetap bagi -Nya.
Pengantar: Penjelasan mengenai pengingkaran terhadap
Allah Shubhanahu wa ta’alla dari nama-nama, sifat-sifat, dan
perbuatan -Nya dan termasuk dalam kesyirikan.
Sebagaimana telah kita jelaskan secara umum mengenai
penolakan terhadap Allah Shubhanahu wa ta’alla yang
4
merupakan bagian dari kesyirikan. Dengan menyebutkan nukilan
dari para pakar dalam masalah ini 1 . Dengan demikian, maka bisa
kita simpulkan secara ringkas apa yang telah disebutkan pada
pembahasan yang telah lalu, sebagai berikut:
Pertama: Tidak ada perselisihan pendapat di kalangan para
muhaqiq (pengamat), bahwa syirik adalah lawan dari pada tauhid.
Apabila kita katakan, "Sesungguhnya tauhid memiliki tiga macam
yaitu Rububiyah, Asma’ was Shifat, dan Uluhiyah. Dengan
demikian, maka kita juga bisa menentukan apa yang menjadi
lawannya yaitu kesyirikan. Dan lawannya ini bisa terbagi menjadi
dua macam :
1. Dengan cara tha’til (menolaknya).
2. Dengan menetapkan ketiga macam tauhid tersebut kepada
selain Allah ta’ala.
Adapun tha’til, maka ini dilatar belakangi kejadiannya
dengan cara mengingkari rububiyah Allah Shubhanahu wa ta’alla
secara mutlak. Atau dengan cara mengingkari kesempurnaan -Nya
yang maha suci yang telah melekat pada -Nya atau bisa juga
dengan cara mengingkari keduanya secara bersamaan. Adapun
yang pertama, yaitu kesyirikan dalam rububiyah, maka caranya
dengan menolak Allah Shubhanahu wa ta’alla sebagai pencipta
1 Lihat pembahasan yang telah lalu pada hal : 129-130, 141-143, 285-290
5
yang telah menciptakan makhluk -Nya. Dan ini, telah berlalu
pembahasaannya pada pembahasan pertama.
Sedangkan yang kedua, maka hal itu merupakan
kesyirikan dalam rububiyah dan asma’ was shifat, serta
perbuatan-perbuatan -Nya, yaitu dengan cara menolak
kesempurnaan yang ada pada Allah azza wa jalla. Inilah yang akan
menjadi inti pokok pembahasan pada pembahasan kita kali ini,
sesuai dengan kehendak Allah Shubhanahu wa ta’alla. Adapun
yang ketiga, maka perinciannya akan kita angkat pada
pembahasan ketiga, insya Allah.
Sedangkan penetapannya kepada selain Allah
Shubhanahu wa ta’alla maka terjadi dari segi dzat, sifat, dan
perbuatan -Nya. Dan sisi ini akan menjadi pembahasan pada sub
pasal kedua dengan kehendak Allah Shubhanahu wa ta’alla.
Dengan itu kita ketahui bahwa penolakan (tha’til) bisa menjadi
sebuah kesyirikan dalam rububiyah, asma was shifat dan
perbuatan Allah Shubhanahu wa ta’alla, yaitu dillihat dari sisi
keterangan bahwa rububiyah, asma’ was shifat, dan perbuatan
Allah Shubhanahu wa ta’alla merupakan bagian dari tauhid.
Pertama: Sesungguhnya seorang hamba tidak pernah bisa
terlepas dari yang namanya ritual peribadahan secara mutlak.
Karena memang dirinya membutuhkan peribadatan tersebut,
6
dimana ia sangat berkeinginan dan berambisi sekali untuk bisa
ibadah.
Dan tatkala disadari bahwa kefakiran memerlukan
kepada sesuatu yang dapat mencukupinya dari kefakiran yang lagi
dideritanya. Maka apabila ada makhluk yang mengingkari adanya
pencipta, dalam hal ini adalah Allah Shubhanahu wa ta’alla, atau
menolak nama dan sifat-sifat -Nya, perbuatan-perbuatan -Nya,
atau menolak keduanya. Maka, secara tidak langsung akan
mendorong dirinya harus menemukan dzat lain sebagai sarana
yang dianggap dapat memenuhi kebutuhannya, dan ini adalah
suatu kelaziman, mau atau tidak mau. Oleh karena itu,
barangsiapa yang menjadikan dzat selain Allah Shubhanahu wa
ta’alla sebagai tempat pelampiasan untuk diminta memenuhi
kebutuhannya, maka secara langsung dirinya telah
menjadikannya sebagai tuhan selain Allah azza wa jalla.
Contoh konkretnya adalah, bahwa orang yang
mengingkari adanya Rabb atau pencipta, sesungguhnya ia sedang
hidup di alam semesta ini. Dan yang namanya kehidupan ini, tidak
mungkin bisa terlepas dari yang namanya kelelahan dan berbagai
macam permasalahan. Sehingga orang yang mengingkari
rububiyah dalam menghadapi kelelahan dan berbagai macam
persoalan hidup yang ada, maka tidak terlepas dari dua kondisi,
7
mungkin dia akan mengatakan, "Aku adalah penguasa bagi diriku
sendiri, yang mampu untuk menyelesaikan berbagai problematika
ini sendirian, tanpa ada campur tangan dari pihak orang lain".
Tatkala itu, maka dirinya sedang menjadi seorang pendusta, tidak
perlu disangsikan lagi.
Atau dirinya akan mengatakan, "Sesungguhnya si fulan,
atau peraturan tertentu akan mengatasi segala problem yang
sedang saya hadapi". Maka Ketika itu, dia telah menjadikan
seorang makhluk atau peraturan tertentu dalam kedudukan
setara dengan rububiyah, walaupun ia tidak visualisasikan secara
jelas, atau tidak mengakui hal tersebut.
Demikianlah, keadaan orang yang mengingkari nama-
nama Allah Shubhanahu wa ta’alla, sifat-sifat -Nya dan
perbuatan-perbuatan -Nya, yang mana ciptaan Allah Shubhanahu
wa ta’alla termasuk bagian dari kandungan keadilan dan hikmah -
Nya. Maka orang yang berkeyakinan semacam tadi secara tidak
langsung telah menetapkan nama-nama, sifat-sifat, dan
perbuatan-perbuatan ini kepada selain Allah Shubhanahu wa
ta’alla, walaupun ia sendiri barangkali mengingkarinya dan
mengakui yang lain.
Hal itu, dikarenakan nama-nama Allah Shubhanahu wa
ta’alla, sifat-sifat -Nya dan perbuatan-perbuatan -Nya secara
8
keseluruhan adalah kelaziman yang ada pada dzat -Nya, dan
kelaziman yang harus ada dari para hamba -Nya. Sehingga
menjadi jelas bahwa nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan-
perbuatan -Nya merupakan ketetapan yang mutlak bagi -Nya,
yang konsekuensinya para hamba sangat membutuhkan sekali
untuk berdoa dengan menggunakan nama-nama -Nya. Dan
tertuntut bagi dirinya untuk mengetahui sifat-sifat Allah
Shubhanahu wa ta’alla dan perbuatan-perbuatan -Nya.
Dan keberadaan nama-nama, sifat-sifat, dan perbuatan
Allah Shubhanahu wa ta’alla memiliki konsekuensi bagi setiap
hamba kesadaran didalam kebutuhannya terhadap peribadahan
yang harus diberikan kepada -Nya. Oleh karena itu Imam Ibnul
Qayim menerangkan, "Nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla
yang indah, dan sifat-sifat -Nya yang Maha tinggi menuntut
seorang hamba adanya pengaruh dalam penghambaan dan
memenuhi perintah -Nya, yang merupakan dorongan dari
pengaruh nama dan sifat -Nya, dari penciptaan dan pengadaan
makhluk.
Maka setiap sifat terkandung penghambaan yang khusus,
dan itu termasuk sebuah pendorong dan kelaziman yang akan
mendorong bagi seorang hamba untuk mengetahui nama dan
sifat-sifat -Nya secara benar dan lurus pemahamannya. Dan ini
9
berlaku pada setiap jenis peribadahan yang berkaitan dengan hati
dan anggota badan.
Pengetahuan seorang hamba tentang keesaan Allah
ta’ala dalam memberikan manfaat dan mudharat, memberi dan
menahannya, menciptakan, memberi rizki, menghidupkan,
mematikan, akan membuahkan baginya ibadah tawakal secara
batin, dan konsekuensi yang berkaitan dengan tawakal dan
buahnya secara nyata.
Pengetahuannya tentang pendengaran Allah
Shubhanahu wa ta’alla dan penglihatan -Nya, ilmu -Nya,
bahwasanya tidak ada sesuatupun yang tersembunyi bagi Allah
Shubhanahu wa ta’alla di langit maupun di bumi, walaupun
sebesar biji sawi. Allah Shubhanahu wa ta’alla mengetahui apa
yang tersembunyi dan mengetahui mata yang berkhianat, dan
apa yang disembunyikan dalam hati. Maka hal itu, akan
membuahkan pada dirinya untuk senantiasa menjaga lisan,
anggota badan, dan apa yang direncanakan oleh hatinya dari
segala sesuatu yang tidak diridhai oleh -Nya. Serta menjadikan
keterkaitan seluruh anggota badannya dengan apa yang dicintai
dan diridhai oleh Allah.
Sehingga hal itu, akan membuahkan rasa malu secara
batin dan rasa malu yang mengantarkan untuk menjauhi hal-hal
10
yang buruk dan haram. Pengetahuan mengenai kekayaan Allah
Shubhanahu wa ta’alla, kedermawanan -Nya, kemulian -Nya,
kebaikan -Nya, perbuatan baik -Nya, rahmat -Nya, mengharuskan
untuk meluaskan pengharapannya kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla. Sehingga efeknya akan membuahkan jenis-jenis
penghambaan secara batin dan dhohir sesuai dengan kadar
pengetahuan dan ilmunya.
Begitu juga pengetahuannya tentang kemuliaan,
keagungan, dan kebesaran Allah Shubhanahu wa ta’alla, maka
akan membuahkan ketundukan, ketenangan dan rasa cinta.
Keadaan batin tersebut akan menghasilkan peribadahan secara
dhohir yang termasuk faktor kewajiban yang melekat padanya.
Pengetahuan mengenai kesempurnaan -Nya, keindahan -Nya, dan
sifat-sifat -Nya yang maha tinggi mengharuskan baginya memiliki
kecintaan yang khusus sehingga berbuah pada berbagai bentuk
peribadahan.
Maka peribadahan, seluruhnya kembali kepada
konsekuensi yang terkandung dari nama-nama dan sifat-sifatNya.
Yang sangat erat kaitannya dengan penciptaan. Maka
penciptaanNya dan perintahNya merupakan keharusan bagi
nama-nama dan sifat-sifat -Nya di alam semesta. Serta pengaruh-
pengaruhnya dan bagian dari konsekuensinya". 2
11
Dalam kesempatan lain beliau juga menyampaikan,
"Nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla yang baik
mengharuskan seorang hamba untuk memutus hubungan dengan
dosa. Sesungguhnya Allah Shubhanahu wa ta’alla Maha
pengampun, Maha penerima taubat, Maha pemaaf, dan Maha
lembut. Nama-nama ini mengharuskan adanya pengaruh dan
kelazimannya". 3 Beliau juga mengatakan, "Bahwa Allah ta’ala
memiliki nama-nama yang baik, dan setiap nama memiliki
pengaruh dalam penciptaan dan urusan -Nya, yang
mengharuskan adanya keterkaitan dengan hal tersebut.
Sebagaimana keterkaitan antara orang yang diberi rizki, dengan
rizki itu sendiri, terhadap orang yang memberinya rizki.
Dan keterkaitan antara orang yang diberi kasih sayang,
sebab untuk mendapat kasih sayang, dan Yang Maha Penyayang".
4 Serta keterkaitan antara yang dipandang dan didengar oleh
Yang Maha mendengar dan Maha melihat. Maka hal tersebut bisa
diumpamakan terhadap seluruh nama-nama Allah azza wa jalla.
Bila diperhatikan maka perkara-perkara ini saling berkaitan erat
satu sama lainnya. Kandungan makna-maknanya mengharuskan
2 . Ibnul Qayyim : Miftah Daris Sa’adah : 2/510-511.
3 . Idem : 2/255.
4 . Ini tidak masuk dalam nama Allah, yang diinginkan adalah pengabaran.
12
adanya keterkaitan yang berhubungan dengan nama-nama Allah
ta'ala. Dan bab ini, pembahasannya sangat luas sekali. Tentunya,
bagi orang yang cerdas cukup dengan isyarat yang sedikit ini.
Ibarat kita dan mereka sedang berada dilembah, kita ada di
sebuah lembah dan orang yang tertutup hijab tebal dalam
pembahasan ini berada di lembah yang lain. 5
Maksud dibawakannya perkataan Ibnul Qayim adalah
sebagai penjelas mengenai Allah Shubhanahu wa ta’alla, bahwa
tidaklah dinamakan dengan nama-nama, tidak disifati dengan
sifat-sifat, dan tidak dilakukan perbuatan -Nya kecuali karena
hamba membutuhkan kepada nama-nama dan sifat-sifat itu
tanpa terkecuali. Yang mana para hamba sangat
membutuhkannya sebagai sarana peribadahan kepada -Nya.
Karena itu, sebagai seorang hamba harus meyakini bahwa dzat
yang sedang disembah harus memiliki nama-nama, sifat-sifat dan
perbuatan ini. Apabila tidak, maka tidak ada manfaat
keberadaannya pada Dzat yang disembah.
Nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla, sifat-sifat -
Nya, dan perbuatan-perbuatan -Nya, melazimkan keberadaannya
sangat penting bagi para hamba. Apabila tidak, maka tidak
mungkin seorang hamba bisa hidup secara mutlak. Apabila ia
5 . Idem : 2/261.
13
mengingkari hal ini bagi Rabb yang Maha benar, maka ia pastinya
membutuhkan hal ini dan memberikannya kepada selain Allah
Shubhanahu wa ta’alla. Dengan hal itu maka ia terjatuh dalam
kesyirikan kepada -Nya. Walaupun ia mengingkari hal itu dengan
penuh pembangkangan dan kesombongan.
Apabila keadaan orang yang mengingkari nama-nama,
sifat-sifat, dan perbuatan-perbuatan -Nya adalah seperti ini, maka
dapat diqiyaskan padanya keadaan orang yang mentha’thil
(menolak) hakikat dzat dan wujud -Nya. Dan mengingkari seluruh
nama-nama dan sifat-sifat -Nya. Kita mengetahui dengan
penjelasan ini bagaimana seorang yang menolak/mengingkari
terjatuh dalam kesyirikan kepada -Nya. Sama saja apakah ia
mengingkari makhluk dari sang pencipta, atau mengingkari
kesempurnaan -Nya atau kedua-duanya.
Jika kita sudah mengetahui ini, maka kita mulai dengan
maksud yang kita kehendaki. Yaitu penjelasan syirik tha’thil
(menolak, pent) dengan menolak kesempurnaan sang Pengcipta
yang Maha suci. Maka kita katakan :
Bahwa mereka terbagi menjadi dua kelompok :
Kelompok pertama: Orang musyrik kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla dalam rububiyah dengan menolak nama-nama dan sifat-
sifat -Nya. Saya telah menemukan beberapa kelompok dalam
14
umat ini, yang berbuat syirik kepada -Nya dengan menolak nama-
nama dan sifat-sifat -Nya. Penjelasan mengenai kelompok ini,
pendapat-pendapatnya, serta syubhat-syubhatnya, beserta
bantahan kepada mereka dalam poin di bawah ini:
Pertama: Jahmiyah.
Madzhab mereka dalam tauhid adalah mengingkari
seluruh nama-nama dan sifat-sifat bagi Allah ta’ala. Menjadikan
nama-nama –Nya termasuk dalam bab majas. Al-Asy’ariy
mengatakan, "Ia (Jahm) mengatakan, "Aku tidak berkata bahwa
Allah Shubhanahu wa ta’alla adalah sesuatu, karena hal itu
menyerupakan -Nya dengan sesuatu". 6 Asy-Syihristani berucap,
"Jahmiyah, yaitu para pengikut Jahm, bersesuaian dengan
Mu’tazilah dalam menafikan sifat azali dan menambah beberapa
perkara.
Di antaranya perkataan, "Tidak diperbolehkan pensifatan
terhadap al-Bari (Allah, pent) dengan sifat yang sama dengan
makhluknya. Karena hal itu mengharuskan adanya penyerupaan.
Mereka menafikan sifat hidup dan mengetahui, dan menetapkan
sifat mampu (Qadir), melakukan perbuatan (Fa’il), dan
menciptakan (Khalik). Karena tidak ada makhluk yang bisa disifati
6 . Al-Asy’ariy : maqolaatul Islamiyin : 238.
15
dengan mampu (Qudrah), melakukan perbuatan, dan
menciptakan". 7
Di antaranya adalah menetapkan bagi -Nya ilmu
mengenai kejadian-kejadian yang baru, bukan dalam tempat.
Mereka mengatakan, "Tidak boleh sesuatu diketahui sebelum
diciptakan. Karena apabila diketahui baru kemudian menciptakan
apakah akan tetap ilmunya seperti seharusnya, atau tidak tetap?
Apabila tetap ada maka itu adalah kebodohan, karena ilmu
tentang apa yang akan terjadi bukanlah ilmu tentang apa yang
sudah ada. Apabila tidak tetap berarti telah berubah. Sesuatu
yang telah berubah adalah makhluk, bukan sesuatu yang ada
sejak dahulu apabila telah tetap adanya ilmu, maka akan terdapat
kemungkinan akan terjadi sesuatu yang baru pada dzat -Nya
ta’ala.
Hal tersebut mengakibatkan perubahan dzat -Nya dan
menjadi tempat terjadinya sesuatu yang baru. Atau terjadi di
tempat, maka tempat itu akan disifati dengan -Nya, bukan Allah
ta’ala. Maka menjadi jelas bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla
tidak ada tempat untuk -Nya. Mereka Jahmiyah hanya
menetapkan ilmu tentang sesuatu yang baru dengan jumlah yang
ada diketahui". 8 Jahmiyah mengingkari nama-nama Allah
7. Hal itu dikarenakan ia mengatakan adanya paksaan dalam perbuatan manusia.
16
Shubhanahu wa ta’alla dan sifat-sifat -Nya dengan bersandar
dalam pengingkaranya kepada sesuatu yang disangkanya sebagai
dalil akli. Hal itu adalah:
1. Menetapkan sifat-sifat Allah Shubhanahu wa ta’alla
melazimkan penyerupaannya dengan makhluk.
2. Menetapkan nama-nama dan sifat-sifat -Nya mewajibkan
bentuk jism (tubuh) bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla.
3. Menetapkannya akan mengharuskan bahwa Allah
Shubhanahu wa ta’alla adalah tempat bagi kejadian yang
baru.
Ini adalah keumuman syubhat-syubhat mereka dalam
terjatuhnya ke dalam syirik ta’thil (peniadaan). Terpengaruh
dengan mereka orang-orang Mu’tazilah. Hal itu karena mereka
adalah Jahmiyah dalam bab sifat. Karena semua yang mengingkari
sifat-sifat atau sebagiannya maka mereka adalah Jahmiy (pengikut
Jahmiyah). Semua itu tergantung kadar kesesuaiannya dengan
Jahm pada madzhabnya. Oleh karenanya kita melihat Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah membagi Jahmiyah menjadi tiga tingkatan:
Tingkatan pertama: Mereka adalah Jahmiyah yang paling
melampaui batas, yang menafikan nama-nama dan sifat-sifat
8. Asy-Syihristani : al-Milal wan Nihal : 1/73. Lihat juga yang dinukilkan oleh al-
Baghdadi dalam al-Farqu bainal Firoq : 211, 212, dan at-Tabshir : 64.
17
Allah Shubhanahu wa ta’alla. Apabila mereka menamakan Allah
dengan salah satu nama -Nya, mereka mengatakan itu majas.
Tingkatan kedua: Dari Jahmiyah adalah Mu’tazilah dan yang
serupa. Yang menetapkan nama-nama Allah Shubhanahu wa
ta’alla dalam jumlah tertentu, akan tetapi meniadakan sifat-sifat -
Nya.
Tingkatan ketiga: Adalah ash-Shufatiah yang menetapkan,
dimana mereka menyelisihi Jahmiyah. Akan tetapi dalam diri
mereka ada sedikit pengaruh jahmiyah. Mereka adalah orang-
orang yang menetapkan nama-nama Allah Shubhanahu wa ta’alla
dalam jumlah tertentu. Akan tetapi mereka membantah sebagian
besar sifat-sifat khobariyah dan selain khobariyah, dan
mentakwilnya.
Di antara mereka ada yang menetapkan sifat-sifat Allah
Shubhanahu wa ta’alla khobariyah yang berasal dari al-Qur’an
saja tanpa hadits. Sebagaimana yang terjadi pada kebanyakan ahli
kalam (filsafat, pent), ahli fikih, dan sekelompok ahli hadits. Di
antara mereka ada juga yang menetapkan sifat-sifat yang ada
dalam berita (khabar) secara garis besar. Akan tetapi bersamaan
dengan penafian dan peniadaan sebagian yang telah tetap
dengan nash-nash dan akal. Contohnya adalah Muhammad bin
Kilab dan orang yang mengikutinya. Dalam bagian ini masuk Abul
18
Hasan al-Asy’ariy dan keompok dari ahli fikih, filsafat, hadits dan
tasawuf.
Mereka kepada sunah lebih dekat dibandingkan
kedekatannya dengan Jahmiyah, Rafidhah, Khawarij, dan
Qodariyah. Akan tetapi ada juga kelompok yang menyadarkan
kepada mereka (Abul Hasan, pent), pada hakikatnya mereka lebih
condong kepada Jahmiyah dibandingkan kedekatannya dengan
Ahlu sunnah". 9 Maksudnya adalah penjelasan bahwa Jahmiyah
termasuk orang-orang musyrik kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla dengan meniadakan nama-nama dan sifat-sifat -Nya.
Mereka walaupun keberadaannya tidak diketahui dengan nama
ini pada zaman modern ini, akan tetapi ada kelompok-kelompok
yang mengambil pendapat-pendapat dan syubhat-syubhat
mereka. Seperti neo mu’tazilah, yaitu mereka para pemuja akal
dan selain mereka.
Pengaruh-pengaruh yang terjadi akibat pendapat-pendapat
Jahmiyah.
Sesungguhnya orang yang mendalami perkataan-
perkataan Jahmiyah akan mengetahui bahwasanya pendapat
9. Cermati perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam at-Tis’iniyah, masuk
dalam al-Fatawa al-Kubro 5/48-51, atau masuk dalam al-Fatawa al-Kubro al-
Mishriyah yang ditahqiq oleh Muhammad Abdul Qodir ‘Atha 6/270-272.
19
mereka mengarahkan kepada pengingkaran sang Pencipta. Oleh
karenanya para ulama ahlussunnah berpendapat, bahwa orang
yang berbuat bid’ah dengan mengeluarkan pendapat ini termasuk
orang-orang zindiq yang mengingkari sang Pencipta dan
mendustakan -Nya. Akan tetapi mereka bersembunyi di balik
filsafat dan teori-teori menyimpang yang mengantarkan kepada
tujuan. Menyembunyikan maksud hatinya dalam perlawanannya.
Orang-orang yang mendustakan sifat-sifat sang Pencipta,
pendapat mereka sama seperti Fir’aun dan Namrud. Dimana
mereka mendustakan sang Pencipta. Karena orang yang tidak
memiliki sifat maka tidak ada wujudnya, dan tidak dimungkinkan
mengetahuinya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan, "Para
pembesar Rafidhah dan Jahmiyah adalah orang-orang zindiq. Dan
orang yang pertama kali berbuat bid’ah dengan cara menolak
(ta’thil) adalah munafik. Begitu juga mengikuti Jahmiyah asalnya
adalah kezindiqan dan kemunafikan. Oleh karena itu orang-orang
zindiq, munafik dari kalangan Qoromithoh pengagung kebatinan
dan filsafat, dan orang-orang semisal mereka condong kepada
Rafidhah dan Jahmiyah karena kedekatannya dengan mereka". 10
10. Ibnu Taimiyah : Majmu’a Fatawa 3/353.
20
Beliau juga mengatakan, "Riwayat dari kalangan salaf
dan para Imamnya menyatakan untuk mengkafirkan Jahmiyah
murni, yang mana mereka meningkari sifat-sifat Allah". 11 Beliau
menyatakan, "Hakikat pernyataan Jahmiyah (yang mengingkari
nama-nama dan sifat-sifat Allah) adalah perkataan Fir’aun. Itu
adalah pengingkaran terhadap sang Pencipta. Dan mengingkari
perkataan -Nya dan agama -Nya. Sebagaimana dilakukan oleh
Fir’aun. Ia dahulu mengingkari Allah Jalla Jalaluhu, seraya berkata;
﴿ مَا عَلِمۡتُ لَكُم مِّنۡ إِلَٰهٍ غَيۡرِي ٣٨ ﴾ [القصص : 38]
“Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku.” (QS al-Qashash: 38).
Fir’aun juga mengingkari bahwa Allah Shubhanahuwa
ta’alla berbicara kepada Musa, dan Musa memiliki sesembahan di
atas langit. Ia ingin menghentikan peribadahan dan ketaatan
kepada -Nya, dan ia menjadi sesembahan yang ditaati. Pada saat
perkataan Jahmiyah ditakwilkan kepada perkataan Fir’aun, maka
hasil akhir dari perkataan Jahmiyah adalah pengingkaran
terhadap Rabbul ‘Alamin dan mengingkari peribadahan kepada -
Nya, dan mengingkari kalam -Nya. Sampai tampak pada mereka
pengakuan tentang pemurnian, tauhid, dan pengetahuan. Maka
11 . Idem 3/352.
21
pada akhirnya mereka mengatakan, "Alam ini adalah Allah
Shubhanahuwa ta’alla, wujudnya satu. Wujud yang ada dahulu
dan azali adalah wujud yang baru diciptakan. Rabb adalah hamba.
Tidak ada perbedaan antara Rabb dan hamba, dan khalik adalah
makhluk oleh karena itu mereka memberikan aib kepada para
nabi dan menguranginya, dan mereka memberikan aib kepada
Nuh, Ibrahim dan lainnya. Mereka memuji Fir’aun dan
membolehkan peribadahan kepada seluruh makhluk". 12
Pengaruh Jahmiyah Pada Masa Setelahnya.
Sebagian ulama menyangka bahwa pemikiran dan
pendapat-pendapat Jahmiyah dalam menafikan sifat –dalam
tingkat pertama- telah hilang ditelan bumi dengan hilangnya para
penyerunya. Akan tetapi ulama yang mendalami sekte-sekte dan
pemikiran mereka mengetahui bahwa kebanyakan pokok
keyakinan yang dibentuk oleh Jahmiyah, dan takwil-takwil yang
digagasnya masih tumbuh subur bersama jalannya sejarah Islam.
Sungguh pemikiran-pemikiran tersebut telah diadopsi dan
ditempuh oleh orang-orang yang mengaku bahwa dirinya adalah
ahlul haq. Cukuplah kita mengetahui bahwa Mu’tazilah adalah
12. Ibnu Taimiyah : Majmu’ Fatawa 13/175.
22
perpanjangan dari Jahmiyah serta cabang dari cabang-cabang
yang ada.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, "Penakwilan yang
ada pada hari ini, seperti takwil yang disebutkan oleh Abu Bakr
bin Furuk 13 dalam kitab At-Ta’wilaat, dan disebutkan juga oleh
Abu Abdullah Muhammad bin Umar ar-Raziy dalam kitabnya yang
berjudul “Ta’sisut Taqdis”. Terdapat juga penakwilan itu dalam
pendapat selain mereka seperti : Abu Ali al-Juba’iy 14 , Abdul
Jabbar bin Ahmad al-Hamdaniy 15 , Abul Husain al-Bashriy 16 , Abul
Wafa bin Uqail, Abu Hamid al-Ghazaliy dan lain-lain. Penakwilan
tersebut sejatinya adalah takwil yang dilakukan oleh Bisyr al-
Mirisiy 17 , yang disebutkan dalam kitab miliknya. Walaupun
13. Ia adalah Muhammad bin Hasan bin Furuk al-Anshariy. Asy-Syafi’I. Seorang
ahli kalam, ahli fikih, pakar bidang ushul, penafsir, penyair, ahli nahwu. Tulisan
karyanya banyak, di antaranya : Musykilul Atsar –yang menyimpangkan nash sifat-
sifat dari makna yang sesuai-. Meninggal tahun 406 H. Lihat biografinya dalam
Mu’jamul Muallifin 9/108.
14. Beliau adalah Abu Ali Muhammad bin Abdul Wahab bin Salam bin Kholid bin
Hamzah bin Aban seorang Mu’tazilah. Ia adalah ahli kalam, ahli tafsir, pentolan
Mu’tazilah dalam ushul. Lahir tahun 235 H, dan wafat tahun 303H. lihat
biografinya dalam Mu’jamul Muallifin 10/269 .
15. Beliau adalah Abdul Jabbar bin Ahmad bin Abdul Jabbar bin Ahmad al-
Hamdaniy, Abul Hasan. Seorang pakar ushul fikih, ahli kalam, ahli tafsir, pentolan
Mu’tazilah dalam bidang ushul. Lahir tahun 359 H, wafat tahun 415 H. Lihat
biografinya dalam Mu’jamul Muallifin 5/78.
16. Beliau adalah Abdurrahim bin Muhammad bin Utsman al-Hinath, salah
seorang ahli kalam dari Mu’tazilah. Biografinya disebutkan oleh Ibnu Hajar dalam
Lisanul Mizan 4/8-9.
23
terdapat pada pendapat sebagian mereka, bantahan terhadap
takwil dan pengingkarannya. Mereka memiliki perkataan yang
bagus dalam berbagai hal. Hanya saja dijelaskan bahwa
penakwilan mereka adalah penakwilan Bisyr al-Mirisi.
Ada kitab bantahan yang menunjukkan hal tersebut,
ditulis oleh Utsman bin Sa’id ad-Darimiy, salah seorang Imam
yang tersohor pada zaman al-Bukhariy. Menyebutkan dalam
kitabnya takwil-takwil yang sejatinya berasal dari Bisyr al-Mirisiy.
Dengan perkataan yang menunjukkan bahwa al-Mirisi yang
mencetuskannya, dan diketahui secara periwayatan ataupun akal
dari ulama kontemporer yang bersambung dengan mereka dari
sisinya atau sisi selainnya". 18 Beliau mengatakan di tempat lain,
"Mereka mengambil madzhab ini dari al-Jad’ bin Dirham, Jahm bin
Shafwan, dan kemudian menyebarkannya, dan mendebatnya.
Kemudian berpindah kepada Mu’tazilah pengikut Amr bin
Ubaid 19 , dan tampak perkataan mereka pada zaman Khalifah
Ma’mun 20 ". 21
17. Beliau adalah Bisyr bing Ghayats bin Abu Karimah, Abu Abdurrahman al-
Adawiy al-Marisiy. Pembesar Mu’tazilah. Ia memiliki bigorafi dalam kitab Siyar
milik adz-Dzahabiy : 10/199, nomer : 45 .
18 .Ibnu Taimiyah : Majmu’ Fatawa 5/23.
19 .Namanya Amr bin ubaid, Abu Utsman al-Bashriy, al-Mu’tazili. Ada biografinya
dalam Siyar : 6/104, nomer : 28.
24
Beliau menyatakan pada tempat lain, "Sesungguhnya
Mu’tazilah yang mengikuti Amr bin Ubaid atas perkataanya dalam
takdir dan ancaman, masuk dalam madzhab Jahm. Mereka
menetapkan nama-nama Allah ta’ala, dan tidak menetapkan sifat-
sifat -Nya". 22 Syaikhul Islam menyatakan, "Jahm berbuat ghuluw
dalam penafian (nama dan sifat, pent), dan selaras dengannya
adalah aliran kebatinan, filsafat dan yang semisal mereka. Begitu
juga Mu’tazilah dalam hal sifat tanpa nama, Kilabiyah dan orang-
orang yang bersesuaian dengan mereka, dalam menafikan sifat-
sifat ikhtiariyah, masuk juga Karamiyah dan sejenis dengan
mereka dalam pokok keyakinan mereka. Yaitu terhalang kegiatan
yang terus menerus selama tidak saling melarang, dan sulit bagi
sesuatu yang terus-menerus untuk berbicara jika ingin, dan
melakukan sesuatu jika berkehendak, karena terhalangnya
kejadian baru pada awal mulanya… 23 .
Jamaludin al-Qosimi mengatakan, "Terkadang disangka
bahwa Jahmiyah meninggalkan pengaruh setelah beberapa
waktu, bersamaan dengan itu bahwa Mu’tazilah merupakan
20. Beliau adalah seorang Khalifah al-‘Abbasi, Abdullah bin Harun bin Rosyid bin
Muhammad, Abul ‘Abbas. Ia memiliki biografi dalam kitab Siyar milik adz-Dzahabi
10/272, nomor : 72.
21. Ibnu Taimiyah : Majmu’ Fatawa : 10/67.
22 . Idem : 12/312.
23. Idem, 8/227. Lihat juga 14/248.
25
cabang darinya. Dan ia dalam jumlah banyak terhitung hingga
jutaan. Bahwa orang-orang ahli kalam yang menasabkan diri
kepadah al-Asy’ari, kebanyakan permasalahan mereka kembali
kepada madzhab Jahmiyah sebagaimana diketahui oleh orang
yang mendalami cabang ilmu kalam. (filsafat, pent)".