Artikel




Seluk Beluk Mendidik Anak Perempuan


Memiliki anak-anak perempuan bukanlah sebuah


kekurangan bagi seseorang. Bisa jadi, ia justru menjadi anugerah


yang amat indah baginya, manakala dia bisa menunaikan segala


kewajiban memelihara dan mendidik mereka.


Bagi orang tua yang dianugerahi anak-anak perempuan,


pemberian Allah Shubhanahu wa ta’alla ini sebenarnya


merupakan karunia yang amat besar dari -Nya. Dia bisa berharap


janji Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam:





“Barang siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga


dewasa, dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan


dia (seperti ini).” Beliau menggabungkan jari-jemarinya. (HR.


Muslim no. 2631)


Juga pada janji beliau yang lainnya:





“Barang siapa diuji dengan sesuatu dari anak-anak


perempuannya, lalu dia berbuat baik kepada mereka, kelak


mereka akan menjadi penghalang dari api neraka.” (HR. al


Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 2629)


Kita juga mengingat penuturan ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu  


tentang seorang wanita miskin yang datang kepadanya. ‘Aisyah


mengisahkan:





“Seorang wanita miskin datang kepadaku membawa dua orang


anak perempuannya. Kuberikan kepadanya tiga butir kurma. Ia


lalu memberikan kepada setiap anaknya sebutir kurma. Sebutir


yang lain ia angkat ke mulutnya untuk dia makan. Namun, kedua


anak perempuannya meminta kurma itu. Lantas dibaginya kurma


yang hendak dia makan itu untuk kedua anaknya. Aku pun merasa


kagum terhadap perbuatannya, lalu kuceritakan apa yang


dilakukannya kepada Rasulullah. Beliau pun berkata,


‘Sesungguhnya Allah telah menetapkan baginya surga dengan


kurma yang diberikannya itu dan membebaskannya dari neraka’.”


(HR. Muslim no. 2630)


Begitu pun kalau kita cermati, pendidikan terhadap anak


perempuan memiliki peran yang amat strategis. Tentu saja,


karena hal ini akan sangat berpengaruh terhadap kondisi


masyarakat dan generasinya kelak. Bagaimana tidak! Seorang


anak perempuan akan menjadi seorang istri bagi suaminya, akan


menjadi ibu dan pendidik bagi anak-anaknya. Selain itu, dia akan


mengemban berbagai tugas lain yang telah menanti.


Jika dia baik, dia akan menunaikan berbagai perannya ini


dengan baik. Dia akan berkhidmah di balik kesibukan suaminya


dengan sebaik-baiknya serta memberikan dorongan dan


pengaruh yang baik bagi sang suami. Dia akan memelihara serta


menjaga fisik dan psikis anak-anaknya yang kelak akan menjadi


generasi pengganti, juga mengajari mereka dengan berbagai hal


yang positif. Dia juga akan menjaga kehormatan diri dan


keluarganya. Selanjutnya, dia pun mengerti tanggung jawab dan


amanat yang harus dia tunaikan dalam setiap tugas yang


diembannya. Dengan demikian, baiklah masyarakatnya—insya


Allah.


5


Sebaliknya, anak perempuan yang tak terdidik dengan baik


tidak akan bisa membantu dan mendukung kebaikan suaminya.


Anak-anaknya pun telantar, tidak terurus karena dia tidak


mengerti hak anak-anaknya. Tingkah laku anak-anaknya pun akan


jauh dari sebutan beradab. Lebih-lebih lagi, dia akan menjadi


sumber kerusakan yang bisa menghancurkan tatanan masyarakat.


Tentu kita tidak ingin memiliki anak perempuan


sebagaimana gambaran terakhir ini. Kita mohon keselamatan


kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla.


Kalau begitu, kita perlu menelisik seluk-beluk mendidik


anak perempuan ini—dengan terus memohon pertolongan dan


kemudahan dari Allah Shubhanahu wa ta’alla—untuk


mewujudkan impian dan harapan kita.


Mengajarkan Agama kepada Mereka


Bekal yang paling berharga bagi anak-anak, termasuk anak


perempuan, adalah agama. Bahkan, seorang wanita dipilih karena


agamanya, sebagaimana anjuran Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa


sallam:





 “Wanita itu dinikahi karena empat hal: bisa jadi karena hartanya,


karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena


agamanya. Maka dari itu, pilihlah wanita yang baik agamanya. Jika


tidak, engkau akan celaka.” (HR. al-Bukhari no. 5090 dan Muslim


no. 3620)


Menanamkan agama kepada anak-anak tentu saja harus


bertahap. Pada tahap awal, saat anak-anak mulai mengerti


pembicaraan, kita bisa mengenalkan mereka pada Rabbnya. Kita


tuntun mereka menunjuk ke langit sambil kita katakan, “Allah.”


(Nashihati lin Nisa’, hlm. 65)


Ketika tiba saat anak dapat berbicara, mereka dituntun untuk


mengucapkan kalimat tauhid:





Jadikanlah yang pertama kali mengetuk pendengarannya adalah


pengenalan kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, pengesaan         -Nya, dan bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla di atas ‘Arsy -Nya,


Allah Shubhanahu wa ta’alla melihat dan mendengar segala


7


ucapan mereka, Dia selalu bersama mereka di mana pun berada.


(Tuhfatul Maudud, hlm. 195)


Saat berusia sekitar satu setengah tahun, ketika mereka mulai


belajar bicara, kita tuntunkan mereka untuk mengucapkan


basmalah sebelum makan dan minum. Kita biasakan sampai


mereka terbiasa mengucapkannya sendiri setiap hendak makan


dan minum. (Nashihati lin Nisaa’, hlm. 65)


Ini sebagaimana halnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam


mengajarkan basmalah kepada ‘Umar bin Abi Salamah yang


berada dalam asuhan beliau:





 “Nak, ucapkan bismillah. Makanlah dengan tangan kananmu, dan


makanlah makanan yang dekat denganmu!” (HR. al-Bukhari no.


5376 dan Muslim no. 2022)


Ketika mereka mulai bisa memahami, kita ajari mereka


rukun Islam, rukun iman, dan rukun ihsan. Pengajaran tentang hal


8


ini tidak bisa dibatasi mulai usia tertentu, tergantung kemampuan


pemahaman dan bicara anak.


Ajari serta biasakan mereka untuk berwudhu dan shalat


saat berusia tujuh tahun. Pukullah mereka jika meninggalkan


shalat pada usia sepuluh tahun. Pada usia ini pula, pisahkan


tempat tidur antara anak laki-laki dan anak perempuan. Demikian


yang diperintahkan oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam


kepada setiap orang tua dalam sabda beliau:





 “Perintahlah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia


tujuh tahun dan pukullah mereka jika enggan melakukannya pada


usia sepuluh tahun, dan pisahkanlah tempat tidur mereka.” (HR.


Ahmad dan dikatakan oleh asy-Syaikh al-Albani t dalam Shahih al


Jami’ ash-Shaghir no. 5744, “Hadits ini hasan.”)


Jika mereka telah mampu, kita latih mereka untuk


berpuasa agar terbiasa kelak ketika dewasa. Hal seperti ini telah


dilakukan oleh para ibu dari kalangan shahabiyah, sebagaimana


yang dituturkan oleh ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz:





 ] ﻪﻴﻠﻋ ﻖﻔﺘﻦ [


 “Kami menyuruh puasa anak-anak kami. Kami buatkan untuk


mereka mainan dari perca. Jika mereka menangis karena lapar,


kami berikan mainan itu kepadanya hingga tiba waktu berbuka.”


(HR. al-Bukhari dan Muslim) (Nashihati lin Nisa’, hlm. 66—67)


Kemudian diajari pula mereka akidah yang benar, sebagaimana


halnya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam mengajari anak


pamannya, ‘Abdullah bin ‘Abbas:





“Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu. Jagalah Allah,


niscaya engkau akan dapati Dia ada di hadapanmu. Apabila


engkau meminta, mintalah kepada Allah, dan apabila engkau


memohon pertolongan, mohonlah pertolongan kepada Allah.


Ketahuilah, seandainya seluruh umat ini berkumpul untuk


memberikan manfaat kepadamu, mereka tidak akan dapat


memberikannya selain apa yang telah ditetapkan oleh Allah


bagimu. Seandainya mereka berkumpul untuk menimpakan


mudarat kepadamu, mereka tidak akan dapat menimpakannya


selain apa yang telah Allah tetapkan menimpamu. Telah diangkat


pena, dan telah kering lembaran-lembaran.” (HR. at-Tirmidzi,


dinyatakan sahih oleh al-Imam al-Albani dalam Shahih Sunan at


Tirmidzi 2/2043 dan al-Misykat no. 5302)


Kita ajarkan pula hal-hal yang terkandung dalam wasiat Luqman


kepada anaknya yang dikisahkan oleh Allah Shubhanahu wa


ta’alla dalam al-Qur’an, Surat Luqman ayat 13—19.


Selain itu, mereka harus pula mengetahui perkara-perkara yang


harus dijauhi dalam syariat sehingga mereka dapat


menghindarinya. Ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Shalallahu


‘alaihi wa sallam:





Al-Hasan bin ‘Ali   memungut sebutir kurma dari kurma sedekah,


lalu dia masukkan kurma itu ke mulutnya. Rasulullah pun


bersabda, “Kikh, kikh! Buang kurma itu! Apa kau tidak tahu, kita


ini tidak boleh makan sedekah?” (HR. Muslim no. 1069)


Selanjutnya, seiring dengan bertambahnya usia, kita


ajarkan mereka satu demi satu syariat Islam yang mulia ini—


 terutama hal-hal yang khusus berkenaan dengan wanita—


sebagai bekal utama bagi mereka dalam menghadapi kehidupan.


Memupuk Kesadaran Mereka Sebagai Seorang Wanita


Sedari awal, anak perempuan harus diberi pengertian


bahwa mereka berbeda dari anak laki-laki. Hal yang termudah


untuk mengenalkan perbedaan ini adalah dari sisi pakaian.


Mereka dilarang mengenakan pakaian yang biasa dipakai anak


laki-laki. Selain pakaian, sikap dan perilaku pun demikian. Anak


perempuan diajari sikap dan perilaku yang khas anak perempuan.


Mereka harus diberi pengertian bahwa Rasulullah Shalallahu


‘alaihi wa sallam melarang mereka menyerupai anak laki-laki,


sebagaimana dalam hadits:





 “Rasulullah melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita


yang menyerupai laki-laki. Beliau melaknat laki-laki yang


berperilaku seperti wanita dan wanita yang berperilaku seperti


laki-laki.” (HR. al-Bukhari no. 5885)


Difatwakan oleh Fadhilatusy Syaikh Muhammad bin Shalih


al-‘Utsaimin,


 “Tasyabbuh (penyerupaan) laki-laki dengan


perempuan termasuk dosa besar, demikian pula penyerupaan


perempuan dengan laki-laki. Dalilnya, ‘Rasulullah Shalallahu


‘alaihi wa sallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan


wanita yang menyerupai laki-laki’. Di samping itu, penyerupaan


seperti ini akan merusak sunnah –Nya terhadap ciptaan-Nya,


karena Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menciptakan


kekhususan tersendiri bagi wanita dan kekhususan tersendiri pula


bagi laki-laki. Jika wanita menyerupai laki-laki dan laki-laki


menyerupai perempuan, tentu sunnah yang telah diciptakan oleh


Allah Shubhanahu wa ta’alla ini akan hilang dan sirna sehingga


terjadilah sesuatu yang bertentangan dengan penciptaan dan


13


hikmah -Nya.” (Fatawa ‘Ulama al-Balad al-Haram, hlm. 1761—


 1762)


Membiasakan Mereka dengan Adab dan Akhlak Mulia


Di masa sekarang, banyak anak perempuan kaum muslimin


yang kehilangan pesonanya sebagai seorang muslimah. Makan


dengan tangan kiri, bersuara lantang di depan khalayak,


keluyuran di pusat perbelanjaan, dan berdesakan di tengah


keramaian tidak lagi dipandang sebagai aib. Bisa jadi pula, mereka


bahkan terlepas dari perhatian orang tua. Rasa malu mulai


tanggal dari diri mereka.


Di sisi yang lain, ada orang tua yang merasa perlu


menyekolahkan anaknya di ‘sekolah etika’ agar anak


perempuannya tampil anggun dan penuh etika.


Sebenarnya, seorang muslimah bisa tampil santun dan


penuh pesona manakala dia berpegang dengan adab dan akhlak


yang diajarkan oleh Islam. Becermin kepada pribadi Rasulullah


Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ummahatul mukminin, dan para


shahabiyah.


14


Di samping itu, sejak dini mereka harus dikenalkan dan


dibiasakan dengan adab-adab yang diajarkan oleh Islam. Ini


sebagaimana dikatakan oleh sahabat yang mulia, ‘Ali bin Abi


Thalib radhiyallahu ‘anhu:


"


“Ajarilah mereka adab dan ajarilah mereka ilmu!”





Adab terhadap orang tua, tetangga, tamu, adab makan dan


minum, adab berpakaian, adab meminta izin, dan sekian banyak


adab yang diajarkan oleh Islam—hingga yang sekecil-kecilnya,


seperti memotong kuku, membersihkan badan dan pakaian, serta


menunaikan hajat—perlu mereka ketahui dan amalkan. Adab dan


akhlak yang mulia akan menjadi perhiasan bagi mereka.


Membiasakan Mereka Berpakaian Sesuai Syariat


Tidak selayaknya kita memakaikan mereka pakaian yang


jauh dari tuntunan syariat, rok mini atau hot pants misalnya.


Dinasihatkan oleh Fadhilatusy Syaikh al-‘Utsaimin, “Tidak pantas


orang tua memakaikan anak perempuannya pakaian seperti ini


(pakaian yang pendek, –pen.) semasa kanak-kanak. Karena jika


terbiasa, hal ini akan melekat dan dianggap remeh olehnya.


15


Apabila yang seperti ini menjadi kebiasaannya, keadaan ini akan


terus dia bawa hingga dewasa. Yang saya nasihatkan kepada para


saudari saya kaum muslimah, hendaknya mereka meninggalkan


busana wanita asing dari kalangan musuh-musuh agama ini.


Hendaknya pula mereka membiasakan anak-anak perempuan


mereka untuk mengenakan pakaian yang menutup aurat dan


senantiasa merasa malu karena malu itu termasuk keimanan.”


(Fatawa asy-Syaikh Muhammad ash-Shalih al-’Utsaimin, 2/845—


 846)


Bahkan, kita harus mendorong mereka untuk menutup


aurat sejak masih kanak-kanak agar mereka terbiasa ketika


dewasa kelak. Sejak umur tujuh tahun, kita biasakan mereka


mengenakan kain kerudung untuk menutup kepala. Ketika telah


baligh, kita perintahkan untuk menutup wajahnya, mengenakan


pakaian panjang dan lapang yang akan menjaga kehormatannya.


“Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak


perempuanmu, dan seluruh wanita kaum mukminin agar mereka


mengulurkan jilbab-jilbab mereka. Ini lebih layak bagi mereka


untuk dikenali (sebagai wanita baik-baik) hingga mereka tidak


diganggu.” (al-Ahzab: 59)


16


Allah Shubhanahu wa ta’alla juga telah melarang para


wanita mukminah membuka wajah serta menampakkan


kecantikan dan perhiasan pada selain mahramnya. Allah


Shubhanahu wa ta’alla berfirman:


“Dan janganlah kalian menampakkan perhiasan sebagaimana


kaum jahiliah dahulu.” (al-Ahzab: 33) (Kaifa Nurabbi Auladana,


hlm. 26)


Mengajari Berbagai Keterampilan Rumah Tangga


Anak perempuan harus dibekali dan dibiasakan melakukan


segala pekerjaan rumah. Hal ini nanti akan dibutuhkannya ketika


mulai memasuki rumah tangga bersama suaminya. Banyak hal


harus dia ketahui: cara bergaul dengan suami dan mengurus


rumah tangga, seperti memasak, mengatur rumah, dan


sebagainya.


Kadang ada keluarga yang kurang memerhatikan sisi ini.


Anak perempuannya tidak dibekali dengan keterampilan yang


memadai untuk terjun dalam rumah tangga. Tatkala si anak mulai


berumah tangga, ternyata dia tak bisa memasak atau


membereskan rumah. Bahkan, ia tak mengerti bagaimana bergaul


dengan baik dan santun dengan suaminya. Yang lebih


17


menyedihkan jika sang suami adalah seorang yang tak sabaran


dan cepat naik pitam. Akhirnya, muncullah berbagai problem


rumah tangga sejak awal perjalanannya yang terkadang harus


berakhir dengan perpisahan. Kita memohon keselamatan kepada


Allah Shubhanahu wa ta’alla.


Alangkah indah nasihat seorang ibu untuk putrinya yang hendak


dinikahkan dengan al-Harits bin ‘Amr al-Kindi. Dia pesankan,


“Wahai putriku, sesungguhnya jikalau wasiat tak lagi


diberikan untuk seorang yang beradab dan bernasab mulia, tentu


takkan kuberikan wasiat ini untukmu. Namun, wasiat adalah


pengingat bagi orang yang berakal dan pemberi peringatan bagi


orang yang lalai.


Wahai putriku, seandainya seorang anak perempuan tak


lagi membutuhkan suami karena ayah bundanya telah


mencukupinya, sesungguhnya engkau orang yang paling tak


butuh terhadap suami. Namun, kita ini diciptakan untuk kaum


laki-laki, sebagaimana pula diciptakan kaum laki-laki untuk kita.


Wahai putriku, engkau hendak berpisah dengan tanah


tempat kelahiranmu, meninggalkan kehidupan yang dahulu


engkau tumbuh di sana, menuju tempat yang tak kau kenal


18


bersama teman yang asing bagimu. Dengan kepemilikannya atas


dirimu, dia menjadi penguasa atasmu. Berlakulah layaknya hamba


sahayanya, niscaya dia akan menjadi sahaya yang tunduk


kepadamu. Jagalah sepuluh hal yang akan menjadi simpanan


berharga bagimu:





Bergaullah dengannya dengan penuh qana’ah karena


qana’ah akan melapangkan hati.


Dengar dan taatlah engkau dengan baik karena pada kedua


hal ini ada keridhaan Rabbmu.


Berupayalah menjaga pandangan mata dan penciumannya,


jangan sampai kedua matanya memandang sesuatu yang


buruk darimu dan hidungnya mencium sesuatu darimu


selain aroma yang semerbak wangi.


Kenakanlah selalu celak dan air karena celak adalah sebaik


baik perhiasan dan air adalah sebaik-baik wewangian.


Jagalah selalu waktu makannya, karena panasnya rasa


lapar akan mudah membangkitkan kemarahan.


Ciptakan suasana tenang saat tidurnya karena tidur yang


terganggu akan menimbulkan amarah.


Berusahalah selalu menjaga rumah dan hartanya karena


mampu menjaga harta termasuk sebaik-baik kemampuan.


19


8.


Jagalah selalu hubungan dengan keluarganya karena


kemampuan menjaga hubungan dengan kerabat termasuk


sebaik-baik pengaturan.


9.


10.


Jangan engkau sebarkan rahasianya karena jika engkau


lakukan, niscaya


pengkhianatannya.


engkau


 takkan


 aman


 dari


Jangan pernah kau durhakai perintahnya, karena jika kau


mendurhakai


 perintahnya,


 menggelegak dadanya.


 berarti


 engkau buat


Semakin kau agungkan dia, dia pun makin memuliakanmu.


Semakin sering engkau seia-sekata dengannya, dia pun semakin


baik kepadamu.


Ketahuilah, engkau takkan bisa melakukan semua ini


sampai engkau utamakan keinginannya di atas keinginanmu, dan


engkau utamakan keridhaannya di atas keridhaanmu, baik dalam


hal-hal yang kau sukai maupun yang engkau benci.


Hati-hatilah, jangan sampai engkau bergembira di


hadapannya manakala dia sedang gundah gulana, dan jangan


bermuram durja di hadapannya tatkala dia sedang gembira.”


(Takrimul Mar’ah fil Islam, hlm. 96—97)


20


Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki:


Ini adalah perkataan untuk memperingatkan anak-anak dari


sesuatu yang kotor. Maknanya, “Tinggalkan dan buang barang


itu!”


Sumber: Majalah Asy-Syariah Edisi 075


21



Tulisan Terbaru

Shalawat Kepada Nabi, ...

Shalawat Kepada Nabi, Keutamaan Serta Faidahnya