Artikel




Safar, Definisi Dan Hukumnya


Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam


semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa


sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.


Bertepatan liburan panjang akhir tahun dan banyak orang


yang bersiap siap untuk melakukan safar, kesempatan yang baik


untuk membicarakan sebagian hukum hukum yang berkaitan


dengan safar dan orang orang yang safar. Saya memaparkannya


sebagai peringatan untuk diri saya sendiri dan saudara saudaraku,


seraya memohon taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala, maka saya


katakan dengan memohon pertolongan kepada Allah subhanahu


wa ta’ala:


Sebab dinamakan safar:


Safar dinamakan safar karena ia membuka wajah orang


orang yang safar dan akhlak mereka, maka nampaklah yang


sebelumnya tersembunyi darinya. (Lisanul Arab 4/368, al-Jami’ Li


Akhlaq rawi wa adab as-Sami’ 2/242). Dan diriwayatkan tentang hal


itu dari Amirul Mukminin Umar radhiyallahu ‘anhu (Khulashatul


Badril Munir 2/436). Maka engkau mendapatkan seseorang yang


sudah engkau kenal bertahun tahun dan tidak nampak bagimu


3


sebagian akhlaknya kecuali yang baik. Dan ketika engkau safar


bersamanya selama beberapa hari, maka engkau melihatnya


malam dan siang, ketika makan, minum, tidur dan sikapnya kecuali


nampaklah bagimu beberapa perkara yang terkadang tidak


menyenangkan engkau. Karena inilah, Amirul Mukminin Umar


radhiyallahu ‘anhu apabila seseorang bersaksi di sisinya yang dia


tidak mengenalnya, ia bertanya tentang dia dan di antara


pertanyaannya kepada yang memberi tazkiyah: Apakah engkau


pernah safar bersamanya? Pernah ada dua orang bersaksi di


hadapannya maka ia berkata kepada keduanya: ‘Sesungguhnya


saya tidak mengenal kalian dan tidak mengapa saya tidak mengenal


kalian, datangkanlah orang yang mengenal kalian. Maka keduanya


datang dengan seorang laki laki. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata:


‘Bagaimana engkau mengenal mereka? Ia menjawab: ‘Mereka


orang shalih dan amanah.’ Ia (Umar radhiyallahu ‘anhu) bertanya:


‘Apakah engkau tetangga mereka? Ia menjawab: Tidak. Ia


bertanya: ‘Apakah engkau pernah bersama mereka dalam safar


yang membuka akhlak setiap laki-laki? Ia menjawab: Tidak. Ia


(Umar radhiyallahu ‘anhu) berkata: ‘Engkau tidak mengenal


mereka, datangkanlah orang yang mengenal kalian.’ Diriwayatkan


oleh al-‘Uqaily dalam Tarikhnya, al-Khathib dalam al-Kifayah, al


Baihaqi dalam Sunan, dan didha’ifkan oleh al-‘Uqaily dan ia


4


 


5


berkata: Tidak ada dalam kitab satu hadits dalam isnadnya majhul


yang lebih baik darinya. Dan dishahihkan oleh Abu Ali Ibnus Sakan.


Khulashatul Badrul Munir 2/437, at-Talkhis Khabir 4/197. Shadaqah


bin Muhammad rahimahullah berkata: ‘Dikatakan: sesungguhnya


safar adalah timbangan suatu kaum.’ Diriwayatkan oleh al-Khathib


dalam ‘al-Jami’ li Akhlaq ar-Rawi wa as Sami’ 1730.


 


Hukum safar:


Safar terbagi tiga dari sisi hukum syar’i, yaitu:  


Pertama: safar ta’at: seperti safar untuk menunaikan


ibadah haji, atau umrah, atau jihad, atau silaturrahim, atau


mengunjungi orang sakit dan semisal yang demikian itu. Dari Abu


Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,


beliau bersabda:





“Sesungguhnya seorang laki laki mengunjungi saudaranya di


kampung yang lain, lalu Allah subhanahu wa ta’ala mengutus


seorang malaikat untuk mengawasi perjalanannya, malaikat


bertanya kepadanya: ‘Engkau mau ke mana? Ia menjawab: ‘Saya


ingin mengunjungi saudara saya di kampung ini.’ Malaikat


bertanya: ‘Apakah engkau mengunjunginya karena ingin


mendapatkan manfaat duniawi? Ia menjawab: ‘Tidak, kecuali


karena saya mencintainya karena Allah subhanahu wa ta’ala.’


Malaikat berkata: ‘Sesungguhnya aku adalah utusan Allah


subhanahu wa ta’ala kepadamu bahwa Allah subhanahu wa ta’ala


mencintaimu sebagaimana engkau mencintainya karena-Nya.’ (HR.


Muslim: 2567).


Kedua: Safar maksiat: seperti safar untuk melakukan yang


diharamkan, atau safar seorang wanita tanpa mahram, atau


melakukan perjalanan untuk ziarah kubur. Dari Abu Hurairah


radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:  





 “Tidak boleh ditambatkan tunggangan kecuali kepada tiga


masjid: masjidku ini, Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.’ (HR. Al


Bukhari 1132 dan Muslim 1397)


6


Dan dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: Aku


mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  





 “Tidak boleh berduaan seorang laki laki bersama wanita


kecuali bersama mahram, dan tidak boleh seorang wanita safar


kecuali bersama mahram.” Seorang laki-laki berdiri seraya


bertanya: ‘Sesungguhnya istriku pergi untuk menunaikan ibadah


haji sedangkan saya akan ikut perang ini dan itu. Beliau shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Pergilah, maka berhajilah bersama


istrimu.’ HR. Muslim 1341.


Ke tiga: safar yang dibolehkan, seperti safar untuk


berdagang, bersenang senang, rekreasi ke padang pasir, berburu


dan selainnya. Imam Syafi’i rahimahullah berkata:  


“Pergilah meninggalkan tanah air untuk mencari


ketinggian * dan safarlah, sesungguhnya dalam safar ada lima


faedah.


Melapangkan kesusahan hati dan mencari kehidupan*


ilmu, adab dan berteman dengan orang terpuji. (Diwan asy-Syafi’i


74, Faidhul Qadir 4/82, Yatimatu Dahr 5/40.


7


 


8


‘Urwah bin Ward berkata:  


Berjalanlah di negeri Allah subhanahu wa ta’ala dan


carilah kekayaan * niscaya engkau hidup mempunyai kemudahan


atau engkau wafat maka engkau dimaklumi. (amtsalul hadits


1/93).


 


Keringanan keringanan safar:


Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





“Safar adalah satu bagian dari siksaan yang menghalangi


salah seorang darimu dari tidur, makan dan minumnya. Maka


apabila seseorang darimu menyelesaikan keperluannya maka


hendaklah ia bersegera kepada keluarganya.’ HR. Al-Bukhari: 3839


dan Muslim: 1927.


An-Nawawi rahimahullah berkata: Maksudnya


menghalangi kesempurnaan dan kenikmatannya karena


menghadapi kesusahan, capek, cuaca panas dan dingin, takut,


berpisah keluarga dan teman teman, serta kehidupan yang berat.


(Syarh an-Nawawi atas Shahih Muslim 13/70, Mirqah Mafatih


7/414.


Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: ‘Safar adalah sepotong dari


azab, maksudnya adalah sebagian darinya. Dan maksud azab


adalah rasa sakit yang muncul dari kesusahan yang diperoleh dalam


kenderaan dan berjalan, yaitu meninggalkan yang sudah


terbiasa...kebutuhan. Di dalam hadits tersebut merupakan


penjelasan makruh/dibenci meninggalkan keluarga tanpa


keperluan dan anjuran segera pulang, terutama orang yang


khawatir terhadap mereka. Dan karena dalam menetap/tinggal


bersama keluarga merupakan kesenangan yang membantu


kebaikan agama dan dunia, dan karena dalam menetap bisa


mendapatkan shalat jamaah dan kuat dalam beribadah.’ (Fathul


Bari 3/623. Dan lihat: ‘Umdatul Qari 10/138, Tanwirul Hawalik


2/249.


Imam Haramain ditanya ketika duduk di tempat bapaknya:


Kenapa safar merupakan bagian dari azab? Ia segera menjawab:


‘Karena padanya berpisah orang orang tercinta.’ (Syarh az-Zarqani:


4/506).


Ibnu Abdil Barr rahimahullah berkata: ‘Di dalam hadits ini


merupakan dalil bahwa merantau dalam waktu lama meninggalkan


9


keluarga tanpa keperluan untuk agama atau dunia tidak pantas dan


tidak boleh. Dan sesungguhnya orang yang selesai kebutuhannya


hendaklah ia bersegera pulang kepada keluarganya yang ia


berkewajiban memberi nafkah kepada mereka karena khawatir


Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan sesuatu setelah


kepergiannya dari mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


bersabda: “Cukuplah bagi seseorang menanggung dosa bahwa ia


menyia-nyiakan keluarganya.” (at-Tamhid karya Ibnu Abdil Barr


22/36.


Abdul Qadir bin Abul Fath:


Apabila dikatakan dalam safar ada lima faedah* Saya


katakan: dan lima musibah yang tidak dianalogikan dengannya


Menyia-nyiakan harta, memikul kesusahan * Duka cita,  


kesulitan, dan berpisah dengan orang yang dicintai. (adh-Dhawul


Lami’ 4/295). Dan karena melihat penderitaan dalam safar, asy


Syari’ Yang Maha Bijaksana memberikan keringanan bagi para


musafir yang beraneka macam, dan meringankan darinya berbagai


macam hukum, di antaranya:


Pertama: mengqashar shalat yang empat rekaat menjadi


dua rekaat. Firman Allah subhanahu wa ta’ala:





Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa


kamu menqasar shalat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang


kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu musuh yang nyata bagimu.


(QS. an-Nisaa`:101)


Dan dari Ya’la bin Umayyah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku


berkata kepada Umar bin Khathab radhiyallahu ‘anhu: (maka


tidaklah mengapa kamu menqasar shalat(mu), jika kamu takut diserang


orang-orang kafir.)  maka sungguh manusia sudah merasa aman.’ Ia


berkata: ‘Aku merasa heran seperti engkau merasa heran darinya,


maka aku bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam


tentang hal itu, beliau bersabda:  





‘Sedekah yang diberikan Allah subhanahu wa ta’ala kepadamu maka


terimalah sedekah-Nya.”


 


Kedua: Menjama’ di antara dua shalat: disunnahkan bagi


musafir apabila merasa susah dalam perjalan agar menjama’ shalat


Zhuhur dan Ashar, demikian pula  Maghrib dan Isya, jama’ taqdim


atau ta’khir, ia melakukan yang termudah baginya. Berdasarkan


hadits Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku


melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila bersegera


dalam safar, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menunda shalat


Maghrib sehingga menggabungkan di antaranya dan shalat ‘Isya`


(HR. Al-Bukhari 1041 dan Muslim 703).


Dan dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Apabila


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat sebelum


tergelincir matahari, beliau menunda shalat zhuhur ke shalat Ashar,


kemudian menggabung di antara keduanya. Dan apabila telah


tergelincir matahari, beliau shalat zhuhur kemudian menaiki


tunggangan. (HR. Al-Bukhari 1060 dan Muslim 704).  


Dan dari Mu’adz radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami keluar


bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam peperangan


Tabuk, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Zhuhur dan


‘Ashar bersamaan, dan shalat Maghrib dan Isha bersamaan.’ HR.


Muslim 706.


Ketiga: Berbuka di bulan Ramadhan: firman Allah


subhanahu wa ta’ala:





Maka jika di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan


(lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari


yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi


orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak


berpuasa) membayar fidyah, (yaitu) memberi makan seorang


miskin. Barangsiapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan


kebajikan, maka itu lah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih


baik bagimu jika kamu mengetahui. (QS. al-Baqarah:184)


Dan dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Dalam satu


perjalanan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat seorang


laki-laki yang dikerumuni manusia dan dikelilingi atasnya, beliau


shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: ‘Kenapa Dia? Mereka


menjawab: ‘Seorang laki-laki yang berpuasa.’ Maka Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:  





‘Tidak termasuk kebaikan bahwa kamu berpuasa dalam perjalanan.”


HR. Muslim 1115. Dan ada tambahan dalam riwayat yang lain:


‘Kamu harus mengambil rukhshah (keringanan) yang diberikan Allah


subhanahu wa ta’ala kepadamu.”


Keempat: Bertambah masa mengusap dua khuf (sepatu):


Dari Syuraih bin Hani’, ia berkata: ‘Aku mendatangi Aisyah


radhiyallahu ‘anha bertanya kepadanya tentang mengusap dua


khuf? Maka ia menjawab: ‘Kamu harus mendatangi Ali bin Abu


Thalib radhiyallahu ‘anhu maka tanyakanlah kepadanya, maka


sesungguhnya ia pernah safar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi


wa sallam. Maka kami bertanya kepadanya, ia radhiyallahu ‘anhu


menjawab: ‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga


hari tiga malam bagi musafir dan satu hari satu malam bagi yang


muqim.’ HR. Muslim 276.


Kelima: Tidak wajib shalat Jum’at bagi musafir: karena di


antara syarat wajib shalat Jum’at adalah menetap, sementara orang


musafir tidak menetap (bukan muqim). Dan tidak ada dalam


petunjuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa shalat Jum’at


dalam safarnya. Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Tidak


14


ada shalat Jum’at bagi musafir.’ (HR. Abdurrazzaq:   3/172) Dan Ibnu


Abdil Barr rahimahullah menghikayatkan ijma’ (al-Istidzkar 2/36).


Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Beliau shallallahu ‘alaihi wa


sallam tidak pernah shalat Jum’at bersama mereka (para sahabat)


dalam perjalan-perjalannya, kemudian khutbah, kemudian shalat


dua rekaat. Akan tetapi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat


pada hari Jum’at dalam safar sejumlah dua rekaat sebagaimana


shalat di hari-hari yang lain. Demikian pula ketika beliau shalat


Zhuhur dan Ashar di hari Arafah, beliau shalat dua rekaat seperti


shalatnya di hari hari yang lain. Dan tidak ada seorang pun yang


meriwayatkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam


menyaringkan bacaan di hari Jum’at dalam safar, tidak di Arafah dan


tidak pula di saat lainnya, dan tidak pula beliau khuthbah selain di


Arafah pada hari Jum’at dalam safar. Maka diketahui bahwa yang


benar yang dilakukan oleh salafus shaleh dan mayoritasnya dari


imam yang empat dan yang lainnya bahwa musafir tidak shalat


Jum’at. Al-Fatawa 17/480.


Maka jika seorang musafir shalat Jum’at bersama imam,


maka ia tidak boleh menjama’ dengan shalat Ashar, karena Ashar


hanya dijama’ dengan Zhuhur, bukan dengan shalat Jum’at, dan


Jum’at adalah shalat tersendiri yang memiliki hukum hukum secara


khusus, maka ia adalah shalat jahar (imam membaca nyaring) dan


15


zhuhur adalah shalat sirr (membaca pelan). Ia (shalat Jum’at) dua


rekaat dan Zhuhur empat rekaat, sebelumnya ada dua khutbah dan


Zhuhur tidak ada khutbah sebelumnya. Dan waktunya sebelum


gelincir matahari berbeda dengan Zhuhur maka waktu tidak masuk


kecuali setelah gelincir matahari, dan perbedaan perbedaan lainnya.


(lihat: Syarh al-Mumti’ 4/582. Adapun jika ia shalat bersama imam


dan berniat shalat Zhuhur secara qashar, maka ia boleh menjama’


bersama Ashar.


Keenam: Shalat sunnah di atas tunggangan: Musafir boleh


melakukan shalat malam, shalat witir, shalat Dhuha dan shalat


sunnah lainnya di dalam mobil dan ia berjalan dengannya


kemanapun arahnya berdasarkan hadits Sa’id bin Yasar


rahimahullah, ia berkata: ‘Aku berjalan bersama Abdullah bin Umar


radhiyallahu ‘anhuma di jalan Makkah. Sa’id berkata: ‘Maka tatkala


aku khawatir masuk waktu Subuh, aku turun lalu melaksanakan


shalat Witir, kemudian aku menyusulnya. Abdullah bin Umar


radhiyallahu ‘anhuma berkata: ‘Engkau berada di mana? Aku


menjawab: ‘Aku khawatir masuk waktu Subuh, lalu aku turun lalu


shalat Witir.’ Abdullah radhiyallahu ‘anhu berkata: ‘Bukahlah bagimu


pada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam panutan yang baik?


Aku menjawab: ‘Tentu, demi Allah.’ Ia berkata: ‘Sesungguhnya


16


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat Witir di


atas unta.’ HR. Al-Bukhari 954 dan Muslim 700.


Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:


‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dalam safar di atas


tunggangannya kemanapun arahnya, beliau melakukan isyarat


dalam shalat malam kecuali shalat fardhu, dan beliau shalat Witir di


atas tunggangannya.’ HR. Al-Bukhari 955 dan Muslim 700.


Ketujuh: Meninggalkan shalat sunnah rawatib selain shalat


sunnah fajar:  Dari Hafsh bin ‘Ashim bin Umar bin Khathab


radhiyallahu ‘anhum, ia berkata: ‘Aku menemani Ibnu Umar


radhiyallahu ‘anhuma dalam perjalanan ke Makkah, ia berkata: ‘Ia


shalat Zhuhur dua rekaat, kemudian ia menghadap/berjalan dan


kami berjalan bersamanya, hingga ia sampai di tempat


persinggahannya, ia duduk dan kami duduk bersamanya. Maka tiba


waktu untuk meneruskan perjalanan, lalu ia melihat beberapa orang


berdiri (shalat), ia bertanya: ‘Apakah yang diperbuat mereka? Aku


menjawab: ‘Mereka shalat.’ ia berkata: ‘Jika aku shalat niscaya aku


menyempurnakan shalatku, wahai anak saudaraku, sesungguhnya


aku menemani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam


perjalanan, maka beliau tidak menambah atas dua rekaat hingga


akhir hayat. Dan aku menemani Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu maka


17


 


18


ia tidak menambah atas dua rekaat hingga wafat. Dan aku


menemani Umar radhiyallahu ‘anhu maka ia tidak menambah atas


dua rekaat hingga wafat. Dan aku menemani Utsman radhiyallahu


‘anhu maka ia tidak menambah atas dua rekaat hingga wafat. Dan


Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:





Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri


teladan yang baik bagimu. (QS. al-Ahzab:21) HR. Muslim: 689.


Inilah beberapa rukhsakh (keringanan) melakukan dan meninggalkan


yang semestinya dijaga oleh orang yang safar berdasarkan sabda


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:





‘Kamu harus mengambil rukhsakh (keringanan) yang diberikan Allah


subhanahu wa ta’ala kepadamu.’ HR. Muslim: 1115. Dari hadits Jabir


radhiyallahu ‘anhu.


Dan dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah


shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyukai bahwa


dilaksanakan rukhsakh-Nya (yang diberikan Allah subhanahu wa


ta’ala), sebagaimana Dia membenci dilakukan maksiat kepada-Nya.’


HR. Ahmad 5866. Al-Mundziri rahimahullah berkata: Dengan isnad


yang shahih. (at-Targhib wat Tarhib 2/87). Dan dari Ibnu Abbas


radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa


sallam bersabda:  





 ‘Sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala menyukai bahwa


dilaksanakan rukhsakh-Nya (yang diberikan Allah subhanahu wa


ta’ala), sebagaimana Dia menyukai dilaksanakan kewajiban


kewajiban-Nya.” (HR. Ibnu Hibban: 354).


Mengambil rukhsakh yang diberikan syara’ adalah ibadah


yang dilupakan oleh kebanyakan orang, maka mereka menyusahkan


diri mereka sendiri dengan meninggalkannya karena mengira bahwa


yang utama adalah tidak mengambil rukhsah tersebut, padahal yang


utama, yang lebih sempurna dan lebih banyak pahala adalah


mengikuti sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu safar


dan menetap, perintah kuat dan keringanan. Keringanan keringanan


ini, para ulama menyebutkan tiga syarat agar boleh mengambil


keringanan tersebut dalam safar, yaitu:


19


Pertama: Bahwa safar tersebut mencapai jarak empat burd


(lihat perbedaan pendapat para ulama karya al-Maruzi/45, al-Istizkar


2/232, al-Mughni 2/46, Fathul Bari 2/566). Dan sama dengan 89 Km.


Menurut pendapat mayoritas ulama, berdasarkan riwayat ‘Atha’ bin


Abi Rabah, bahwa Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma dan


Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma melakukan shalat dua


rekaat dua rekaat (mengqashar) dan berbuka dalam jarak empat


burd dan selebihnya. HR. Al-Baihaqi 3/137. Dan ada riwayat dari


Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma yang menyalahi hal itu, dan ia


pernah mengqashar dalam jarak kurang dari hal itu. Dan bagi para


ulama ada beberapa pendapat dalam jarak safar yang boleh


mengqashar. Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: ‘Nabi shallallahu


‘alaihi wa sallam tidak pernah menentukan batas safar dengan


jarak, tidak dengan barid dan tidak pula lainnya, dan tidak pula


membatasi dengan waktu. (al-Fatawa: 24/127). Dan dalam Shahih


Muslim 691, dari Yahya bin Yazid al-Huna`i, ia berkata: ‘Aku bertanya


kepada Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu tentang qashar shalat? ia


menjawab: ‘Apabila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar


dalam perjalanan tiga mil atau tiga farsakh –Syu’bah ragu ragu-


beliau shalat dua rekaat (mengqashar).’


20


Kedua: Berpisah dengan tempat tinggal:  Banyak musafir


yang mengira bahwa musafir tidak boleh melakukan rukhsakh


sehingga melewati jarak qashar. Ini menyalahi pendapat yang


shahih. Bahkan sebaliknya musafir boleh melakukan rukhsakh


tersebut apabila melewati bangunan bangunan, berdasarkan hadits


Anas radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Aku shalat Zhuhur bersama


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah empat rekaat dan


shalat Ashar di Dzil Hulaifah dua rekaat. HR. Al-Bukhari 1039. Dan


dari Ali bin Rabi’ah al-Asady, ia berkata: ‘Aku keluar bersama Ali


radhiyallahu ‘anhu dan kami memandang ke Kufah, maka ia shalat


dua rekaat. Kemudian ia kembali lalu shalat dua rekaat dan ia


memandang ke perkampungan, maka kami bertanya kepadanya:


‘Apakah engkau tidak shalat empat rekaat? Ia menjawab: ‘Hingga


kita memasukinya.’ HR. Al-Bukhari 1/369 secara mu’allaq (tanpa


sanad) dan dimaushulkan (diriwayatkan dengan sanad) oleh


Abdurrazzaq 4321, al-Hafizh berkata: Isnadnya shahih (Taghligh


Ta’liq: 2/421).


Ketiga: Bahwa safar itu bukan safar maksiat menurut


pendapat meyoritas ulama:  Keringanan keringanan ini disyari’atkan


bagi orang yang melakukan safar taat atau mubah. Adapun orang


yang maksiat dengan safarnya seperti perampok maka tidak


21


diberikan keringanan baginya, karena keringanan tidak


digantungkan dengan maksiat, dan dari sana orang yang maksiat


dengan safarnya tidak dibolehkan mengambil sedikitpun dari


rukhsah safar. (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab 4/223, al-Asybah wan


Nazha`ir karya as-Sayuthi 95) dan dalam memberi ijin bagi yang


maksiat dengan melakukan rukhsakh berarti membantu dia


terhadap maksiatnya, dan orang yang maksiat tidak boleh ditolong


(untuk terus melakukan maksiat).


22



Tulisan Terbaru

Salafus Shalih dan Me ...

Salafus Shalih dan Menjaga Waktu

Safar, Definisi Dan H ...

Safar, Definisi Dan Hukumnya