
Hukum Ghuluw Terhadap Orang Shalih
(21) Hukum orang yang meyakini bahwa Rasulullah r bukan manusia dan
sesungguhnya dia r mengetahui yang gaib.
Pertanyaan: Apabila seseorang wafat, sedangkan dia meyakini bahwa
Rasulullah r bukanlah manusia, sesungguhnya dia r mengetahui yang gaib,
dan sesungguhnya tawassul dengan para wali, orang yang sudah meninggal
dunia dan yang masih hidup adalah ibadah kepada Allah I. Apakah dia
masuk neraka dan termasuk orang musyrik? Perlu diketahui bahwa dia tidak
mengetahui selain keyakinan ini, dan sesungguhnya dia tinggal di satu
wilayah yang para ulama dan semua penduduknya menetapkan hal itu,
apakah hukumnya? Dan apakah hukum bersedekah darinya dan berbuat
baik kepadanya setelah matinya?
Jawaban: Barangsiapa yang wafat di atas keyakinan ini, bahwa
sesungguhnya Muhammad r bukan manusia, maksudnya bukan termasuk
keturunan nabi Adam u, atau meyakini bahwa dia mengetahui yang gaib,
maka ini adalah keyakinan kufur yang pelakunya adalah orang kafir kufur
akbar. Dan seperti inilah apabila ia berdoa dan istighatsah kepadanya r, atau
bernazar untuknya, atau kepada selainnya dari para nabi, atau orang-orang
shalih, atau jin, atau malaikat, atau berhala. Karena ini termasuk jenis
1
perbuatan orang-orang musyrik generasi pertama seperti Abu Jahal dan
semisalnya. Ia adalah syirik besar, dan sebagian orang menamakan jenis
syirik ini sebagai tawasul, dan sebenarnya ia adalah jenis syirik akbar. Ada
jenis tawasul kedua yang bukan termasuk syirik, tetapi termasuk jenis bid'ah
dan sarana menuju syirik, yaitu bertawasul dengan jaah (pangkat,
kedudukan) para nabi dan orang-orang shalih, atau dengan haqq para nabi
dan orang-orang shalih, atau dengan zat mereka. Maka yang wajib adalah
berhati-hati dari keduanya. Barangsiapa yang wafat di atas jenis tawasul
pertama (yang termasuk syirik akbar), ia tidak dimandikan, tidak dishalatkan,
tidak dimakamkan di pemakaman kaum muslimin, tidak didoakan untuknya,
dan tidak bersedekah untuknya, berdasarkan firman Allah I:
Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang
orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka,
bahwasannya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam. (QS. at-Taubah:113)
Adapun tawasul dengan asma (nama-nama) dan sifat Allah I, tauhid
dan iman dengan-Nya, maka ia adalah tawasul yang masyru' (disyari'atkan)
dan termasuk di antara sebab-sebab dikabulkan, berdasarkan firman Allah I:
Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asma-ul husna itu (QS. al
A'raaf:180)
Dan berdasarkan riwayat dari Nabi r bahwa beliau mendengar orang yang
berdoa dan berkata:
"Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu bahwa Engkau adalah
Allah I, tidak Ilah (yang berhak disembah) selain Engkau, Yang Maha Esa,
Yang Maha Sempurna (bergantung kepada-Nya segala sesuatu), Yang tidak
beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada yang setara dengan-Nya").
Maka dia r bersabda: 'Sungguh ia telah memohon kepada Allah I dengan
nama-Nya Yang Agung (ismul a'dzham) yang apabila diminta Dia I memberi
dan apabila didoakan dengannya Dia I mengambulkan."1
Dan seperti ini pula tawasul dengan amal shalih berupa berbakti
kepada kedua orang tua, menunaikan amanah, menahan diri dari yang
diharamkan oleh Allah I dan semisal yang demikian itu, sebagaimana yang
disebutkan dalam hadits penghuni goa yang diriwayatkan dalam Shahihain
(Bukhari dan Muslim):
Mereka ada tiga orang, kemalaman dan hujan membuat mereka
bermalam di dalam goa. Maka tatkala mereka telah masuk ke dalamnya, batu
besar jatuh dari atas gunung, lalu menutupi pintu goa. Maka mereka tidak
bisa keluar, lalu mereka saling berkata: 'Sesungguhnya tidak ada yang bisa
menyelamatkan kamu dari batu besar ini kecuali kamu memohon kepada
Allah I dengan amal-amal shalihmu. Maka mereka bertawajjuh (menghadap)
kepada Allah I dan memohon kepada-Nya dengan sebagian amal mereka
yang baik. Salah seorang dari mereka berkata: 'Ya Allah, sesungguhnya aku
mempunyai ayah ibu yang sudah tua dan aku tidak memberi minuman
sebelum keduanya kepada keluarga (anak istri) dan harta (budak). Dan pada
suatu hari aku terlalu jauh mencari pohon, maka tatkala aku pergi kepada
keduanya dengan minuman keduanya, ternyata kedua sudah tidur. Maka aku
tidak membangunkan keduanya dan aku tidak suka memberi minuman
kepada keluarga dan harta sebelum keduanya. Maka aku terus seperti itu
hingga terbit fajar, lalu keduanya terbangun dan meminum susu mereka. Ya
Allah, jika Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu karena
mengharap ridha-Mu maka lapangkanlah dari kami apa yang ada pada kami.
maka batu besar itu bergeser sedikit yang mereka tidak bisa keluar darinya.
Adapun yang kedua, maka ia bertawasul dari sifat iffah (menahan diri)
nya dari perbuatan zina, di mana dia mempunyai sepupu perempuan yang dia
sangat mencintainya. Lalu ia (sepupunya) datang kepadanya meminta
bantuan maka ia enggan kecuali ia menyerahkan dirinya (untuk berbuat
zinah), lalu ia setuju karena kebutuhannya. Maka ia memberinya seratus dua
puluh (120) dinar. Tatkala dia sudah duduk di antara dua kakinya, dia
1HR. Abu Daud 1495, at-Tirmidzi 3475, dan ia berkata: Hasan gharib, an-Nasa`i 1300, Ibnu Majah 3858 dan yang
lain. Dishahihkan oleh Syaikh Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 1326.
2
(sepupunya) berkata: 'Wahai Abdullah, takutlah kepada Allah I dan
janganlah engkau memecahkan cincin kecuali dengan sebenarnya." Ia pun
merasa takut kepada Allah I saat itu, berdiri darinya dan membiarkan emas
(dinar) karena takut dari siksa Allah I. Ia berkata: 'Ya Allah, jika ia
mengetahui bahwa aku melakukan hal ini karena mengharap ridha-Mu maka
lapangkanlah dari kami apa yang ada pada kami.' Maka batu itu bergeser
sedikit yang mereka tidak bisa keluar darinya. Kemudian yang ketiga berkata:
'Ya Allah, sesungguhnya aku mempunya beberapa karyawan, aku
memberikan kepada setiap orang upahnya kecuali satu orang yang dia
meninggalkan upahnya. Lalu aku mengembangkannya untuknya sehingga
menjadi unta, sapi, kambing dan budak. Lalu ia datang meminta upahnya,
maka aku berkata kepadanya: 'Semua ini adalah upahmu,' maksudnya unta,
sapi, kambing, dan budak.' Ia berkata: Wahai hamba Allah, bertaqwalah
kepada Allah I dan janganlah engkau mengolok olok aku.' Lalu kukatakan
kepadanya: 'Sesungguhnya aku tidak mengolok-olokmu, sesungguhnya
semuanya adalah hartamu.' Maka ia membawa semuanya. Ya Allah, jika
Engkau mengetahui bahwa aku melakukan hal itu karena mengharapkan
ridha-Mu maka lapangkanlah dari kami apa yang kami alami.' Maka batu itu
bergeser, lalu mereka semua keluar sambil berjalan."2
Ini menunjukkan bahwa tawasul dengan amal shalih adalah perkara
yang disyari'atkan dan sesungguhnya Allah I melapangkan kesusahan
dengannya, seperti yang dialami tiga orang tersebut. Adapun tawasul dengan
jaah fulan dan haqq fulan atau zat fulan, maka ini tidak disyari'atkan, bahwa
termasuk bid'ah seperti yang sudah dijelaskan. Wallahu waliyut taufiq.
Syaikh Bin Baaz –Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah (5/319).
(22) Di antara gambaran ghuluw pada Nabi r
Pertanyaan: Saya pernah membaca satu hadits, sejauh mana
kebenarannya? Yaitu: Barangsiapa yang bernama muhammad maka
janganlah engkau memukulnya dan jangan pula mencelanya.
Jawaban: Hadits ini adalah palsu dan didustakan kepada Rasulullah r
dan tidak ada dasarnya dalam sunnah yang suci. Seperti ini pula ucapan
2 Al-Bukhari 3465 dan Muslim 2743 dengan maknanya.
3
orang yang berkata: Barangsiapa yang diberi nama muhammad maka baginya
jaminan dari Muhammad dan hampir-hampir ia memasukkannya ke dalam
surga dengan hal itu. Dan seperti inilah orang yang berkata: Barangsiapa
yang namanya muhammad maka sesungguhnya rumahnya adalah baginya
seperti ini dan seperti ini. Maka semua berita ini tidak ada dasarnya. Maka
yang dipandang adalah mengikuti Muhammad r dan bukan dengan namanya
r. Berapa banyak orang yang bernama Muhammad sedangkan dia seorang
yang jahat, karena dia tidak mengikuti Muhammad dan tidak tunduk kepada
syari'atnya. Nama tidak bisa membersihkan manusia dan yang membersihkan
mereka adalah amal shahih dan ketaqwaan mereka kepada Allah I. Maka
barangsiapa yang bernama Muhammad, atau Ahmad, atau Abul Qasim,
sedangkan dia seorang yang kafir atau fasik niscaya hal itu tidak berguna
baginya. Tetapi yang wajib atas hamba adalah bertaqwa kepada Allah I,
beramal dengan taat kepada Allah I, dan memelihara syari'at Allah I yang
Dia I mengutus nabi-Nya dengannya. Inilah yang berguna baginya dan itulah
jalan keselamatan. Adapun hanya semata-mata nama tanpa mengamalkan
syara' maka tidak ada hubungannya dengan keselamatan dan siksaan. Dan
al-Bushiri melakukan kesalahan dari 'Burdah'nya, di mana dia berkata:
Maka sesungguhnya untukku ada jaminan darinya dengan namaku
Muhammad, sedangkan dia r adalah makhluk yang paling menepati jaminan
Dan ia melakukan kesalahan lebih besar dari hal itu dengan
ucapannya:
Wahai makhluk paling mulia, aku tidak berlindung kepada siapapun -
Selain kepadamu saat terjadinya bencana yang merata
Jika engkau tidak mengambil tanganku di tempat kembaliku (akhirat) -
Sebagai karunia, dan jika tidak maka katakanlah wahai orang yang tergelincir
kaki (masuk neraka)
Maka sesungguhnya termasuk kemurahanmu adalah dunia dan segala
isinya -
Dan di antara ilmu pengetahuanmu adalah mengetahui Lauh dan Qalam
Maka si miskin ini menjadikan perlindungannya di akhirat dengan
Rasulullah r, bukan kepada Allah I. Dan ia menyebutkan bahwa ia binasa
jika dia r tidak mengambilnya dengan tangannya r, dan ia lupa kepada Allah
4
I yang di Tangan-Nya bahaya dan manfaat, pemberian dan halangan, Dia I
yang menyelamatkan para wali dan orang-orang yang taat kepada-Nya. Dan ia
menjadikan Rasulullah r sebagai pemilik dunia dan akhirat, dan
sesungguhnya ia (dunia) adalah sebagian dari kemurahannya r. Ia
menjadikannya r mengetahui yang gaib dan di antara ilmunya adalah
mengetahui apa yang ada di Lauhul Mahfuzh dan Qalam. Ini adalah kufur
yang nyata dan ghuluw yang tertinggi. Kita memohon afiyat dan keselamatan
kepada Allah I.
Jika ia mati atas hal itu dan tidak bertaubat niscaya ia mati di atas
kekafiran dan kesesatan. Maka setiap muslim wajib berhati-hati dari sifat
ghuluw ini dan jangan terperdaya dengan Burdah dan pengarangnya.
Wallahus musta'aan, dan tidak ada daya dan upaya kecuali dengan
pertolongan Allah I.
Syaikh Bin Baaz -Majmu' Fatawa wa Maqalat Mutanawwi'ah (6/370
371).
(23) Hukum meyakini bahwa Rasulullah berada r di setiap tempat dan dia
mengetahui yang gaib.
Pertanyaan: Apakah Rasulullah r berada di setiap tempat? Dan apakah
dia mengetahui yang gaib?
Jawaban: Sudah diketahui dengan mudah dalam agama dan dengan
dalil-dalil syara' bahwa Rasulullah r tidak berada di setiap tempat dan
jasadnya hanya ada di kuburnya saja di Madinah al-Munawwarah. Adapun
ruhnya maka berada di rafiqil a'la di surga. Hal itu ditunjukkan oleh riwayat
darinya r bahwa beliau r berkata saat menjelang ajalnya: 'Ya Allah, pada
rafiqil a'la.'3 Tiga kali, kemudian beliau r wafat.
Para ulama islam dari kalangan sahabat dan generasi sesudahnya
sepakat (ijma') bahwa Nabi r dimakamkan di rumah Aisyah radhiyallahu
'anha yang berdampingan masjidnya yang mulia. Jasadnya masih ada di
dalamnya hingga saat ini. Adapun ruhnya dan ruh para nabi dan rasul serta
ruh orang-orang beriman maka semuanya ada di surga, akan tetapi di atas
kedudukan dalam nikmat dan tingkatannya, menurut yang diberikan Allah I
3 HR. al-Bukhari 4437 dan Muslim 87 dan 2444.
5
kepada semua berupa ilmu, iman dan sabar di atas memikul beban di jalan
dakwah kepada kebenaran.
Adapun perkara gaib maka tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah
I semata. Sesungguhnya Rasulullah r dan makhluk yang lainnya
mengetahui sebagian dari yang gaib hanya yang diperlihatkan oleh Allah I
kepadanya dari yang terdapat dalam al-Qur`an al-Karim dan as-Sunnah yang
suci berupa penjelasannya dari perkara-perkara surga, neraka, kondisi hari
kiamat dan selain yang demikian itu, dari yang ditunjukkan al-Qur`an dan
hadits shahih seperti berita tentang Dajjal, matahari terbit dari barat,
keluarnya binatang, turunnya al-Masih Isa u di akhir zaman dan semisal
yang demikian itu, berdasarkan firman Allah I dalam surah an-Naml:
Katakanlah:"Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah",
dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan. (QS. an-Naml:65)
Dan firman-Nya:
Katakanlah:"Aku tidak mengatakan kepadamu, bahwa perbendaharaan Allah ada padaku, dan tidak (pula)
aku mengetahui yang ghaib (QS. al-An'aam:50)
Dan firman-Nya dalam surah al-A'raaf:
Katakanlah:"Aku tidak berkuasa menarik kemanfa'atan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan
kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan
sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan,
dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman". (QS. al-A'raaf:188)
Dan ayat-ayat dalam pengertian ini sangat banyak.
Dalam hadits shahih dari Rasulullah r dari hadits-hadits yang
menunjukkan bahwa dia r tidak mengetahui yang gaib: Di antaranya dalam
jawabannya r untuk Jibril u saat ia menanyatakan tentang hari kiamat,
beliau bersabda: 'Tidaklah yang ditanya lebih mengetahui dari yang bertanya.'
Kemudian dia r bersabda: "Dalam lima perkara yang tidak mengetahuinya
selain Allah I, kemudian Nabi r membaca:
Sesungguhnya Allah, hanya pada sisi-Nya sajalah pengetahuan tentang Hari Kiamat; dan Dia-lah Yang
menurunkan hujan, …. (QS. Luqman:34)4
Di antaranya: Sesungguhnya ketika Aisyah radhiyallahu 'anha dituduh oleh
para pembohong melakukan perbuatan keji, dia r tidak mengetahui bebasnya
dia (Aisyah radhiyallahu 'anha) dari tuduhan itu kecuali dengan turunnya
wahyu, sebagaimana dalam surah an-Nuur. Di antaranya: tatkala kalung
Aisyah radhiyallahu 'anha hilang di sebagian peperangan, dia r tidak
mengetahui tempatnya dan dia r mengutus beberapa orang mencarinya
namun tidak menemukannya. Maka tatkala untanya berdiri mereka
menemukannya di bawahnya. Ini hanyalah sedikit dari sekian banyaknya
hadits yang menunjukkan pengertian ini.
Adapun yang diduga sebagian kaum shufi bahwa dia r mengetahui
yang gaib dan hadir di sisi mereka pada saat mereka merayakan maulid dan
yang lainnya adalah batil yang tidak ada dasarnya. Hal itu hanyalah didorong
oleh kebodohan mereka dengan al-Qur`an dan sunnah serta keyakinan
salafus shalih. Maka kita memohon 'afiyat kepada Allah I untuk kita dan
semua kaum muslimin dari apa yang Dia timpakan kepada mereka.
sebagaimana kita memohon kepada Allah I agar memberi petunjuk kepada
kita dan mereka semua ke jalan-Nya yang lurus, sesungguhnya Dia I Maha
Mendengar lagi Maha Mengabulkan doa.
Syaikh Bin Baaz – al-Mujahid 66/ tahun ketiga dua edisi 33 dan 34 –
Muharram dan Shafar 1412 H.
4 HR. al-Bukhari 50 dan Muslim 9 dari hadits Abu Hurairah t.
7