Artikel




Perceraian dan Hukumnya


Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta


salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad


ShalAllahu’alaihi wa sallam beserta keluarga dan seluruh


sahabatnya.  


Khutbah Pertama:





Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, Segala puji bagi Allah


Shubhanahu wa ta’alla yang telah menjadikan bagi hamba-hamba


-Nya pasangan dan teman hidup berupa istri-istri, serta


menjadikan dari mereka keturunan. Saya bersaksi bahwasanya


tidak ada sesembahan yang berhak untuk diibadahi kecuali Allah


Shubhanahu wa ta’alla semata, serta bersaksi bahwasanya Nabi


Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam adalah hamba dan


utusan -Nya. Shalawat dan salam semoga senantiasa Allah


Shubhanahu wa ta’alla curahkan kepada junjungan kita, Nabi


yang paling mulia, Muhammad bin Abdillah, keluarganya, para


sahabatnya, dan seluruh kaum muslimin yang senantiasa


mengikuti petunjuknya.


Hadirin rahimakumullah,  


Marilah kita senantiasa bertakwa kepada Allah


Shubhanahu wa ta’alla dan bersyukur kepada -Nya atas nikmat


nikmat -Nya yang begitu banyak serta tidak terhitung jumlah dan


bilangannya. Di antaranya adalah apa yang telah diperintahkan


dan dijadikan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla sebagai jalan para


nabi dan rasul, yaitu ikatan yang menghubungkan antara seorang


laki-laki dengan perempuan melalui akad nikah.


Jama’ah


 jum’ah


 rahimakumullah,


Sesungguhnya


terjalinnya hubungan antara laki-laki dan perempuan melalui


pernikahan yang sesuai dengan syariat, serta terbentuknya ikatan


kekeluargaan, adalah salah satu nikmat Allah Shubhanahu wa





ta’alla yang sangat besar kepada hamba-hamba -Nya. Allah


Shubhanahu wa ta’alla telah menetapkan adanya manfaat dan


hikmah yang begitu besar dan banyak dari disyariatkannya


pernikahan. Di antaranya apa yang Allah Shubhanahu wa ta’alla


sebutkan dalam firman-Nya:  





“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan -Nya ialah Dia


menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian sendiri, supaya


kalian merasa tenteram kepadanya, dan Allah jadikan di antara


kalian rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian


itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.”


(ar-Ruum: 21)


Hadirin rahimakumullah, Dari ayat tersebut, kita


memahami bahwa di antara faedah dan maksud disyariatkannya


pernikahan adalah diperolehnya kebahagiaan dan ketenteraman


serta hubungan kasih sayang di antara suami dan istri. Hal ini


karena pernikahan adalah sebuah hubungan kerjasama dan


tolong-menolong dalam kebaikan antara suami dan istri untuk


 


6


memenuhi kebutuhan hidupnya. Suami mencari nafkah untuk istri


dan anak-anaknya, sedangkan istri mengurusi urusan rumah


tangganya. Akhirnya, terciptalah sebuah bentuk kasih sayang yang


tidak didapatkan jenis kasih sayang tersebut pada ikatan yang


lainnya.


Hadirin rahimakumullah, Di dalam ayat lainnya, Allah Shubhanahu


wa ta’alla berfirman:





“Dan nikahkanlah orang-orang yang sendirian di antara kalian dan


orang-orang yang layak (menikah) dari budak-budak kalian yang


lelaki dan budak-budak kalian yang perempuan. Jika mereka


miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia -Nya


dan Allah Mahaluas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”


(an-Nur: 32).


Di dalam ayat ini, Allah Shubhanahu wa ta’alla


menyebutkan hikmah lainnya dari pernikahan, yaitu dengan


keutamaan -Nya, Allah Shubhanahu wa ta’alla akan memenuhi


serta mencukupi kebutuhan suami istri. Maka, hal ini semestinya





mendorong seseorang untuk menikah dan tidak menjadikan


kemiskinan dirinya sebagai penghalang untuk menikah. Selama


seseorang mau berusaha memiliki tanggung jawab terhadap


keluarganya, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan karunia   -Nya akan mencukupi kebutuhan mereka.


Hadirin rahimakumullah, di antara hikmah lainnya dari pernikahan


adalah munculnya generasi baru dengan lahirnya anak-anak yang


akan menjadi penyejuk hati bagi kedua orang tuanya. Hal ini


sebagaimana doa yang disebutkan oleh Allah Shubhanahu wa


ta’alla dalam firman-Nya:





Dan orang-orang yang berkata, “Ya Rabb kami, anugerahkanlah


kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk


hati (kami).” (al-Furqan: 74)


Jamaah jum’ah rahimakumullah, Termasuk hikmah dari


menikah adalah yang disebutkan oleh Nabi Muhammad


Shalallahu ‘alihi wa sallam dalam sabdanya:





“Wahai para pemuda, barang siapa di antara kalian yang telah


mampu menikah maka menikahlah karena sesungguhnya


menikah akan lebih menundukkan pandangan dan menjaga


kehormatan.” (HR. al-Bukhari dan Muslim).


Di dalam hadits ini, Nabi Muhammad Shalallahu ‘alihi wa sallam


memberitakan hikmah pernikahan, yaitu menjadi sarana untuk


menjaga seseorang dari berbuat zina dan yang semisalnya.


Sungguh, betapa besarnya hikmah ini, terlebih di saat faktor


faktor yang akan menyeret pada perbuatan zina begitu besar,


seperti yang terjadi di masa sekarang ini. Di saat campur baur


antara laki-laki dan wanita terjadi di mana-mana. Begitu pula


banyaknya wanita yang tidak malu untuk keluar dari rumahnya


dengan wewangian dan busana yang menampakkan auratnya dan


yang semisalnya, maka menikah adalah salah satu solusi untuk


menjaga pribadi dan masyarakat agar tidak terjatuh pada


perbuatan yang sangat nista ini.  


Hadirin jamaah jum’ah rahimakumullah, Masih banyak lagi


hikmah lainnya dari disyariatkannya menikah. Oleh karena itu,


Allah Shubhanahu wa ta’alla menginginkan agar suami istri


menjaga hubungan pernikahan yang telah dijalin oleh keduanya


serta melarang dari melakukan tindakan dan perbuatan yang akan


merusak atau mengakibatkan putusnya hubungan pernikahan


8


 


9


mereka. Bahkan, Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan


kepada suami istri untuk saling bersikap baik dan bersabar, lebih


lebih bagi suami, meskipun ada kekurangan yang tidak disukai


pada istrinya. Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman:





“Dan bergaullah dengan mereka (istri-istri) dengan baik. Apabila


kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena


mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan


padanya kebaikan yang banyak.” (an-Nisa: 19)


Hadirin rahimakumullah, Ketika terjadi permasalahan


antara suami istri, seperti apabila seorang suami mendapati


istrinya tidak mau menjalankan kewajiban dalam memenuhi hak


suaminya, maka Allah Shubhanahu wa ta’alla memerintahkan


agar suami menyelesaikan permasalahan tersebut dengan hikmah


dan mengikuti tahapan-tahapan yang telah ditetapkan -Nya. Allah


Shubhanahu wa ta’alla berfirman:





“Wanita-wanita yang kalian khawatirkan nusyuznya, maka


nasihatilah mereka, pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka,


dan pukullah mereka! Kemudian jika mereka menaatimu,


janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya.


Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.” (an-Nisa: 34)


Hadirin rahimakumullah, Dari ayat tersebut, kita


mengetahui, apabila seorang suami mendapati istrinya tidak mau


menjalankan kewajiban yang harus ditunaikan terhadap


suaminya, maka yang pertama kali harus dilakukan adalah


menasihati istrinya. Yaitu dengan mengingatkan apa yang telah


Allah Shubhanahu wa ta’alla wajibkan bagi setiap istri terhadap


suaminya dan bagaimana ancaman Allah Shubhanahu wa ta’alla


terhadap istri yang menyelisihi kewajiban tersebut. Lalu, apabila


nasihat tersebut tidak diindahkan dan tidak mengubah keadaan


istrinya, maka langkah berikutnya adalah menjauhinya di atas


ranjang. Kemudian, jika hal ini juga tidak mengubah keadaan


istrinya, maka langkah berikutnya adalah dengan memberikan


hukuman yang lebih keras lagi yaitu memukulnya namun dengan


pukulan yang tidak terlalu keras. Dari tahapan-tahapan tersebut


kita mengetahui bahwa Allah Shubhanahu wa ta’alla tidaklah


menjadikan perceraian sebagai tahapan pertama dan cara yang


paling utama. Sehingga semestinya seorang suami tidak


bermudah-mudah mengucapkan kata cerai kepada istrinya.


Demikian, mudah-mudahan apa yang kita sampaikan bisa menjadi


peringatan dan bermanfaat bagi semuanya.


Khutbah Kedua


 


Ma’asyiral muslimin rahimakumullah, ketahuilah, bahwa


Allah Shubhanahu wa ta’alla telah menetapkan batas-batas


syariat -Nya, maka janganlah kita melanggarnya. Pelajarilah


hukum-hukum dan batas-batas syariat Allah Shubhanahu wa


ta’alla agar kita mendapatkan keridhaan -Nya dan hikmah-hikmah


yang telah ditetapkan -Nya.


Hadirin rahimakumullah, Karena besarnya kedudukan akad nikah


dalam syariat Islam, Allah Shubhanahu wa ta’alla telah


menetapkan batas-batas yang harus diperhatikan ketika hendak


keluar dari ikatan pernikahan. Di antaranya, tahapan-tahapan


yang dilakukan oleh suami ketika mendapatkan istrinya tidak mau


menjalankan kewajiban adalah tanpa melibatkan orang ketiga,


baik dari keluarganya maupun keluarga istrinya. Adapun apabila


perselisihan terus terjadi dan persengketaan tidak bisa


 


13


dihilangkan dengan tahapan-tahapan tersebut, Allah Shubhanahu


wa ta’alla memerintahkan untuk melibatkan orang ketiga sebagai


wakil dari pihak istri serta dari pihak suami untuk membantu


menyelesaikan persengketaan tersebut. Orang yang mewakili


pihak suami dan pihak istri ini kemudian bertemu untuk


mempelajari permasalahan yang dihadapi oleh suami istri


tersebut dan mencari jalan keluarnya. Namun, apabila dipandang


berlangsungnya hubungan pernikahan keduanya justru akan


merugikan keduanya atau salah satunya tanpa ada kebaikan bagi


keduanya, barulah disyariatkan perceraian yang memisahkan


hubungan suami istri tersebut. Hal ini sebagaimana disebutkan


oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dalam firman -Nya:





“Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya,


maka kirimlah seorang hakim (yang menjadi pendamai) dari


keluarga laki-laki dan seorang hakim (yang menjadi pendamai)


dari keluarga perempuan, jika kedua orang hakim itu bermaksud


mengadakan perbaikan, niscaya Allah memberi taufik kepada


suami-istri itu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha


Mengenal.” (an-Nisa: 35).  


Hadirin rahimakumullah, Perceraian adalah langkah


terakhir dalam menyelesaikan persengketaan yang muncul dalam


hubungan suami istri. Dengan perceraian ini, diharapkan seorang


laki-laki nantinya akan mendapatkan istri yang akan menjadi


penyejuk hatinya. Begitu pula, seorang wanita akan memperoleh


suami yang bisa membimbingnya dan memenuhi kebutuhannya.


Hadirin rahimakumullah, Di antara batas syariat yang telah


ditetapkan adalah bahwa ketika seorang laki-laki hendak


mencerai istrinya, ia haruslah bersabar dan tidak terburu-buru


mengucapkannya. Begitu pula seorang istri, tidak sepantasnya


bermudah-mudah meminta cerai kepada suaminya. Ingatlah,


pernikahan adalah ikatan yang mulia. Perceraian yang dilakukan


dengan seenaknya adalah perkara yang dibenci oleh Allah


Shubhanahu wa ta’alla. Maka dari itu, seorang suami harus


berhati-hati ketika hendak memutuskan perceraian karena


permasalahan dan keadaan itu bisa berubah. Sementara itu, hati


juga bisa berbolak-balik sesuai dengan ketetapan Allah


Shubhanahu wa ta’alla. Kebencian seseorang kepada orang lain


bisa berubah menjadi kecintaan kepadanya.


14


Jama’ah jum’ah rahimakumullah, Apabila seorang suami


tidak memiliki pilihan lain selain mencerai istrinya, dia harus


mencerainya dengan cara yang syar’i. Tidak boleh baginya untuk


mencerai istrinya dalam keadaan sedang datang bulan atau haid.


Tidak boleh pula mencerainya ketika istrinya dalam keadaan suci


namun telah digauli. Begitu pula, tidak boleh bagi suami untuk


mencerai istrinya dengan tiga kali cerai (talak tiga) dalam satu


ucapan.


Kemudian, apabila telah diputuskan cerai untuk yang


pertama kali atau disebut dengan talak satu, maka seorang wanita


harus tetap tinggal di rumah suaminya. Bahkan, dia masih


diperbolehkan untuk berhias dan berbicara dengannya, karena


dengan cerai yang pertama dan belum keluar dari masa iddahnya,


kedudukannya masih sebagai istri. Suaminya masih ada


kesempatan


untuk


 kembali


kepadanya


 (rujuk).


Akhirnya, marilah kita berusaha untuk mengikuti syariat Allah


Shubhanahu wa ta’alla dengan tidak bermudah-mudah


mengucapkan kalimat cerai yang akan menyebabkan putusnya


ikatan yang mulia. Mudah-mudahan Allah Shubhanahu wa ta’alla


senantiasa menunjuki kita kepada jalan yang diridhai -Nya.


Catatan Kaki:


15


Kami tidak mencantumkan doa pada rubrik “Khutbah Jumat” agar


khatib yang ingin membaca doa memilih doa yang sesuai dengan


keadaan masing-masing.


Sumber : Majalah AsySyariah Edisi 072


 16



Tulisan Terbaru

Perjalanan Hidup SA’D ...

Perjalanan Hidup SA’D BIN MU’ADZ r.a

Kejadian-kejadian pen ...

Kejadian-kejadian penting yang terjadi setelah Fathu Makkah sampai Rasulullah saw. Wafat. Bagian 1 Oleh: DR. Mustafa as Siba’i.

Peperangan Rasulullah ...

Peperangan Rasulullah saw. Bagian 3 Oleh: DR. Mustafa as Siba’i.

Peperangan Rasulullah ...

Peperangan Rasulullah saw. Bagian 1 Oleh: DR. Mustafa as Siba’i.