
Pensyari’atan Mahram Merupakan Kemuliaan Bagi
Wanita
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad ShalAllahu’alaihi wa
sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Dalam agama Islam, kaum wanita benar-benar
memperoleh kemuliaan yang tidak didapatkan dalam agama dan
peradaban mana pun. Banyak contoh yang membuktikan hal
tersebut. Satu di antaranya adalah adanya ketentuan mahram
bagi wanita. Ketika safar atau bepergian keluar kota
meninggalkan tempat bermukim, syariat mewajibkan adanya
mahram yang mendampingi si wanita. Hal ini bertujuan untuk
menjaga si wanita dari kemudaratan yang mungkin ditemuinya
dalam perjalanan, untuk membantu keperluannya dalam
perjalanan, dan melindunginya dari hal-hal yang tidak
dikehendaki atau tidak terduga.
Pengertian Mahram
Sebelum lebih jauh berbicara tentang masalah ini, kita lihat
dahulu apa yang dimaksud dengan mahram. Secara bahasa,
mahram diambil dari kata hurmah, yang artinya adalah sesuatu
3
yang tidak halal dilanggar. Jika disebut huram-mu, maknanya
adalah wanita-wanitamu dan apa yang engkau lindungi. Mereka
disebut maharim, dan bentuk tunggalnya adalah mahrumah. (al
Qamusul Muhith, Fashl al-Ha’u, bab al-Mim dan al-Mu’jamul
Wasith, 1/169).
Menurut syariat, kata al-Kasani dalam Bada’iush Shana’i
(2/124), “Mahram seorang wanita adalah lelaki yang tidak boleh
menikahi si wanita selama-lamanya. Bisa jadi, karena hubungan
nasab antara keduanya, atau hubungan persusuan, atau
hubungan
yang
terjadi
karena pernikahan.
Ibnu Qudamah mengatakan, “Mahram adalah suami seorang
wanita atau lelaki yang haram menikahi si wanita selama-lamanya
karena ada hubungan darah/nasab atau dengan sebab mubah.
Contoh mahram seorang wanita adalah ayahnya, anak laki
lakinya, saudara laki-laki, keponakan laki-laki dari saudara laki-laki
atau dari saudara perempuan, kakek, paman dari pihak ayah
(‘ammu) atau pihak ibu (khal), ayah mertua, menantu (suami dari
putrinya)” (al-Mughni) Ucapan Ibnu Qudamah ‘dengan sebab
mubah’ mengeluarkan ibu dari wanita yang dizinai atau anak
perempuan dari wanita yang dizinai, sehingga keduanya tidak
menjadi mahram bagi lelaki yang menzinai karena ‘hubungan’
yang terjadi antara si wanita dan si lelaki tidak dibolehkan oleh
4
5
syariat. Demikian pendapat jumhur fuqaha berdalil dengan ayat
al-Qur’an:
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita yang pernah
dinikahi oleh ayah kalian (istri ayah).” (an-Nisa: 22)
“Dan ibu-ibu dari istri-istri kalian (ibu mertua)….” (an-Nisa: 22—
23).
Wanita-wanita yang disebutkan dalam dua ayat di atas,
termasuk istri ayah dan ibu mertua, haram dinikahi oleh seorang
lelaki karena lelaki tersebut merupakan mahram bagi mereka.
Sebutan “istri ayah” dan “ibu mertua” muncul karena terjalinnya
hubungan pernikahan yang sah antara seorang lelaki dan seorang
wanita. Jika, na’udzubillah, sampai terjadi hubungan badan antara
seorang lelaki dan seorang wanita di luar nikah, si wanita tidaklah
disebut istri dari si lelaki sehingga ibu si wanita tidak bisa pula
disebut sebagai ibu mertua si lelaki. (Lihat al-Muhadzdzab oleh
asy-Syairazi dengan al-Majmu’, 16/219, al-Mughni dan al-Umm,
“Kitabun Nikah”, “Ma Yahrumu minan Nisa’i bil Qarabah”).
Mahram ini dipersyaratkan sudah baligh dan berakal. Adapun
orang gila atau kurang akal dan anak laki-laki yang masih kecil
tidak bisa mengurusi dirinya sendiri, maka bagaimana mungkin
dia bisa menemani wanita dari keluarganya ketika safar?
Sementara itu, maksud adanya mahram adalah untuk menjaga
wanita. Hal ini tidak akan tercapai melainkan ketika lelaki yang
menemaninya sebagai mahram sudah baligh dan berakal.
Demikian pendapat yang dipegangi oleh jumhur fuqaha (lihat al
Mughni), selain mazhab Malikiyah yang tidak mempersyaratkan
baligh tetapi cukup si lelaki sudah tamyiz dan ada kifayah
(kemampuan memberi
penjagaan dan
bantuan).
Orang kafir dan Majusi (kaum penyembah api) tidak bisa menjadi
mahram bagi seorang muslimah karena si muslimah tidak aman
bersama keduanya.
Wajibnya Mahram bagi Wanita Saat Safar
Hadits-hadits yang menunjukkan wajib adanya mahram bagi
wanita saat safar (bepergian meninggalkan kampung, kota, atau
negeri tempat bermukim) demikian jelas. Namun, sangat
disesalkan, bersamaan dengan jelasnya nash/dalil tersebut, justru
banyak terjadi pelanggaran. Kita dapati banyak wanita muslimah
bepergian ke luar kota sendirian, atau bersama rombongan
namun tidak ada mahramnya, atau hanya ditemani sopir. Ini
adalah kebodohan terhadap aturan Penetap syariat, atau sikap
masa bodoh, tidak mau tahu, dan berpaling. Kemuliaan yang
6
diberikan Islam kepada wanita malah dikoyak dan dicampakkan.
Akhirnya, kehinaan yang diperoleh, yaitu banyaknya pelecehan
terhadap kaum wanita, terjadinya perselingkuhan dalam rumah
tangga, pemerkosaan, dan perzinaan. Inilah akibat meninggalkan
aturan Allah Shubhanahu wa ta’alladan Rasul-Nya.
1. Hadits
tentang
wajibnya
mahram
saat
safar
apabila kita melihat hadits-hadits yang mewajibkan adanya
mahram bagi wanita saat safar, kita dapati adanya perbedaan
ketentuan. Ada yang menyebut safar/perjalanan tiga hari tiga
malam, ada yang dua hari dua malam, dan ada pula sehari
semalam. Bahkan, ada yang menetapkan jarak satu barid,
kurang lebih 12 mil atau sekitar 21,25 km. Jarak ini, menurut
an-Nawawi, bisa ditempuh dalam waktu setengah hari. (al
Minhaj, 9/108) Untuk jelasnya, kita lihat hadits-hadits
tersebut.
Ibnu Umar menyampaikan dari Nabi Muhammad Shalallahu
َ
‘alaihi wa sallam:
8
“Seorang wanita tidak boleh safar lebih dari tiga hari
melainkan bersamanya ada mahramnya.” (HR. Muslim no.
3246)
2. Dari Ibnu Umar juga, ia mengabarkan dari Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah
dan hari akhir safar selama tiga malam melainkan bersamanya
ada mahramnya.” (HR. Muslim no. 3247).
3. Abu Sa’id al-Khudri pernah mendengar Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:
“Tidak boleh seorang wanita melakukan perjalanan dua hari
dalam keadaan tidak ada suaminya bersamanya atau
mahramnya (yang lain).” (HR. al-Bukhari no. 1864 dan Muslim
no. 3248).
9
4. Abu Hurairah berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah
dan hari akhir safar sehari semalam melainkan bersama
mahramnya.” (HR. al-Bukhari no. 1088 dan Muslim no. 3255).
5. Dalam riwayat Abu Dawud, dari Abu Hurairah, disebutkan, ia
berkata bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah
dan hari akhir melakukan safar (tanpa mahram) dengan jarak
satu barid.” (Hadits ini dikatakan syadz [ganjil] oleh asy-Syaikh
al-Albani dalam Shahih Abi Dawud).
Ibnu Abbas berkata, “Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa
sallam bersabda:
“Tidak boleh seorang wanita safar melainkan bersama
mahramnya.” (HR. al-Bukhari no. 1862 dan Muslim no. 3259).
Hadits-hadits di atas bisa dikompromikan, tidak ada
pertentangan antara satu dan yang lain. Al-Hafizh Ibnu Hajar
berkata dalam Fathul Bari menukilkan ucapan Ibnul Munayyir
bahwa perbedaan lafadz-lafadz (yang ada dalam hadits-hadits
di atas) disebabkan oleh perbedaan orang-orang yang
bertanya dan perbedaan tempat. Dalam larangan safar tiga
hari, tidak ada keterangan yang sharih/jelas yang
menyebutkan boleh jika hanya sehari semalam atau sejarak
satu barid. Hadits-hadits ini menunjukkan, seluruh safar
dilarang bagi wanita jika tidak didampingi suami atau
mahramnya berdasarkan riwayat Ibnu Abbas yang
menyebutkan secara mutlak:
“Tidak boleh seorang wanita melakukan safar….”
Larangan ini berkonsekuensi perbuatan tersebut harus
ditinggalkan, dan seorang wanita tidak halal (berdosa)
melakukan safar kecuali apabila ditemani mahramnya. Al
Imam al-Baihaqi berkata, “Seakan-akan, Rasulullah
Shalallahu’alaihi wa sallam ditanya, apakah seorang wanita
boleh safar tiga hari tanpa ada mahram yang menyertainya?
Beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’ Beliau juga ditanya tentang
safar wanita selama sehari, beliau menjawab, ‘Tidak boleh.’
Demikian pula satu barid. Artinya, setiap perawi
menyampaikan apa yang ia dengar. Perbedaan lafadz yang
disampaikan oleh seorang perawi antara satu riwayat dan
riwayatnya yang lain itu terjadi karena ia mendengar hadits
tersebut pada beberapa kesempatan. Sekali waktu ia
meriwayatkan seperti ini, di waktu yang lain seperti itu, dan
semuanya sahih. Dalam seluruh riwayat, tidak ada penyebutan
batasan minimal sebuah perjalanan bisa dinamakan safar dan
memang tidak didapatkan kabar dari Nabi Muhammad
Shalallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal tersebut.” (al-Minhaj,
9/108)
Ibnu Hazm berkata, “Berita Ibnu Abbas dari Nabi Muhammad
11
Shalallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Seorang wanita tidak boleh
melakukan safar melainkan bersama mahramnya’, mencakup
seluruh safar.”
Ibnu Hazm menetapkan wajibnya keberadaan mahram ini
dalam safar si wanita. Ia berkata, “Kami di atas keyakinan tentang
haramnya safar bagi wanita melainkan apabila ia ditemani oleh
suami atau mahramnya.” (al-Muhalla, 7/48). Para fuqaha
menetapkan, lama safar tiga atau dua hari adalah sama saja,
karena yang dimaksud dengan safar adalah jarak perjalanan yang
ditempuh. Apabila jarak tersebut bisa ditempuh kurang dari
waktu yang disebutkan karena cepatnya alat transportasi masa
kini, atau karena sebab lain, orang yang melakukannya terkena
hukum musafir. Berdasarkan hal ini, wajib bagi wanita ditemani
mahramnya selama safarnya, baik safar tersebut jaraknya dekat
(semata-mata keluar dari negeri tempat bermukim) maupun jauh,
baik safar tersebut bisa ditempuh dalam waktu yang singkat
maupun waktu yang lama.
Hikmah adanya mahram pensyariatan mahram tentu sangat
banyak hikmahnya. Di antaranya, adanya mahram dalam safar
disyariatkan guna menjaga wanita dan anak keturunan/generasi
yang akan datang, dan ini termasuk tujuan syariat. Bagaimana
pun bagus sarananya, safar tetaplah tidak lepas dari bahaya atau
12
aral melintang yang akan menghadang sehingga bisa menjadi
sebab terputusnya safar tersebut. Bisa jadi pula menjadi mudarat
bagi wanita, jika ia tidak berpegang dengan aturan syariat.
Adanya mahram yang menemani wanita tatkala safarnya memiliki
pengaruh yang besar, baik secara kejiwaan maupun daya indra.
Semua pengaruh itu kembali kepada individu dan masyarakat.
Di antara pengaruhnya adalah:
1. Memberi rasa tenang kepada wanita dengan keberadaan
mahramnya bersamanya, Si wanita merasa mahramnya akan
menjaga dan melindunginya dari kejelekan apa pun,
sementara itu, si mahram memiliki rasa tanggung jawab
dengan adanya wanita yang ditemaninya. Ibaratnya, ia rela
bergadang demi memberi kenyamanan kepada wanita yang
ditemaninya, bersedia melindunginya dengan pengorbanan
darah sekalipun, dan menghindarkannya dari bercampur baur
dengan para lelaki, terlebih lagi orang-orang yang memiliki
penyakit syahwat dalam hatinya yang membuat mereka
mudah terseret kepada kejelekan.
2. Mahram berfungsi sebagai salah satu wasilah/sarana untuk
menjaga individu dan masyarakat dari terjadinya perbuatan
fahisyah/keji dan kriminalitas yang telah merata di masyarakat
kita dengan berbagai ragamnya.
Islam memang meletakkan penghalang-penghalang guna
menjaga agar seorang hamba tidak jatuh dalam kejelekan.
Siapa yang berhenti di sisi penghalang tersebut dan tidak
melampauinya, dia akan selamat dari kehinaan dan
kerendahan.
3. Mahram adalah benteng yang kokoh bagi seorang wanita yang
akan menghalangi orang lain untuk meragukan si wanita atau
menuduhnya dengan tuduhan tidak senonoh.
Apabila seorang wanita terus ditemani oleh mahramnya
dalam safarnya, hal ini akan memberi kebaikan kepada si
wanita dan lebih selamat akibatnya.
4. Termasuk tujuan syariat Islam adalah menjaga keturunan.
Sementara itu, hukum-hukum syariat saling menguatkan dan
menekankan. Pewajiban mahram merupakan penjagaan
terhadap kehormatan dan nasab.
5. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Safar itu bagian dari azab. Seseorang akan terhalang
(terganggu) makan, minum, dan tidurnya.” (HR. al-Bukhari no.
1804 dan Muslim).
Keberadaan mahram akan meringankan si wanita. Si mahram
akan membantu keperluannya dalam perjalanan dan menyiapkan
kebutuhannya. (Mazhahir Takrimil Mar’ah fisy Syari’ah al
Islamiyyah, hlm. 122)
Dari keterangan diatas, menjadi jelaslah bahwa
pensyariatan mahram adalah bentuk pemuliaan terhadap wanita
dan masyarakatnya. Penyimpangan dari tabiat yang difitrahkan
oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla pada diri wanita (dengan
melakukan safar sendirian) dan pelanggaran aturan masyarakat
Islami merupakan sikap penyia-nyiaan terhadap hukum Allah
Shubhanahu wa ta’alla di muka bumi -Nya. Hal ini menyebabkan
munculnya berbagai penyakit kejiwaan dan fisik, serta
mengantarkan sebagian orang kepada kesulitan hidup. Tidak ada
jalan untuk mengembalikan kebahagiaan, ketenangan,
ketenteraman, dan kemuliaan hidup selain berpegang dengan
hukum Allah Shubhanahu wa ta’alla dan menjalani hidup
sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla.
15
Sebagai penutup, kita yakin bahwa pewajiban mahram adalah
penjagaan, benteng, kesucian, dan pemuliaan bagi kaum wanita,
keluarga, anak keturunan, dan masyarakatnya. Apakah Anda
mendapatkan ada aturan yang lebih memuliakan wanita dan
mengagungkan kedudukannya selain aturan syariat Islam?
Sungguh, wanita dimuliakan oleh Islam, baik sebagai anak
perempuan, istri, ibu, wanita yang masih muda, remaja, maupun
telah berusia senja.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Sumber: Majalah AsySyariah Edisi 073
16