Artikel

Orang Munafik Akan Kehilangan 


Cahaya di Tengah Kegelapan 





Muqodimah 


 


Segala puji hanya untuk Allah  Ta'ala, shalawat serta salam 


semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallah u’alaihi wa 


sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.  


 


Allah Shubhanahu wa ta’alla berfirman: 





“Perumpamaan mereka adalah seperti orang yang menyalakan api, 


maka setelah api itu menerangi sekelilingnya Allah menghilangkan 


cahaya (yang menyinari) mereka, dan membiarkan mereka dalam 


kegelapan, tidak dapat melihat. Mereka tuli, bisu dan buta, maka 


tidaklah mereka akan kembali (ke jalan yang benar). Atau seperti 


(orang-orang yang ditimpa) hujan lebat dari langit disertai gelap 


gulita, guruh dan kilat; mereka menyumbat telinganya dengan anak 


jarinya, karena (mendengar suara) petir, sebab takut akan mati. Dan 


Allah meliputi orang-orang yang kafir.” (al-Baqarah: 17—19)ا


Allah Shubhanahu wa ta’alla menyebutkan dua permisalan bagi 


orang-orang munafik—sesuai dengan keadaan mereka—, 


permisalan api dan permisalan air karena keduanya mengandung 


sinar, cahaya dan kehidupan. Api adalah sumber cahaya dan air 


adalah sumber kehidupan. Allah Shubhanahu wa ta’alla telah 


menjadikan wahyu yang Ia turunkan dari langit mengandung 


kehidupan bagi kalbu dan keterangan baginya. Oleh karena itu, Allah 


Shubhanahu wa ta’alla menamakan wahyu dengan roh dan cahaya 


sehingga -Dia menjadikan penerimanya sebagai orang-orang yang 


hidup dalam cahaya, sedangkan orang yang tidak tergerak sama 


sekali -Dia jadikan sebagai orang yang mati dalam kegelapan. 


Allah Shubhanahu wa ta’alla mengabarkan keadaan orang


orang munafik terkait dengan bagian mereka dari wahyu bahwa 


mereka bagaikan orang yang menyalakan api untuk menyinarinya 


dan mengambil manfaat darinya. Hal ini karena mereka telah masuk 


ke dalam agama Islam sehingga mereka mendapatkan cahaya dan 


manfaatnya. Mereka beriman dengannya. Mereka pun berbaur 


dengan kaum muslimin. Akan tetapi, manakala pembauran mereka 


dengan muslimin tidak dilandasi oleh sumber cahaya Islam dalam 


kalbu mereka, cahaya itu pun padam. Allah Shubhanahu wa ta’alla 


pun melenyapkan cahaya mereka. 





Allah tidak mengatakan “Allah melenyapkan api mereka” 


karena api itu bersifat menyinari dan membakar. Allah Shubhanahu 


wa ta’alla hanya menghilangkan sinarnya namun menyisakan sifat 


membakarnya. Lalu Allah Shubhanahu wa ta’alla membiarkan 


mereka dalam kegelapan sehingga mereka tidak dapat melihat. 


Inilah keadaan seseorang yang dahulu melihat lalu menjadi buta. 


Dahulu mengenal yang baik lalu ingkar, dan dahulu memasuki 


agama Islam lalu memisahkan diri darinya dengan kalbunya. Dia 


tidak akan kembali kepadanya. Oleh karena itu, Allah Shubhanahu 


wa ta’alla berfirman: 


“Maka mereka tidak kembali.”1 





 Kemudian Allah Shubhanahu wa ta’alla menjelaskan keadaan 


mereka dengan permisalan air (hujan). Allah Shubhanahu wa ta’alla 


menyerupakan mereka dengan orang-orang yang tertimpa hujan, 


yang turun dari langit membawa kegelapan, halilintar, dan kilat. 


Allah Shubhanahu wa ta’alla menyerupakan petunjuk dengan hujan, 


karena dengan hidayah, kalbu menjadi hidup sebagaimana hidupnya 


bumi dengan hujan. Allah Shubhanahu wa ta’alla juga 


menyerupakan bagian seorang munafik dari hidayah tersebut 


seperti bagian seseorang yang tidak mendapatkan dari hujan selain 





kegelapan, halilintar dan kilatnya. Ia tidak mendapatkan manfaat di 


balik hujan tersebut yang merupakan tujuan turunnya hujan, yaitu 


hidupnya suatu negeri dan penduduknya, tumbuh-tumbuhan serta 


hewan-hewan. Adapun kegelapan yang beserta hujan, halilintar dan 


kilat itu punya tujuan lain, yakni sebagai sarana menuju 


kesempurnaan pemanfaatan hujan tersebut. Maka dari itu, seorang 


yang bodoh, karena sangat bodohnya dia hanya merasakan 


kegelapan, halilintar, kilat, dan rasa dingin yang sangat dari hujan 


tersebut. Demikian juga tertundanya perjalanan seorang musafir 


dan terhentinya pekerjaan seorang tukang. Dia tidak punya 


pandangan (jauh) yang bisa menerobos akibat baik hujan tersebut 


berupa kehidupan dan manfaat yang menyeluruh. 


Karena lemahnya pandangan dan akal mereka (orang-orang 


munafik), peringatan-peringatan Al-Qur’an terasa berat bagi 


mereka. Ancaman-ancaman, perintah-perintah, larangan-larangan, 


dan pembicaraan Al-Qur’an bagi mereka laksana halillintar. Karena 


itu, kondisi mereka seperti orang yang tertimpa hujan yang disertai 


kegelapan, halilintar dan kilat. Karena kelemahan dan ketakutannya 


terhadap halilintar yang akan menyambarnya, ia meletakkan dua 


jarinya di telinganya serta menutupkan kedua matanya. Kata Ibnul 


Qayyim selanjutnya, “Sungguh, kami telah menyaksikan 


sebagaimana orang yang lain menyaksikan, banyak para banci anak 





didik aliran Jahmiyah dan ahli bid’ah jika mendengar sebagian ayat 


dan hadits yang menyebutkan sifat-sifat Allah yang (tentu saja) tidak 


sesuai dengan bid’ah mereka—aku perhatikan—mereka berpaling 


bagaikan keledai-keledai yang lari menyelamatkan diri dari singa. 


Salah seorang dari mereka mengatakan, “Tutuplah pembahasan ini 


dari kami. Bacalah ayat selain ini.” Engkau perhatikan bahwa kalbu 


mereka berpaling. Mereka marah karena akal dan kalbu mereka 


berat untuk mengenal Allah, nama-nama -Nya dan sifat-sifat -Nya. 


Demikian pula orang-orang musyrik dengan kesyirikan 


mereka yang beraneka ragam. Jika dihunuskan kepada mereka 


pembahasan tauhid dan engkau bacakan kepada mereka ayat-ayat 


yang membantah kesyirikan mereka, kalbu mereka membeku dan 


terasa berat bagi mereka. Andai mereka dapat menutup telinga 


mereka tentu mereka akan melakukannya. Oleh karena itu, engkau 


dapati orang-orang yang memusuhi para sahabat Nabi Muhammad 


Shalallahu ‘alaihi wa sallam jika mendengar ayat-ayat yang memuji 


al-Khulafa ar-Rasyidin dan para sahabat, mereka merasa sangat 


berat dan kalbu mereka mengingkarinya. Ini semua adalah 


keserupaan yang nyata dan perumpamaan yang telah terbukti pada 


saudara-saudara mereka, orang-orang munafik, yang disebutkan 


oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan permisalan air 


(hujan).Ketika kalbu mereka serupa, kelakuan mereka pun serupa. 





(I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘alamin, 1/200, dan at-Tafsirul 


Qayyim, disusun dan diterjemahkan oleh al-Ustadz Qomar Suaidi) 


Catatan Kaki: 


1. 


2. 


Oleh karena itu, kondisi orang-orang munafik di akhirat adalah 


seperti yang diceritakan oleh Allah Shubhanahu wa ta’alla 


dalam surat al-Hadid ayat 12—14: 


(Yaitu) pada hari ketika kamu melihat orang mukmin laki-laki 


dan perempuan, sedangkan cahaya mereka bersinar di 


hadapan dan di sebelah kanan mereka, (dikatakan kepada 


mereka), “Pada hari ini ada berita gembira untukmu, (yaitu) 


surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai yang kamu 


kekal di dalamnya. Itulah keberuntungan yang banyak. Pada 


hari ketika orang-orang munafik laki-laki dan perempuan 


berkata kepada orang-orang yang beriman, “Tunggulah kami 


supaya kami dapat mengambil sebahagian dari cahayamu.” 


Dikatakan (kepada mereka), “Kembalilah kamu ke belakang 


dan carilah sendiri cahaya (untukmu).” Lalu diadakan di antara 


mereka dinding yang mempunyai pintu. Di sebelah dalamnya 


ada rahmat dan di sebelah luarnya dari situ ada siksa. Orang


orang munafik itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) 


seraya berkata, “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan 





kamu?” Mereka menjawab, “Benar, tetapi kamu mencelakakan 


dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu 


ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong hingga 


datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap 


Allah oleh (setan) yang amat penipu. 




Tulisan Terbaru

Perjalanan Hidup SA’D ...

Perjalanan Hidup SA’D BIN MU’ADZ r.a

Kejadian-kejadian pen ...

Kejadian-kejadian penting yang terjadi setelah Fathu Makkah sampai Rasulullah saw. Wafat. Bagian 1 Oleh: DR. Mustafa as Siba’i.

Peperangan Rasulullah ...

Peperangan Rasulullah saw. Bagian 3 Oleh: DR. Mustafa as Siba’i.

Peperangan Rasulullah ...

Peperangan Rasulullah saw. Bagian 1 Oleh: DR. Mustafa as Siba’i.