
Mutiara Nasehat Abu Ubaidah
radhiyallahu ‘anhu
Muqodimah
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam semoga
tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihiwasallam
beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Dia adalah salah seorang pembesar sahabat yang memiliki
kedudukan penting di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam,
salah seorang dari sepuluh orang yang dijamin masuk surga,
menghadiri perang Badar, Uhud, dan semua peristiwa penting
bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, serta berhijrah ke
Ethiopia yang kedua. Salah satu dari lima orang yang masuk Islam di
hari yang sama di hadapan ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, dia
termasuk salah seorang yang mengumpulkan al-Qur`an.
Dia adalah pemimpin pasukan Islam saat perang Yarmuk,
yang Allah Subhanahu wa ta’ala menghancurkan pasukan Romawi
dan sangat banyak yang terbunuh dari mereka.Dia yang pertama kali
shalat sebagai imam di masjid Damaskus, dia adalah panglima
tertinggi pasukan Islam di Siria. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa
sallam memberikan gelar yang diinginkan semua orang,
sesungguhnya dia adalah ‘Amin (yang paling dipercaya) dari umat
3
ini, Abu Ubaidah Amir bin Abdullah bin Jarrah bin Hilal bin Uhaib al
Qurasyi al-Fihry radhiyallahu ‘anhu.
Dia meneruskan catatan perjalanan hidupnya yang
cemerlang setelah wafatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersama ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu –yang dia masuk Islam
lewat tangannya- maka dia adalah sebaik-baik pembantunya.
Kemudian dia meneruskan torehan sejarah emasnya bersama Umar
radhiyallahu ‘anhu, sehingga Umar radhiyallahu ‘anhu berkata
padanya: ‘Jika aku meninggal dunia dan Abu Ubaidah masih hidup,
aku akan menunjuk dia sebagai penggantiku, jika nanti Allah
Subhanahuwata’ala bertanya kepadaku: ‘Kenapa engkau menunjuk
dia sebagai khalifah terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam? Aku akan menjawab: ‘Sesungguhnya aku mendengar
rasul-Mu bersabda:
“Sesungguhnya bagi setiap nabi ada seorang amin (yang paling
terpercaya), dan amin ku adalah Abu Ubaidah bin Jarrah.”1
1 Kisah ini ada dalam Musnad imam Ahmad 108, sedangkan haditsnya dalah
Shahihaian.
4
Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu wafat sebagai syahid
dalam wabah tha’un ‘Amwas pada tahun 18H. Ketika ia sudah
terkena tha’un, ia memanggil umat Islam, mereka datang
kepadanya, lalu ia berkata kepada mereka2:
“Sesungguhnya aku memberi wasiat kepada kalian semua, jika
kalian menerimanya niscaya kalian tetap berada dalam kebaikan
selama hidup dan setelah wafat! Dirikanlah shalat, tunaikanlah
zakat, berpuasalah, bersedekahlah, laksanakanlah haji dan umrah,
sambunglah tali silaturrahim dan hendaklah kalian saling mencintai,
bersikap jujurlah kepada pemimpin dan janganlah kalian menipu
mereka, janganlah kehidupan dunia melalaikan kalian. Maka
sesungguhnya seseorang jikalau dipanjanglah umur seribu tahun,
namun pada akhirnya ia kembali seperti kondisiku saat ini yang
kalian lihat (akan wafat). Sesungguhnya Allah Subhanahuwata’ala
telah menentukan kematian terhadap anak cucu Adam
‘alaihissalam, mereka semua akan mati, yang paling cerdas dari
mereka adalah yang paling taat terhadap Rabb-nya dan yang paling
beramal untuk hari kembalinya.’
Sesungguhnya mutiara nasehat ini mengandung beberapa
nasehat yang agung:
2Al-Iktifa` bima tadhammanahu min maghazhi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa
sallam... 2/314.
5
Dia mengingatkan tentang rukun agama Islam ini, yang tidak berdiri
kecuali di atasnya: shalat, zakat, puasa dan haji. Kemudian ia
memberikan mutiara nasehat kepada mereka agar saling
menyambung tali silaturrahim dan saling mencintai, karena
sesungguhnya ini adalah salah satu sebab kekuatan umat Islam,
yang bila mereka bercerai berai, niscaya mudahlah bagi musuh
menguasai mereka:
Dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan
kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu (QS. Al-Anfal:46)
Kemudian ia mengingatkan satu fadhilah (keutamaan) dari
dasar-dasar fadhilah, yaitu jujur bersama para pemimpin, karena
sesungguhnya sikap jujur di antara pemimpin dan rakyat adalah tali
yang kokoh, yang menghasilkan masyarakat yang kuat, taat kepada
Allah Subhanahuwata’ala dan memberi nasehat kepada para
pemimpin dengan cara yang ma’ruf. Apabila sikap menipu sudah
menjalar dan sangat lemah sikap saling menasehati di antara kedua
belah pihak, niscaya nampaklah dampak buruknya terhadap semua
umat.
Tiadalah berita pemberontakan Khawarij yang tidak taat
terhadap Amirul Mukminin Utsman radhiyallahu ‘anhu kecuali
6
merupaka contoh nyata terhadap yang disebutkan oleh Abu
Ubaidah radhiyallahu ‘anhu.Kemudian ia menutup mutiara
nasehatnya dengan ungkapan yang menggambarkan metode zuhud
yang sebenarnya, bagi orang yang mengenal dunia ini, ia berkata:
“Janganlah kehidupan dunia melalaikan kalian. Maka sesungguhnya
seseorang jikalau dipanjanglah umur seribu tahun, namun pada
akhirnya ia kembali seperti kondisiku saat ini yang kalian lihat.
Sesungguhnya Allah Subhanahu wa ta’ala telah menentukan
kematian terhadap anak cucu Adam ‘alaihissalam, maka mereka
semua akan mati, yang paling cerdas dari mereka adalah yang
paling taat terhadap Rabb-nya dan yang paling beramal untuk hari
kembalinya.’
Ia merupakan sunnah kehidupan, orang yang hidup
melewati kehidupan di dunia hingga akhirnya ia memasuki pintu
kematian, dan hal ini tidaklah menjadi masalah, akan tetapi masalah
sebenarnya adalah bagaimana ia datang kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala. Sesungguhnya manusia paling cerdas – seperti yang
dikatakan Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu- yaitu yang paling taat
kepada Allah Subhanahu wa ta’ala dan paling banyak beramal untuk
hari kembalinya (hari akhirat). Karena alasan itulah, maka
hendaknya orang yang berakal terus berusaha dan yang beramal
terus bersungguh-sungguh. Pada hari itu nampaklah taghabun
7
(kesalahan-kesalahan), kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala dari termasuk yang nampak segala kesalahan di dunia dan
akhirat.
Di antara mutiara nasehatnya adalah:
‘Tahlukah(kebinasaan) adalah: seorang hamba melakukan dosa,
kemudian ia tidak melakukan amal kebaikan sesudahnya hingga ia
binasa.’
Ucapannya di saat yang lain menjelaskan mutiara
nasehatnya ini:
‘Perhatikanlah, begitu banyak orang yang memutihkan bajunya,
namun mengotori agamanya. Perhatikanlah, betapa banyak orang
yang ingin memuliakan dirinya, padahal ia justru menghinakannya.
Perhatikanlah, segeralah menggantikan keburukan di masa lalu
dengan berbagai kebaikan yang baru. Jikalau salah seorang darimu
melakukan kesalahan sepenuh di antara langit dan bumi, kemudian
ia melakukan amal kebaikan, niscaya kebaikannya berada di atas
kesalahannya, sehingga ia mengalahkannya.’ 3
Ini merupakan fiqh (pemahaman) dari Abu Ubaidah
radhiyallahu ‘anhu, karena sesungguhnya tatkala Allah Subhanahu
wa ta’ala memberikan kemurahan terhadap hamba hamba-Nya
dengan melipatgandakan kebaikan, sementara keburukan tidak
3Zuhud, karya Ahmad bin Hanbal hal. 151.
8
lebih dari satu saja, jadilah orang yang benar-benar binasa yaitu
yang keburukannya mengalahkan kebaikannya. Sebagaimana Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam meriwayatkan dari Allah
Subhanahu wa ta’ala dalam hadits dilipat gandakannya kebaikan
dan membalas keburukan dengan satu balasan saja. Dan beliau
bersabda:
‘Dan tidak binasa terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala kecuali
orang yang binasa.”4
Tidak ada seorang pun dari kita kecuali dia bisa melakukan
kesalahan dan dosa, tetapi yang penting adalah bersegera
menghapus dosa dengan kebaikan, sebagaimana dalam hadits:
“Iringilah keburukan dengan kebaikan, niscaya ia menghapusnya.’5
Dan dalam al-Qur`an:
4HR. Muslim 131 dari Ibnu Abbas radh.
5HR. At-Tirmidzi 1987, ad-Daraquthni mentarjih mursalnya riwayat ini.
9
Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu
menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah
peringatan bagi orang-orang yang ingat. (QS. Hud:114)
Sesungguhnya di antara taufiq Allah Subhanahu wa ta’ala terhadap
hamba-Nya bahwa ia segera melakukan amal shalih ketika terjatuh
dalam kesalahan. Dan sesungguhnya di antara rahmat Allah
Subhanahu wa ta’ala bahwa Dia mensyari’atkan terhadap hamba
hamba-Nya beberapa amal yang menjadi penebus dosa. Dalam
shahih Muslim, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
“Shalat lima waktu, shalat Jum’at hingga shalat Jum’at berikutnya,
puasa Ramadhan hingga puasa Ramadhan berikutnya merupakan
penebus dosa di antara keduanya, apabila dijauhi dosa-dosa
besar.”6
Dan dalam pujian terhadap para penghuni surga, Allah Subhanahu
wa ta’ala berfirman:
6HR. Muslim 223.
10
11
...serta mereka menolak kejahatan dengan kebaikan;
...(QS. ar-Ra’ad:22)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata –dalam menjelaskan
maknanya-: ‘Mereka menolak amal yang buruk dengan melakukan
amal shalih. Imam al-Baghawi memberi komentar terhadap
ungkapan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ini, ia berkata: ‘Ia adalah
makna firman Allah Subhanahu wa ta’ala:
...serta mereka menolak kejahatan dengan kebaikan;
...(QS. ar-Ra’ad:22)
Al-Hasan Bashri rahimahullah berkata: ‘Mintalah pertolongan
terhadap keburukan di masa lalu dengan melakukan kebaikan
terbaru, sesungguhnya engkau tidak akan mendapatkan sesuatu
yang lebih menghilangkan keburukan di masa lalu selain dari
kebaikan yang terbaru, dan aku mendapatkan pembenaran hal itu
dalam al-Qur`an:
...serta mereka menolak kejahatan dengan kebaikan;
...(QS. ar-Ra’ad:22)
Barangkali cerita taubatnya sang pembunuh 99 nyawa
merupakan contoh nyata untuk hal ini. Sesungguhnya tatkala ia
membunuh dan bertaubat, ia bersegera meninggalkan tempat yang
buruk dan kampung kejahatan, maka malaikat rahmat
mengambilnya, karena ia datang bertaubat dengan tulus ikhlas
kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.7Maka kepada setiap orang yang
melakukan kesalahan terhadap dirinya dan syetan memutuskan
harapannya dari rahmat Rabb-nya, janganlah ia berputus asa. Laki
laki ini membunuh 99 orang, maka ketika taubatnya benar, Rabb
nya memberi rahmat kepadanya, kendati ia belum melakukan
kebaikan lewat anggota tubuhnya selain berhijrah dari negeri
keburukan menuju negeri kebaikan. Apakah cerita ini tidak
menggerakkan jiwamu untuk meninggalkan maksiat dan menghadap
kepada Allah Subhanahu wa ta’ala untuk mendapatkan kebahagiaan
sebenarnya?
7HR. Al-Bukhari 3283 dan Muslim 2766.
12
Di antara mutiara nasehat Abu Ubaidah radhiyallahu ‘anhu,
bahwa tatkala ia menjadi amir di negeri Syam, ia menyampaikan
khutbah kepada manusia, ia berkata8:
“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku salah seorang dari
suku Quraisy, demi Allah, sesungguhnya aku tidak mengetahui
seseorang yang berkulit merah atau hitam yang melebihi diriku
dalam ketaqwaan kepada Allah Subhanahu wa ta’ala, kecuali aku
ingin menjadi kulitnya.”
Allahu Akbar! Alangkah indahnya ungkapan ini yang berasal
dari seorang amir, dari keturunan Quraisy. Sesungguhnya itu adalah
pemahaman terhadap hakikat timbangan syari’ah, adapun
perbedaan lainnya yang diluar kekuasaan manusia, maka
sesungguhnya ia tidak ada nilainya di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala.
Apakah ada yang bisa menolong Abu Lahab ketika ia kufur, padahal
ia adalah paman Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam?
Apakah ada yang mengurangi kemuliaan Bilal al-Habasyi, Shuhaib ar
Rumy, Salman al-Farisi ketika mereka beriman kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala dan mempercayai Rasul-Nya?
Sesungguhnya ia adalah risalah yang disampaikan Abu
Ubaidah radhiyallahu ‘anhu dari mimbarnya –sementara ia seorang
amir (gubernur)- untuk memberi penekanan terhadap masyarakat
8Mushannaf ibnu Abi Syaibah 7/116.
13
umum yang sebagian mereka merasa tinggi karena mendapat
kedudukan dalam pemerintahan. Padahal keutamaan sebenarnya
adalah dengan taqwa, bukan dengan jabatan atau keturunan.
Semoga Allah Subhanahu wa ta’ala meridhai Abu Ubaidah
Amir bin Jarrah radhiyallahu ‘anhu dan mengumpulkan kita
bersamanya di surga, dan bersama para wali, yang Allah Subhanahu
wa ta’ala telah memberi nikmat kepada mereka, dari kalangan para
nabi, shiddiqin, syuhada dan orang orang shalih, dan mereka adalah
sebaik baik teman.
14