 
            Mutiara Nasehat Abu Bakar ash
Shiddiq radhiyallahu ‘anhu 
Muqodimah 
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam 
semoga 
tercurah 
kepada 
Nabi 
Muhammad 
Shalallahu’alaihiwasallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. 
Dia adalah khalifah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: 
Abdullah bin Abi Quhafah –namanya adalah Utsman- bin Amir al
Qurasyi, at-Taimy, nasabnya bertemu dengan Rasulullah Shallallahu 
‘alaihi wa sallam pada kakeknya buyutnya yang bernama Murrah. 
Dilahirkan di Mekkah dan tumbuh sebagai salah seorang 
pemuka Quraisy, seorang saudagar kaya, ahli tentang nasab kabilah
kabilah, berita dan politik mereka, dan bangsa Arab memberinya 
gelar ‘Alim Quraisy’. Dia mengharamkan terhadap dirinya minuman 
keras di masa jahiliyah, maka dia tidak pernah meminumnya. 
Kemudian, di masa kenabian dan sesudahnya, dia menjadisaksi 
berbagai peristiwa penting, terlibat semua peperangan (bersama 
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam) sabar menahan 
beban penderitaan, mengorbankan harta, dalam kitab-kitab hadits ia 
meriwayatkan 142 hadits. Dia yang pertama-tama mengumpulkan 
al-Qur`an.1 Wafat pada sore hari di hariSelasa tanggal 22 Jumadil 
1Tarikh Islam 2/68 
Akhir tahun 13 H. Masa kekhalifahannya berlangsung selama dua 
tahun seratus hari. 
Siapa saja yang merenungkan nasehat-nasehat ash-Shiddiq 
radhiyallahu ‘anhu, ia akan mendapatkan mutiara nasehatnya yang 
bervariasi sesuai tuntutan kondisi, sebagaimana petunjuk Nabi 
MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memberi nasehat.2 
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu menyampaikan khuthbah 
kepada kaum muslimin, maka ia memuji Allah Shubhanahuwata’alla 
dan menyanjung-Nya, kemudian ia berkata: 
‘Sesungguhnya negeri Syam akan ditaklukkan untuk kalian. 
Kalian akan mendatangi bumi dataran tinggi, di tempat kalian diberi 
nikmat padanya berupa roti dan minyak zaitun, akan dibangun 
masjid masjid untuk kalian. Hati-hatilah, jangan sampai Allah 
Shubhanahu wa ta’alla mengetahui bahwa kalian mendatanginya 
hanya untuk melalaikan diri (dari ibadah kepada Allah ta’ala), 
sesungguhnya ia dibangun untuk berdzikir kepada Allah Shubhanahu 
wa ta’alla.” 
Ash-shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata3:  
“Apabila suatu kaum melakukan perbuatan maksiat di 
hadapan orang orang yang lebih mulia dari mereka, namun mereka 
                                                            
2Zuhud, karya Imam Ahmad, hal 93 
3Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 10/50 
tidak mengingkarinya, niscaya Allah Shubhanahu wa ta’alla akan 
menurunkan  bencana-Nya kepada mereka, kemudian –Diatidak 
mencabutnyadari mereka.’ 
Dan iaberkata –setelah memuji Allah Shubhanahu wa 
ta’alla dan menyanjungnya-“Wahai sekalian manusia, sesungguhnya 
kalian semua membaca ayat ini dan meletakkannya bukan pada 
tempatnya” 
 Hai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu; tiadalah orang yang 
sesat itu akan memberi mudharat kepadamu apabila kamu telah 
mendapat petunjuk. Hanya kepada Allah kamu kembali semuanya, 
maka-Dia akan menerangkan kepadamu apa yang telah kamu 
kerjakan. (QS. al-Maidah:105) 
Dan sesungguhnya kami mendengar Nabi Muhammad 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: 
“Sesungguhnya apabila manusia melihat orang yang zhalim dan 
tidak menghalanginya berbuat zhalim, hampir-hampir Allah 
Shubhanahu wa ta’alla menurunkan siksa-Nya secara merata.’ 
Apa yang disebutkan oleh ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu 
dalam dua nasehat di atas, didukung oleh nash-nash dari al-Qur`an 
dan sunnah. Firman Allah Shubhanahu wa ta’alla: 
 Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan 
lisan Daud dan 'Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan 
mereka durhaka dan selalu melampaui batas. (QS. 5:78) Mereka 
satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka 
perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka 
perbuat itu. (QS. al-Maidah:79) 
Dalam sunan at-Tirmidzi, ia berkata: hadits hasan- dari 
Hudzaifah bin Yaman radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Muhammad 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: 
6 
 “Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, sungguh kamu 
menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang mungkar, atau segera 
tiba waktunya Allah Shubhanahu wa ta’alla mengirimkan siksa-Nya 
kepada kalian, kemudian kalian berdo’a kepada-Nya, maka do’a 
kamu tidak dikabulkan.’ 
Bahkan, di antara perumpamaan yang paling mendalam 
yang menjelaskan pentingnya ihtisab (amar ma’ruf nahi munkar) dan 
bahaya meninggalkannya atau lalai darinya adalah sabda Nabi 
MuhammadShallallahu ‘alaihi wa sallam dari hadits Nu’man bin 
Basyir radhiyallahu ‘anhu: 
“Perumpamaan orang orang yang melaksanakan hukum hukum 
Allah Shubhanahu wa ta’alla dan yang terjerumus padanya, adalah 
seperti perumpamaan suatu kaum yang melakukan undian di dalam 
kapal, maka sebagian mendapat bagian di atas dan yang lain di 
bawah. Maka orang orang yang berada di bawah apabila 
mengambil air, mereka melewati yang di atas. Mereka berkata: 
“Jikalau kita melobangi satu lobang di bagian kita dan kita tidak 
mengganggu mereka yang berada di atas kita.’ Maka jika mereka 
(yang di atas) membiarkan mereka (yang di bawah) melakukan yang 
mereka kehendaki, niscaya mereka binasa semuanya,  dan jika 
mereka menghalangi mereka, niscaya mereka semuanya selamat.’ 
HR. Al-Bukhari 2493. 
7 
Sesungguhnya itu sesuatu yang pasti, demi Allah, 
sesungguhnya kita membaca nasehat nabi ini, kemudian nasehat 
ash-Shiddiq, hendaknya kita segera melakukan syi’ar ihtisab 
menurut kadar kemampuan kita masing-masing, sehingga kita tidak 
binasa dan perahu masyarakat kita tidak tenggelam. 
Dari Zaid bin Aslam, dari bapaknya, ia berkata4: ‘Aku 
melihat Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu memegang 
lisannya seraya berkata: ‘Ini membawaku ke berbagai tempat.’Allah 
Maha Besar!! Ini adalah ucapan ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu dari 
lisannya, maka apakah yang kita katakan? Kamu bisa 
membayangkan, wahai para pembaca, apakah beberapa kalimat 
yang dikhawatirkan oleh Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu? Apakah 
penyebab ia mengungkapkan kata-kata ini? Sesungguhnya ia adalah 
rasa takut kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, yang membuat dia 
berpikir dalam kata-kata biasa yang dikatakannya dan tidak 
diperlukan, atau mengucapkan kata-kata bukan pada tempatnya 
namun hanya berdasarkan ijtihad dan ta’wil! 
Demi Allah, kita lebih pantas dengan kalimat ini dari pada 
ash-Shiddiq! Kita yang lebih banyak berbicara dari pada bekerja 
(beramal) dan sedikit sekali selamat dari ghibah (menggunjing). Jika 
4Zuhud, hal. 90 
8 
kita selamat darinya kita tidak selamat dari mendengarnya dan 
berdiam diri darinya! 
Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata5: ‘Sampai kabar 
kepada kami bahwa apabila hari kiamat, ada yang berseru: Di 
manakah orang-orang yang pemaaf, maka Allah Shubhanahu wa 
ta’alla memberi maaf kepadanya sesuai pemberian maafnya kepada 
manusia.’ 
Sesungguhnya di antara mutiara nasehat ash-Shiddiq dalam 
bidang amal ibadah dalam kehidupannya adalah memberi maaf. 
Sesungguhnya saat ia bersumpah akan menghentikan tunjangan 
nafkah kepada putri bibinya Misthah bin Utsatsah radhiyallahu 
‘anhu setelah ia ikut terlibat dalam peristiwa hadits ifk (berita dusta 
terhadap Aisyah radhiyallahu ‘anhu). Kemudian turun firman Allah 
ta’ala 
 5Musnad ash-Shiddiq hal 73, karya Abu Bakar al-Maruzi. 
 
Dan janganlah orang-orang yang mempunyai kelebihan dan 
kelapangan di antara kamu bersumpah bahwa mereka (tidak) akan 
memberi (bantuan) kepada kaum kerabat(nya), orang-orang yang 
miskin dan orang-orang yang berhijrah pada jalan Allah, dan 
hendaklah mereka mema'afkan dan berlapang dada. Apakah kamu 
tidak ingin Allah mengampunimu ? Dan Allah adalah Maha 
Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nur:22) 
 
Ia tidak mengungkapkan apa-apa selain: ‘Tentu, demi 
Allah.” Kemudian ia kembali memberi tunjangan nafkah kepada 
Misthah.Ketika engkau merenungkan sikap ini, sesungguhnya 
engkau akan merasakan sikap yang agung terhadap ucapannya 
ini.Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu berkata6: ‘Wahai sekalian 
manusia, perhatikanlah Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam pada ahli baitnya.’ 
Dalam Shahihaian, darinya radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: 
Demi Allah, sesungguhnya kerabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa 
sallam lebih kucintai dari pada kerabatku sendiri.’7Ini adalah 
ungkapannya dalam memberi nasehat kepada manusia, 
mengingatkan mereka di atas minbar dan dalam berbagai 
kesempatan untuk menjelaskan kedudukan ahli bait Rasulullah 
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam jiwanya, dan ia bersumpah 
sedangkan dia seorang yang sangat jujur- bahwa ia menyambung 
                                                            
6Mushannaf ibnu Abi Syaibah 6/374 
7Al-Bukhari 3810 dan Muslim 1759 
11 
silaturrahim kepada kerabat Nabi MuhammadShallallahu ‘alaihi wa 
sallam lebih dicintainya dari pada kerabatnya sendiri, maka di 
manakah orang yang mencelanya dan menuduhnya memusuhi Ahli 
Bait yang suci lagi mulia? 
Dan dia berkata8: ‘Manusia yang paling taat kepada Allah 
Shubhanahu wa ta’alla adalah yang paling benci terhadap 
maksiat.’Dan ini adalah makna yang sangat indah, sesungguhnya 
banyak orang yang melakukan sejumlah ketaatan, bahkan ia banyak 
sekali ibadah, akan ia lemah dalam melakukan perlawanan saat 
terjadi sebab-sebab maksiat. Maka siapa yang seperti itu, maka 
ketaatannya kurang, kewaliannya dalam hal itu tercemar. 
Ini adalah makna ucapan Sahal bin Abdullah at-Tustari: 
‘Amal-amal kebaikan dilakukan oleh orang yang shalih dan fasik, dan 
tidak menjauhi perbuatan maksiat kecuali orang yang shiddiq.’9Dan 
diaberkata dalam khuthbahnya10:“Ketahuilah, sesungguhnya orang 
yang paling cerdas adalah taqwa dan sesungguhnya orang yang 
paling bodoh adalah fasik, sesungguhnya orang yang paling kuat 
darimu di sisiku adalah orang lemah sehingga aku mengambil 
untuknya dengan haknya, dan sesungguhnya orang yang paling 
                                                            
8Jamharah Khuthab Arab 1/446 
9Hilyatul Auliya 13/211 
10Ath-Thabaqah Kubra 3/183 
lemah darimu di sisiku adalah orang kuat sehingga aku mengambil 
yang hak darinya. 
Wahai sekalian manusia, sesungguhnya aku hanya 
mengikuti dan bukan melakukan sesuatu yang baru (bid’ah), jika aku 
baik maka bantulah aku dan jika aku menyimpang maka 
luruskanlah.’Dan ia berkata: ‘Kami mendapatkan kemuliaan dalam 
taqwa, kaya dalam keyakinan, dan kemuliaan dalam sifat tawadhu’ 
(rendah hati).’11 
Dan kita tutup dengan satu do’a dari do’a do’anya, di mana 
ia berkata: ‘Ya Allah, sesungguhnya kami memohon kepadamu yang 
ia baik untuk kami pada akhirnya merupakan kebaikan, ya Allah, 
jadikanlah kebaikan terakhir yang engkau berikan kepada kami 
adalah keridhaan Engkau dan derajat yang tinggi dari surga yang 
penuh kenikmatan.’12 
11Ihya 3/343. 
12Zuhud, karya imam Ahmad bin Hanbal hal. 93. 
12 
