Artikel

 





Muharram dan Keutamaan Puasa di Dalamnya 


Lafaz Hadits 





 Diriwayatkan dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu bahwasanya dia 


berkata bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, 


“Se-afdhal-afdhal puasa setelah (puasa) Ramadhanadalah (puasa) 


di bulan Allah, Al-Muharram. Dan se-afdhal


afdhal shalat setelah shalat fardhuadalah shalat malam.” 


Takhrij Hadits 


Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim no. 1163/2755, Imam 


Abu Dawud no. 2431, Imam An-Nasai no. 1613, Imam At-Tirmidzi 


no. 438 dan yang lainnya. Hadits ini shahih. 


Faidah-faidah Hadits 


Di antara faidah-faidah hadits ini adalah sebagai berikut: 





Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menamakan 


bulan Muharram dengan Syahrullah(Bulan Allah). 





Puasa yang paling afdhal adalah puasa Ramadhan karena 


puasa tersebut adalah puasa yang wajib. Begitu pula 


dengan shalat fardhu dia lebih afdhal daripada shalat-shalat 


sunnah. 


Puasa di bulan Muharram adalah puasa sunnah yang 


paling afdhal daripada puasa-puasa sunnah di bulan yang 





lainnya. Hal ini tidak menafikan bahwa sebagian hari seperti 


hari‘Arafah (9 Dzul-hijjah), 6 hari di bulan Syawal, Senin dan 


Kamis dan yang lainnya juga memiliki keutamaan sendiri jika 


berpuasa di hari-hari tersebut. 


4. 


Shalat sunnah yang paling utama adalah shalat malam. 


Ini juga dijadikan dalil oleh sebagian ulama bahwa shalat 


sunnah di malam hari lebih utama daripada shalat sunnah di 


siang hari. 


Bulan Muharram 





Bulan Muharram adalah bulan pertama dalam kalender Hijriyah. 


Bulan ini disebut oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa 


sallam sebagai Syahrullah (Bulan Allah). Tentunya, bulan ini 


memilki keutamaan yang sangat besar. 


Di zaman dahulu sebelum datangnya Nabi Muhammad shallallahu 


‘alaihi wa sallam bulan ini bukanlah dinamakan bulan Al


Muharram, tetapi dinamakan bulan Shafar Al-Awwal, sedangkan 


bulan Shafar dinamakan Shafar Ats-Tsani. Setelah datangnya 


Islam kemudian Bulan ini dinamakan Al-Muharram.[1] 


Al-Muharram di dalam bahasa Arab artinya adalah waktu yang 


diharamkan. Untuk apa? Untuk menzalimi diri-diri kita dan 


berbuat dosa. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 





“Sesungguhnya bilangan bulan di sisi Allah adalah dua belas bulan, 


dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan bumi, di 


antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang 


lurus, maka janganlah kamu menganiaya diri kamu di keempat bulan 


itu.” (QS At-Taubah: 36) 


Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiallahu ‘anhu, bahwa 


Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda: 


لْ


 ا


 “Setahun terdiri dari dua belas bulan. Di antaranya ada empat 


bulan haram, tiga berurutan, yaitu:Dzul-Qa’dah, Dzul


Hijjah dan Al-Muharram, serta Rajab Mudhar yang terletak 


antara Jumadadan Sya’ban. “[2] 


Pada ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: 





 “Janganlah kalian menzalimi diri-diri kalian di dalamnya”, karena 


berbuat dosa pada bulan-bulan haram ini lebih berbahaya 


daripada di bulan-bulan lainnya. Qatadah rahimahullah pernah 


berkata: 





 “Sesungguhnya berbuat kezaliman pada bulan-bulan haram lebih 


besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat kezaliman di 


selain bulan-bulan tersebut. Meskipun berbuat zalim pada setiap 


keadaan bernilai besar, tetapi Allah membesarkan segala 


urusannya sesuai apa yang dikehendaki-Nya.”[3] 





Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata: 





 “…Kemudian Allah menjadikannya bulan-bulan haram, 


membesarkan hal-hal yang diharamkan di dalamnya dan 


menjadikan perbuatan dosa di dalamnya lebih besar dan 


menjadikan amalan soleh dan pahala juga lebih besar.”[4] 


Haramkah berperang di bulan-bulan haram? 


Para ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Jumhur ulama 


memandang bahwa larangan berperang pada bulan-bulan ini 


telah di-naskh (dihapuskan), karena Allah subhanahu wa 


ta’alaberfirman: 





 “Apabila sudah habis bulan-bulan Haram itu, maka Bunuhlah 


orang-orang musyrikin itu dimana saja kamu jumpai mereka.” (QS 


At-Taubah: 5) 


Sebagian ulama mengatakan bahwa larangan berperang pada 


bulan-bulan tersebut, tidak dihapuskan dan sampai sekarang 


masih berlaku. Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa tidak 


boleh memulai peperangan pada bulan-bulan ini, tetapi jika 


perang tersebut dimulai sebelum bulan-bulan haram dan masih 


berlangsung pada bulan-bulan haram, maka hal tersebut 


diperbolehkan. 


Pendapat yang tampaknya lebih kuat adalah pendapat jumhur 


ulama. Karena Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam memerangi 





penduduk Thaif pada bulan Dzul-Qa’dah pada peperangan 


Hunain.[5] 


Keutamaan Berpuasa di Bulan Muharram 


Hadits di atas menunjukkan disunnahkannya berpuasa selama 


sebulan penuh di bulan Muharram atau sebagian besar bulan 


Muharram. Jika demikian, mengapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi 


wa sallam tidak berpuasa sebanyak puasa beliau di bulan 


Sya’ban? Para ulama memberikan penjelasan, bahwa 


kemungkinan besar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak 


mengetahui keutamaan bulan Muharram tersebut kecuali di akhir 


umurnya atau karena pada saat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi 


wa sallam memiliki banyak udzur seperti: safar, sakit atau yang 


lainnya. 


Keutamaan Berpuasa di Hari ‘Asyura (10 Muharram) 


Di bulan Muharram, berpuasa ‘Asyura tanggal 10 Muharram 


sangat ditekankan, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa 


sallam bersabda: 





 “… Dan puasa di hari ‘Asyura’ saya berharap kepada Allah agar 


dapat menghapuskan (dosa) setahun yang lalu.”[6] 


Ternyata puasa ‘Asyura’ adalah puasa yang telah dikenal oleh 


orang-orang Quraisy sebelum datangnya Rasulullah shallallahu 


‘alaihi wa sallam. Mereka juga berpuasa pada hari tersebut. 


‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata: 





“Dulu hari ‘Asyura, orang-orang Quraisy mempuasainya di masa 


Jahiliyah. Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam juga 


mempuasainya. Ketika beliau pindah ke Madinah, beliau 


mempuasainya dan menyuruh orang-orang untuk berpuasa. 


Ketika diwajibkan puasa Ramadhan, beliau meninggalkan puasa 


‘Asyura’. Barang siapa yang ingin, maka silakan berpuasa. Barang 


siapa yang tidak ingin, maka silakan meninggalkannya.” [7] 


Keutamaan Berpuasa Sehari Sebelumnya 


Selain berpuasa di hari ‘Asyura disukai untuk berpuasa pada 


tanggal 9 Muharram, karena Nabishallallahu ‘alaihi wa 


sallam pernah berkeinginan, jika seandainya tahun depan beliau 


hidup, beliau akan berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. 


Tetapi ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam wafat 


pada tahun tersebut. 





Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu 


‘anhuma bahwasanya dia berkata, “ketika Rasulullah shallallahu 


‘alaihi wa sallam ketika berpuasa di hari ‘Asyura’ dan 


memerintahkan manusia untuk berpuasa, para sahabat pun 


berkata, ‘Ya Rasulullah! Sesungguhnya hari ini adalah hari yang 


diagungkan oleh orang-orang Yahudi dan Nasrani.’ 


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berkata, ‘Apabila 


tahun depan -insya Allah- kita akan berpuasa dengan tanggal 9 


(Muharram).’ Belum sempat tahun depan tersebut datang, 


ternyata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal.”[8] 


Banyak ulama mengatakan bahwa disunnahkan juga berpuasa 


sesudahnya yaitu tanggal 11 Muharram. Di antara mereka ada 


yang berdalil dengan hadits Ibnu ‘Abbas berikut: 





 “Berpuasalah kalian pada hari ‘Asyura’ dan selisihilah orang-orang 


Yahudi. Berpuasalah sebelumnya atau berpuasalah setelahnya 


satu hari.”[9] 


Akan tetapi hadits ini lemah dari segi sanadnya (jalur periwayatan 


haditsnya). 


Meskipun demikian, bukan berarti jika seseorang ingin berpuasa 


tanggal 11 Muharram hal tersebut terlarang. Tentu tidak, karena 


puasa tanggal 11 Muharram termasuk puasa di bulan Muharram 


dan hal tersebut disunnahkan. 


Sebagian ulama juga memberikan alasan, jika berpuasa pada 


tanggal 11 Muharram dan 9 Muharram, maka hal tersebut dapat 


menghilangkan keraguan tentang bertepatan atau tidakkah hari 


‘Asyura (10 Muharram) yang dia puasai tersebut, karena bisa saja 


penentuan masuk atau tidaknya bulan Muharram tidak tepat. 


Apalagi untuk saat sekarang, banyak manusia tergantung dengan 


ilmu astronomi dalam penentuan awal bulan, kecuali pada bulan 


Ramadhan, Syawal dan Dzul-Hijjah. 


Tingkatan berpuasa ‘Asyura yang disebutkan oleh para ahli fiqh 


Para ulama membuat beberapa tingkatan dalam berpuasa di hari 


‘Asyura ini, sebagai berikut: 


Tingkatan pertama: Berpuasa pada tanggal 9, 10 dan 11 


Muharram. 


Tingkatan kedua: Berpuasa pada tanggal 9 dan 10 Muharram. 





Tingkatan ketiga: Berpuasa pada tanggal 10 dan 11 Muharram. 


Tingkatan keempat: Berpuasa hanya pada tanggal 10 Muharram. 


Sebagian ulama mengatakan makruhnya berpuasa hanya pada 


tanggal 10 Muharram, karena hal tersebut mendekati 


penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Yang berpendapat 


demikian di antaranya adalah: Ibnu ‘Abbas, Imam Ahmad dan 


sebagian madzhab Abi Hanifah. 


Allahu a’lam, pendapat yang kuat tidak mengapa berpuasa hanya 


pada tanggal 10 Muharram, karena seperti itulah yang dilakukan 


oleh Rasulullah selama beliau hidup. 


Hari ‘Asyura, Hari Bergembira atau Hari Bersedih? 


Kaum muslimin mengerjakan puasa sunnah pada hari ini. 


Sedangkan banyak di kalangan manusia, memperingati hari ini 


dengan kesedihan dan ada juga yang memperingati hari ini 


dengan bergembira dengan berlapang-lapang dalam 


menyediakan makanan dan lainnya. 


Kedua hal tersebut salah. Orang-orang yang memperingatinya 


dengan kesedihan, maka orang tersebut laiknya aliran Syi’ah yang 


memperingati hari wafatnya Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib, cucu 


Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Husain radhiallahu ‘anhu 


terbunuh di Karbala’ oleh orang-orang yang mengaku 


mendukungnya. Kemudian orang-orang Syi’ah pun 


menjadikannya sebagai hari penyesalan dan kesedihan atas 


meninggalnya Husain. 


Di Iran, yaitu pusat penyebaran Syi’ah saat ini, merupakan suatu 


pemandangan yang wajar, kaum lelaki melukai kepala-kepala 


dengan pisau mereka hingga mengucurkan darah, begitu pula 


dengan kaum wanita mereka melukai punggung-punggung 


mereka dengan benda-benda tajam. 


10 


Begitu pula menjadi pemandangan yang wajar mereka menangis 


dan memukul wajah mereka, sebagai lambang kesedihan mereka 


atas terbunuhnya Husain radhiallahu ‘anhu. 


Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda: 





 “Bukan termasuk golonganku orang yang menampar-nampar 


pipinya, merobek-robek baju dan berteriak-teriak seperti teriakan 


orang-orang di masa Jahiliyah.”[10] 


Kalau dipikir, mengapa mereka tidak melakukan hal yang sama di 


hari meninggalnya ‘Ali bin Abi Thalib, Padahal beliau juga wafat 


terbunuh? 


Di antara manusia juga ada yang memperingatinya dengan 


bergembira. Mereka sengaja memasak dan menyediakan 


makanan lebih, memberikan nafkah lebih dan bergembira 


layaknya ‘idul-fithri. 


Mereka berdalil dengan hadits lemah: 





 “Barang siapa yang berlapang-lapang kepada keluarganya di hari 


‘Asyura’, maka Allah akan melapangkannya sepanjang tahun 


tersebut.”[11] 


Dan perlu diketahui merayakan hari ‘Asyura’ dengan seperti ini 


adalah bentuk penyerupaan dengan orang-orang Yahudi. Mereka 


bergembira pada hari ini dan menjadikannya sebagai hari raya. 


Demikianlah sedikit pembahasan tentang bulan Muharram dan 


keutamaan berpuasa di dalamnya. Mudahan kita bisa mengawali 


11 


tahun baru Islam ini dengan ketaatan. Dan Mudahan tulisan ini 


bermanfaat. Amin. 


Daftar Pustaka 





Ad-Dibaj ‘Ala Muslim. Jalaluddin As-Suyuthi. 


Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al-Hajjaj. Imam An


Nawawi. 


Fiqhussunnah. Sayyid Sabiq. 


Risalah fi Ahadits Syahrillah Al-Muharram. ‘Abdullah bin 


Shalih Al-Fauzan.http://www.islamlight.net/ 


Tuhfatul-Ahwadzi. Muhammad ‘Abdurrahman Al


Mubarakfuri. 


Buku-buku hadits dan tafsir dalam catatan kaki 


(footnotes) dan buku-buku lain yang sebagian besar sudah 


dicantumkan di footnotes. 


[1] Lihat penjelasan As-Suyuthi dalam Ad-Dibaj ‘ala Muslim 


tentang hadits di atas. 


[2] HR Al-Bukhari no. 3197 dan Muslim no. 1679/4383. 


[3] Tafsir ibnu Abi hatim VI/1793. 


[4] Tafsir Ibnu Abi Hatim VI/1791. 


[5] Lihat Tafsir Al-Karim Ar-Rahman hal. 218, tafsir Surat Al


Maidah: 2. 


[6] HR Muslim no. 1162/2746. 


[7] HR Al-Bukhari no. 2002. 


[8] HR Muslim no. 1134/2666. 


[9] HR Ahmad no. 2153, Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra no. 


8189 dan yang lainnya. Syaikh Syu’aib dan Syaikh Al-Albani 


menghukumi hadits ini lemah. 


12 


[10] HR Al-Bukhari 1294. 


[11] HR Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jam Al-Kabir no. 9864 dari 


Abdullah bin Mas’ud dan Al-Baihaqi dalam Asy-Syu’ab no. 


3513,3514 dan 3515 dari ‘Abdullah bin Mas’ud, Abu Hurairah dan 


Abu Sa’id Al-Khudri. Keseluruhan jalur tersebut lemah dan tidak 


mungkin saling menguatkan, sebagaimana dijelaskan dengan rinci 


oleh Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6824. 


Sumber : http://kajiansaid.wordpress.com


 13 



Tulisan Terbaru

Mutiara Nasehat Umar ...

Mutiara Nasehat Umar Al-Faruq  radhiyallahu ‘anhuiyallahu ‘anhu 

Mutiara Nasehat Abu U ...

Mutiara Nasehat Abu Ubaidah   radhiyallahu ‘anhu 

Mutiara Nasehat Abu B ...

Mutiara Nasehat Abu Bakar ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu 

Musibah Umat Yang Mem ...

Musibah Umat Yang Memilukan