Artikel




Mewaspadai Bahaya Korupsi 


Menengok keadaan saat ini, betapa banyak orang yang 


melakukan perbuatan yang amat tercela ini. Bahkan hampir kita 


dapati dalam semua lapisan masyarakat, dari masyarakat yang 


paling bawah, menengah sampai kalangan atas. Khalayak pun 


kemudian menggolongkan para pelaku korupsi ini menjadi 


berkelas-kelas. Mulai koruptor kelas teri sampai kelas kakap. 


Dalam lingkup masyarakat bawah, mungkin pernah atau bahkan 


banyak kita jumpai, seseorang yang mendapat amanah untuk 


membelanjakan sesuatu, kemudian setelah dibelanjakan, uang 


yang diberikan pemiliknya masih tersisa, tetapi dia tidak 


memberitahukan adanya sisa uang tersebut, meskipun hanya 


seratus rupiah, melainkan masuk ke ‘saku’nya, atau dengan cara 


memanipulasi nota belanja. Adapun koruptor kelas kakap, maka 


tidak tanggung-tanggung yang dia ‘embat’ sampai milyaran 


bahkan triliyunan. Sejauh mana bahaya perbuatan ini? Kami 


mencoba mengulasnya dengan mengambil salah satu hadits Nabi 


Shallallahu 'alaihi wa sallam berikut ini. Semoga bermanfaat, dan 


kita dapat menghindari ataupun mewaspadai bahayanya.  


Dari ‘Adiy bin ‘Amirah Al Kindi Radhiyallahu 'anhu berkata : Aku 


pernah mendengar Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 





 “Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu 


pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang 


jarum atau lebih dari itu, maka itu adalah ghulul (belenggu, harta 


korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat”. (‘Adiy) berkata : 


Maka ada seorang lelaki hitam dari Anshar berdiri menghadap 


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam , seolah-olah aku melihatnya, 


lalu dia berkata,"Wahai Rasulullah, copotlah jabatanku yang 


engkau tugaskan." Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam 


bertanya,"Ada apa gerangan?” Dia menjawab,"Aku mendengar 


engkau berkata demikian dan demikian (maksudnya perkataan di 


atas, Pen.)." Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam pun berkata,"Aku 


katakan sekarang, (bahwa) barangsiapa di antara kalian yang 


kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), maka hendaklah 


dia membawa (seluruh hasilnya), sedikit maupun banyak. 


Kemudian, apa yang diberikan kepadanya, maka dia (boleh) 


mengambilnya. Sedangkan apa yang dilarang, maka tidak 


boleh.”(HR. Bukhari dan Muslim). 


Takhrij Hadits - Hadits ini dikeluarkan oleh Muslim dalam Shahih-nya dalam 


kitab al Imarah, bab Tahrim Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3415.  - Abu Dawud dalam Sunan-nya dalam kitab al Aqdhiyah, bab Fi 


Hadaya al ‘Ummal, hadits no. 3110. - Imam Ahmad dalam Musnad-nya, 17264 dan 17270, dari jalur 


Isma’il bin Abu Khalid, dari Qais bin Abu Hazim, dari Sahabat ‘Adiy 





bin ‘Amirah al Kindi Radhiyallahu 'anhu di atas. Adapun lafadz 


hadits di atas dibawakan oleh Muslim. 


BIOGRAFI SINGKAT ‘ADIY BIN ‘AMIRAH RADHIYALLAHU 'ANHU 


Beliau merupakan sahabat mulia, dengan nama lengkapnya ‘Adiy 


bin ‘Amirah bin Farwah bin Zurarah bin al Arqam, Abu Zurarah al 


Kindi. Beliau hanya sedikit meriwayatkan hadits Rasululllah 


Shallallahu 'alaihi wa sallam, di antaranya adalah hadits ini.  


Beliau wafat pada masa kekhalifahan Mu’awiyah Radhiyallahu 


'anhu. Ada pula yang berpendapat selain itu [1].  


Wallahu a’lam bish shawab. 


Mufrodat (Kosa Kata) 


Kata ghululan ( ً ﻮ ْ ﻠ ْ ُ ) dalam lafadz Muslim, atau ghullun ( ﻞُ) 


dalam lafadz Abu Dawud, keduanya dengan huruf ghain 


berharakat dhammah. Ini mengandung beberapa pengertian, di 


antaranya bermakna belenggu besi, atau berasal dari kata kerja 


ghalla ( ﻞُ) yang berarti khianat [2]. Ibnul Atsir menerangkan, kata 


al ghulul ( ْ لﻮ ْ ﻠ ْ ﻐ ﻰ ﻟا ), pada asalnya bermakna khianat dalam urusan 


harta rampasan perang, atau mencuri sesuatu dari harta 


rampasan perang sebelum dibagikan [3]. Kemudian, kata ini 


digunakan untuk setiap perbuatan khianat dalam suatu urusan 


secara sembunyi-sembunyi.[4]  


Jadi, kata ghulul ( ْ لﻮ ْ ﻠ ْ ﻐ ﻰ ﻟا ) di atas, secara umum digunakan untuk 


setiap pengambilan harta oleh seseorang secara khianat, atau 


tidak dibenarkan dalam tugas yang diamanahkan kepadanya 





(tanpa seizin pemimpinnya atau orang yang menugaskannya). 


Dalam bahasa kita sekarang, perbuatan ini disebut korupsi, 


seperti tersebut dalam hadits yang sedang kita bahas ini. 


Makna Hadits 


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyampaikan peringatan atau 


ancaman kepada orang yang ditugaskan untuk menangani suatu 


pekerjaan (urusan), lalu ia mengambil sesuatu dari hasil 


pekerjaannya tersebut secara diam-diam tanpa seizin pimpinan 


atau orang yang menugaskannya, di luar hak yang telah 


ditetapkan untuknya, meskipun hanya sebatang jarum. Maka, apa 


yang dia ambil dengan cara tidak benar tersebut akan menjadi 


belenggu, yang akan dia pikul pada hari Kiamat. Yang dia lakukan 


ini merupakan khianat (korupsi) terhadap amanah yang 


diembannya. Dia akan dimintai pertanggungjawabnya nanti pada 


hari Kiamat. 


Ketika kata-kata ancaman tersebut didengar oleh salah seorang 


dari kaum Anshar, yang orang ini merupakan satu di antara para 


petugas yang ditunjuk oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 


sallam, serta merta dia merasa takut. Dia meminta kepada 


Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam untuk melepaskan 


jabatannya. Maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menjelaskan, 


agar setiap orang yang diberi tugas dengan suatu pekerjaan, 


hendaknya membawa hasil dari pekerjaannya secara keseluruhan, 


sedikit maupun banyak kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa 


sallam. Kemudian mengenai pembagiannya, akan dilakukan 


sendiri oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam. Apa yang 


diberikan, berarti boleh mereka ambil. Sedangkan yang ditahan 


oleh beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mereka tidak boleh 


mengambilnya. 





Syarah Hadits 


Hadits di atas intinya berisi larangan berbuat ghulul (korupsi), 


yaitu mengambil harta di luar hak yang telah ditetapkan, tanpa 


seizin pimpinan atau orang yang menugaskannya. Seperti 


ditegaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh Buraidah 


Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 


bersabda : 





 "Barangsiapa yang kami tugaskan dengan suatu pekerjaan, lalu 


kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, maka apa yang dia ambil 


di luar itu adalah harta ghulul (korupsi)".[5]  


Asy Syaukani menjelaskan, dalam hadits ini terdapat dalil tidak 


halalnya (haram) bagi pekerja (petugas) mengambil tambahan di 


luar imbalan (upah) yang telah ditetapkan oleh orang yang 


menugaskannya, dan apa yang diambilnya di luar itu adalah 


ghulul (korupsi).[6] 


Dalam hadits tersebut maupun di atas, Rasulullah Shallallahu 


'alaihi wa sallam menyampaikan secara global bentuk pekerjaan 


atau tugas yang dimaksud. Ini dimaksudkan untuk menunjukkan 


bahwa peluang melakukan korupsi (ghulul) itu ada dalam setiap 


pekerjaan dan tugas, terutama pekerjaan dan tugas yang 


menghasilkan harta atau yang berurusan dengannya. Misalnya, 


tugas mengumpulkan zakat harta, yang bisa jadi bila petugas 





tersebut tidak jujur, dia dapat menyembunyikan sebagian yang 


telah dikumpulkan dari harta zakat tersebut, dan tidak 


menyerahkan kepada pimpinan yang menugaskannya. 


Hukum Syari'at tentang Korupsi 


Sangat jelas, perbuatan korupsi dilarang oleh syari’at, baik dalam 


Kitabullah (al Qur`an) maupun hadits-hadits Rasulullah Shallallahu 


'alaihi wa sallam yang shahih. Di dalam Kitabullah, di antaranya 


adalah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :  





 "Tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta 


rampasan perang). Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan 


rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang 


membawa apa yang dikhianatkannya itu …" [Ali Imran: 161]. 


Dalam ayat tersebut Allah Subhanahu wa Ta'ala mengeluarkan 


pernyataan bahwa, semua nabi Allah terbebas dari sifat khianat, 


di antaranya dalam urusan rampasan perang.  


Menurut penjelasan Ibnu Abbas Radhiyallahu 'anhuma, ayat ini 


diturunkan pada saat (setelah) perang Badar, orang-orang 


kehilangan sepotong kain tebal hasil rampasan perang. Lalu 


sebagian mereka, yakni kaum munafik mengatakan, bahwa 


mungkin Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah 


mengambilnya. Maka Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan 





ayat ini untuk menunjukkan jika Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 


sallam terbebas dari tuduhan tersebut. 


Ibnu Katsir menambahkan, pernyataan dalam ayat tersebut 


merupakan pensucian diri Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam 


dari segala bentuk khianat dalam penunaian amanah, pembagian 


rampasan perang, maupun dalam urusan lainnya [7]. Hal itu, 


karena berkhianat dalam urusan apapun merupakan perbuatan 


dosa besar. Semua nabi Allah ma’shum (terjaga) dari perbuatan 


seperti itu. 


Mengenai besarnya dosa perbuatan ini, dapat kita pahami dari 


ancaman yang terdapat dalam ayat di atas, yaitu ketika Allah 


mengatakan : “Barangsiapa yang berkhianat (dalam urusan 


rampasan perang itu), maka pada hari Kiamat ia akan datang 


membawa apa yang dikhianatkannya itu …” 


Ibnu Katsir mengatakan,"Di dalamnya terdapat ancaman yang 


amat keras.” [8] 


Selain itu, perbuatan korupsi (ghulul) ini termasuk dalam kategori 


memakan harta manusia dengan cara batil yang diharamkan Allah 


Subhanahu wa Ta'ala, sebagaimana dalam firmanNya :  





"Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang 


lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan janganlah kamu 


membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat 


memakan sebagian dari harta benda orang lain itu dengan (jalan 


berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui" [al Baqarah/2:188] 


Juga firmanNya :  





 "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan 


harta sesamamu dengan jalan yang batil…" [an Nisaa`/4 : 29].  


Adapun larangan berbuat ghulul (korupsi) yang datang dari Nabi 


Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka hadits-hadits yang 


menunjukkan larangan ini sangat banyak, di antaranya hadits dari 


‘Adiy bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu dan hadits Buraidah 


Radhiyallahu 'anhu di atas. 


Pintu-pintu Korupsi 


Peluang melakukan korupsi ada di setiap tempat, pekerjaan 


ataupun tugas, terutama yang diistilahkan dengan tempat-tempat 


“basah”. Untuk itu, setiap muslim harus selalu berhati-hati, 


manakala mendapatkan tugas-tugas. Dengan mengetahui pintu


pintu ini, semoga kita selalu waspada dan tidak tergoda, sehingga 


nantinya mampu menjaga amanah yang menjadi tanggung jawab 


kita. 


10 


 


11 


Berikut adalah di antara pintu-pintu korupsi. 


1. Saat pengumpulan harta rampasan perang, sebelum harta 


tersebut dibagikan. 


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan : 





"Ada seorang nabi berperang, lalu ia berkata kepada kaumnya : 


"Tidak boleh mengikutiku (berperang) seorang yang telah 


menikahi wanita, sementara ia ingin menggaulinya, dan ia belum 


melakukannya; tidak pula seseorang yang yang telah 


membangun rumah, sementara ia belum memasang atapnya; 


tidak pula seseorang yang telah membeli kambing atau unta 


betina yang sedang bunting, sementara ia menunggu 


(mengharapkan) peranakannya". Lalu nabi itu pun berperang dan 


ketika sudah dekat negeri (yang akan diperangi) tiba atau hampir 


tiba shalat Ashar, ia berkata kepada matahari : "Sesungguhnya 


kamu diperintah, dan aku pun diperintah. Ya Allah, tahanlah 


matahari ini untuk kami," maka tertahanlah matahari itu hingga 


Allah membukakan kemenangan baginya. Lalu ia mengumpulkan 


harta rampasan perang. Kemudian datang api untuk melahapnya, 


tetapi api tersebut tidak dapat melahapnya. Dia (nabi itu) pun 


berseru (kepada kaumnya): "Sesungguhnya di antara kalian ada 


(yang berbuat) ghulul (mengambil harta rampasan perang secara 


diam-diam). Maka, hendaklah ada satu orang dari setiap kabilah 


bersumpah (berbai’at) kepadaku," kemudian ada tangan 


seseorang menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), 


lalu ia (nabi itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) 


ghulul, maka hendaknya kabilahmu bersumpah (berbai’at) 


kepadaku," kemudian ada tangan dari dua atau tiga orang 


menempel ke tangannya (berbai’at kepada nabi itu), lalu ia (nabi 


itu) berkata,"Di antara kalian ada (yang berbuat) ghulul," maka 


mereka datang membawa emas sebesar kepala sapi, kemudian 


mereka meletakkannya, lalu datanglah api dan melahapnya. 


Kemudian Allah menghalalkan harta rampasan perang bagi kita 


(karena) Allah melihat kelemahan kita [9]  


2. Ketika pengumpulan zakat maal (harta). 


Seseorang yang diberi tugas mengumpulkan zakat maal oleh 


seorang pemimpin negeri, jika tidak jujur, sangat mungkin ia 


mengambil sesuatu dari hasil (zakat maal) yang telah 


dikumpulkannya, dan tidak menyerahkannya kepada pemimpin 


yang menugaskannya. Atau dia mengaku yang dia ambil adalah 


sesuatu yang dihadiahkan kepadanya. Peristiwa semacam ini 


pernah terjadi pada masa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, 


12 


 


13 


dan beliau memperingatkan dengan keras kepada petugas yang 


mendapat amanah mengumpulkan zakat maal tersebut dengan 


mengatakan : 





 


"Tidakkah kamu duduk saja di rumah bapak-ibumu, lalu lihatlah, 


apakah kamu akan diberi hadiah (oleh orang lain) atau tidak?" 


(HR.Bukhari dan Muslim) 


  


Kemudian pada malam harinya selepas shalat Isya’ Nabi 


Shallallahu 'alaihi wa sallam berceramah (untuk memperingatkan 


perbuatan ghulul kepada khalayak). Di antara isi penjelasan beliau 


Shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan :  





 


"(Maka) Demi (Allah), yang jiwa Muhammad berada di 


tanganNya. Tidaklah seseorang dari kalian mengambil 


(mengkorupsi) sesuatu daripadanya (harta zakat), melainkan dia 


akan datang pada hari Kiamat membawanya di lehernya. Jika 


(yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) bersuara. Jika (yang 


dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) bersuara. Atau jika 


(yang dia ambil) seekor kambing, maka (kambing itu pun) 


bersuara …" [10]  


3. Hadiah untuk petugas, dengan tanpa sepengetahuan dan izin 


pemimpin atau yang menugaskannya. 


Dalam hal ini, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah 


bersabda:  





 "Hadiah untuk para petugas adalah ghulul". [11] 


seorang


 4. Setiap tugas apapun, terutama yang berurusan dengan harta, 


seperti 


 yang 


mendapat amanah memegang 


perbendaharaan negara, penjaga baitul maal atau yang lainnya, 


terdapat peluang bagi seseorang yang berniat buruk untuk 


melakukan ghulul (korupsi), padahal dia sudah memperoleh upah 


yang telah ditetapkan untuknya. Telah disebutkan dalam hadits 


yang telah lalu, yaitu sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa 


sallam, yang artinya : Barangsiapa yang kami tugaskan dengan 


suatu pekerjaan, lalu kami tetapkan imbalan (gaji) untuknya, 


maka apa yang dia ambil di luar itu adalah harta ghulul 


(korupsi).[12]  


Bahaya Perbuatan Ghulul (KORUPSI) 


Tidaklah Allah melarang sesuatu, melainkan di balik itu 


terkandung keburukan dan mudharat (bahaya) bagi pelakunya. 


Begitu pula dengan perbuatan korupsi (ghulul), tidak luput dari 


keburukan dan mudharat tersebut.  


Diantaranya : 


1. Pelaku ghulul (korupsi) akan dibelenggu, atau ia akan 


membawa hasil korupsinya pada hari Kiamat, sebagaimana 


ditunjukkan dalam ayat ke-161 surat Ali Imran dan hadits ‘Adiy 


14 


 


15 


bin ‘Amirah Radhiyallahu 'anhu di atas. Dan dalam hadits Abu 


Humaid as Sa’idi Radhiyallahu 'anhu, Rasulullah Shallallahu 


'alaihi wa sallam bersabda : 





"Demi (Allah), yang jiwaku berada di tanganNya. Tidaklah 


seseorang mengambil sesuatu daripadanya (harta zakat), 


melainkan dia akan datang pada hari Kiamat membawanya di 


lehernya. Jjika (yang dia ambil) seekor unta, maka (unta itu) 


bersuara. Jika (yang dia ambil) seekor sapi, maka (sapi itu pun) 


bersuara. Atau jika (yang dia ambil) seekor kambing, maka 


(kambing itu pun) bersuara …” [13] 


 


2. Perbuatan korupsi menjadi penyebab kehinaan dan siksa api 


neraka pada hari Kiamat. 


  


Dalam hadits Ubadah bin ash Shamit Radhiyallahu 'anhu, bahwa 


Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda : 





"…(karena) sesungguhnya ghulul (korupsi) itu adalah kehinaan, 


aib dan api neraka bagi pelakunya". [14] 


 


3. Orang yang mati dalam keadaan membawa harta ghulul 


(korupsi), ia tidak mendapat jaminan atau terhalang masuk surga. 


Hal itu dapat dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa 


sallam :  





 "Barangsiapa berpisah ruh dari jasadnya (mati) dalam keadaan 


terbebas dari tiga perkara, maka ia (dijamin) masuk surga. Yaitu 


kesombongan,


 ghulul


 (korupsi)


 dan hutang". 


[15]  


4. Allah tidak menerima shadaqah seseorang dari harta ghulul 


(korupsi), sebagaimana dalam sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa 


sallam : 





 "Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci, dan shadaqah tidak 


diterima dari harta ghulul (korupsi)" [16]  


5. Harta hasil korupsi adalah haram, sehingga ia menjadi salah 


satu penyebab yang dapat menghalangi terkabulnya do’a, 


sebagaimana dipahami dari sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa 


sallam :  





 


"Wahai manusia, sesungguhnya Allah itu baik, tidak menerima 


kecuali yang baik. Dan sesungguhnya Allah memerintahkan 


orang-orang yang beriman dengan apa yang Allah perintahkan 


kepada para rasul. Allah berfirman,"Wahai para rasul, makanlah 


dari yang baik-baik dan kerjakanlah amal shalih. Sesungguhnya 


Aku Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan". Dia (Allah) juga 


berfirman: "Wahai orang-orang yang beriman, makanlah yang 


baik-baik dari yang Kami rizkikan kepada kamu," kemudian beliau 


(Rasulullah) Shallallahu 'alaihi wa sallam menceritakan seseorang 


yang lama bersafar, berpakaian kusut dan berdebu. Dia 


menengadahkan tangannya ke langit (seraya berdo’a): "Ya 


Rabb…, ya Rabb…," tetapi makanannya haram, minumannya 


haram, pakaiannya haram dan dirinya dipenuhi dengan sesuatu 


yang haram. Maka, bagaimana do’anya akan dikabulkan?". [17]  


 


Demikian yang bisa tuliskan untuk para pembaca seputar masalah 


korupsi. Mudah-mudahan Allah menyelamatkan kita dari segala 


keburukan yang lahir maupun tersembunyi. Dan semoga uraian 


singkat ini bermanfaat. 


 


Wallahu a’lam bish Shawab.  


 


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06//Tahun X/1427H/2006M. 


Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi 


Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]. 



 



Tulisan Terbaru

Mutiara Nasehat Umar ...

Mutiara Nasehat Umar Al-Faruq  radhiyallahu ‘anhuiyallahu ‘anhu 

Mutiara Nasehat Abu U ...

Mutiara Nasehat Abu Ubaidah   radhiyallahu ‘anhu 

Mutiara Nasehat Abu B ...

Mutiara Nasehat Abu Bakar ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu 

Musibah Umat Yang Mem ...

Musibah Umat Yang Memilukan