Peran Wanita dalam Mereformasi Masyarakat
dan Fatwa-fatwa Penting Terkait Wanita
Muslimah
*
بسماللهالرحمن الرحيم
Mukadimah
Segala puji hanya milik Allah, kita memuji-Nya, serta memohon pertolongan dan ampunan-Nya.
Kita memohon perlindungan kepada Allah dari kejahatan diri dan amal buruk kita. Siapa yang diberikan
petunjuk oleh Allah, tidak akan ada seorang pun yang bisa menyesatkannya. Sebaliknya, siapa yang
disesatkan oleh-Nya, tidak ada seorang pun yang mampu memberinya petunjuk. Saya bersaksi bahwa
tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya. Aku juga
bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul-Nya. Allah Ta'ālā mengutusnya untuk membawa
petunjuk dan agama yang hak, beliau lantas menyampaikan risalah, menunaikan amanah, menasihati
umat, dan berjihad di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad. Semoga Allah melimpahkan selawat
dan salam kepada beliau beserta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti
mereka dengan baik hingga hari Kiamat. Amabakdu:
Sebuah kebahagian tersendiri bagiku bisa hadir di kuliah diploma khusus wanita di Jeddah hari ini,
Selasa 23 Rabiul Akhir 1412 H; guna menyampaikan sebuah tema yang menurutku sangat penting, yaitu
peran wanita dalam mereformasi masyarakat.
Dengan memohon pertolongan, petunjuk kebenaran, dan jalan yang lurus kepada Allah جل جلاله, saya
sampaikan:
Sesungguhnya peran seorang wanita dalam memperbaiki masyarakat sangatlah urgen sebab
mereformasi masyarakat berdiri di atas dua unsur:
Pertama: Reformasi Eksternal
Reformasi ini terkait aktivitas di pasar, masjid, dan lingkungan eksternal lainnya. Pihak yang dominan
dalam masalah ini adalah kaum laki-laki karena mereka memang yang patut tampil dan terlihat.
Kedua: Reformasi Masyarakat dari Balik Layar
Ini terkait reformasi yang berlangsung di dalam rumah. Sebagian besar persoalannya dikendalikan oleh
wanita karena dia merupakan ibu rumah tangga, sebagaimana tertera dalam firman Allah -Subḥānahu wa
Ta'ālā- yang ditujukan kepada kaum wanita berupa perintah kepada para istri Nabi :صلى الله عليه وسلم
"Hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan (bertingkah laku) seperti
orang-orang Jahiliyah dahulu, dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan taatilah Allah dan
Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai Ahlulbait, dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya." (QS. Al-Aḥzāb: 33).
*
Urgensi Peran Wanita dalam Mereformasi
Masyarakat
Sudah merupakan hal lumrah bila kita katakan bahwa peran untuk mereformasi separuh masyarakat atau
sebagian besarnya tergantung pada wanita. Hal ini disebabkan oleh dua hal:
Sebab Pertama: Kaum wanita secara jumlah seperti kaum laki-laki atau lebih banyak. Maksud saya
bahwa kebanyakan anak keturunan Adam adalah wanita, sebagaimana tertera di dalam Sunnah
Nabawiyah. Akan tetapi jumlahnya berbeda antara satu negara dan negara lainnya, dan dari masa ke
masa. Bisa jadi, kaum wanita di suatu negara lebih banyak dari kaum laki-laki, dan bisa saja di negara
lain justru sebaliknya.
Sama halnya, kaum wanita bisa saja lebih banyak daripada kaum laki-laki di suatu masa, namun
sebaliknya di masa lain. Apa pun kondisinya, sesungguhnya seorang wanita mempunyai peran besar
dalam mereformasi masyarakat. Di samping itu, ada sebab lain yang menjelaskan betapa pentingnya
peran seorang wanita dalam mereformasi masyarakat.
Sebab Kedua: Awal mula tumbuh kembangnya suatu generasi bersumber dari buaian dan didikan kaum
wanita. Dengan ini, jelaslah betapa pentingnya peran seorang wanita dalam mereformasi masyarakat.
*
Pilar-pilar Reformasi Wanita dalam Masyarakat
Agar urgensi seorang wanita dalam mereformasi masyarakat bisa terwujud, dirinya harus memiliki
beberapa keahlian atau pilar sehingga dia bisa menunaikan tugasnya dalam melakukan reformasi.
Berikut ini beberapa pilar tersebut:
Pilar Pertama: Kesalihan Wanita
Seorang wanita harus salihah terlebih dahulu supaya nantinya menjadi suri teladan dan contoh yang baik
bagi kaum wanita lainnya. Namun, bagaimana cara seorang wanita bisa menggapai tingkatan salihah
tersebut?
Perlu diketahui, bahwa seorang wanita tidak akan mencapai tingkatan salihah melainkan dengan ilmu.
Yang saya maksud dengan ilmu adalah ilmu syariat yang langsung dipelajari; baik itu melalui buku-buku
-jika memungkinkan- atau melalui lisan para ulama, baik itu para ulama dari kalangan laki-laki atau
wanita.
Pada masa kita sekarang ini, seorang wanita sangat mudah mendapatkan ilmu melalui lisan para ulama,
yaitu melalui kaset-kaset rekaman, karena kaset-kaset ini -alḥamdulillāh- sangat berperan dalam
mengarahkan masyarakat menuju kebaikan dan perbaikan, jika benar-benar digunakan sebagaimana
mestinya.
Jadi, wanita yang salihah harus memiliki ilmu karena dia tidak bisa mencapai tingkatan salihah kecuali
melalui ilmu. Sebab itu, ia mesti mempelajari ilmu, baik itu melalui lisan para ulama atau dari buku-buku.
Pilar Kedua: Kemampuan Retorika dan Kefasihan
Allah memberikan karunia kepada wanita kemampuan retorika dan kefasihan dalam merangkai kata. Dia
mampu secara lancar mengungkapkan apa yang ada di benaknya dengan jujur, serta menyingkap apa
yang ada dalam hatinya berupa makna-makna terpendam yang mungkin dialami oleh banyak manusia,
namun mereka tidak mampu mengungkapkannya, atau bisa diungkapkan tetapi dalam rangkaian kata
yang tidak jelas dan kurang indah, sehingga tujuan yang diinginkan berupa perbaikan masyarakat kurang
tersampaikan.
Karena itulah, kita mesti bertanya-tanya: Apa sarana yang bisa mengantarkan pada kemahiran
beretorika, kefasihan berbahasa, serta pengungkapan apa yang ada dalam jiwa dengan bahasa yang
tulus dan menyingkap apa yang ada di dalam hati?
Cara untuk bisa mencapai hal tersebut ialah sebaiknya seorang wanita memiliki pengetahuan bahasa
Arab: Nahwu, Ṣaraf, dan Balagah. Dengan demikian, ia harus mengikuti pelajaran-pelajaran itu meskipun
sedikit agar ia mampu mengungkapkan apa yang ada di dalam dirinya dengan benar; ia akan bisa
menyampaikan makna-makna yang dimaksud ke dalam hati manusia yang diajak bicara.
Pilar Ketiga: Kebijaksanaan
Maksudnya adalah seorang wanita harus bersikap penuh hikmah (bijaksana) dalam berdakwah dan
menyampaikan ilmu kepada orang yang diajak bicara. Hikmah itu sendiri artinya meletakkan sesuatu
pada tempatnya, sebagaimana yang jelaskan oleh para ulama.
Hikmah itu merupakan anugerah Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- kepada hamba, yaitu dengan
menanamkan sikap hikmah pada dirinya. Allah Ta'ala befirman, "Dia memberikan hikmah kepada siapa
yang Dia kehendaki. Barang siapa diberi hikmah, sesungguhnya dia telah diberi kebaikan yang banyak."
(QS. Al-Baqarah: 269).
Betapa banyak tujuan yang tidak tercapai dan kekeliruan terjadi saat sikap hikmah tersebut tidak
diterapkan.
Di antara sikap hikmah dalam berdakwah kepada Allah جل جلاله ialah memperlakukan orang yang diajak bicara
secara tepat sesuai dengan kapasitasnya. Apabila ia orang bodoh, maka diperlakukan sesuai dengan
kondisinya. Jika ia orang pandai, tetapi memiliki perilaku yang teledor dan lalai, maka diperlakukan
dengan tuntutan keadaannya tersebut. Jika ia orang berilmu, tetapi memiliki sikap yang angkuh dan
menolak kebenaran, maka perlakukanlah sesuai dengan kondisinya.
Kesimpulannya, manusia itu ada tiga tingkatan: Orang bodoh, orang pandai tetapi lalai, dan orang pandai
tetapi angkuh.
Kita tidak mungkin menyamakan mereka semua, tetapi harus memperlakukan setiap orang berdasarkan
kedudukannya tadi. Sebab itu, tatkala Nabi صلى الله عليه وسلمmengirim Mu'az ke negeri Yaman, beliau bersabda
kepadanya,
"Sungguh, Kamu akan mendatangi suatu kaum Ahli Kitab." Alasan Nabi صلى الله عليه وسلمmengatakan hal itu
kepadanya adalah agar Mu'az mengetahui kondisi mereka, menyiapkan diri untuk menghadapi mereka
sesuai keadaannya masing-masing, serta berkomunikasi dengan mereka sesuai dengan kondisinya.
Beberapa Contoh Penerapan Hikmah dalam Dakwah Nabi صلى الله عليه وسلم
Di antara dalil penggunaan hikmah saat berdakwah kepada Allah adalah beberapa peristiwa yang dialami
oleh sosok makhluk yang paling bijak dalam bedakwah kepada Allah, yaitu Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم. Mari
kita berikan beberapa contoh:
Contoh pertama: Seorang arab badui yang kencing di masjid.
Ini terdapat dalam hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari, Muslim, dan yang lainnya. Anas bin Malik
-raḍiyallāhu 'anhu- meriwayatkan bahwa ada seorang arab badui masuk ke dalam masjid, ia berjalan ke
arah salah satu sisi masjid, kemudian kencing di situ. Sontak para sahabat geram seraya melarangnya
dengan teriakan, tetapi Nabi صلى الله عليه وسلم, sosok yang diberikan hikmah oleh Allah dalam berdakwah di jalan
Allah جل جلاله, menegur mereka seraya bersabda, "Jangan kalian hentikan dia", maksudnya jangan
menghentikan dirinya yang sedang kencing.
Tatkala orang arab badui tersebut selesai kencing, Nabi صلى الله عليه وسلمmemerintahkan para sahabat agar
menyiram tempat yang dikencingi dengan seember air, kemudian memanggil orang tersebut dan
bersabda kepadanya, "Sesungguhnya masjid ini tidak layak untuk buang air kecil atau kotoran, tetapi ia
merupakan tempat untuk salat, membaca Al-Qur`an, dan berzikir kepada Allah جل جلاله." Atau sebagaimana
disabdakan oleh Nabi .صلى الله عليه وسلم
Imam Ahmad -raḥimahullāh- meriwayatkan bahwa orang arab badui ini kemudian berkata, "Ya Allah!
Berikanlah rahmat-Mu kepadaku dan Muhammad, dan janganlah Engkau beri rahmat kepada siapa pun
selain kami berdua."
Kita bisa mengambil beberapa pelajaran dari kisah tersebut:
Pelajaran pertama: Para sahabat -raḍiyallāhu 'anhum- terbawa semangat dalam nahi mungkar dan
meneriaki orang arab badui itu. Kita ambil pelajaran, bahwa seseorang tidak boleh membiarkan
kemungkaran terjadi, tetapi ia wajib segera mengingkari pelakunya. Namun, bila bergegas
mengingkarinya akan mengakibatkan timbulnya bahaya yang lebih besar;
maka ia tidak boleh terburu-buru, agar kerusakan yang lebih besar sirna. Sebab itu, Nabi صلى الله عليه وسلمmelarang
serta menegur para sahabat supaya tidak segera melarang dan meneriaki orang arab badui tersebut.
Pelajaran kedua: Nabi صلى الله عليه وسلمmembiarkan suatu kemungkaran demi mencegah kemungkaran yang lebih
besar darinya. Kemungkaran yang beliau biarkan adalah tindakan orang arab badui yang kencing itu,
sementara kemungkaran besar yang dicegah melalui pembiaran tersebut adalah bahwa jika orang arab
badui itu ditegur, ia tidak lepas dari dua kondisi:
Kondisi pertama: Dia akan berdiri dalam kondisi auratnya tersingkap agar pakaiannya tidak terkena air
kencing. Jika ini terjadi, maka area yang terkena najis di dalam masjid akan lebih luas lagi, serta lelaki
tadi pun terlihat auratnya di depan orang banyak. Inilah dua kerusakan yang kemungkinan timbul.
Kondisi kedua: Jika orang arab badui ini tidak melakukan hal sebelumnya, ia tetap akan menutup
auratnya, sedangkan pakaiannya akan tetap terkena air kencing.
Karena adanya dua mudarat ini, Nabi صلى الله عليه وسلمmembiarkan orang itu menuntaskan hajatnya, meskipun telah
terjadi mudarat berupa kencing sejak pertama kali berada di masjid, namun jika lelaki itu berdiri, maka
mudarat tersebut tidak akan hilang.
Dari hal ini, kita ambil pelajaran penting, yaitu: jika suatu kemungkaran bisa berakibat pada kemungkaran
yang lebih besar saat diingkari, maka seseorang wajib membiarkannya terlebih dahulu; sebagai upaya
pencegahan dari kemungkaran yang lebih besar dengan membiarkan kemungkaran yang lebih kecil. Hal
ini juga memiliki dalil dari Kitabullah.
Allah -Ta'ālā- berfirman, "Janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah,
karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan." (QS.
Al-An'ām: 108).
Masing-masing dari kita mengetahui bahwa mencela tuhan orang-orang musyrik termasuk perkara yang
disukai Allah جل جلاله, tetapi manakala celaan tersebut menyebabkan dicelanya Tuhan yang tidak layak untuk
dicela, yaitu Allah جل جلاله, maka Dia pun melarang dari mencela tuhan mereka.
Dia berfirman, "Janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka
nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan." (QS. Al-An'ām: 108).
Pelajaran ketiga: Rasul صلى الله عليه وسلمmemerintahkan agar menyirami tempat air kencingnya dengan seember air.
Pelajarannya ialah sebaiknya seseorang bergegas untuk menghilangkan mudarat atau kemungkaran.
Alasannya adalah karena menunda bisa menimbulkan banyak musibah. Sebenarnya Nabi صلى الله عليه وسلمbisa saja
menunda pembersihan area dalam masjid tersebut sampai orang-orang membutuhkannya untuk salat,
lalu selanjutnya dibersihkan. Akan tetapi, tindakan yang lebih utama adalah bersegera dalam
menghilangkan mudarat, supaya nanti tidak mendapatkan rintangan atau mengalami kelupaan. Ini
merupakan poin yang sangat penting, yaitu seseorang bergegas menghilangkan mudarat karena
khawatir nantinya justru tidak mampu menghilangkannya atau lupa.
Sebagai contoh: Apabila ada najis di sebuah pakaian yang biasanya digunakan untuk salat, maka
sebaiknya bergegas untuk membasuh nasjid tersebut dan tidak menundanya, karena bisa jadi nanti ia
akan lupa atau tidak mampu menghilangkannya, entah itu lantaran tidak ada air atau alasan lainnya.
Sebab itu, tatkala ada bayi dibawa kepada Nabi صلى الله عليه وسلم, lalu beliau letakkan di pangkuan beliau, lantas bayi
tersebut mengompol di pangkuan beliau, maka beliau memerintahkan agar langsung menyirami air
kencing itu dan tidak menunda untuk mencuci pakaiannya sampai waktu salat tiba; sebagaimana yang
telah kami paparkan sebelumnya.
Pelajaran keempat: Nabi صلى الله عليه وسلمmemberitahukan kepada orang arab badui tersebut tentang fungsi masjid
yang dibangun untuk mendirikan salat, membaca Al-Qur`an, dan berzikir kepada Allah, atau
sebagaimana yang disabdakan oleh beliau :صلى الله عليه وسلم
"Tidak layak untuk buang air kecil atau kotoran."
Jadi, kedudukan masjid ialah dimuliakan, dibersihkan, disucikan, dan tidak mengerjakan kegiatan apa
pun di dalamnya kecuali sesuai dengan fungsinya yang diridai oleh Allah -Ta'ālā-, seperti: salat,
membaca Al-Qur`an, berzikir kepada Allah, dan ibadah lainnya.
Pelajaran kelima: Jika seseorang berdakwah secara hikmah dan lembut, niscaya tujuan yang dicapainya
akan lebih besar daripada tujuan yang akan ia capai bila berdakwah secara keras.
Orang arab badui ini sangat puas dengan penjelasan Nabi صلى الله عليه وسلم, sampai-sampai terlontar kalimat yang
sangat populer dari lisannya: "Ya Allah! Berikanlah rahmat-Mu kepadaku dan Muhammad, dan janganlah
Engkau beri rahmat kepada siapa pun selain kami berdua."
Sebabnya adalah karena Anda dapati bahwa Nabi صلى الله عليه وسلمmenggunakan cara lemah lembut terhadap
laki-laki tersebut.
Hal itu terjadi lantaran ia tidak tahu tentang fungsi masjid, karena tidak mungkin seseorang yang
mengetahui kehormatan masjid dan kewajiban mengagungkannya melakukan kencing di salah satu sisi
masjid begitu saja di hadapan banyak orang.
Contoh lainnya: Seorang sahabat yang menggauli istrinya di siang hari pada bulan Ramadan.
Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari hadis Abu Hurairah -raḍiyallāhu 'anhu-, bahwasanya
Nabi صلى الله عليه وسلمdidatangi seorang laki-laki seraya berkata, "Wahai Rasulullah! Binasalah aku." Beliau bertanya,
"Apa yang membinasakanmu?" Ia menjawab, "Aku telah menggauli dengan istriku di siang hari pada
bulan Ramadan, sementara diriku sedang berpuasa."
Sengaja menggauli dengan istri saat berpuasa di bulan Ramadan merupakan dosa besar. Lantas, seperti
apa Nabi صلى الله عليه وسلمmemperlakukan pelakunya? Apakah langsung memarahinya atau menjelek-jelekkannya
atau mencercanya?Sungguh tidak demikian, karena laki-laki itu datang dalam kondisi bertobat serta
menyesal, bukan sedang menentang atau teledor atau tidak peduli dengan apa yang ia lakukan. Lalu
Nabi صلى الله عليه وسلمbertanya kepadanya: Apakah ia mempunyai budak yang bisa dimerdekakan sebagai kafarat
atas perbuatannya? Dia menjawab: Tidak ada.
Lantas beliau bertanya lagi: Apakah ia mampu berpuasa selama dua bulan berturt-turut? Ia menjawab:
Tidak. Beliau bertanya lagi: Apakah kamu mampu memberikan makan kepada enam puluh orang miskin?
Ia menjawab: Tidak. Kemudian laki-laki tersebut duduk, lantas Nabi صلى الله عليه وسلمdiberikan kurma. Beliau lalu
bersabda kepadanya, "Ambillah ini dan sedekahkanlah." Yakni sebagai kafarat perbuatannya itu. Lalu
laki-laki itu bertanya, "Apakah aku sedekahkan kepada orang yang lebih fakir dari diriku, wahai
Rasulullah? Demi Allah! Tidak ada keluarga yang berdomisili di antara dua batasan Kota Madinah ini
yang lebih fakir daripada aku."
Lalu Nabi صلى الله عليه وسلمtertawa sampai terlihat gigi gerahamnya, kemudian beliau bersabda, "Berikan ini sebagai
makanan keluargamu."
Kisah ini banyak mengandung pelajaran, di antaranya: Nabi صلى الله عليه وسلمtidak bersikap kasar terhadap laki-laki
tersebut, tidak pula memarahinya, serta tidak mencercanya; karena ia datang dalam kondisi bertobat dan
menyesal. Ada perbedaan antara laki-laki yang keras kepala dan laki-laki yang berserah diri yang datang
meminta pertolongan kepada kita untuk menyelamatkannya dari permasalahan yang ia alami.
Karenanya, Nabi صلى الله عليه وسلمmemperlakukannya dengan demikian, yaitu beliau mengembalikannya ke rumah
keluarganya sambil membawa rezeki yang ia bawa dari Rasulullah صلى الله عليه وسلمberupa kurma yang sebenarnya
wajib ia berikan -kalaulah bukan karena kefakirannya- untuk makanan enam puluh orang miskin.
Adapun contoh yang ketiga: Seorang laki-laki yang bersin ketika salat.
Hal ini tertera dalam hadis Mu'āwiyah bin al-Ḥakam -raḍiyallāhu 'anhu- tatkala ia salat bersama Nabi
صلى الله عليه وسلم, lantas ada seseorang yang bersin seraya mengucapkan, "Alḥamdulillāh." Lantas Mu'āwiyah
mengucapkan, "Yarḥamukallāh." Spontan orang-orang melihatnya -yakni mengingkari ucapannya
tersebut- lalu ia berkata, "Celaka aku, ada apa ini, mengapa kalian melihatku seperti itu?"
Mereka pun memukul-mukul paha masing-masing. Tatkala aku melihat mereka ingin mendiamkanku, aku
pun diam. Tatkala Rasulullah صلى الله عليه وسلمselesai salat -Aku bersumpah, Aku tidak pernah melihat seorang sosok
guru sebelum dan sesudahnya yang lebih baik dalam pengajarannya melebihi beliau-, demi Allah, beliau
tidak membentakku, atau memukulku, atau mencelaku. Beliau hanya bersabda, "Sesungguhnya salat ini
tidak layak berisi kata-kata apa pun dari manusia, sejatinya ia hanya berisi tasbih, takbir, dan lantunan
ayat Al-Qur`an." Atau sebagaimana yang disabdakan oleh beliau .صلى الله عليه وسلم
Adapun contoh yang keempat: Seorang laki-laki yang memakai cincin emas.
Ini ada dalam kisah seorang laki-laki yang mengenakan cincin emas, padahal Nabi صلى الله عليه وسلمsudah pernah
menjelaskan bahwa emas itu hukumnya haram bagi kaum laki-laki umat ini. Lantas Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda,
"Ada di antara kalian yang sengaja menghampiri kerikil neraka, lalu ia letakkan di tangannya." Kemudian
Nabi صلى الله عليه وسلمmelepaskan sendiri cincin itu tersebut, lalu membuangnya. Tatkala Nabi صلى الله عليه وسلمberanjak pergi,
seseorang berkata kepada laki-laki tadi, "Ambillah cincinmu itu, manfaatkanlah." Lantas laki-laki tersebut
menimpali, "Demi Allah! Aku tidak akan mengambil cincin yang sudah dibuang oleh Nabi ".صلى الله عليه وسلم
Perlakuan ini sedikit agak tegas terhadap laki-laki tersebut, sepertinya ia ini sudah pernah mendengar
bahwa emas haram dipakai oleh kaum laki-laki umat ini.
Sebab itu, Nabi صلى الله عليه وسلمmemperlakukannya lebih tegas daripada perlakuan beliau terhadap orang yang kita
sebutkan sebelumnya.
Oleh karena itu, seorang dai harus memperlakukan setiap orang sesuai dengan kedudukan dan
kondisinya; ada orang yang memang bodoh, tidak tahu apa-apa; ada yang sudah tahu, tetapi dirinya lalai
dan malas; dan ada pula yang sudah tahu, tetapi keras kepala dan sombong. Makanya, setiap individu
harus diperlakukan sesuai dengan kondisinya masing-masing.
Pilar Keempat: Pendidikan yang Baik
Maksudnya adalah seorang wanita harus mendidik anak-anaknya dengan baik karena mereka kelak akan
menjadi laki-laki dan perempuan dewasa. Pengasuhan yang pertama kali mereka dapatkan adalah dari
seorang ibu. Bila sosok ibu baik dari sisi akhlak, ibadah, dan muamalah, lalu mereka diasuh dan dididik
olehnya; kelak mereka akan membuat pengaruh besar dalam perbaikan masyarakat.
Karenanya, seorang wanita yang memiliki anak wajib mengasuh anak-anaknya, memperhatikan
pendidikan mereka, meminta bantuan ayah mereka ketika merasa kurang mampu mendidik mereka, atau
menyerahkan urusan wali mereka pada orang lain bila mereka tidak memiliki ayah, seperti pada saudara,
atau paman, atau keponakan, atau yang lainnya.
Jangan sampai seorang wanita pasrah dengan keadaan seraya berkata: semua orang melakukan hal ini
dan saya tidak mempu mengubahnya. Sebab, jika kita semua pasrah terhadap keadaan, maka perbaikan
tidak akan terjadi. Terlebih, sebuah perbaikan itu harus mengubah sesuatu yang rusak menjadi baik
sampai pada taraf yang lebih baik, akhirnya semua urusan akan stabil.
Di samping itu, pasrah terhadap keadaan tidak ada dalam ajaran syariat Islam.
Karenanya, tatkala Nabi صلى الله عليه وسلمmengirim utusan kepada kaum musyrikin yang menyembah berhala,
memutus tali persaudaraan, melakukan kezaliman, dan bersikap sewenang-wenang terhadap hak orang
lain, beliau صلى الله عليه وسلمtidak pasrah begitu saja, bahkan Allah جل جلاله tidak mengizinkan beliau pasrah terhadap
keadaan itu. Sebaliknya, Allah -Ta'ālā- berfirman pada beliau, "Maka sampaikanlah (Muhammad) secara
terang-terangan segala apa yang diperintahkan (kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang musyrik."
(QS. Al-Ḥijr: 94). Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- memerintahkan beliau agar menyampaikan kebenaran
secara terang-terangan, berpaling dari orang-orang bodoh, dan tidak menghiraukan sikap bodoh dan
permusuhan mereka agar urusannya stabil, dan inilah yang terjadi.
Barangkali ada orang yang berkata bahwa di antara bentuk hikmah adalah yang penting kita
mengubahnya, tetapi bukan dengan proses cepat semau kita karena kondisi masyarakat berseberangan
dengan apa yang kita inginkan dari kebaikan tersebut.
Dengan demikian, seseorang harus berjenjang dalam proses perbaikan dengan memprioritaskan hal
yang tingkatannya lebih penting daripada yang selainnya. Dengan kata lain, ia mengawali perbaikannya
dari sesuatu yang sangat penting dan mendesak, kemudian sedikit demi sedikit mengubah mereka,
sampai pada akhirnya tujuannya tercapai sempurna.
Pilar Kelima: Semangat Berdakwah
Maksudnya: seorang wanita mempunyai peran dalam berbagi wawasan pengetahuan kepada sesama
wanita melalui komunitas masyarakat, baik itu di sekolah ataupun di kampus, juga baik itu pada jenjang
pasca sarjana maupun pada jenjang yang di bawahnya dari sekian jenjang pendidikan yang beraneka
ragam.
Bisa pula melalui komunitas masyarakat antar wanita, saling mengunjungi yang di dalamnya ada obrolan
yang bermanfaat.
Alhamdulillah, Kami mendapatkan informasi bahwa sebagian wanita mempunyai peran yang sangat
besar dalam hal ini dengan memunculkan banyak majelis khusus wanita demi mengkaji ilmu-ilmu syariat
atau bahasa Arab.
Tidak diragukan lagi, ini merupakan perkara baik yang seorang wanita patut dipuji atas usahanya
tersebut dan akan menjadi pahala abadi baginya kelak setelah meninggal. Hal ini berdasarkan sabda
Nabi صلى الله عليه وسلم: "Apabila seorang manusia mati, niscaya amalnya akan terputus kecuali tiga amalan: sedekah
jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya."
Apabila seorang wanita aktif di masyarakatnya dengan berdakwah di sela-sela kunjungan yang dia
lakukan, atau pada perkumpulan di sekolah-sekolah, atau di tempat lainnya, maka ia akan sangat
berpengaruh dan memberi sumbangsih yang cukup luas dalam mereformasi masyarakatnya.
Inilah yang bisa saya sampaikan pada saat ini terkait peran wanita dalam mereformasi masyarakat
beserta beberapa pilar pendukung yang bisa mewujudkan perbaikan tersebut.
Saya memohon kepada Allah agar menjadikan kita semua sebagai orang yang memberi petunjuk dan
menerapkan petunjuk, termasuk orang saleh dan mampu memperbaiki orang lain, serta memberikan
rahmat-Nya kepada kita semua; sungguh Dia Maha Pemberi. Segala puji hanya milik Allah, Tuhan
seluruh alam. Semoga selawat serta salam tercurahkan kepada Nabi kita, Muhammad, beserta para
keluarga, sahabat, dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan sebaik-baiknya sampai hari Kiamat.
*
Fatwa-fatwa Penting Terkait Wanita
Pertanyaan (1) :
Di salah satu kuliah, ada yang berfatwa kepada para mahasiswi bahwa naik kendaraan bersama sopir
bukanlah suatu khalwat (berdua-duaan), dan para ulama berbeda pendapat mengenai hal tersebut.
Bahkan, jikalau ini termasuk khalwat, maka masuk dalam kategori sadd aż-żarī'ah (bentuk pencegahan
atau antisipasi); sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul-Qayyim. Bagaimana menurut Anda mengenai
permasalahan ini, wahai Syekh?
Jawabannya:
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Segala puji hanya milik Allah,
Tuhan alam semesta. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita, Muhammad,
beserta keluarganya, para sahabatnya, dan orang-orang yang mengikuti mereka dalam kebaikan hingga
hari Kiamat.
Ada sebuah hadis valid dari Rasulullah صلى الله عليه وسلمbahwa beliau bersabda, "Janganlah kalian berkhalwat
dengan wanita." Para sahabat bertanya, "Wahai Rasulullah! Bagaimana menurut Anda jika dengan
seorang ipar?" Beliau menjawab, "Ipar adalah kematian." Yakni seseorang harus waspada terhadapnya
sebagaimana ia waspada terhadap kematian.
Ungkapan ini termasuk bentuk redaksi yang paling kuat maknanya dalam teguran dan larangan karena
menghindari kematian merupakan hal yang wajar sesuai tabiat manusia, bahkan ia juga tabiat hewan.
Jika tindakan berdua-duaan antara ipar -yaitu saudara suami- dan istri saudaranya dianggap sebagai
kematian, maka ini berarti seseorang harus menjauhinya.
Hadis lain dari beliau bahwa beliau pernah berkhotbah, lalu bersabda, "Seorang laki-laki tidak boleh
berdua-duaan dengan seorang wanita, kecuali wanita itu didampingi oleh mahramnya."
Sedangkan seorang wanita dalam kondisi sendirian bersama sopir yang bukan mahramnya, meskipun
sebagian ulama mengatakan bahwa hal itu bukan termasuk khalwat, namun jika bukan termasuk khalwat,
maka ia lebih buruk; sebab seorang sopir bisa leluasa melakukan apa saja di dalam mobil. Banyak
pertanyaan yang ditujukan kepada kami mengenai hal ini yang membuktikan betapa bahayanya hal
semacam ini.
Siapa pun yang merasa mampu menjaga dirinya, maka setan dalam keadaan ini tetap mengalir di
pembuluh darah, ia akan menipu dan membujuknya. Jika tidak terjadi fitnah di awal-awal, maka bisa saja
akan terjadi pada kedua kalinya atau ketiga kalinya.
Adapun memberikan fatwa kepada sebagian kaum wanita tentang kebolehan hal itu berdasarkan
perbedaan pendapat para ulama, maka jika kita hendak menjadikan perbedaan ulama sebagai sarana
untuk berfatwa membolehkan sesuatu yang jelas-jelas diharamkan oleh dalil-dalil, maka akan terjadi
banyak kerusakan dan kita akan menjadi golongan yang gemar mencari-cari keringanan dalam
beragama.
Para ulama -raḥimahumullāh- telah menyatakan bahwa mencari-cari keringanan hukumnya haram, dan
seseorang tidak boleh mencari-cari keringanan dari pendapat para ulama. Sebaliknya, ia wajib mengikuti
mana yang sesuai dengan dalil, entah itu statusnya wajib, haram, atau mubah.
Sedangkan pernyataan penanya bahwa pengharaman khalwat hanya sekadar bentuk pencegahan atau
antisipasi, maka kita katakan kepadanya: Apa dalil Anda bahwa ini termasuk bentuk pencegahan atau
sekadar antisipasi?
Bisa saja ia termasuk kategori tujuan yang harus dicapai, bukan termasuk sarana lagi. Nabi صلى الله عليه وسلم
mengharamkan khalwat dengan wanita itu sendiri atau karena khalwatnya, bukan karena ia akan menjadi
sarana menuju perzinaan, melainkan menghindari khalwat ini termasuk tujuan yang mesti dicapai dalam
syariat ini. Dengan demikian, tidak tepat bantahan dalil yang disampaikan oleh penannya dari kutipan
pernyataan Ibnul-Qayyim -raḥimahullāh- bahwa sesuatu yang diharamkan karena bisa menjadi sarana ke
perkara yang haram, maka akan menjadi mubah saat dibutuhkan. Para ulama mencontohkannya dengan
jual beli kurma muda dengan kurma kering; ini hukumnya haram, tetapi saat dibutuhkan hukumnya boleh
sebagaimana yang berlaku pada jual beli al-'Arāyā. Mereka juga mencontohkannya dengan penggunaan
bejana yang dilapisi sedikit perak karena butuh untuk menambal bagian yang retak; ini hukumnya boleh,
padahal minum menggunakan bejana yang terbuat dari emas dan perak atau ada sedikit lapisan salah
satunya hukumnya haram.
Apapun alasannya, kita sampaikan bantahannya sebagai berikut:
Pertama: Siapakah yang mengatakan bahwa permasalahan ini (khalwat) termasuk kategori bentuk
pencegahan atau antisipasi, dan merupakan salah satu bentuk pengharaman sarana?
Kedua: Kita katakan bahwa kuatnya faktor dalam diri seseorang terhadap fitnah wanita bisa menjadikan
khalwat ini sebagai sebuah tujuan serta maksud yang harus dihindari di dalam syariat ini, terlebih jika
sopirnya masih muda dan penumpang wanitanya pun demikian.
*
Pertanyaan (2):
Bagaimana hukum seorang wanita yang suaminya tidak rela jika dirinya berhijab di hadapan
saudara-saudaranya? Apakah ia boleh membuka wajahnya dengan tetap menutup seluruh bagian tubuh
lainnya?
Jawabannya:
Tidak boleh, bahkan ia wajib menutup wajahnya, entah itu suaminya rela atau tidak. Tetapi, wanita
tersebut harus memberikan penjelasan yang baik kepada suaminya bahwa menampakkan wajah di
depan laki-laki yang bukan mahram hukumnya haram sampai ia benar-benar menerimanya. Namun bila
tidak menerima juga, maka yang wajib baginya adalah berharap rida Allah جل جلاله, walaupun manusia marah
kepadanya; karena barang siapa yang mencari rida Allah meski manusia murka, niscaya Allah akan
menjaganya dari kemurkaan manusia, dan barang siapa yang mencari rida manusia meski Allah murka,
niscaya Allah akan murka padanya sekaligus menjadikan manusia murka kepadanya.
Seorang istri atau siapa pun tidak boleh menyelisihi perintah Allah جل جلاله demi meraih kerelaan suami atau
yang lainnya dari kalangan manusia.
*
Pertanyaan (3):
Ada seorang wanita hamil yang diceraikan oleh suaminya setelah perseteruan di antara keduanya.
Setelah beberapa waktu, ia menceraikannya untuk kedua kalinya sebanyak tiga kali sekaligus setelah
keduanya berseteru, lalu meneleponnya dua atau tiga kali seraya berkata, "Tempo lalu saya pernah
menceraikanmu dengan tiga kali sekaligus, saat itu aku sedang marah, dan sekarang kamu saya
ceraikan sejuta sekaligus." Pertanyaannya: Apakah wanita tersebut diceraikan sejuta kali, atau seperti
apa?
Jawabannya: Ia tidak diceraikan sebanyak sejuta kali karena bilangan talak (cerai) di dalam syariat hanya
tiga kali. Akan tetapi, jika terbukti bahwa talak yang kedua dalam kondisi sangat emosi dan tidak
terbendung, maka tidak berlaku, sehingga talak yang berlaku hanya pada awal di saat ia hamil dan talak
yang terakhir pada saat dirinya sadar, tetapi ia menggunakan redaksi angka sejuta daripada satu.
Dalam keadaan semacam ini, kami katakan: Jika mereka berdua masih memiliki problem dalam masalah
ini, silakan menelepon kami agar bisa menentukan hukum yang tepat dalam menyampaikan fatwa
kepada mereka.
*
Pertanyaan (4):
Seorang wanita bertanya mengenai suaminya yang tidak mendirikan salat berjemaah, namun hanya salat
di rumah: Apakah wanita itu tetap tinggal bersamanya atau meminta agar status pernikahan difasakh?
Jawabannya:
Wanita tersebut jangan meminta pemfasakhan status pernikahannya, maksudnya ia tidak harus meminta
pembatalan pernikahan, ia masih berhak tinggal bersamanya, tetapi ia wajib menasihatinya
terus-menerus dan membuatnya takut kepada Allah.
Ia hendaknya menjelaskan kepadanya hukuman bagi orang yang tidak salat secara berjemaah,
menerangkan padanya pahala salat berjemaah, dan bahwa salat berjemaah lebih utama daripada salat
sendirian sebanyak dua puluh tujuh derajat; semoga Allah memberikan petunjuk kepadanya melalui
istrinya tersebut.
*
Pertanyaan (5):
Apakah abaya (gamis perempuan) yang ada bordirannya termasuk tabarruj?
Jawabannya:
Tidak diragukan lagi bahwa mengenakan abaya atau selendang yang ada bordirannya termasuk tabarruj
dengan hiasan, sedangkan Allah -Ta'ālā- telah berfirman kepada istri-istri Nabi صلى الله عليه وسلم, "Hendaklah kamu
tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias (bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyah dahulu."
(QS. Al-Aḥzāb: 33). Allah جل جلاله juga berfirman, "Janganlah mereka menghentakkan kakinya agar diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan." (QS. An-Nūr: 31).
Apabila Allah جل جلاله melarang istri-istri Nabi صلى الله عليه وسلمberhias dengan gaya orang-orang Jahiliah dahulu serta
melarang istri-istri kaum mukminin menghentakkan kaki mereka yang tujuannya untuk diketahui
perhiasan yang mereka sembunyikan, maka hal ini menunjukkan bahwa segala sesuatu yang
mengandung makna perhiasan tidak boleh ditampakkan dan diperlihatkan; sebab termasuk memamerkan
kecantikan.
Selain itu, perlu diketahui bahwa setiap kali pakaian wanita jauh dari fitnah, maka itu lebih utama dan baik
baginya, serta lebih menjadikannya takut kepada Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- dan mencintai-Nya.
*
Pertanyaan (6):
Apa hukum seorang wanita yang mengonsumsi pil penunda kehamilan demi menyelesaikan studi atau
menunda kehamilan karena memiliki anak yang masih kecil, tetapi suaminya tidak menginginkan hal itu
dan tetap menginginkan agar dirinya tetap bisa hamil?
Jawabannya: Kita katakan bahwa seorang wanita tidak boleh memakai obat pencegah kehamilan kecuali
atas kerelaan suaminya, apa pun alasannya. Sama halnya dengan seorang suami, ia tidak boleh
melakukan hal yang mencegah dirinya memiliki anak kecuali atas kerelaan istrinya.
Karena itu, para ulama mengatakan, "Seorang suami dilarang melakukan azl (mengeluarkan mani di luar)
kecuali atas izin istrinya."
Akan tetapi, bila seorang suami mengizinkannya, bagaimana hukumnya mengonsumsi pil penunda
kehamilan?
Menurut saya -berdasarkan yang pernah saya dengar dari para ahli medis- bahwa mengharamkannya itu
lebih tepat daripada menghalalkannya. Hal itu dikarenakan ia sangat berbahaya bagi rahim, darah, serta
kehamilannya kelak di masa mendatang.
Banyak wanita hamil yang melahirkan janin yang cacat, di antara penyebabnya ialah karena sang wanita
mengonsumsi pil tersebut, seperti itu yang disampaikan kepada kami.
Bila seandainya tidak berbahaya sekalipun, maka itu hanya perkiraan yang tidak nyata karena
seharusnya seorang wanita tidak menggunakan apa pun yang menghambat kehamilannya, karena Nabi
صلى الله عليه وسلمmemotivasi agar menikahi wanita penyayang lagi subur dengan tujuan agar melahirkan banyak
anak.
Di samping itu, semakin jumlah umat ini banyak, maka semakin bertambah kemuliaan dan
kemandiriannya. Karena itulah, Syu'aib mengingatkan kaumnya terkait nikmat tersebut seraya berkata,
"Ingatlah ketika kamu dahulunya sedikit, lalu Allah memperbanyak jumlah kamu." (QS. Al-A'rāf: 86). Allah
-Subḥānahu wa Ta'ālā- mengingatkan Bani Israel mengenai nikmat tersebut; Dia berfirman, "Kami telah
jadikan kamu kelompok yang lebih besar." (QS. Al-Isrā`: 6).
Umat-umat di masa kini juga saling membanggakan jumlah individunya; sebab jumlah yang banyak
-sebagaimana yang disebutkan- mengandung kekuatan, kemuliaan, dan kemandirian umat.
*
Pertanyaan (7):
Apa hukum seorang suami yang enggan menanggung biaya pengobatan istrinya dengan alasan bahwa
ia sudah punya gaji sendiri?
Jawabannya:Seorang suami tidak layak bersikap pelit terhadap istrinya terkait urusan semacam ini jika ia
kaya dan mampu. Adapun jika kondisi suami biasa-biasa saja, sementara istrinya memiliki harta yang
cukup lantaran statusnya seorang pegawai,
maka sang suami berhak menolak hal itu, terlebih jika pengobatannya memerlukan biaya yang besar.
Dalam masalah ini terdapat perbedaan pendapat di kalangan ahli fikih. Ada yang berpendapat bahwa
obat dan pengobatan tidak wajib sedikit pun dibebankan kepada suami. Ada juga pendapat yang
membedakan antara kebutuhannya yang banyak atau sedikit. Ada pula pendapat yang membedakan
antara satu adat yang berlaku dan adat lainnya; jika ada kebiasaan di kalangan masyarakat bahwa suami
memberi nafkah istri dalam bentuk seperti itu, maka saat itu suami wajib menanggungnya, namun bila
bukan termasuk adat orang-orang di situ, maka tidak wajib.
Hal yang terpenting bahwa rujukan dalam masalah ini ialah jika ada perseteruan maka serahkan
perkaranya ke pengadilan. Tetapi bila tidak ada perseteruan, maka berdamai lebih layak bagi kedua
belah pihak, sehingga keduanya berdamai.
*
Pertanyaan (8):
Ada dua saudara perempuan, keduanya saling bertukar dalam menyusui anak-anaknya, lantas
bagaimana status hukum saudara-saudara mereka?
Jawabannya:Apabila seorang wanita menyusui seorang anak, maka anak tersebut menjadi anaknya
(sepersusuan) dan putra-putrinya menjadi saudara (sepersusuan) bagi anak tersebut. Adapun
saudara-saudaranya atau ayah ibunya ke atas, maka tidak memiliki pengaruh status apa-apa.
Kita contohkan misalnya nama anak salah satu dari dua perempuan bersaudara ini adalah Khalid,
sedangkan nama anak perempuan satunya adalah Muhammad. Apabila Muhammad disusui oleh ibunya
Khalid, maka statusnya akan menjadi saudara bagi semua anaknya yang laki-laki maupun perempuan.
Sebaliknya, jika Khalid disusui oleh ibu Muhammad, maka statusnya akan menjadi saudara bagi semua
anaknya yang laki-laki maupun perempuan. Adapun hubungan antara saudara-saudara Khalid dan
saudara-saudara Muhammad, maka tidak ada hubungan sepersusuan sama sekali. Begitu juga
sebaliknya berdasarkan kaidah yang pernah kita sampaikan, yaitu bahwa hukumnya berlaku hanya pada
yang menyusui dan keturunannya, bukan kepada ayah dan ibunya, tidak pula kepada
saudara-saudaranya serta paman-pamannya.
*
Pertanyaan (9):
Seorang wanita ditalak oleh suaminya sebanyak dua kali, kemudian suaminya merujuknya. Setelah itu,
tersingkap bahwa ternyata talak yang terakhir itu statusnya sudah talak tiga, sementara dirinya setelah
talak tersebut mempunyai anak. Bagaimana status hukum anak-anaknya?
Jawabannya:Aِnak-anak tersebut merupakan anak-anak sah bagi laki-laki yang baru tahu bahwa ia telah
menalak istrinya tiga kali; karena sebelumnya ia tidak tahu, atau lupa bilangan talaknya. Jadi, status
anak-anak tersebut sah secara syariat, disandarkan kepada ayah mereka secara nasab yang sahih;
karena mereka termasuk dari hasil jimak syubhat.
Demi sikap kehati-hatian terhadap nasab, maka syariat menjadikan status jimak syubhat itu seperti jimak
yang halal dan sah.
*
Pertanyaan (10):
Seorang istri ditalak suaminya sebanyak dua kali, kemudian ia meminta agar ditalak tiga, namun
suaminya enggan dan istrinya bersikukuh memintanya. Suaminya lantas berkata, "Statusmu tertalak
pada hari Rabu nanti." Kala itu masih hari Sabtu, namun di antara hari Sabtu dan Rabu, suami menarik
kembali pernyatannya. Apakah bentuk rujuk semacam ini sah dan tidak jatuh talak?
Jawabannya:Seorang suami yang menggantungkan talak istrinya pada sebuah waktu dengan berkata:
jika tiba hari Rabu, maka statusmu ditalak, atau jika masuk musim semi, maka statusmu ditalak, atau
redaksi yang semisal ini;
maka suami tersebut tidak berhak merujuknya, melainkan jika tiba waktu yang ia tentukan talaknya, maka
talaknya berlaku. Dengan demikian, kita katakan
bahwa pernyataan suami: "Jika tiba hari Rabu, maka statusmu ditalak"; bila niatnya adalah menjatuhkan
talak, maka saat tiba hari Rabu, talak tersebut jatuh walaupun sebelumnya sudah dirujuk.
Adapun bila maksud dari pernyataanya 'statusmu ditalak' adalah: saya akan menalakmu pada hari Rabu,
sehingga statusmu ditalak pada hari Rabu dengan talak yang akan saya ucapkan pada hari Rabu
tersebut; namun saat hari Rabu tiba, ia tidak menalaknya, maka tidak ada dampak hukum apa pun,
karena gambaran yang terakhir itu sebatas janji, bukan menggantung status hukum.
Jika ia berkata: "Jika tiba hari Rabu, saya akan menalakmu"; namun ketika tiba hari Rabu, ia tidak
menalaknya, maka talak tidak jatuh.
*
Pertanyaan (11):
Apa hukum ciuman seorang ayah, paman (dari pihak ayah), dan paman (dari pihak ibu) di wajah?
Sepertinya wanita ini bertanya tentang hukum laki-laki yang mencium putrinya, atau putri saudarinya,
atau putri saudaranya di wajahnya.
Jawabannya:
Hukum asalnya adalah boleh, tetapi jika dikhawatirkan terjadi fitnah, maka tidak boleh; sebab syariat ini
telah menutup pintu semua sarana yang mengarah ke berbagai jenis fitnah. Sebab itu, kita katakan:
Seorang laki-laki yang mencium pipi putrinya atau dahinya tidak mengapa; karena status bahaya
fitnahnya cukup jauh.
Adapun untuk keponakan laki-laki, sepupu laki-laki dari pihak ayah, dari pihak ibu, dan yang semisalnya,
maka bisa jadi akan timbul fitnah. Oleh karena itu para ulama menyatakan bahwa seorang laki-laki
mencium keponakan perempuannya atau bibinya pada wajahnya hukumnya makruh. Sedangkan ayah
atau anak laki-lakinya, maka bahaya fitnah pada mereka cukup jauh, sehingga dimubahkan.
*
Pertanyaan (12):
Bagaimana hukum bermakmum mengikuti imam melalui televisi, yakni seseorang mengerjakan salat di
belakang imam melalui tampilannya di televisi?
Jawabannya:Perbuatan ini tidak boleh karena imam dan makmum harus berada dalam satu tempat. Jika
keduanya bukan di satu tempat, maka harus ada saf-saf yang menyambung antara keduanya sampai
terlihat benar-benar berjemaah dalam tempat dan gerakan.
Kita ketahui bersama bahwa salat dengan bermakmum melalui televisi tidak memenuhi syarat tersebut,
sehingga seseorang tidak boleh mengikuti imam melalui tampilan televisi.
*
Pertanyaan (13):
Bagaimana tata cara menangkal keburukan penyihir, padahal telah diyakini bahwa sihir itu akan terjadi
dalam waktu dekat?
Jawabannya: Seseorang bisa menangkalnya jika perkara sihir ini benar-benar bisa dibuktikan melalui
indikasi-indikasi yang kuat lagi nyata, seperti ada bukti bahwa penyihir tersebut melakukan aktivitas
sihirnya, sehingga dalam kondisi ini dai bisa dilarang melakukannya. Namun pada momen kali ini, saya
ingin memperingatkan tentang perasaan was-was yang tersebar di kalangan masyarakat.
Sampai-sampai kalau ada orang yang terkena flu, ia langsung dianggap terkena sihir, terkena penyakit
'ain, atau vonis lain yang semisalnya.
Karenanya, banyak orang mengeluh dirinya terkena 'ain atau sihir, padahal bisa jadi itu sekadar rasa
was-was dan khayalan semata, bukan kenyataan. Jadi, seorang manusia harus kuat tawakalnya kepada
Allah, jangan sampai menuruti was-was dan khayalan-khayalan itu.
*
Pertanyaan (14):
Mengenai cincin tunangan: apakah hal ini termasuk tindakan menyerupai kaum Nasrani?
Jawabannya: Ada yang mengatakan bahwa tukar cincin tunangan termasuk adat kebiasaan kaum
Nasrani. Jika memang demikian, maka orang yang menyerupai suatu kaum, ia termasuk dari golongan
mereka. Akan tetapi, jika tujuannya adalah seorang suami memberikan hadiah cincin emas untuk istrinya,
maka tidak ada dalil yang menyatakan bahwa itu termasuk keyakinan yang rusak.
Adapun tindakan sebagian suami memberikan hadiah kepada istrinya sebuah cincin yang bertuliskan
nama suami, lalu sang suami pun mendapatkan dari istrinya cincin emas atau perak yang tertera nama
istrinya di situ; hal ini tidak boleh, sebab ini dilakukan atas dasar keyakinan yang rusak. Yaitu keyakinan
bahwa selama tertulis nama istrinya di cincin itu, lalu dipakai oleh suami atau pun sebaliknya, maka
hubungan mereka akan langgeng. Tentu hal ini batil, sama sekali tidak ada dalilnya. Di samping itu,
penggunaan cincin emas bagi laki-laki -bagaimanapun kondisinya- hukumnya haram, sebab Nabi صلى الله عليه وسلم
telah mengharamkan emas bagi kaum laki-laki di kalangan umat ini dan menghalalkannya bagi kaum
wanitanya.
*
Pertanyaan (15):
Apa hukum seorang suami memukul istrinya tanpa sebab?
Jawabannya: Tindakan suami yang memukul istrinya tanpa sebab hukumnya haram; sebab ini
merupakan bentuk kezaliman terhadapnya. Allah جل جلاله hanya membolehkan suami memukul istri karena
satu alasan,
sebagaimana firman-Nya, "Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan melakukan nusyūz,
hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang) dan
(kalau perlu) pukullah mereka." (QS. An-Nisā`: 34).
Pada kondisi seperti ini, istri berhak meminta diceraikan karena sikap zalim suami kepada dirinya.
Akan tetapi, dalam kasus ini saya melihat bahwa jika memang permasalahannya tidak bisa diberikan
solusi antara suami dan istrinya, maka istri boleh meminta bantuan walinya: ayahnya, saudara
laki-lakinya, atau yang lainnya agar ikut serta menyelesaikannya, sehingga bisa mendamaikan keduanya.
*
Pertanyaan (16):
Bagaimana hukum wanita yang bermudah-mudahan dalam bersuci, sehingga berakibat pada penundaan
salat dari waktunya?
Jawabannya: Wanita tersebut telah melakukan dosa besar, ia harus bertobat kepada Allah -Subḥānahu
wa Ta'ālā- dan selanjutnya harus berusaha menunaikan salat tepat waktu sesuai dengan yang
diperintahkan oleh Allah dan Rasul-Nya.
Kita memohon kepada Allah agar membimbing kita dan dirinya untuk melakukan tobat yang
sesungguhnya, serta menjadikan kita termasuk orang-orang baik dan mampu mengamalkan apa yang
membuat-Nya rida. Hanya Allahlah tempat memohon petunjuk.
*
Pertanyaan (17):
Seorang wanita tiba di Jedah guna mengunjungi putrinya, ia sama sekali tidak ada keinginan untuk
umrah, kemudian setelah itu muncul keinginan umrah, lantas dari mana ia mulai berihram?
Jawabannya:
Kita katakan bahwa wanita itu melakukan ihram sejak di Jedah, karena ketika Nabi صلى الله عليه وسلمmenentukan
mikat-mikat (tempat mulai berihram), beliau bersabda, "Tempat-tempat itu bagi penduduknya dan selain
penduduknya yang melewatinya untuk beribadah haji atau umrah. Barang siapa yang berada di dalam
itu, maka ia berihram dari tempatnya, hingga penduduk Makkah pun berihram dari Makkah."
Sabda beliau: "Barang siapa yang berada di dalam itu", maksudnya tempat setelah mikat-mikat tersebut.
Sabda beliau: "Maka ia berihram dari tempatnya", maksudnya dari tempat berniat itu, hingga penduduk
Makkah pun berihram dari Makkah.
*
Pertanyaan (18):
Apakah wanita wajib berdakwah? Lalu dalam bidang apa saja dia berdakwah?
Jawabannya:
Kita harus mengetahui sebuah kaidah, yaitu segala sesuatu yang berlaku bagi kaum laki-laki, maka
berlaku pula bagi kaum wanita, kecuali jika ada dalil yang mengecualikannya.
Contoh dalil yang menunjukkan amalan khusus bagi kaum laki-laki: bahwa Aisyah -raḍiyallāhu 'anhāberkata,
"Wahai Rasulullah! Apakah seorang wanita wajib berjihad?" Beliau menjawab, "Mereka wajib
berjihad yang tidak ada peperangannya, yaitu ibadah haji dan umrah."
Hal ini menunjukkan bahwa jihad melawan musuh-musuh Allah hukumnya wajib bagi kaum laki-laki,
namun tidak wajib bagi kaum wanita.
Nabi صلى الله عليه وسلمjuga pernah bersabda, "Saf terbaik kaum laki-laki adalah saf yang pertama, dan yang terburuk
adalah saf terakhir; sedangkan saf terbaik kaum wanita adalah saf terakhir, dan yang terburuk adalah saf
pertama."
Jadi, hukum asalnya ialah apa pun yang berlaku bagi kaum laki-laki maka berlaku pula bagi kaum wanita,
baik itu dalam hal perintah ataupun larangan; dan sebaliknya, apa pun yang berlaku bagi kaum wanita,
maka berlaku pula bagi kaum laki-laki.
Karena itu, barang siapa yang menuduh seorang laki-laki berzina, maka si penuduh layak untuk
dicambuk sebanyak delapan puluh kali, meskipun ayat hanya berbicara tentang kaum laki-laki yang
menuduh kaum wanita baik-baik (melakukan zina) dan tidak terlintas di benaknya untuk berbuat keji.
Allah -Ta'ālā- berfirman, "Orang-orang yang menuduh perempuan-perempuan yang baik (berzina) dan
mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka delapan puluh kali." (QS. An-Nūr:
4).
Kemudian kita melihat amalan dakwah di jalan Allah جل جلاله; apakah ini khusus bagi kaum laki-laki atau umum
berlaku bagi semua kalangan?
Hal yang tersurat dalam Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya صلى الله عليه وسلمadalah bahwa dakwah ini hukumnya
berlaku umum bagi semua kalangan, tetapi medan dakwah kaum wanita tidaklah sama dengan medan
dakwah kaum laki-laki. Seorang wanita berdakwah kepada Allah -Ta'ālā- di komunitas sesama wanita,
tidak di komunitas laki-laki.
Ia berdakwah di medan yang memungkinkan dirinya berdakwah, yaitu komunitas wanita, baik di
sekolah-sekolah atau di masjid-masjid.
*
Pertanyaan (19):
Suamiku menyuruhku untuk melanjutkan studi agar aku bisa menjadi seorang dai di kalangan wanita,
sementara aku sendiri ingin fokus mengurus rumah dan anak-anak, tidak ingin lanjut studi. Apakah
sebuah tindakan bijak jika aku mematuhi perintah suami, atau meninggalkan studiku?
Jawabannya:
Menurut saya, sebaiknya Anda sebagai istri melihat maslahat, apakah rumah Anda benar-benar sangat
membutuhkan Anda untuk menetap di dalamnya? Seperti: anak-anak yang masih kecil dan memang
butuh perhatian lebih dari Anda. Jika demikian, maka keberadaan Anda di rumah lebih utama daripada
keluar melanjutkan studi; karena Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda, "Mulailah dari dirimu sendiri."
Anda dituntut dan diharapkan agar bisa mengasuh anak-anak serta menjadikan suasana rumah baik. Ini
hukumnya wajib.
Sedangkan berdakwah kepada Allah جل جلاله hukumnya fardu kifayah, sudah ada yang menunaikannya dari
kalangan wanita lainnya. Namun, bila memungkinkan untuk menggabungkan antara keduanya, yaitu
Anda juga menjadi seorang dai meskipun tidak harus di sekolah, maka ini bagus.
Pada momen ini, saya ingin memperingatkan saudara-saudaraku yang mendatangkan para pembantu,
entah itu mereka muslimah atau bukan muslimah; sebab mendatangkan pembantu dapat menimbulkan
berbagai kerusakan.
Di antara kerusakan tersebut adalah: 1- Kebanyakan dari mereka datang tanpa mahram, sementara safar
seorang wanita tanpa mahram terlarang, sebagaimana yang tertera dalam aṣ-Ṣaḥīḥain dari hadis Ibnu
Abbas -raḍiyallāhu 'anhumā-, bahwasanya Nabi صلى الله عليه وسلمbersabda,
"Janganlah seorang wanita bersafar kecuali didampingi oleh mahramnya."
2- Pembantu wanita ini bisa melihat privasi rumah dan mengetahuinya, dan bisa jadi ia wanita yang
disewa orang lain untuk mengintai kondisi kaum muslimin guna mengetahui privasi mereka.
3- Dengan adanya pembantu, kaum wanita nantinya terbiasa bermalas-malasan, santai, dan enggan
beraktivitas. Ini sangat berbahaya bagi kaum wanita, bahkan bagi pemikiran mereka; sebab seorang
wanita nanti hanya akan duduk di rumah, tidak memiliki kesibukan apa pun, sehingga pikirannya menjadi
tumpul, serta ingatannya melemah.
4- Sebagian pembantu masih muda dan cantik, sehingga menimbulkan fitnah, entah itu pada suaminya
sendiri atau anak-anaknya jika ia mempunyai anak. Hal ini telah kami dengar dari banyak orang yang
mendapatkan kerusakan karenanya.
5- Kebanyakan pembantu itu datang ke kumpulan laki-laki di rumah dalam kondisi wajah mereka terbuka,
tangannya, lengannya, kakinya, atau betisnya pun kadang tersingkap. Semua ini hukumnya haram dan
terlarang.
Jadi, hal yang mesti kita waspadai secara maksimal adalah mendatangkan para pembantu. Namun, jika
keadaan mendesak untuk itu, maka harus memenuhi beberapa syarat:
Syarat pertama: Pembantu perempuan itu datang bersama mahramnya.
Syarat kedua: Aman dari fitnah.
Syarat ketiga: Memang kondisi sangat mendesak, yaitu benar-benar butuh untuk mendatangkan
pembantu perempuan ini.
*
Pertanyaan (20):
Bagaimana tata cara seorang wanita berdakwah kepada sesamanya agar berpegang teguh terhadap
agama ini? Apakah lebih utama mengadakan majelis di rumah salah satu dari mereka atau di masjid?
Jawabannya:
Menurut hemat saya, kaum wanita bisa berdakwah kepada Allah sebagaimana kaum laki-laki, namun
karena seorang wanita tidak bisa seleluasa kaum laki-laki dalam beraktivitas di luar rumah, maka
sejatinya tidak sama persis dalam semua sisi. Akan tetapi, kampus ini, yang mengumpulkan wanita yang
cukup banyak, bisa juga menjadi lahan dakwah di jalan Allah di antara sesama wanita itu sendiri.
Adapun persoalan bermajelis di rumah-rumah untuk belajar bagi kaum wanita, maka aku belum bisa
menjawab; karena jika saya membandingkan antara kelebihan-kelebihannya yang bermanfaat dan
hal-hal yang dikhawatirkan dari bahayanya, maka saya katakan:
Pertama: Seorang wanita hendaknya tetap berada di dalam rumahnya, belajar dan membaca buku-buku
semampunya, kecuali jika rumah para wanita tersebut saling berdekatan, seperti tetangga yang rumah
mereka berdempetan, maka kondisi ini lebih mudah (boleh untuk bermajelis).
Sedangkan bila ia harus naik mobil atau pergi ke tempat yang jauh untuk bermajelis di rumah wanita
lainnya, dalam hal ini saya belum bisa menjawab, dan saya perlu beristikharah terlebih dahulu kepada
Allah -Subḥānahu wa Ta'ālā- untuk bisa menjawabnya.
Terkait sesi pertanyaan ini, kita cukupkan sampai di sini karena sudah masuk waktu azan. Kita memohon
kepada Allah agar menjadikan jawaban-jawaban ini bermanfaat dan mendekatkan diri kita kepada Allah
-Subḥānahu wa Ta'ālā-.
*
Peran Wanita dalam Mereformasi Masyarakat dan Fatwa-fatwa Penting Terkait Wanita Muslimah
Mukadimah
Urgensi Peran Wanita dalam Mereformasi Masyarakat
Pilar-pilar Reformasi Wanita dalam Masyarakat
Fatwa-fatwa Penting Terkait Wanita