Artikel

PENEBUS GHIBAH


Terkait dengan penebus ghibah, apakah cukup dengan


mengucapkan:


ﻤالسلﻤات 􀇐 ﻤالؤمنات ﻤالسلﻤ 􀇐 رب اغفﺮ ل وللﻤؤمن


‘Wahai Tuhanku, ampunilah daku serta orang-orang mukmin lakilaki


dan perempuan, muslim laki-laki dan perempuan’


Untuk memintakan ampunan bagi orang yang dighibahi ataukah


harus menyebut namanya dalam mendoakannya?


Alhamdulillah


Ghibah merupakan dosa besar, tidak diragukan bahwa


semua umat Islam telah mengetahui akan hal ini, mengetahui


bahwa orang yang berbuat ghibah terhadap seseorang akan


mendapatkan siksa di sisi Allah Ta’ala. Bahaya dosa ini dilihat


dari dua sisi;


1. Perkara ini terkait dengan hak seorang hamba, maka


masalahnya mengandung bahaya besar. Karena dengan


demikian dia telah berbuat aniaya dan zalim kepada seseorang.


2. Perkara ini merupakan kemaksiatan yang sangat mudah


dilakukan kebanyakan orang kecuali orang yang diselamatkan


oleh Allah. Sesuatu yang mudah menurut perkiraan orang


biasanya dianggap ringan, padahal di sisi Allah sangat besar.


Terkait dengan tebusan ghibah, ada beberapa perkara


penting yang layak diperhatikan;


Pertama; Telah disebutkan di website kami berbagai fatwa


yang menjelaskan bahwa tebusan ghibah dilakukan dengan


memintakan ampunan untuk orang yang dighibahi, berdoa


kebaikan untuknya, memujinya di tempat yang dighibahi. Untuk


mengingatkan fatwa-fatwa dan membaca perkataan para


3


ulama, pembaca yang mulia diharapkan merujuk ke nomornomor


berikut ini, 6308, 23328, 52807, 65649.


Kedua; Sesungguhnya ketentuan bahwa istigfar itu sebagai


penebus ghibah, tidak berarti (kalau telah melaksanakannya) itu


sudah cukup. Karena asal dosa itu sendiri tidak dapat dihapus


melainkan dengan taubat yang jujur yang disertai dengan


meninggalkan (dosa), menyesal, tidak mengulangi dan


kejujuran hati dalam berinteraksi dengan Sang Pencipta Allah


Subhanahu wa Ta'ala. Bagi orang yang telah melakukannya,


diharapkan dengan taubat ini Allah menghapuskan dosadosanya


dan mengampuni kesalahannya. Adapun terkait


dengan hak-hak seorang hamba dan kezaliman kepada


makhluk. Maka tidak (dapat) dihapuskan melainkan orang


(tersebut) telah memaafkan dan menghapuskannya. Dalil


tersebut telah ada dalam sunnah Nabi sallallahu’alaihi wa


sallam ketika beliau bersabda:





“Siapa yang mempunyai kezaliman kepada saudaranya baik


dari kehormatan atau sesuatu hal, maka mohonlah dihalalkan


darinya sekarang (pada hari ini) sebelum tidak berguna lagi


dinar dan dirham. Kalau dia mempunyai amal shaleh, maka


akan diambil darinya sesuai dengan kadar kezalimannya. Kalau


tidak mempunyai kebaikan, maka keburukan orang tersebut


akan diambil dan dibebankan kepadanya.” (HR. Bukhari, no.


2449)


Terdapat perintah untuk meminta dihalalkan dari kezaliman


sebelum adanya penghitungan pada hari hisab (perhitungan di


hari kiamat). Maka, saat itu tahalul (meminta dihalalkan)


dilakukan dengan menukar kebaikan dengan keburukan. Itu


4


jelas merupakan kerugian yang hakiki bagi orang yang berbuat


zalim terhadap orang, baik harta, kehormatan maupun


darahnya.


Ketiga, seharusnya bagi orang yang ingin terbebaskan


dirinya dari dosa ghibah, selayaknya dia berusaha keras


meminta dihalalkan dari orang yang digunjingi (ghibahi) dengan


memohon dimaafkan olehnya dan dibebaskan dengan kata


lembut dan baik. Dianjurkan mengerahkan sepenuh kekuatan


sesuai dengan kemampuannya. Bahkan jika harus membeli


hadiah mahal dan bernilai, atau memberi bantuan materi, para


ulama telah menegaskan kebolehnnya dalam rangka meminta


dihalalkan terkait tanggungannya kepada orang lain.


Namun, ketika para ulama salafushaleh dan para ahli fiqih


rabbani memandang jika meminta maaf dari seseorang dalam


masalah ghibah kadang– dalam beberapa kondisi –


menyebabkan keburukan yang lebih besar, seperti sakit hati,


atau pemutusan hubungan, benci dan iri hati serta perkara


lainnya yang hanya diketahui Allah saja, maka sebagian ulama


memberi keringanan untuk tidak meminta maaf. Mereka


berharap permintaan itu dapat diganti dengan beristigfar untuk


orang yang dighibahi, mendoakan dan menyanjungnya di saat


dia tidak ada. Meskipun ulama lainnya berpendapat bahwa


ghibah tidak dapat dihapus melainkan pengampunan dari orang


yang dizaliminya. Akan tetapi yang benar adalah, kalau orang


yang terjerumus dalam ghibah bertaubat secara jujur tidak


diharuskan memberitahu orang yang dighibahi, apalagi kalau


khawatir terjadi akibat buruk sebagaimana yang terjadi pada


umumnya.


Jadi memintakan ampunan dosa untuk orang yang dighibahi


adalah uzur khusus dan kondisi darurat yang dalam syariat


diajarkan untuk mengutamakan menghindari kerusakan


dibanding mendatangkan kemaslahatan.


5


Dengan demikian, dapat disimpulkan kekeliruan orang yang meremehkan dosa ghibah secara sengaja dengan alasan bahwa istigfar cukup untuk menghapus kemaksiatan itu. Dia tidak tahu bahwa padanya terjadi kekeliruan dari tiga sisi;


1. Dia lupa bahwa syarat utama taubat adalah menyesal, meninggalkan dan kembali kepada Allah Ta’ala dengan sebenarnya. Persyaratan ini banyak orang yang tidak mendapatkan taufiq untuk merealisasikannya.


2. Pada dasarnya, penghapusan dosa terhadap hak orang lain adalah bersegera memohon maaf darinya. Tapi, jika menurut perkiraan memberitahu orang yang dighibahi akan berdampak negatif yang lebih besar, maka ketika itu merujuk kepada istigfar. Kalau tidak, asalnya adalah memohon maaf kepada orang yang dizaliminya.


3. Hal itu menunjukkan kalau orang yang dighibahi telah sampai berita kepadanya lewat orang lain –pada kondisi seperti ini- maka dia harus langsung meminta maaf. Agar sakit hati orang yang dighibahi dapat hilang. Kalaupun hal tersebut membuat orang itu menjadi tidak suka atau dengki dan tidak memaafkan. Maka tidak ada jalan lain, kecuali memohonkan ampun dan berdoa untuknya.


Keempat, kemudian setelah itu semua, apakah penanya beranggapan bahwa ungkapann istigfar secara umum ‘Allahummagfir lilmu'minina wal mu'minat (Ya Allah ampunilah orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan) cukup untuk menghapus dosa ghibah?


Kami katakan, ketika kita berharap bahwa doa dan istigfar itu dapat menghapus dosa-dosa, seharusnya kita jujur kepada Allah dengan doa ini, iklas dalam meminta, menggapai kepadanya dengan wasilah, mengulang-ulang di tempat-tempat yang mustajabah, kita berdoa di dalamnya dengan semua kebaikan dan barokah baginya untuk dunia dan akhirat. Tidak


6


diragukan lagi bahwa pada kondisi doa seperti ini, mengandung pengkhususan kepada orang yang didoakan, baik dengan menyebutkan namanya atau sifatnya dengan mengatakan ‘Ya Allah ampunilah diriku dan orang yang yang saya ghibahi dan saya zalimi. Ya Allah, maafkan kami dan dia sampai akhir yang mampu anda doakan. Sementara redaksi secara umum, itu sepertinya tidak cukup dalam merealisasikan pengharapan kepada Allah Ta’ala. Sebagaimana anda menggunjingnya dengan (menyebut) nama atau sifatnya dan secara khusus menyakitinya. Begitu juga seyogyanya istigfar dan doa dikhususkan juga. Agar seimbang antara dosa dan kebaikan.


Kelima, Penting diperhatikan bahwa yang dimaksud istigfar dan doa adalah menolak keburukan dengan kebaikan dan membalas dengannya. Maka tidak harus hanya dengan istigfar tanpa amalan lain. Bahkan mungkin anda beramal saleh agar pahalanya anda persembahkan kepada orang yang anda gunjingi. Seperti anda bershodaqah untuknya, memberikan bantuan kepadanya, membantunya saat dia mendapatkan cobaan, sehingga anda berusaha semaksimal mungkin mengganti kejelekan itu.


Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah Ta’la mengatakan dalam kitab Majmu Fatawa, 18/187-189:


“Terkait dengan hak orang yang dizalimi, tidak gugur hanya sekedar bertaubat. Inilah yang benar. Tidak ada perbedaan dalam hal ini, antara pembunuh dan semua pelaku zalim. Barangsiapa yang bertaubat dari kezaliman, tidak hilang hak orang dizalimi hanya dengan bertaubat. Akan tetapi kesempurnaan taubatnya adalah dengan menggantinya sesuai kezalimannya. Kalau tidak diganti di dunia, pasti akan di ganti di akhirat. Pelaku kezaliman diharuskan bertaubat, memperbanyak berbuat kebaikan dan menunaikan hak-hak orang yang dizalimi agar tidak bangkrut. Meskipun begitu, kalau


7


Allah berkehendak mengganti hak orang yang dizalimi dari sisiNya, maka tidak ada yang dapat menolaknya. Sebagaimana (Allah) kalau berkehendak mengampuni (dosa-dosa) selain syirik bagi orang yang dikehendaki. Oleh karena itu dalam hadits Qishas yang mana Jabir bin Abdullah naik (kendaraan) menuju ke Abdullah bin Unais selama sebulan untuk bertamu dengannya.


Telah diriwayatkan oleh Imam Ahmad, 3/495 dan lainnya. Hadits ini dijadikan oleh Bukhari sebagai penguat dalam Shahihnya, dan ia termasuk dalam katagori hadits Tirmizi yang shahih atau hasan, di dalamnya dikatakan,





“Ketika pada hari kiamat, maka Allah kumpulkan semua makhluk di satu tempat. Lalu terdengar orang yang memanggil, terlihat dalam pandangan mata. Kemudian dipanggil dengan suara yang terdengar orang paling jauh sebagaimana orang yang dekat juga mendengar. Aku adalah Raja, Aku Sang Perkasa. Tidak sepatutnya seorang pun dari penduduk neraka masuk neraka sementara dia masih memiliki hak kepada salah seorang dari penduduk surga sampai diqisas (diambil hak darinya). Dan tidak sepatutnya penduduk surga masuk ke surga, sementara dia masih memiliki hak kepada salah seorang penduduk neraka sampai Aku ambil hak darinya.


Dalam shahih Muslim dari haits Abu Said, ‘Sesungguhnya penduduk surga ketika telah melewati jembatan. Mereka


8


berhenti di Qintoroh antara surga dan neraka. Sebagian menyelesaikan hak kepada sebagian lainnya. Ketika mereka telah dibersihkan dan disucikan, mereka diizinkan untuk masuk surga.


Allah Subhanahu Wata’ala berfirman, "Dan janganlah sebagian kamu mengguncing kepada sebagian lainnya."


Mengguncing merupakaan kezaliman kehormatan, kemudian dilanjutkan,


"Adakah seorang di antara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang." (QS. Al-Hujarat: 12)


Mereka telah diingatkan agar bertaubat dari menggunjing dan ia termasuk kezaliman. Hal ini kalau orang yang dizalimi mengetahui pengganti (kezalimannya). Kalau sekiranya orang yang di gunjingi atau dituduh tidak mengetahui hal itu, ada yang mengatakan, bahwa di antara syarat taubatnya adalah memberitahukannya. Ada pula yang mengatakan bahwa hal tersebut tidak disyaratkan. Ini merupakan pendapat mayoritas. Kedua pendapat tersebut merupakan riwayat dari Imam Ahmad.


Akan tetapi pendapat seperti ini terhadap orang yang dizalimi, hendaknya diimbangi dengan melakukan kebaikan-kebaikan, seperti mendoakan kebaikan, beristigfar, beramal saleh dan dihadiahkan kepadanya sebagai pengganti dari gunjingan dan tuduhan kepadanya.


Hasan Al-Basri mengatakan, ‘Tebusan ghibah adalah memohonkan ampunan kepada orang yang dighibahi.’


Wallahu’alam.



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i