Memuji Hal yang Terpuji
Kita akan terpuji jika tulus memuji dengan cermat secara kalkulasi emosi dan efisiensi. Memuji
Allah sudah tentu tidak diragukan lagi dapat membuat kita terpuji fid-daarain (di dunia dan di
akhirat). Semakin kita sibuk memuji Allah , semakin tinggi pula intensitas pujian yang kita terima
dari manusia, baik yang terang-terangan maupun rahasia. Sementara itu, memuji makhluq-makhluq
Allah tentu juga akan berbuah pujian dari Allah . Seperti memuji langit, matahari, bulan, pohon,
gunung, sungai, angin, lautan, dan lain sebagainya sebagai ciptaan-ciptaan Allah, yang
mengindikasikan kemahasempurnaan Allah . Bukan untuk mengagumi makhluq Allah, tapi
mengagumi Sang Pencipta semua itu, yaitu Allah .
Bagaimana dengan memuji manusia? Memuji manusia artinya memuji karakternya baik karakter
bawaan maupun karakter bentukan, memuji kenikmatan-kenikmatan Allah yang diterimanya, memuji
aktifitasnya yang senantiasa diupayakan untuk dipersembahkan kepada Allah . Apakah memuji ketiga
hal yang ada pada manusia ini dituntunkan oleh Allah dan RasulNya?
Allah memuji Nabi Nuh ,
“(Yaitu) anak keturunan dari orang-orang yang Kami bawa bersama-sama Nuh. Sesungguhnya dia
adalah hamba yang bersyukur.” [QS. Al-Isra`: 3].
Allah memuji Nabi Ibrahim ,
“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar orang yang santun, senang berbelas kasih, dan suka
kembali kepada Allah.” [QS. Hud: 75].
Allah memuji Nabi Sulaiman ,
“Dan Kami karuniakan kepada Dawud, Sulaiman, dia adalah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia
amat sangat taat.” [QS. Shad: 30].
Allah memuji Nabi Ayyub ,
“Sesungguhnya Kami dapati dia seorang yang sabar. Dialah sebaik-baik hamba. Sesungguhnya dia
amat sangat taat.” [QS. Shad: 44]
2
Dan Allah memuji Nabi Muhammad ,
“Dan sesungguhnya engkau benar-benar berada di atas akhlaq yang agung.” [QS. Al-Qalam: 4].
Akhlaq memuji ini diimplementasikan oleh Nabi Muhammad dengan sangat sempurna. Beliau
memuji siapa saja yang patut dipuji, lebih-lebih yang telah dipuji Allah . Beliau memuji untuk
membangkitkan optimisme, untuk meningkatkan potensi, untuk merawat konektivitas dan relasi
sesame, untuk menjaga opini dan kredibilitas, memperkokoh keyakinan, dan lain sebagainya. Beliau
menangkap hikmah yang tinggi dan melimpah dari aktifitas gemar memuji secara tulus dan berimbang.
Beliau seolah mengajarkan kepada kita, di balik aktifitas memuji, tersimpan ‘amunisi’ yang dahsyat
dalam pengembangan keberdayaan umat secara cepat.
Dikisahkan oleh Salamah bin Al-Akwa`, pada perang Khaibar, ‘Ali menghindari sementara dari
Rasulullah karena matanya sedang sakit. Pada malam sebelum penaklukan benteng Yahudi Khaibar,
Rasulullah melontarkan ungkapan yang bersubstansi pujian, “Besok aku akan berikan ‘bendera’ ini
kepada seseorang yang dicintai Allah dan RasulNya dan mencintai Allah dan RasulNya. Allah
berikan kemenangan melalui tangannya.” Salamah melanjutkan, “Ternyata kami dipimping oleh ‘Ali,
padahal kami tidak menginginkannya. Sebagian shahabat berujar, “Ini ‘Ali.” Lalu Rasulullah
memberikan bendera kepadanya dan Allah memberikan kemenangan dengannya.” [Shahih Al-
Bukhari no. 2975; Shahih Muslim no. 2407].
Diceritakan oleh Salim bin ‘Abdullah dari bapaknya, pada masa Nabi , ada seseorang yang apabila
bermimpi maka ia senantiasa menceritakannya kepada Rasulullah . Aku pun berharap dapat bermimpi
lalu aku bisa menceritakannya kepada Rasulullah . Saat itu aku masih remaja. Pada masa Rasulullah
, aku selalu tidur di masjid. Suatu waktu, aku bermimpi seolah ada dua malaikat yang membawaku.
Mereka berdua membawaku ke neraka. Dan ternyata neraka tersebut berbentuk seperti sumur yang
memiliki dua tiang. Di dalamnya terdapat orang-orang yang aku kenal sehingga aku mengucapkan,
“Aku berlindung kepada Allah dari neraka.” Lalu kami bertemu dengan salah satu malaikat yang
berkata, “Kamu tidak akan takut lagi.” Aku pun menceritakan mimpi itu kepada Hafshah, lalu Hafshah
menceritakannya kepada Rasulullah , maka beliau bersabda, “Sebaik-baik orang adalah ‘Abdullah,
sekiranya ia shalat malam.” Salim bin ‘Abdullah melanjutkan, maka setelah itu ‘Abdullah hanya tidur
sebentar sekali di setiap malamnya. [Shahih Al-Bukhari no. 1121, 1122; Shahih Muslim no. 2479].
3
Masih sangat banyak lagi hadits-hadits yang mengabarkan betapa ‘agresif’nya Rasulullah dalam
menembakkan amunisi pujian dan hasilnya, banyak perkembangan menggembirakan pada diri para
shahabat Rasulullah . Bagi mereka, pujian dari Rasulullah adalah jauh lebih mahal dari harta
termahal bangsa ‘Arab sejak dulu hingga kini, salah satunya unta merah, seperti diungkapkan ‘Amr bin
Taghlib [Shahih Al-Bukhari no. 923].
Tradisi memuji dilanjutkan oleh para shahabat Rasul sepeninggal beliau. Contohnya, Ibnu Mas’ud
pernah memuji Mu’adz, “Sesungguhnya Mu’adz adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan,
patuh kepada Allah, dan hanif, dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang
mempartnerkan/mensekutukan sesuatu dengan Allah .”. Pujian ini diadopsi dari QS. An-Nahl: 120.
Pujian ini sama sekali bukan pujian yang tendensius ataupun pujian fiktif belaka. Pujian ini didasarkan
pada fakta dan realita dan dengan tujuan agar orang-orang menjadikan Mu’adz sebagai teladan karena
Mu’adz memiliki banyak kelebihan yang patut diteladani. Padahal Ibnu Mas’ud lebih tua, lebih dahulu
keislamannya, dan lebih ‘alim, namun Ibnu Mas’ud tidak merasa gengsi untuk memuji orang lain.
Tradisi memuji dilanjutkan oleh generasi-generasi emas berikutnya. Mereka saling memuji bukan
untuk bahan berbangga diri, melainkan untuk menjadi bukti rekomendasi keteladanan bagi orang lain
maupun bagi yang memuji. Mereka saling memberikan pujian tanpa ada kebencian ataupun
kedengkian. Orang yang memuji berarti telah berhasil membuktikan kebesaran jiwa dan kelapangan
qalbunya serta kebersihan akhlaqnya. Tradisi saling memuji juga sudah sukses menciptakan iklim
kondusif sehingga benih-benih perselisihan dapat dihambat pertumbuhannya secara massif.
Memuji dapat mendorong pelakunya memaafkan orang lain, berhusnuzhzhan dan rela berkorban,
tidak mudah meremehkan kebaikan dan jasa orang lain, serta terbiasa bershadaqah dalam bentuk
ucapan yang baik atau kalimah thayyibah.
Muhammad bin Ibrahim Al-Hamd berpesan dalam Faqr Al-Masya’ir (Dar Ibn Khuzaimah, 1426 H)
hendaklah mempergunakan sikap bijaksana dalam memberikan pujian dan mempertimbangkan secara
matang dampak yang timbul pada orang yang dipuji. Pasalnya, sebagian orang ketika dipuji ada yang
bertambah penerimaannya, bertambah semangat, keutamaan serta kemuliaannya. Namun, ada sebagian
yang dipuji malah bangga diri (ujub dan takabbur), gegabah, tersesat, membangkang dan menjauh (dari
kebenaran). Hal ini kembali kepada kebijaksanaan dan pengetahuan terhadap tabiat jiwa manusia.
4
Adalah sangat tepat, jika dalam memuji seseorang, baik karakternya, aktifitasnya, karunia Allah yang ada padanya, kita kaitkan dengan Allah agar orang yang dipuji ingat bahwa segala sesuatu terjadi atas kehendak Allah .
Nabi mengajarkan, “Barangsiapa yang orang lain berbuat baik kepadanya, kemudian ia mengatakan kepadanya, “Jazakallah khairan (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan)”, maka ia telah memujinya.” [Sunan At-Tirmidzi no. 2035].
Sering tidak kita sadari, kita melakukan perbuatan yang kita anggap biasa saja atau kita anggap sebagai kebaikan, tapi ternyata di menurut Allah , perbuatan itu adalah sebuah dosa. Kita harus akui, sehebat apa pun kita, kita tidak akan bisa seumur hidup terbebas dari dosa sekecil apa pun. Salah satunya, adalah memuji. Kita anggap memuji itu hal yang wajar bahkan bisa menjadi baik ketika ada yang menakjubkan. Siapa sih yang tidak suka dipuji. Semua orang suka dipuji. Betul? Tapi tahukah kita bahwa memuji itu tidak boleh sembarangan?
Pertama, tidak boleh memuji diri sendiri. Sebab kita tidak tahu apakah diri kita ini adalah hamba yang baik menurut Allah .
Allah berfirman,
“Maka janganlah kalian mengatakan diri kalian suci. Dia lah yang paling mengetahui tentang orang yang bertaqwa.” [QS. An-Najm no. 32] .
Rasulullah juga pernah mewasiatkan, “Janganlah menganggap diri kalian suci. Hanya Allah lah yang mengetahui siapa yang baik di antara kalian.” [Mukhtashar Shahih Muslim no. 1407].
Kecuali kalau kebaikan diri kita itu adalah masalah duniawi dan tanpa berlebihan dalam menilai diri. Allah mengisahkan Nabi Yusuf ,
“Berkata Yusuf , ‘Jadikanlah aku bendaharawan negara (Mesir) sesungguhnya aku adalah orang yang pandai menjaga lagi berpengetahuan.’.” [QS. Yusuf no. 55].
5
Demikian pun tidak berarti lantas kita maknai bahwa Nabi Yusuf dalam firman Allah ini sedang berperilaku menyombongkan diri sendiri (takabbur & 'ujub) atau memamerkan keahlian (riya` & sum'ah).
Penulis (Brilly El-Rasheed) mempersilakan pembaca majalah Al-Akhbar untuk mengkaji tafsir ayat ini. Semoga Allah beri kesempatan untuk penulis menjabarkan tafsir atau tadabbur ayat tersebut dalam majalah ini.
Kedua, usahakan tidak memuji siapa pun kecuali Allah , yang memang pantas, berhak, dan wajib kita puji dan sanjung. Rasulullah berkata, “Jauhilah sanjung-menyanjung, karena sesungguhnya itu adalah penyembelihan.” [Ash-Shahihah no. 1284].
Ketiga, ada kalimat khusus ketika terpaksa, (ingat ya, terpaksa!) memuji seseorang. Sebagaimana dikisahkan oleh Abu Bakrah, bahwa ada seorang pria yang disebut-sebut di hadapan Rasulullah . Kemudian berkatalah seseorang, “Wahai Rasulullah, tak seorang pun yang lebih baik darinya setelah Rasulullah dalam hal ini dan itu.” Rasulullah segera angkat suara, “Hei, anda telah memenggal leher kawan anda.” Beliau mengatakannya tiga kali. Setelah itu Rasulullah bersabda, “Jika salah seorang di antara kalian harus menyanjung saudaranya, hendaklah ia berkata, ‘Menurutku, si Fulan adalah demikian, jika ia memandangnya seperti itu, dan tidaklah aku menyucikan seorang pun di atas Allah .” [Mukhtashar Shahih Muslim no.1510] .
Keempat, kalau ingin memuji seseorang atas kebaikannya yang kita saksikan sendiri, pujilah dia ketika dia sudah wafat. Kalau masih hidup, jangan, soalnya kita tidak tahu bagaimana akhir hidupnya. Bisa jadi di akhir hidupnya dia banyak berbuat maksiat. Lebih-lebih, kalau seseorang dipuji ketika masih hidup, bisa-bisa dia jadi takabbur (sombong), ‘ujub sama dirinya, tidak ikhlas dalam beramal. Rasulullah berkata, “Janganlah kalian merasa takjub dengan amal seseorang, hingga kalian melihat bagaimana hidupnya berakhir.” [Ash-Shahihah no.1334].
Kita sebagai seorang Muslim harusnya keinginan dipuji itu cuma dipuji Allah . Tidak perlu kita berharap pujian dari manusia. Kalaupun kita dipuji, segera ingat keburukan diri kita, biar kita tidak takabbur.
Di samping kita diperintahkan memuji, kita juga diperintahkan menjaga diri agar tetap terpuji, salah satunya dengan cara berdoa kepada Allah.
6
Allah mengajarkan doa kemuliaan,
“Wahai Rabb kami, sesungguhnya kami telah mendengar penyeru yang menyeru kepada iman, “Berimanlah kalian kepada Rabb kalian!” lalu kami beriman, wahai Rabb kami, maka ampunilah kami, hapuskan dari kami keburukan-keburukan kami, dan matikan kami bersama orang-orang yang baik. Wahai Rabb kami, dan berikan kepada kami apa yang telah Engkau janjikan untuk kami atas utusan-utusanMu, dan jangan hinakan kami pada hari qiyamah, sesungguhnya Engkau tiada mengingkari janji.” [QS. Ali ‘Imran: 193-194].
Islam yang mengajarkan kemuliaan dan doa-doa bebas dari kehinaan. Nabi Ibrahim , dengan syariat dan minhaj yang berbeda pun sudah memegang teguh prinsip kemuliaan dan sangat gigih memanjatkan doa-doa bebas dari kehinaan. Bukankah kita patut untuk malu, bagaimana Nabi Ibrahim sangat berharap kepada Allah kemuliaan hidup dan sangat berlindung kepada Allah dari kehinaan, padahal beliau jelas-jelas mulia, sementara kita?
Allah berfirman,
“Wahai Rabb beri aku hikmah dan satukan aku dengan orang-orang shalih. Dan jadikan untukku lisan yang jujur di akhir (usia). Dan jadikan aku pewaris taman kenikmatan. Dan ampuni ayahku sesungguhnya dia termasuk orang-orang sesat. Dan jangan hinakan aku pada hari kebangkitan. Yaitu hari dimana harta dan anak keturunan tidak bermanfaat. Kecuali bagi siapa yang menemui Allah dengan qalbu yang selamat.” [QS. Asy-Syu’ara: 89-93].
Keteladanan Nabi Ibrahim ini dilanjutkan oleh Rasulullah . Rasulullah sebagai manusia paling mulia dan terjamin bebas dari kehinaan telah begitu tekun menjaga kemuliaan dan memanjatkan doa-doa bebas dari kehinaan. Doa-doa tersebut tidak semestinya kita sepelekan sedikitpun. Doa-doa kemuliaan tersebut seolah menjadi varian alternative sekaligus kompelementer bagi doa-doa kemuliaan yang sudah termaktub di dalam Al-Qur`an.
Dari Abu Hurairah , Nabi berdoa,
7
“Wahai Allah, baguskan hasil setiap urusan kami semuanya, dan jauhkan kami dari kehinaan di dunia dan siksa di akhirat.” [Musnad Ahmad no. 17628, cet. Ar-Risalah].
Dari ‘Umar bin Al-Khaththab , Nabi berdoa,
“Wahai Allah, tambahi untuk kami dan jangan kurangi kami, muliakan kami dan jangan hinakan kami, beri kami dan jangan halangi kami, dahulukan kami dan jangan kesampingkan kami, ridhailah kami dan persembahan kami.” [Sunan At-Tirmidzi no. 3173, cet. Dar Al-Gharb Al-Islami, Beirut].
Dari Abu Hurairah , Nabi berdoa,
“Wahai Allah, aku berlindung kepadaMu dari kefaqiran, kekurangan, dan kehinaan, dan aku berlindung kepadamu dari berbuat zhalim atau dizhalimi.” [Sunan Abu Dawud no. 1544; As-Sunan Al-Kubra An-Nasa`i no. 7844].
Dari Ummu Salamah (moga Allah meridhoinya), Nabi berdoa,
“Dengan nama Allah, wahai Allah, aku berlindung kepadaMu dari berbuat hina, atau dari berbuat sesat, atau dari berbuat zhalim, atau dari berbuat bodoh, atau dibodohi.” [As-Sunan Al-Kubra An-Nasa`i no. 7868].
Dari Rifa’ah Az-Zuraqi , Nabi juga mengajarkan doa,
“Ya Allah! Jadikanlah kami mencintai keimanan, jadikan iman sebagai penghias hati kami, dan jadikanlah kami membenci kekufuran, kefasikan, kemaksiatan, dan jadikan kami termasuk orang-orang yang selalu bertindak benar. Ya Allah! Matikanlah kami dalam keadaan Muslim, hidupkan kami dalam keadaan Muslim, dan gabungkanlah kami bersama orang-orang shalih, tanpa mendapat kehinaan dan fitnah.” [Musnad Ahmad no. 14945].
Dari Anas bin Malik , RAsulullah biasa berdoa,
8
“Ya Allah, sesungguhnya aku berlindung kepadaMu dari lemah, malas, penakut, bakhil, pikun, kerasnya qalbu, mudah lupa/lalai, kekurangan, hina dan kemiskinan. Dan aku berlindung kepadaMu dari kefaqiran, kekufuran, kefasiqan, pertikaian, sum’ah, riya`. Dan aku berlindung kepadaMu dari tuli, bisu, gila, kanker, lepra, dan penyakit-penyakit akut lainnya.” [Al-Mustadrak Al-Hakim; Al-Mu’jam Ash-Shaghir Ath-Thabrani 1/198 no. 316. Al-Jami’ Ash-Shaghir no. 2165].