Artikel




30


Mahasuci, sampai-sampai hampir sebagian hati di sana lupa dari


Allah Yang Maha Agung.


Di sini -wallāhu a'lam- disyariatkan manasik di Muzdalifah, agar


hilang semua perbedaan kekayaan dan keagungan antara jemaah


haji. Agar tidak terdapat fenomena pengagungan dan kekayaan


apa pun di Muzdalifah, kecuali kagungan dan kekayaan Allah


Subḥānahu wa Ta’ālā. Allah Ta’ālā berfirman:





“Wahai manusia !Kamulah yang memerlukan Allah ;dan Allah


Dialah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha


Terpuji." (Fāṭir: 15)


Jika Anda merenungkan manasik haji di Muzdalifah, niscaya


akan Anda temukan sebuah syariat yang memisahkan jemaah


haji dengan kondisi kekayaan dan kehormatan mereka.


Berhenti di Muzdalifah hanya pada malam hari saja sehingga


tidak membutuhkan tenda dengan berbagai jenisnya. Lama


waktu berdiam di sana hanya beberapa jam saja. Mereka


melepas perhiasan yang dikenakan, tidak memerlukan barangbarang


dan tas-tas yang menonjolkan kekayaan dan kehormatan


satu sama lain. Kondisi seperti ini membuat mereka harus tidur


di Muzdalifah seperti tidurnya orang-orang fakir di atas tanah


terbuka, dan bisa jadi mereka makan makanan orang fakir.


Bahkan, Anda akan melihat mereka berbaris mengantri di


depan toilet, yang kaya dan miskin, berkulit hitam dan putih,


berpenampilan layaknya orang miskin, jauh dari tampang


kekayaan, sehingga semua orang bisa mengetahui—dan mereka


semua melihat pemandangan seperti ini di Muzdalifah - bahwa:


“Tidak ada kebesaran yang mutlak kecuali milik Allah


Subḥānahu wa Ta’ālā!"


TUJUAN IBADAH HAJI


31


TUJUAN KETIGA: MEWUJUDKAN


HARAPAN HANYA KEPADA ALLAH ‘AZZA


WA JALLA


Allah Ta’ālā berfirman:





“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari


jalan (mendekat) kepada Tuhan, siapa di antara mereka yang


lebih dekat (kepada Allah). Mereka mengharapkan rahmat-Nya


dan takut akan azab-Nya. Sungguh, azab Tuhanmu itu sesuatu


yang (harus) ditakuti.” (Al-Isrā`: 57).


Tata cara pelaksanaan ibadah haji telah menyebabkan ikhtilāṭ


(campur baur antara laki-laki dan perempuan) atau kedekatan


tempat tinggal (hotel) khususnya di tenda-tenda, kedekatan


antara orang yang berharap dan orang yang diharapkan, antara


orang kaya dan orang miskin, antara tokoh masyarakat dan orang


lemah, antara pemerintah dan rakyat, dalam suasana yang jarang


sekali terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Dan kedekatan ini


lebih jelas lagi terlihat ketika berada di Arafah dan Muzdalifah.


Akan tetapi, orang yang memperhatikan keadaan jemaah haji di


Arafah dan Muzdalifah ini akan melihat semuanya tidak disibukkan


dengan berharap kepada sesama makhluk. Semuanya mengarahkan


harapannya kepada Zat yang tidak pernah lenyap perbendaharaan-


Nya dan tidak terhitung nikmat-Nya, dan tidak ada sesuatupun


yang bisa melemahkan-Nya di bumi maupun di langit.


TUJUAN IBADAH HAJI


32


Mereka semua mengangkat tangan kepada-Nya dengan


merendahkan diri dalam penampilan dan kondisi yang sama,


yang kaya, yang miskin, yang sehat, yang sakit, semua


menampakkan kehinaan, kefakiran, kedukaan di hadapan-Nya,


agar semua mengakui bahwa tidak ada yang diharapkan kecuali


Allah semata Yang Mahasuci dan Mahatinggi.


…Dan ini merupakan bagian dari mengikhlaskan tauhid


pengharapan kepada Tuhan semesta alam…


TUJUAN IBADAH HAJI


33


TUJUAN KEEMPAT: MEWUJUDKAN


RASA TAKUT HANYA KEPADA ALLAH


TA’ĀLĀ


Allah Ta’ālā berfirman:





“Dan orang-orang yang memberikan apa yang mereka berikan


(sedekah) dengan hati penuh rasa takut (karena mereka tahu) bahwa


sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhannya. Mereka itu


bersegera dalam kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang-orang


yang lebih dahulu memperolehnya.” (Al-Mu`minūn: 60-61)


Sesungguhnya siapa saja yang memperhatikan nas-nas syar’i


dan melihat kenyataan serta menelaah sejarah, niscaya akan


menemukan korelasi yang kuat antara syiar-syiar haji dengan


fenomena rasa takut, sebuah pemandangan yang nyaris menjadi


sebuah kelaziman.


Hal ini akan nampak jelas ketika memperhatikan:


1. Al-Qur`ān; 2. As-Sunnah; 3. Kenyataan.


Pertama, Al-Qur`ān


Saudaraku jemaah haji, bacalah surah Al-Ḥajj dan


renungkanlah!!


Anda akan mendapati sebuah surah yang dimulai dengan


gambaran ketakutan yang dahsyat, bahkan itu merupakan


sebuah gambaran ketakutan yang paling menyeramkan bagi


TUJUAN IBADAH HAJI


34


umat manusia. Allah Ta’ālā berfirman:





“Wahai manusia! Bertakwalah kepada Tuhanmu; sesungguh,


goncangan (hari) Kiamat itu adalah suatu (kejadian) yang


sangat besar. (Ingatlah) pada hari ketika kamu melihatnya


(guncangan itu), semua perempuan yang menyusui anaknya


akan lalai terhadap anak yang disusuinya, dan setiap perempuan


yang hamil akan keguguran kandungannya, dan kamu melihat


manusia dalam keadaan mabuk, padahal sebenarnya mereka


tidak mabuk, tetapi azab Allah itu sangat keras.” (Al-Ḥajj: 1-2)


Inilah pembukaan surah yang membahas tentang tujuan ibadah


haji.


Lihatlah, adakah hubungan antara ibadah haji dengan rasa


takut kepada Allah?


Kedua, As-sunnah


Perhatikanlah hadis Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam! Maka,


Anda akan dapati bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam


menyebut ibadah haji sebagai jihad, dalam sabdanya kepada


kaum wanita:


عَلَيْكُنَّ جِهَادٌ لَ قِتَالَ فِيْهِ، الْحَجُّ وَ الْعُمْرَة


“Wajib bagi kalian jihad yang tidak ada peperangannya ,yaitu


haji dan umrah.1”


Dan tidak ada jihad kecuali pasti berkaitan dengan rasa takut!


Kemudian perhatikanlah, bagaimana rasa takut berkaitan dengan


1 HR. Ahmad dan Ibnu Majah dengan sanad yang sahih.


TUJUAN IBADAH HAJI


35


upaya Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya


untuk sampai ke tanah haram pada tahun Ḥudaibiyah.


Kaum kafir Quraisy menghadang kaum muslimin dan melarang


mereka melaksanakan Umrah, lalu semuanya merencanakan


untuk berperang. Kaum mukminin melakukan baiat di bawah


pohon, lalu terjadilah perjanjian damai (dengan kaum Quraisy)


yang menetapkan umrah tahun depan. Kaum muslimin


mengajukan syarat agar senjata bisa dibawa ketika ihram karena


takut kaum Quraisy mengkhianati perjanjian. Maka terwujudlah


umrah dengan rasa takut.


Ketiga, Kenyataan


Siapa saja yang memperhatikan ibadah haji dari zaman


Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam hingga hari ini, maka akan


menemukan ibadah haji tidak terlepas dari rasa takut sepanjang


tahun sepanjang masa.


Setelah hilang rasa takut dari pengkhianatan kaum Quraisy,


tidak berapa lama setelah itu berkeliaran para penjahat di jalanjalan


menuju Mekah Al-Mukarramah selama 13 (tiga belas)


abad lamanya, seolah-olah orang yang pergi ke Mekah dianggap


hilang dan yang datang darinya seperti baru terlahir.


Ketika manusia mengupayakan solusi masalah perampokan di


jalan dan ketakutan telah hilang, datang perkara menakutkan


berupa kebakaran tenda yang selalu mengiringi pelaksanaan


haji selama beberapa tahun lamanya. Kemudian manusia pun


berusaha mengatasi masalah ini.


Kemudian datang ketakutan adanya demontsrasi, peristiwa


pemboman, berdesak-desakan di jamarat, takut banjir, dan takut flu


burung. Tidaklah manusia bersungguh-sungguh mengatasi sebuah


ketakutan melainkan selalu datang ketakutan baru yang berbeda.


TUJUAN IBADAH HAJI


36


Sampai sekarang pun, tidaklah Anda mengetahui setiap orang


yang berniat menunaikan ibadah haji melainkan mereka


merasakan ketakutan dalam dirinya, mulai dari awal berniat


sampai kembali kepada keluarganya.


Andai ada keterkaitan antara ibadah haji dengan rasa


takut, apa hikmah dari keterkaitan tersebut?


Kemungkinan maksud dari semua ini—wallāhu a'lam— adalah


untuk meningkatkan nilai rasa takut kepada Allah dari sekedar


ucapan lisan kepada perwujudan takut dengan hati dan anggota


badan.


Bagaimana bisa demikian?


Jika Anda bertanya kepada salah seorang jemaah haji, “Apakah


Anda pernah mendengar peristiwa menakutkan pada tahuntahun


yang lalu yang menewaskan banyak jemaah haji?


Dan apakah Anda tahu tentang hal-hal yang mengkhwatirkan


pada musim haji tahun ini?”


Maka ia pasti menjawab, " Iya."


Lalu jika anda bertanya lagi, “Lantas apa yang membuat Anda


ingin berangkat padahal Anda merasa takut?”


Maka ia akan menjawab, “Rasa takut saya kepada ancaman


Allah bagi siapa yang tidak menunaikan haji sedangkan ia


mampu lebih besar daripada rasa takut saya kepada hal-hal yang


menakutkan itu."


Dan inilah salah satu tujuan yang agung dalam ibadah haji,


yakni, mewujudkan tauhid takut hanya kepada Allah Tuhan


semesta alam.


TUJUAN IBADAH HAJI


37


TUJUAN KELIMA: MEWUJUDKAN


TAWAKAL KEPADA ALLAH ‘AZZA WA JALLA


Allah Ta’ālā berfirman:





“Dan Musa berkata, “Wahai kaumku! Apabila kamu beriman


kepada Allah, maka bertawakallah kepada-Nya, jika kamu


benar-benar orang muslim (berserah diri).” Lalu mereka


berkata, “Kepada Allah-lah kami bertawakal. Ya Tuhan kami,


janganlah Engkau jadikan kami (sasaran) fitnah bagi kaum


yang zalim.” (Yūnus: 84–85).


Saudaraku sesama muslim!


Jika Anda berada di negaramu, di tengah-tengah keluargamu, di


rumahmu yang aman, mungkin Anda punya mobil dan tabungan


di bank yang membuat Anda merasa tenang akan masa depan,


maka Anda pun sangat mudah untuk mengatakan bahwa Anda


bertawakal kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Akan tetapi, hakikatnya


tidak ditahui; apakah Anda bertawakal kepada Allah dengan


sebenarnya atau bertawakal kepada obyek materi tersebut?


Akan tetapi, ibadah haji membuktikan dengan jelas bahwa orang


yang menunaikan ibadah haji, ia hanya bertawakal kepada Allah


semata. Bagaimana bisa demikian?


Jika Anda memperhatikan suasana Mina yang terletak di sebuah


lembah, lalu Anda memperhatikan suasana jemaah haji saat


TUJUAN IBADAH HAJI


38


berada di dalam tenda dengan berdesak-desakan, dan ketika


berada di pinggiran jalan di sekitar lembah ini, kemudian Anda


bertanya kepada mereka, “Apakah kalian tidak khawatir terjadi


hal yang tidak diinginkan dalam kondisi seperti ini?”


“Seandainya terjadi banjir besar jika Allah mentakdirkan


misalnya, bukankah tenda-tenda ini dan semua barang-barang di


dalamnya akan binasa?”


“Jika ada petir menyambar dan udara sangat dingin, apakah atap


tenda cukup melindunginya?”


“Jika wabah penyakit menular dengan cepat, apakah sarana


yang ada cukup untuk mengatasinya?”


Ketika Anda bertanya kepada mereka tentang hal seperti ini,


maka jawabannya, “Iya, semua kekhawatiran dan ketakutan


ini mungkin saja terjadi. Bahkan, segenap kekuatan manusia


yang dikerahkan tidak bisa menghalangi apapun jika Allah


berkehendak mentakdirkan berbagai hal yang dikhawatirkan itu


terjadi.”


Ketika kita bertanya kedua kalinya, “Jadi kepada siapa kita


bertawakal dan kepada siapa Anda bersandar?”


Maka jawaban jemaah haji hanya satu, “Kami bertawakal


kepada Allah Subḥānahu semata.”


Barangkali inilah–wallahua'lam–sebuah kejujuran dalam


mentauhidkan tawakal hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla


baik secara lisan dan perbuatan.


TUJUAN IBADAH HAJI


39


TUJUAN KEENAM: MEWUJUDKAN


PRIBADI YANG SELALU KEMBALI KEPADA


ALLAH ‘AZZA WA JALLA


Allah Ta’ālā berfirman:


چ ۈ ٷ ۋ ۋ ۅ ۅ ۉ ۉ ې ې ې ې ﯨ چ


“Dan kembalilah kamu kepada Tuhanmu dan berserah dirilah


kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu ,kemudian kamu


tidak dapat ditolong” .(Az-Zummar: 54).


Ketika kemampuan menjadi syarat ibadah haji, maka


konsekuensinya adalah jemaah haji harus termasuk orang-orang


yang kuat secara fisik dan materi.


Meskipun dukungan kemampuan fisik, materi, dan sebagainya


yang membuat hidup seseorang berkecukupan, Anda akan


mendapati jemaah haji di semua tempat manasik, khususnya di


Arafah, ketika tawaf di Safa dan Marwah, mereka melakukan


wukuf laksana berdirinya orang yang dipenuhi rasa takut dan


hina, mengakui dosa-dosanya, mengutarakan kekurangannya,


menyesali pelanggarannya, berlepas dari daya dan upayanya


menuju daya dan upaya Allah, ia mengharap maaf dari Tuhannya,


dan menutupi kelalaian, kekurangan, serta kemaksiatan yang


telah ia lakukan di masa lalu.


Barangkali inilah hakikat kembali kepada Allah ‘Azza wa


Jalla -wallāhua'lam-.


TUJUAN IBADAH HAJI


40


Dari sini muncul pertanyaan: Kepada siapa hati ini kembali?


Apakah ada perintah dari manusia terkuat? Atau karena janji


dari orang terkaya sehingga dengan cara ini hati menjadi lembut,


matanya mengalirkan air mata karena takut? Atau mengharap


apa yang ada di tangan mereka? Sama sekali tidak! Akan tetapi,


Mungkin inilah—wallāhu a'lam—bukti keikhlasan tauhid


inabah kepada Tuhan semesta alam.


TUJUAN IBADAH HAJI


41


TUJUAN KETUJUH: MEWUJUDKAN


SIKAP RENDAH DIRI HANYA KEPADA


ALLAH ‘AZZA WA JALLA


Allah Ta’ālā berfirman:





“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan


kebajikan dan merendahkan diri kepada Tuhan ,mereka itu


penghuni surga ,mereka kekal di di dalamnya." (Hūd: 23)


Ikhbāt adalah sikap rendah diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla


yang sampai pada derajat pasrah secara mutlak, sebagai bentuk


ibadah kepada-Nya, mengakui rububiyyah dan keagungan-Nya,


menyadari kelemahan hamba dan kebutuhan kepada-Nya.


Terdapat 3 (tiga) lafal ikhbāt dalam Al-Qur`ān: pertama, dalam


surah Hūd di atas; kedua dan ketiga, dalam surah Al-Ḥajj. Allah


Ta’ālā berfirman:


چ ڑ ڑ ک ک کک گ گ گ چ


“Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Mahaesa ,karena itu


berserahdirilah kamu kepada-Nya .Dan sampaikanlah kabar


gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh )kepada


Allah(.” (Al-Ḥajj: 34).





TUJUAN IBADAH HAJI


42


“Dan agar orang-orang yang telah diberi ilmu meyakini bahwa


(Al-Qur'an) itu benar dari Tuhanmu lalu mereka beriman dan


hati mereka tunduk kepadanya. Dan sungguh, Allah pemberi


petunjuk bagi orang-orang yang beriman kepada jalan yang


lurus." (Al-Ḥajj: 54).


Mengapa dua di antara tiga kata ikhbāt ini ada dalam surah Al-


Ḥajj itu sendiri?


Kemungkinan—wallāhu a'lam—karena ibadah haji banyak


sekali memunculkan sikap rendah diri hamba kepada Tuhannya


dan pasrah kepada-Nya secara mutlak.


Misalnya, jika Anda bertanya kepada kebanyakan jemaah haji


tentang hikmah manasik haji, seperti pergi ke Arafah, bermalam


di Muzdalifah, melontar Jamrah, atau yang lainnya, yang mana


mereka melakukannya dengan serius dan sungguh-sungguh.


Jika Anda bertanya, “Mengapa manasik ini di syariatkan? Apa


tujuannya? Untuk apa Anda melakukannya?”


Maka ia akan menjawab, “Dalam rangka ibadah kepada Allah


‘Azza wa Jalla, itu saja.”


Ini adalah ikhbāt (ketundukan dan berserah diri) kepada Allah


Subḥānahu wa Ta’ālā dengan bersungguh-sungguh dalam


ibadah, karena Allah yang memerintahnya, dan dadanya


pun merasa lapang, meskipun dia tidak tahu rincian hikmah


dari semua rangkaian manasik itu. Baginya cukup bahwa ini


adalah bentuk penghambaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla yang


mengantarkannya kepada keridaan Tuhannya.


Berbeda jika seseorang mendapat perintah dari manusia, pasti


ia akan bertanya, “Untuk apa?” Atau, “Yang bagus seperti ini!”


Atau, “Saya tidak terima!”


Maha Suci Zat yang tunduk kepada-Nya semua hati.


TUJUAN IBADAH HAJI


43


Sungguh indah ketundukkan Umar bin Khaṭṭāb raḍiyallāhu


‘anhu ketika ia berbicara kepada Hajar Aswad, “Demi Allah,


aku tahu kamu hanyalah sebuah batu yang tidak mendatangkan


mudarat dan manfaat, andai aku tidak melihat Nabi ṣallallāhu


‘alaihi wa sallam menyentuhmu aku tidak akan menyentuhmu.”(1)


Di antara jemaah haji ada yang hidup mewah di negaranya,


jauh dari lingkungan fakir miskin dan duafa, bahkan mungkin


jauh dari banyak manusia. Ia hidup di istana yang dipenuhi


kenikmatan dan ketenangan.


Namun, ketika ia dipanggil untuk menjalankan ibadah haji,


maka ia pun datang berbaur dengan fakir miskin dan duafa.


Mungkin saja makan seperti makanan mereka, tidur seperti


tidur mereka. Khususnya di Muzdalifah, bersama-sama mereka


dalam keramaian tawaf, sa'i dan melontar jamrah, bersabar dari


bau tak sedap, saling dorong dan penuh sesak.


Maka tanyalah dirimu sendiri, “Apa yang membuat ia mau


melakukan semua rangkaian manasik haji, sedangkan dia tidak


tahu rincian hikmahnya?”


Apa yang membuat ia mau turun dari suasana kemewahan dan


kenikmatan lalu berbaur dengan kaum duafa dan fakir miskin?


Apakah ada seorang manusia yang memaksanya?


Jawabannya adalah tidak, sama sekali tidak. Akan tetapi ini


adalah bentuk ketundukan dan sikap rendah diri kepada Tuhan


semesta alam.


Mungkin inilah —wallāhu a'lam— sikap mengikhlaskan


tauhid ketundukkan kepada Allah, Tuhan semesta alam.


1 Sahih Bukhari (1605)





TUJUAN IBADAH HAJI


45


KEISTIMEWAAN MEKAH


AL-MUKARRAMAH


Allah Ta’ālā berfirman:





“Ya ,Tuhan kami ,sesungguhnya aku telah menempatkan


sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai


tanaman-tanaman di dekat rumah Engkau( Baitullah)


yang dihormati ,ya Tuhan( yang demikian itu )agar


mereka melaksanakan salat ,maka jadikanlah hati


sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berilah


mereka rezeki dari buah-buahan ,mudah-mudahan mereka


bersyukur." (Ibrāhīm: 37).


Orang yang membaca sejarah Mekah Al-Mukarramah dan


keutamaannya yang ada dalam nas-nas syar'i, dan peristiwaperistiwa


serta kisah-kisah yang terjadi di sana, akan


berkesimpulan bahwa Allah telah mengistimewakan kota ini


dari kota-kota dan negeri-negeri selainnya.


Ada hukum-hukum fikih yang dikhususkan untuk Mekah;


tanahnya Haram, diharamkan memburu hewan, memotong


tanaman, memungut barang temuan, dan sebagainya.


Dan istimewanya lagi, semua manusia terpaut hatinya ke sana,


dan diberkahi dalam takaran dan timbangannya sebagai jawaban


atas doa Nabi Ibrahim 'alaihissalām.


TUJUAN IBADAH HAJI


46


Keistimewaanya yang lain, bahwa siapa saja yang ingin


melakukan kezaliman meskipun hanya sebatas keinginan, maka


Allah akan menimpakan kepadanya azab yang pedih. Allah


Ta’ālā berfirman:


چ ڤ ڤ ڦ ڦ ڦ ڦ ڄ ڄ ڄ ڄ چ


“Dan siapa saja yang bermaksud melakukan kejahatan secara


zalim di dalamnya, niscaya akan kami rasakan kepadanya siksa


yang pedih." (Al-Ḥajj: 25).


Berbagai keistimewaan ini banyak tertuang dalam kitab-kitab


ilmu.


Akan tetapi, bagi orang yang menaruh perhatian dengan kota


Mekah, yang mana merupakan tempat yang paling dicintai


Allah, akan mendapati bahwa Allah barangkali memberikan


keistimewaan khusus pada kota Mekah ini, yaitu:


1. Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memberikan di dalamnya


nikmat-nikmat yang utama, seperti nikmat hidayah, ilmu


yang bermanfaat, amal saleh, dan hikmah. Juga diberikan


padanya derajat ibadah, seperti derajat iman, ihsan,


persaksian, kejujuran, dan sebagainya, yang mana lebih


banyak dan lebih cepat diberikan kepadanya daripada di


negeri-negeri lainnya.


2. Allah lebih cepat menjawab doa orang yang memohon


kenikmatan dan derajat tersebut di Mekah daripada doa


yang dimohonkan di negeri lainnya. Allah memberikan


kenikmatan itu pada semua negeri namun nikmat tersebut


lebih cepat dan lebih banyak diberikan di Mekah —wallāhu


a'lam—.


TUJUAN IBADAH HAJI


47


Sebagai contoh, Allah Subḥānahu wa Ta’ālā memberi Nabi


Ibrahim ‘alaihissalām - di luar Mekah – nikmat Islam, iman,


ihsan, kenabian dan kerasulan. Akan tetapi, ketika Allah hendak


memberikan kepadanya derajat Khalīlullāh (kekasih Allah),


yang merupakan derajat tertinggi, maka Allah memanggilnya


untuk datang ke Mekah. Di Mekah itu pula ujian lebih besar,


namun pemberian juga lebih besar. Maka, Allah memberikan


kepadanya derajat Khalīlullāh, —wallāhu a'lam—.


Lihatlah Nabi kita Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam,


beliau mengisi hatinya dengan semua kenikmatan yang paling


utama setelah melewati ujian-ujian yang dahsyat. Setelah itu,


beliau mendapat derajat Khalīlullāh di Mekah, kemudian beliau


diizinkan untuk hijrah ke Madinah, —wallāhu a'lam—.


Oleh karena itu, di antara tujuan ibadah haji adalah dipanggilnya


seorang muslim ke tempat ini, yang mana di sana kedermawanan


Allah dan pemberiannya ditampakkan lebih banyak daripada


di tempat lainnya. Maka, diintensifkan ibadah di dalamnya


pada hari-hari tertentu untuk memberikan kenikmatan tersebut


kepadanya lebih banyak daripada di negeri asalnya.


Jika seorang jemaah haji menghayati keistimewaan khusus


ini, niscaya ia akan memohon dengan sungguh-sungguh agar


diperbanyak untuknya kenikmatan, baik yang pokok maupun


cabang-cabangnya, khususunya yang pokok, dan agar diangkat


derajatnya dalam ibadah.


Bisa jadi Allah mengabulkan doanya dalam perjalanan singkat


ini, dilipatgandakan ilmunya, hikmahnya, takwanya, amal


salehnya, atau ditingkatkan derajatnya. Maka, saat ia datang


hanya sebagai muslim, namun saat pulang ia menjadi mukmin,


atau ia datang sebagai mukmin lalu pulang sebagai muḥsin, atau


TUJUAN IBADAH HAJI


48


ketika datang ia adalah muḥsin dan ketika pulang ia menjadi


ṣiddīq (yang selalu jujur).


Dan sunnatullah dalam kategori nikmat yang utama yaitu Allah


tidak akan memberikan nikmat tersebut kepada seorang hamba


melainkan setelah diberi ujian dan cobaan. Oleh karena itu, ujian


yang menimpa Nabi Ibrahim 'alaihissalām di kota Mekah lebih


berat daripada ketika ia berada di Irak dan Syam. Begitupula


ujian yang menimpa Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa


sallam di Mekah lebih berat daripada di Madinah. Ujian tersebut


bertujuan agar keduanya sampai kepada derajat Khalīlullāh


(kekasih Allah) —wallāhu a'lam—.


Demikianlah ujian dan cobaan begitu berat bagi jemaah haji di


Mekah sebagai pembekalan untuk menerima pemberian yang


agung yang ia mohon dari Allah ‘Azza wa Jalla jika ia bersabar


dan bertakwa kepada Allah Subḥānahu.


Oleh karena itu, Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:


چ پ پ ڀ ڀ ڀ ڀ ٺ ٺ ٺ ٺ ٿ ٿٿ ٿ ٹٹ ٹ ٹ ڤ ڤ ڤ ڤ ڦ چ


“Barangsiapa yang ingin cepat berangkat (dari Mina) sesudah


dua hari, maka tiada dosa baginya. Dan barangsiapa yang


ingin menangguhkan (keberangkatannya dari dua hari itu),


maka tidak ada dosa pula baginya, bagi orang yang bertakwa.


Dan bertakwalah kepada Allah, dan ketahuilah, bahwa kamu


akan dikumpulkan kepada-Nya." (Al-Baqarah: 203).


Sudah maklum kalau orang yang mempercepat keberangkatan


dari Mina sesudah dua hari tidak ada dosa baginya, namun


kadang pembaca berfikir, “Berarti yang terakhir berangkat


mendapatkan pahala yang besar?”


TUJUAN IBADAH HAJI


49


Akan tetapi, dalam ayat ini Allah memberikan satu syarat bagi


yang berangkat terakhir agar bertakwa kepada Allah ‘Azza


wa Jalla: “ bagi siapa yang bertakwa”, menurut ulama yang


berpendapat bahwa syarat ini bagi yang berangkat belakangan


saja. Demikian ini karena ujian akan bertambah lebih berat


kepadanya agar ia diberi tambahan kenikmatan.


Maka, barang siapa yang berangkat belakangan, akan


menemukan pemberian yang lebih besar, namun setelah ujian


yang besar pula —wallāhu a'lam—.


Allah Ta’ālā berfirman:


چ پ پ ڀ ڀ ڀ ڀ ٺ ٺ ٺ ٺ ٿ ٿ ٿ ٿ چ


“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga,


padahal belum nyata bagi Allah orang-orang yang berjihad di


antara kamu ,dan belum nyata orang-orang yang sabar." (Āli


'Imrān: 142).





TUJUAN IBADAH HAJI


51


PENUTUP


Apa lagi setelah menunaikan haji?


Saudaraku,


Sekarang setelah kita menelusuri dalam ulasan singkat ini


tentang tujuan yang sangat agung dari ibadah haji, maka sangat


baik kita merenung sejenak untuk mengambil faedah dari


pembahasan di atas.


Dengan taufik Allah saya katakan:


Saudaraku, mari kita renungkan bersama. Allah yang


mendekatkan hewan buruan kepada para sahabat dan


mendekatkan perempuan dengan laki-laki saat ibadah haji, Dia


juga yang mendekatkan kepada manusia foto-foto haram, musikmusik


yang haram, minuman haram, dan harta haram di setiap


tempat di dunia. Semua itu hanya karena satu alasan, yaitu:


چ ھ ھ ھ ے ےۓ ۓ ڭ ڭ ڭ ڭ ۇ ۇ ۆ چ


“Supaya Allah mengetahui siapa yang takut kepada-Nya,


meskipun dia tidak melihat-Nya .Barang siapa melampaui batas


setelah itu ,maka dia akan mendapat azab yang pedih." (Al-


Mā`idah: 94).


Lantas, apakah kesungguhanmu mengontrol jiwa dalam


mentauhidkan cinta, rasa takut, kembali kepada-Nya akan terus


berlanjut setelah Anda pulang dari ibadah haji, bahkan sampai


akhir hayatmu?


TUJUAN IBADAH HAJI


52


Saudaraku,


Sungguh Anda telah katakan dengan lisan ketika berada di


negara Anda, bahwa Anda sungguh mencintai Allah Subḥānahu


wa Ta’ālā dan takut kepada-Nya serta bertawakal kepada-Nya.


Akan tetapi semua baru sebatas pengakuan yang perlu bukti


untuk menunjukkan kejujuranmu, dan ibadah haji telah menjadi


bukti kejujuranmu setelah anggota tubuhmu membenarkan


perkataanmu.


Maka, berbahagialah jika Allah menerima ibadah haji darimu.





“Ingatlah )pada hari( ketika )setiap orang datang untuk


membela dirinya sendiri dan bagi setiap orang diberi( balasan


)penuh sesuai dengan apa yang telah dikerjakannya, dan mereka


tidak dizalimi( dirugikan." (An-Naḥl: 111).


Maka belalah dirimu sendiri dengan mewujudkan tujuan-tujuan


yang agung ini dan anggota tubuhmu akan menjadi saksinya,


lalu mohon kepada Allah agar amal ibadahmu diterima.


Saudaraku,


Mungkin saja kemuliaan Tuhanmu dengan sebab ibadah haji


ini bisa mengantarkanmu menuju derajat yang belum tentu


kau dapatkan dengan ibadah yang kau lakukan di negeramu


bertahun-tahun lamanya. Maka, pujilah Allah dan bersyukurlah


kepada-Nya atas nikmat ini, karena syukur akan membuat


cabang-cabang nikmat bertambah seperti harta dan anak


keturunan. Dan lebih baik lagi bertambah nikmat yang utama,


seperti iman dan ihsan. Karena Allah Mahamulia (dermawan),


Maha Penyayang, Mahasuci. Maka, bersyukurlah sebanyakbanyaknya


kepada Allah.


TUJUAN IBADAH HAJI


53


Setelah melakukan ibadah haji, maka jagalah kedudukan


terhormat yang telah Allah berikan kepadamu sebagai prinsip


hidupmu. Dengan memelihara sarana-sarana keteguhan iman,


seperti berteman dengan orang-orang saleh, memperbanyak


doa, menjauhi tempat-tempat maksiat dan pelakunya, serta


menyibukkan diri dengan amal saleh, hingga ketika Anda


bertemu Tuhanmu (sampai ajalmu), maka Allah telah rida


kepadamu dan kamupun rida kepada-Nya.





“Ya Tuhan kami ,janganlah Engkau condongkan hati kami


kepada kesesatan setelah Engkau berikan petunjuk kepada


kami ,dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu,


sesungguhnya Engkau Maha Pemberi”. (Āli 'Imrān: 8)


Segala puji bagi Allah Rabb alam semesta, selawat beserta


salam sebanyak-banyaknya semoga tercurahkan kepada Nabi


Muhammad, keluarganya, dan para shabatnya.


IslamHouseId IslamHouseId islamhouse.com/id/


IslamHouseId