Artikel

Hukum Cerai Tanpa Sebab


Syaikh Muhammad bin al-Utsaimin rahimahullah


Terjemah : Muhammad Iqbal A. Gazali


Editor : Eko Haryanto Abu Ziyad





بسم الله الرحمن الرحيم


Pertanyaan: Apakah hikmahnya keputusan cerai itu ada di tangan suami? Apakah hukumnya orang yang menceraikan istrinya tanpa sebab? Dan bagaimanakah hukumnya jika istri yang meminta cerai tanpa sebab?


Jawaban: Adapun perceraian ada di tangan suami, maka itulah keadilan, karena di tangan suamilah pelaksanaan aqad nikah, maka harus di tangannya pula untuk melepaskan ikatan ini, dan karena suami bertanggung jawab/pemimpin terhadap wanita, sebagaimana firman Allah subhanahuwata’ala:





Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah subhanahuwata’ala telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain(wanita), (QS. an-Nisaa`:34)


Apabila ia yang memimpin, jadilah perkara berada di tangannya. Inilah tuntutan pandangan yang benar. Karena suami lebih sempurna akal dan berpandangan lebih jauh dari pada wanita. Maka engkau tidak menemukan dia berniat cerai kecuali sang suami melihat bahwa hal itu adalah pilihan terakhir. Akan tetapi bila cerai berada di tangan istri, niscaya istri lebih sedikit akal, tidak berpikir jauh, dan cepat emosi. Bisa jadi ia disukai oleh seseorang, lalu ia langsung mencerai suaminya, karena ia lebih menyukai orang yang menyukainya maka ia lebih mengutamakannya di atas suaminya. Dan hikmah yang lebih utama tentang keputusan cerai ada di tangan suami adalah hikmah yang ketiga.


5


Adapun pertanyaan kedua: yaitu hukum orang yang menceraikan istrinya tanpa ada sebab, maka para ulama berkata: sesungguhnya berlaku pada thalaq (cerai) itu lima hukum Islam: maksudnya, hukumnya wajib, haram, sunat, makruh dan mubah. Pada dasarnya cerai itu tidak disukai, karena hal itu membuka ikatan pernikahan dimana telah diperintahkan secara syara' untuk melakukannya, dan terkadang terjadi padanya bahaya besar. Sebagaimana bila wanita banyak anak dari suami. Maka karena perceraian ini terjadilah perpisahan keluarga dan muncullah berbagai problem sebagai dampak dari perceraian ini. Dan apabila harus melakukan hal itu karena tidak mungkin hidup bahagia di antara suami istri, maka ketika itu hukumnya mubah/boleh. Ia termasuk nikmat Allah subhanahuwata’ala, maksud saya hukumnya boleh pada jika keadaannya demikian, karena jika suami


6


istri tetap di atas ikatan pernikahan dalam kehidupan yang menyengsarakan dan susah niscaya dunia menjadi berat bagi mereka, akan tetapi termasuk nikmat Allah subhanahuwata’ala bahwa apabila kebutuhan mengharuskan hal itu niscaya hukumnya boleh.


Adapun istri yang meminta cerai, maka sesungguhnya hukumnya haram kecuali ada alasan tertentu, seperti suami kurang agamanya, atau kurang baik akhlaknya, atau ia (istri) tidak bisa sabar hidup bersamanya. Maka pada saat itu tidak mengapa istri meminta cerai, seperti yang pernah dilakukan oleh istri Tsabit bin Qais bin Syammasy radiyallahu’anhum, saat ia datang kepada Nabi Muhammad sallahu’alaihi wassalam seraya berkata: Ya Rasulullah, Tsabit bin Qais, saya tidak mencela akhlak dan agamanya, akan tetapi saya membenci kufur dalam Islam. Maksudnya, ia khawatir kufur


7


terhadap haq suaminya dengan Islam, maka ia meminta untuk berpisah. Maka Nabi Muhammad shalallahu’alaihi wasallam bersabda kepadanya: 'Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya?' Qais Radiyallahu’anhum telah memberikannya kepadanya sebagai mahar. Ia menjawab: 'Ya.' Nabi Muhammad shalallahu’aaihiwasallam bersabda kepada suaminya, yaitu Tsabit Radiyallahu’anhum: 'Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia satu kali.'1 Dan dalam hadits dari Nabi :





Rasulullah shalallahu’aaihiwasallam bersabda, 'Wanita manapun yang meminta cerai dari suaminya


1 HR. al-Bukhari 5273,


8


tanpa sebab, maka diharamkan atasnya aroma surga."2


Hadits ini menunjukkan bahwa jika istri meminta cerai –tanpa ada sebab apa-apa- termasuk dosa besar karena adanya ancaman dalam hal itu.


Syaikh Ibnu Utsaimin –Fatwa yang beliau tanda tangani.


2 HR. Ahmad 5/277, 283, ad-Darimi 2270, Abu Daud 2226, at-Tirmidzi 1187 dan ia berkata: Hadits Hasan, Ibnu Majah 2055, al-Hakim 2/2809 dan ia menshahihkannya dan disetujui oleh adz-Dzahabi.



Tulisan Terbaru

Keutamaan Puasa Enam ...

Keutamaan Puasa Enam Hari Syawal Shawal