Artikel




    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Tafsir ayat surah Al-Baqarah dalam makna “membuat sekutu untuk Allah”.


2.    Penjelasan para sahabat bahwa ayat-ayat yang diturunkan oleh Allah yang berkaitan dengan syirik akbar itu mencakup juga tentang syirik aṣgar (kecil).


3.    Bersumpah dengan menyebut nama selain Allah adalah syirik.


4.    Bersumpah menggunakan nama selain Allah walaupun dalam kebenaran, itu lebih besar dosanya daripada sumpah palsu dengan menggunakan nama Allah.


5.    Ada perbedaan yang jelas sekali antara (وَ) yang berarti “dan” dengan (ثُمّ) yang berarti “kemudian”.





Bab: Orang yang Tidak Puas dengan Sumpah yang Menggunakan Nama Allah


Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā meriwayatkan bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian bersumpah dengan nama nenek moyang kalian! Siapa yang bersumpah dengan nama Allah, maka hendaknya ia jujur, dan siapa yang diberi sumpah dengan nama Allah maka hendaklah ia rela (menerimanya), karena siapa yang tidak rela menerima sumpah tersebut maka lepaslah ia dari Allah.” (HR. Ibnu Majah dengan sanad hasan).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Larangan bersumpah dengan menyebut nama nenek moyang.


2.    Diperintahkan kepada orang yang diberi sumpah dengan menyebut nama Allah untuk rela menerimanya.


3.    Ancaman bagi orang-orang yang tidak rela menerimanya.





Bab: Ucapan, “Atas Kehendak Allah dan Kehendakmu” 


Qutailah raḍiyallāhu ‘anhā meriwayatkan bahwa ada seorang Yahudi datang kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, lalu berkata, “Sesungguhnya kamu sekalian telah melakukan perbuatan syirik; kalian mengucapkan, ‘Atas kehendak Allah dan kehendakmu’, dan mengucapkan, ‘Demi Kakbah’.” 


Maka Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para sahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan, “Demi Rabb Pemilik Kakbah”, dan mengucapkan, “Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu”. (HR. An-Nasā`iy dan ia mensahihkannya).


An-Nasā`iy juga meriwayatkan dari bnu 'Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā bahwa ada seorang lelaki berkata kepada Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, “Atas kehendak Allah dan kehendakmu.” Maka Nabi bersabda, “Apakah kamu telah menjadikan diriku sekutu bagi Allah? Hanya atas kehendak Allah semata.” 


Ibnu Majah meriwayatkan dari Aṭ-Ṭufail, saudara seibu Aisyah, ia meriwayatkan, Aku bermimpi seolah-olah aku mendatangi sekelompok orang-orang Yahudi. Aku berkata kepada mereka, “Sungguh kalian adalah sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan, 'Uzair putra Allah.” 


Mereka menjawab, “Sungguh kalian juga sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan, 'Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad'.” 


Kemudian aku melewati sekelompok orang Nasrani, dan aku berkata kepada mereka, “Sungguh kalian adalah sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan, 'Almasih putra Allah'.” 


Mereka pun balik berkata, “Sungguh kalian juga sebaik-baik kaum jika kalian tidak mengatakan, 'Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad'.” 


Maka pada keesokan harinya aku memberitahukan mimpiku tersebut kepada kawan-kawanku, kemudian aku mendatangi Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, dan aku beritahukan hal itu kepada beliau.


Kemudian beliau bersabda, “Apakah engkau telah memberitahukannya kepada seseorang?” Aku menjawab, “Ya.” 


Maka beliau pun memuji dan menyanjung Allah Ta’ālā, lalu bersabda, Amabakdu: “Sesungguhnya Ṭufail telah bermimpi tentang sesuatu, dan telah diberitahukan kepada sebagian orang dari kalian. Dan sesungguhnya kalian telah mengucapkan suatu ucapan yang ketika itu saya tidak sempat melarangnya, karena aku disibukkan dengan urusan ini dan itu. Oleh karena itu, janganlah kalian mengatakan, 'Atas kehendak Allah dan kehendak Muhammad', akan tetapi ucapkanlah, 'Atas kehendak Allah semata'.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Hadis di atas menunjukkan bahwa orang Yahudi pun mengetahui tentang perbuatan yang disebut syirik aṣgar (kecil). 


2.    Pemahaman seseorang akan kebenaran tidak menjamin ia melaksanakannya, apabila ia dipengaruhi oleh hawa nafsunya.


3.    Peringatan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam (terhadap orang yang mengultuskannya), “Apakah engkau menjadikan diriku sekutu bagi Allah?” Lalu bagaimana dengan orang-orang yang mengatakan pada beliau (dalam syair):


“Wahai makhluk yang paling mulia, tak ada seorang pun bagiku sebagai tempatku berlindung kecuali engkau ...” dan dua bait selanjutnya.


4.    Ucapan seseorang, “Atas kehendak Allah dan kehendakmu” termasuk syirik aṣgar, tidak termasuk syirik akbar, karena beliau bersabda, “Kalian telah mengucapkan suatu ucapan yang karena kesibukanku dengan ini dan itu aku tidak sempat melarangnya.” 


5.    Mimpi yang baik termasuk bagian dari wahyu.


6.    Mimpi kadang menjadi sebab disyariatkannya suatu hukum.





Bab: Siapa yang Mencaci Masa Maka Dia Telah Menyakiti Allah


Firman Allah Ta’ālā, “Dan mereka berkata, 'Kehidupan ini tak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan hidup, dan tidak ada yang membinasakan kita kecuali masa, dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja.” [QS. Al-Jāṡiyah: 24].


Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥ; Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, “Allah Ta’ālā berfirman, 'Anak Adam (manusia) menyakiti-Ku, mereka mencaci masa, padahal Aku adalah pemilik dan pengatur masa, Akulah yang menjadikan malam dan siang silih berganti.” 


Dalam riwayat yang lain, “Janganlah kalian mencaci masa, karena Allah Ta’ālā adalah Pemilik dan Pengatur masa.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Larangan mencaci masa (waktu).


2.    Mencaci masa berarti menyakiti Allah Ta’ālā.


3.    Perlu merenungi sabda Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, “Karena Allah adalah Pemilik dan Pengatur masa.” 


4.    Mencaci mungkin saja dilakukan seseorang, meskipun ia tidak bermaksud demikian dalam hatinya.





Bab: Penggunaan Gelar “Qaḍī Al-Quḍāt” (Hakimnya Para Hakim) dan Semisalnya


Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥ; Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, bahwa beliau bersabda, “Sesungguhnya nama (gelar manusia) yang paling hina di sisi Allah Ta’ālā adalah 'Rajanya para raja', karena tiada raja yang memiliki kekuasaan mutlak kecuali Allah.”


Sufyān mengemukakan contoh dengan berkata, “Seperti gelar Syāhān Syāh (rajanya para raja).” 


Dalam riwayat lain, “Orang yang paling dimurkai dan paling jahat di sisi Allah pada hari Kiamat...” 


Sabda Nabi, “Paling hina”, artinya paling tercela.


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Larangan menggunakan gelar “Rajanya para raja” .


2.    Larangan menggunakan gelar lain yang sejenis dengan gelar di atas, seperti contoh yang dikemukakan oleh Sufyān, yaitu “Syāhān Syāh”.


3.    Harus menyadari kerasnya larangan dari hal tersebut dan yang semisalnya, meskipun ada keyakinan bahwa hati tidak bermaksud demikian.


4.    Larangan ini tidak lain hanyalah untuk mengagungkan Allah.








Bab: Memuliakan Nama-nama Allah dan Mengganti Nama untuk Tujuan Ini


Abu Syuraiḥ meriwayatkan, bahwa ia dulu diberi kun-yah (nama panggilan) “Abul Ḥakam”, Maka Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Allah Ta’ālā adalah Al-Ḥakam (penentu keputusan), dan hanya kepada-Nya segala permasalahan dimintakan keputusan hukumnya."


 Kemudian ia berkata, “Sesungguhnya kaumku apabila berselisih pendapat dalam suatu masalah mereka mendatangiku, lalu aku memberikan keputusan hukum di antara mereka, dan kedua belah pihak pun sama-sama menerimanya.” 


Maka Nabi bersabda, “Alangkah baiknya hal ini. Apakah kamu punya anak?” 


Aku menjawab, “Syuraiḥ, Muslim, dan Abdullah.” 


Nabi bertanya, “Siapa yang tertua di antara mereka?” 


 “Syuraiḥ”, Jawabku.


Nabi bersabda, “Kalau demikian kamu adalah Abu Syuraiḥ.” (HR. Abu Daud dan ahli hadis lainnya).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Wajib memuliakan nama dan sifat Allah (dengan tidak menggunakan nama atau kun-yah yang maknanya sejajar dengan nama Allah), walaupun tidak bermaksud demikian.


2.    Dianjurkan mengganti nama yang kurang baik untuk memuliakan nama Allah.


3.    Memilih nama anak yang tertua untuk kun-yah (nama panggilan).





Bab: Mengolok-olok Sesuatu yang Berkaitan dengan Nama Allah, Al-Qur`ān Atau Rasulullah


Firman Allah Ta’ālā, “Dan jika kamu tanyakan kepada orang-orang munafik (tentang apa yang mereka lakukan) tentulah mereka akan menjawab, 'Sesungguhnya kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja'. Katakanlah, 'Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kalian selalu berolok-olok?” [QS. At-Taubah: 65].


Ibnu Umar, Muhammad bin Ka'ab, Zaid bin Aslam, dan Qatādah meriwayatkan suatu hadis dengan rangkuman sebagai berikut: Bahwasanya ketika dalam peperangan Tabuk, ada seseorang yang berkata, “Belum pernah kami melihat seperti para ahli Al-Qur`ān (Qurrā`) ini, orang yang lebih buncit perutnya, dan lebih dusta mulutnya, dan lebih pengecut dalam peperangan.” Maksudnya adalah: Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat yang ahli Al-Qur`ān. Maka 'Auf bin Mālik berkata kepadanya, “Kau pendusta, kau munafik, aku akan beritahukan hal ini kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.” 


Lalu berangkatlah 'Auf bin Mālik menemui Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk memberitahukan hal ini kepada beliau, akan tetapi sebelum ia sampai, telah turun wahyu kepada beliau.


Orang itu lalu datang kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, sedangkan beliau sudah beranjak dari tempatnya dan menaiki untanya.


Ia berkata kepada Rasulullah, “Ya Rasulullah! Sebenarnya kami hanya bersenda gurau dan mengobrol sebagaimana obrolan orang yang mengadakan perjalanan untuk menghilangkan penatnya perjalanan.” 


Ibnu Umar mengisahkan, “Seolah-olah aku melihat orang tadi berpegangan pada sabuk pelana unta Rasulullah, sedang kedua kakinya tersandung-sandung batu, sambil berkata, 'Kami hanyalah bersenda gurau dan bermain-main saja'.” Kemudian Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadanya, “Apakah dengan Allah, ayat-ayat -Nya, dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?! Janganlah kalian membuat-buat alasan, sungguh kamu telah kafir setelah beriman.” Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengatakan seperti itu tanpa menoleh, dan tidak bersabda kepadanya lebih dari pada itu.


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Poin terpenting dalam bab ini, yaitu bahwa orang yang bersenda gurau dan mengolok-olok dengan menyebut nama Allah, ayat ayat -Nya dan Rasul-Nya adalah kafir.


2.    Ini adalah penafsiran dari ayat di atas, untuk orang yang melakukan perbuatan itu, siapa pun dia.


3.    Adanya perbedaan yang sangat jelas antara menghasut (adu domba) dan setia kepada Allah dan Rasul-Nya (dengan melaporkan makar orang-orang munafik).


4.    Ada perbedaan yang cukup jelas antara sikap memaafkan yang dicintai Allah dengan bersikap tegas terhadap musuh-musuh Allah.


5.    Tidak setiap permintaan maaf dapat diterima.


Bab: [Menyukuri Nikmat Allah] 


Firman Allah Ta’ālā, “Dan jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, 'Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari Kiamat itu akan datang. Dan jika aku dikembalikan kepada Tuhanku maka sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya.' Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras.” [QS. Fuṣṣilat: 50].


Mujāhid mengatakan (tentang makna 'ini adalah hakku'), “Ini adalah karena jerih payahku, dan akulah yang berhak memilikinya.” 


Sedangkan Ibnu 'Abbās mengatakan, “Ini adalah dari diriku sendiri.” 


Juga firman-Nya, “Ia (Karun) berkata, 'Sesungguhnya aku diberi harta kekayaan ini, tiada lain karena ilmu yang ada padaku'.” 


Qatādah -dalam menafsirkan ucapan Karun ini- mengatakan, “Maksudnya: karena ilmu pengetahuanku tentang berbagai amal usaha.” 


Ahli tafsir lainnya mengatakan, “Karena Allah mengetahui bahwa aku orang yang layak menerima harta kekayaan itu.” 


Ini semakna dengan penafsiran Mujāhid, yaitu: “Aku diberi harta kekayaan ini karena kemulianku.” 


Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa ia mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada tiga orang dari Bani Israil, yaitu: penderita penyakit kusta, orang berkepala botak, dan orang buta.


Kemudian Allah Ta’ālā ingin menguji mereka bertiga, maka diutuslah kepada mereka seorang malaikat.


Maka datanglah malaikat itu kepada penderita penyakit kusta dan bertanya kepadanya, 'Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?'


Ia menjawab, 'Rupa yang bagus, kulit yang indah, dan penyakit yang menjijikkan banyak orang ini hilang dari diriku.'


Maka diusaplah orang tersebut, dan hilanglah penyakit itu, serta diberilah ia rupa yang bagus dan kulit yang indah,


Kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya, 'Lalu kekayaan apa yang paling kamu senangi?'


Ia menjawab, 'Unta -atau sapi-.' (Isḥāq, perawi hadis ini ragu antara keduanya). Lalu diberilah ia seekor unta yang sedang bunting,


Malaikat itu lalu berkata, 'Semoga Allah memberikan berkah-Nya kepadamu dengan unta ini.'


Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang berkepala botak. Ia bertanya kepadanya, 'Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?'


Ia menjawab, 'Rambut yang indah, dan apa yang menjijikkan manusia di kepalaku ini hilang.'


Maka diusaplah kepalanya, dan seketika itu hilanglah penyakitnya, serta diberilah ia rambut yang indah.


Kemudian malaikat tadi bertanya lagi kepadanya, 'Harta apakah yang paling kamu senangi?'


Ia menjawab, 'Sapi -atau unta-.' Maka diberilah ia seekor sapi yang sedang bunting, seraya didoakan, 'Semoga Allah memberkahimu dengan sapi ini.'


Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang buta, dan bertanya kepadanya, 'Apakah sesuatu yang paling kamu inginkan?'


Ia menjawab, 'Semoga Allah berkenan mengembalikan penglihatanku sehingga aku dapat melihat manusia.' Maka diusaplah wajahnya, dan seketika itu Allah mengembalikan penglihatannya.


Kemudian malaikat itu bertanya lagi kepadanya, 'Harta apakah yang paling kamu senangi?' Ia menjawab, 'Kambing.'


Maka diberilah ia seekor kambing yang sedang bunting. Lalu berkembang-biaklah unta, sapi, dan kambing tersebut.


Sehingga yang pertama memiliki satu lembah unta, yang kedua memiliki satu lembah sapi, dan yang ketiga memiliki satu lembah kambing. 


Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam melanjutkan, "Kemudian datanglah malaikat itu kepada orang yang sebelumnya menderita penyakit kusta, dengan menyerupai dirinya di saat ia masih dalam keadaan berpenyakit kusta. Ia berkata kepadanya, 'Aku orang miskin, telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rezeki) dalam perjalananku ini, sehingga tidak akan dapat meneruskan perjalananku hari ini kecuali dengan pertolongan Allah, kemudian dengan pertolongan Anda.


Demi Allah yang telah memberi Anda rupa yang tampan, kulit yang indah, dan kekayaan yang banyak ini! Aku meminta kepada Anda satu ekor unta saja untuk bekal meneruskan perjalananku.'


Orang itu malah menjawab, 'Hak-hak (tanggungan yang mesti aku tunaikan) masih banyak.'


Kemudian malaikat tadi berkata kepadanya, 'Sepertinya aku pernah mengenal Anda; bukankah Anda ini dahulu orang yang menderita penyakit kusta, yang membuat manusia merasa jijik melihat Anda, juga seorang yang miskin, kemudian Allah memberikan kepada Anda harta kekayaan?'


Dia malah menjawab, 'Harta kekayaan ini warisan dari nenek moyangku yang mulia lagi terhormat.'


Maka malaikat berkata, 'Jika Anda berkata dusta niscaya Allah akan mengembalikan Anda kepada keadaan Anda semula.'"


Rasulullah melanjutkan, “Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya berkepala botak, dengan menyerupai dirinya di saat masih botak.


Ia berkata kepadanya sebagaimana ia berkata kepada orang yang pernah menderita penyakit kusta, serta ditolaknya pula permintaannya sebagaimana ia ditolak oleh orang yang pertama.


Maka malaikat itu berkata, 'Jika Anda berkata bohong niscaya Allah akan mengembalikan Anda seperti keadaan Anda semula.'


Kemudian malaikat tadi mendatangi orang yang sebelumnya buta, dengan menyerupai keadaannya dulu di saat ia masih buta, dan berkata kepadanya, 'Aku adalah orang yang miskin, yang kehabisan bekal dalam perjalanan, dan telah terputus segala jalan bagiku (untuk mencari rezeki) dalam perjalananku ini, sehingga aku tidak dapat lagi meneruskan perjalananku hari ini, kecuali dengan pertolongan Allah kemudian pertolongan Anda.


Demi Allah yang telah mengembalikan penglihatan Anda! Aku meminta seekor kambing saja untuk bekal melanjutkan perjalananku.'


Maka orang itu menjawab, 'Sungguh aku dahulunya buta, lalu Allah mengembalikan penglihatanku. Maka ambillah sesuka Anda, dan tinggalkan apa yang tidak Anda sukai. Demi Allah! Saya tidak akan mempersulit Anda dengan mengembalikan sesuatu yang telah Anda ambil karena Allah.'


Maka malaikat tadi berkata, 'Tahanlah harta kekayaan Anda, karena sesungguhnya kalian bertiga hanya diuji oleh Allah Ta’ālā, Allah telah rida kepada Anda, dan murka kepada kedua teman Anda.'” (HR. Bukhari dan Muslim).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Tafsir ayat di atas.


2.    Makna firman Allah, “Pastilah ia berkata, 'Ini adalah hakku'.” 


3.    Makna ucapan Karun dalam ayat, “Sesungguhnya aku diberi kekayaan ini tiada lain karena ilmu yang ada padaku.” 


4.    Kisah menarik, sebagaimana yang terkandung dalam hadis ini, memuat pelajaran-pelajaran yang berharga dalam kehidupan ini.





Bab: [Nama Yang Diperhambakan Kepada Selain Allah]  


Firman Allah Ta’ālā, “Ketika Allah mengaruniakan kepada mereka seorang anak laki-laki yang sempurna (wujudnya), maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal (anak) yang dikaruniakan kepada mereka, Mahasuci Allah dari perbuatan syirik mereka.” [QS. Al-A'rāf: 190].”


Ibnu Ḥazm berkata, “Para ulama telah sepakat mengharamkan setiap nama yang diperhambakan kepada selain Allah, seperti: 'Abdu 'Amr (hambanya 'Amr), 'Abdul-Ka'bah (hambanya Kakbah) dan yang sejenisnya, kecuali 'Abdul-Muṭṭalib. 


Ibnu 'Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan, “Setelah Adam menggauli istrinya, Hawa, ia pun hamil, lalu iblis mendatangi mereka berdua seraya berkata, 'Sungguh, aku adalah kawanmu berdua yang telah mengeluarkan kalian dari surga. Demi Allah! Hendaknya kalian menaati aku, jika tidak maka akan aku jadikan anakmu bertanduk dua seperti rusa, sehingga akan keluar dari perut istrimu dengan merobeknya. Demi Allah, itu pasti akan ku lakukan!” Yakni Iblis menakut-nakuti mereka berdua.


Selanjutnya Iblis berkata, 'Namailah anakmu dengan 'Abdul-Ḥāriṡ (hamba iblis).' Tapi keduanya menolak untuk menaatinya, dan ketika bayi itu lahir, ia lahir dalam keadaan mati.


Kemudian Hawa hamil lagi, dan datanglah Iblis itu dengan mengatakan seperti apa yang pernah dikatakan sebelumnya. Tapi keduanya menolak untuk menaatinya, dan ketika bayi itu lahir, ia lahir dalam keadaan mati.


Kemudian Hawa hamil lagi, dan datanglah Iblis itu dengan mengingatkan apa yang pernah dikatakan sebelumnya. Karena Adam dan Hawa cenderung lebih mencintai keselamatan anaknya, maka ia memberi nama anaknya dengan 'Abdul-Ḥāriṡ.


Itulah penafsiran firman Allah Ta’ālā, “maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah dalam hal (anak) yang dikaruniakan kepada mereka.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Ḥātim).


Ibnu Abi Ḥātim meriwayatkan pula, dengan sanad yang sahih, bahwa Qatādah dalam menafsirkan ayat ini mengatakan, “Yaitu, menyekutukan Allah dengan taat kepada Iblis, bukan dalam beribadah kepadanya.” 


Ibnu Abi Ḥātim meriwayatkan pula, dengan sanad yang sahih, bahwa Mujāhid menafsirkan ayat ini, “Jika Engkau mengaruniakan anak laki-laki yang sempurna (wujudnya)” dengan berkata, “Adam dan Hawa khawatir kalau anak itu lahir tidak dalam wujud manusia.” 


Penafsiran yang semakna dengan ini diriwayatkannya pula dari Al-Ḥasan (Al-Baṣriy), Sa'īd, dan ulama lainnya.


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Dilarang memberi nama yang diperhambakan kepada selain Allah.


2.    Tafsir ayat yang telah disebutkan di atas.


3.    Kesyirikan ini disebabkan oleh sekadar pemberian nama saja, tanpa bermaksud yang sebenarnya.


4.    Pemberian anak perempuan dengan wujud yang sempurna merupakan nikmat Allah yang wajib disyukuri.


5.    Ulama salaf menyebutkan perbedaan antara kesyirikan dalam bentuk ketaatan dan kesyirikan dalam bentuk ibadah.








Bab: [Menetapkan Al-Asmā` Al-Husnā Hanya Untuk Allah Dan Tidak Menyelewengkannya] 


Firman Allah Ta’ālā, “Hanya milik Allahlah al-asmā` al-ḥusnā (nama-nama yang terbaik], maka berdoalah kepada-Nya dengan menyebut asmā`-Nya itu, dan tinggalkanlah orang-orang yang menyelewengkan asmā`-Nya.” [QS. Al-A'rāf: 180].


Ibnu Abi Ḥātim meriwayatkan dari Ibnu 'Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā tentang maksud firman Allah “Menyelewengkan asmā`-Nya”, ia mengatakan, bahwa maksudnya adalah: “Berbuat syirik (dalam asmā`-Nya).” 


Juga diriwayatkan dari Ibnu 'Abbās, ia berkata, “Orang-orang manamai al-lāta dari (penyelewengan) kata al-ilāh (Allah), dan al-'uzzā dari (penyelewengan) kata al-'azīz (Yang Mahamulia).” 


Al-A'masy -dalam menafsirkan ayat tersebut- mengatakan, “Mereka memasukkan ke dalam nama-Nya nama-nama yang bukan dari-Nya.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Wajib menetapkan nama-nama Allah yang sahih.


2.    Semua nama-nama Allah adalah ḥusnā (Mahaindah).


3.    Perintah untuk berdoa dengan menyebut al-asmā` al-ḥusnā.


4.    Wajib meninggalkan orang-orang yang menentang al-asmā` al-ḥusnā dan menyelewengkannya.


5.    Penjelasan tentang bentuk penyelewengan al-asmā` al-ḥusnā.


6.    Ancaman terhadap orang-orang yang menyelewengkan al-asmā` al-ḥusnā.





Bab: Larangan Mengucapkan: “As-Salāmu 'Alallāh” 





Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥ; Ibnu Mas'ūd raḍiyallāhu ‘anhu berkata, Ketika kami melakukan salat bersama Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, kami pernah mengucapkan, “As-salāmu 'alallāhi min 'ibādihi, as-salāmu 'alā fulān wa fulān (semoga keselamatan untuk Allah dari hamba-hambanya, dan semoga keselamatan untuk si polan dan si polan).” Maka Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu mengucapkan, 'As-salāmu 'alallāh (semoga kesejahteraan untuk Allah)', karena sesungguhnya Allah adalah Maha Pemberi keselamatan.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Penjelasan makna As-Salām.


2.    As-Salām merupakan ucapan selamat.


3.    Hal ini tidak sesuai untuk Allah.


4.    Penyebutan alasan pelarangan hal itu.


5.    Pengajaran para sahabat tentang ucapan penghormatan yang sesuai untuk Allah.





Bab: Doa, “Ya Allah! Ampunilah Aku Jika Engkau Menghendaki” 


Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥ; Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah ada seseorang di antara kalian yang berdoa dengan ucapan, 'Ya Allah! Ampunilah aku jika Engkau menghendaki', atau berdoa, 'Ya Allah! Rahmatilah aku jika Engkau menghendaki'. Tetapi hendaklah meminta dengan mantap, karena sesungguhnya Allah Ta’ālā tidak ada sesuatu pun yang memaksa-Nya untuk berbuat sesuatu.” Dalam riwayat Muslim disebutkan: “... dan hendaklah ia memiliki keinginan yang besar, karena sesungguhnya Allah tidak diberatkan karena sesuatu yang Dia berikan.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Larangan mengucapkan kata, “Jika Engkau menghendaki” dalam berdoa.


2.    Penjelasan penyebab larangan hal tersebut.


3.    Perintah bersungguh-sungguh dalam doa, “Tetapi hendaklah meminta dengan mantap.” 


4.    Diperintahkan untuk membesarkan harapan dalam berdoa.


5.    Penjelasan penyebab perintah untuk hal tersebut.





Bab: Larangan Mengucapkan, “'Abdī (Hamba Laki-lakiku)” atau “Amatī (Hamba Perempuanku)” 


Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥ; Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah salah seorang di antara kalian berkata (kepada hamba sahaya atau pelayannya), 'Hidangkan makanan untuk rabb-mu (pemilikmu)', dan 'ambilkan air wudu untuk rabb-mu (pemilikmu)'. Tetapi hendaknya pelayan itu mengatakan, 'Tuanku', atau 'majikanku'. Dan janganlah salah seorang di antara kalian berkata (kepada budaknya), 'Hamba laki-lakiku', dan 'hamba perempuanku'. Tetapi, hendaknya ia berkata, 'Bujangku', 'gadisku', dan 'anakku'.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Larangan mengatakan, 'Abdī atau Amatī”, yang berarti hambaku.


2.    Seorang hamba sahaya tidak boleh memanggil majikannya dengan ucapan, “Rabbī” (pemilikku). Juga tidak dibolehkan mengucapkan padanya, “Hidangkan makanan untuk rabb-mu (pemilikmu)'.”


3.    Dianjurkan kepada majikan atau tuan untuk memanggil pelayan atau hamba sahayanya dengan ucapan: fatāya (bujangku), fatātī (gadisku), dan gulāmī (anakku).


4.    Dianjurkan kepada pelayan atau hamba sahaya untuk memanggil tuan atau majikannya dengan panggilan, sayyidī (tuanku) atau maulāya (majikanku).


5.    Tujuan dari anjuran di atas untuk mengamalkan tauhid dengan semurni-murninya, sampai dalam hal ucapan.





Bab: Larangan Menolak Permintaan Atas Nama Allah


Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā berkata, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah maka lindungilah; siapa yang meminta dengan menyebut nama Allah, maka berilah; siapa yang mengundangmu maka penuhilah undangannya; dan siapa yang berbuat kebaikan kepadamu, maka balaslah kebaikan itu (dengan sebanding atau lebih baik), dan jika engkau tidak mendapatkan sesuatu untuk membalas kebaikannya, maka doakan ia, sampai engkau merasa yakin bahwa engkau telah membalas kebaikannya." (HR. Abu Daud dan An-Nasā`iy dengan sanad sahih).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Perintah untuk mengabulkan permintaan orang yang meminta dengan menyebut nama Allah.


2.    Perintah untuk melindungi orang yang meminta perlindungan dengan menyebut nama Allah.


3.    Anjuran untuk memenuhi undangan saudara seiman.


4.    Perintah untuk membalas kebaikan.


5.    Doa adalah balasan kebaikan dari orang yang tidak mampu membalasnya dengan hal lain.


6.    Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menganjurkan untuk mendoakannya dengan sungguh-sungguh, sampai ia merasa yakin bahwa Anda telah membalas kebaikannya.





Bab: Tidak Boleh Memohon Sesuatu Dengan Menyebut Wajah Allah Kecuali Permohonan Surga


Jābir raḍiyallāhu ‘anhumā meriwayatkan, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak boleh memohon (sesuatu) dengan menyebut wajah Allah kecuali permohonan surga." (HR. Abu Daud).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Larangan memohon sesuatu dengan menyebut wajah Allah kecuali apabila yang dimohon itu adalah permohonan tertinggi, yaitu surga.


2.    Menetapkan kebenaran adanya wajah bagi Allah Ta’ālā.





Bab: Ucapan “Seandainya” 


Firman Allah Ta’ālā, “Mereka (orang-orang munafik) mengatakan, 'Seandainya ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.'” [QS. Āli 'Imrān: 154].


Juga firman-Nya, “Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka takut pergi berperang, 'Seandainya mereka mengikuti kita tentulah mereka sudah terbunuh.'” [QS. Āli 'Imrān: 16].


Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥ; Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bersungguh-sungguhlah dalam mencari apa yang bermanfaat bagimu, mohonlah pertolongan kepada Allah (dalam segala urusanmu), dan janganlah sekali-kali kamu bersikap lemah. Jika kamu tertimpa suatu kegagalan, maka janganlah kamu mengatakan: 'Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan begini atau begitu''. Tetapi katakanlah: 'Ini telah ditentukan oleh Allah, dan Allah akan melakukan apa yang Ia kehendaki'. Karena kata 'seandainya' itu akan membuka pintu perbuatan setan.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Tafsir dua ayat dalam surah Āli 'Imrān.


2.    Larangan mengucapkan kata “andai kata” atau “seandainya” apabila mendapat suatu musibah atau kegagalan.


3.    Alasannya, karena kata tersebut (seandainya/andai kata) akan membuka pintu perbuatan setan. 


4.    Petunjuk Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam supaya mengucapkan ucapan yang baik (meskipun dalam kegagalan). 


5.    Perintah untuk bersungguh- sungguh dalam mencari segala yang bermanfaat dengan senantiasa memohon pertolongan Allah.


6.    Larangan bersikap sebaliknya, yaitu bersikap lemah.





Bab: Larangan Mencaci Maki Angin


Ubay bin Ka'ab raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kamu mencaci maki angin. Apabila kamu melihat suatu hal yang tidak menyenangkan, maka berdoalah, 'Allāhumma innā nas`aluka min khairi hāżihir-rīḥ, wa khairi mā fīhā, wa khairi mā umirat bihi, wa na'ūżu bika min syarri hāżihir-rīḥ, wa syarri mā fīhā, wa syarri mā umirat bihi (Ya Allah! Sesungguhnya kami memohon kepada-Mu kebaikan angin ini, dan kebaikan apa yang ada di dalamnya, dan kebaikan yang untuknya Kau perintahkan ia, dan kami berlindung kepada-Mu dari keburukan angin ini, dan keburukan yang ada di dalamnya, dan keburukan yang untuknya Kau perintahkan ia)'." (Disahihkan oleh Tirmizi).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Larangan mencaci maki angin.


2.    Petunjuk Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk mengucapkan doa, apabila manusia melihat sesuatu yang tidak menyenangkan.


3.    Pemberitahuan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa angin mendapat perintah dari Allah.


4.    Angin yang bertiup itu kadang diperintah untuk suatu kebaikan, dan kadang diperintah untuk suatu keburukan.





Bab: [Larangan Berprasangka Buruk Terhadap Allah]


Firman Allah Ta’ālā, “Mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah. Mereka berkata, 'Apakah ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan] dalam urusan ini?' Katakanlah, 'Sesungguhnya urusan itu seluruhnya di tangan Allah.' Mereka menyembunyikan dalam hati mereka apa yang tidak mereka terangkan kepadamu; mereka berkata, 'Sekiranya ada bagi kita sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini, niscaya kita tidak akan dibunuh (dikalahkan) di sini.' Katakanlah, 'Sekiranya kamu berada di rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu keluar (juga) ke tempat mereka terbunuh.' Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Dan Allah Maha Mengetahui isi hati.” [QS. Āli 'Imrān: 154].


Firman Allah, “Mereka yang berprasangka buruk terhadap Allah, mereka akan mendapat giliran (keburukan) yang amat buruk, dan Allah memurkai dan mengutuk mereka serta menyediakan bagi mereka neraka Jahanam. Dan (neraka Jahanam) itulah seburuk-buruk tempat kembali.” [QS. Al-Fatḥ: 6].


Ibnul-Qayyim dalam menafsirkan ayat yang pertama mengatakan,


 “Prasangka di sini maksudnya adalah bahwa Allah Subḥānahu wa Ta’ālā tidak akan memberikan pertolongan-Nya kepada Rasul-Nya, dan bahwa agama yang beliau bawa akan lenyap. Ada juga yang menafsirkan, bahwa apa yang menimpa beliau bukanlah dengan takdir (ketentuan) dan hikmah (kebijaksanaan) Allah. Jadi prasangka di sini ditafsirkan dengan tiga penafsiran: 


-    Pertama: mengingkari adanya hikmah Allah. 


-    Kedua: mengingkari takdir-Nya. 


-    Ketiga: mengingkari bahwa agama yang dibawa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam akan disempurnakan dan dimenangkan Allah atas semua agama. 


Inilah prasangka buruk yang dilakukan oleh orang-orang munafik dan orang-orang musyrik yang disebutkan dalam surah Al-Fatḥ. Perbuatan ini disebut dengan prasangka buruk, karena prasangka yang demikian tidak layak untuk Allah Subḥānahu wa Ta’ālā, tidak patut terhadap keagungan dan kebesaran Allah, serta tidak sesuai dengan kebijaksanaan-Nya, Puji-Nya, dan janji-Nya yang pasti benar.


Oleh karena itu, siapa yang berprasangka bahwa Allah Ta’ālā akan memenangkan kebatilan atas kebenaran, disertai dengan lenyapnya kebenaran itu; atau berprasangka bahwa apa yang terjadi ini bukan karena kada dan takdir Allah; atau mengingkari adanya suatu hikmah yang besar sekali dalam takdir-Nya, yang dengan hikmah-Nya Allah berhak untuk dipuji; bahkan mengira bahwa yang terjadi hanya sekadar kehendak-Nya saja tanpa ada hikmah-Nya, maka “inilah prasangka orang orang kafir. Sungguh bagi mereka akan ada balasan berupa neraka Wail.” [QS. Ṣād: 27].


Kebanyakan manusia melakukan prasangka buruk kepada Allah Ta’ālā, baik dalam hal yang berkenaan dengan diri mereka sendiri, ataupun dalam hal yang berkenaan dengan orang lain, bahkan tidak ada orang yang selamat dari prasangka buruk ini, kecuali orang yang benar-benar mengenal Allah, nama-nama dan sifat-Nya, serta mengenal kepastian adanya hikmah dan keharusan adanya puji bagi-Nya sebagai konsekuensinya.


Maka orang yang berakal dan yang cinta kepada dirinya sendiri hendaklah memperhatikan masalah ini, dan segera bertobat kepada Allah, serta memohon ampunan-Nya atas prasangka buruk yang dilakukannya terhadap Allah.


Apabila Anda selidiki, siapa pun orangnya pasti akan Anda dapati pada dirinya sikap menyangkal dan mencemoohkan takdir Allah, dengan mengatakan bahwa hal tersebut semestinya begini dan begitu; di antara mereka ada yang sedikit sangkalannya dan ada juga yang banyak. Dan silakan periksalah diri Anda sendiri, apakah Anda bebas dari sikap tersebut?


Jika Anda selamat dari sikap tersebut, maka Anda selamat dari malapetaka yang besar... namun jika tidak, sungguh aku yakin Anda tidak akan selamat.


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Tafsir ayat dalam surah Āli 'Imrān.


2.    Tafsir ayat dalam surah Al-Fatḥ.


3.    Penjelasan bahwa prasangka buruk itu banyak sekali macamnya.


4.    Penjelasan bahwa tidak ada yang bisa selamat dari prasangka buruk ini kecuali orang yang mengenal nama-nama dan sifat-sifat Allah, serta mengenal dirinya sendiri.





Bab: Tentang Orang-orang yang Mengingkari Takdir Allah Ta’ālā


Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā berkata, “Demi Allah yang jiwa Ibnu Umar berada di tangan-Nya! Seandainya salah seorang memiliki emas sebesar gunung Uhud, lalu dia infakkan di jalan Allah, niscaya Allah tidak akan menerimanya, sampai ia beriman kepada kadar (ketentuan Allah)." 


Lalu Ibnu Umar berdalil dengan sabda Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam: “Iman itu adalah engkau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari akhir, dan beriman kepada kadar baik dan buruknya.” (HR. Muslim).


Ubādah bin Aṣ-Ṣāmit raḍiyallāhu ‘anhu berkata kepada anaknya, “Hai anakku! Sungguh kamu tidak akan bisa merasakan lezatnya iman sampai kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan menimpa dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak menimpa dirimu pasti tidak akan menimpamu. Sungguh aku telah mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, Sesungguhnya makhluk pertama kali yang diciptakan Allah adalah Qalam (pena), kemudian Allah berfirman kepadanya, 'Tulislah.' Maka pena itu menjawab, 'Ya Tuhanku! Apa yang mesti aku tulis?’ Allah berfirman, 'Tulislah takdir segala sesuatu sampai datang hari Kiamat.'


Hai anakku! Aku juga telah mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang meninggal dunia tidak dalam keyakinan seperti ini, maka ia tidak tergolong umatku.'”


Dalam riwayat Aḥmad: “Sesungguhnya makhluk pertama kali yang diciptakan Allah Ta’ālā adalah Qalam, kemudian Allah berfirman kepadanya, 'Tulislah!' Maka ditulislah saat itu apa yang akan terjadi sampai hari Kiamat.'” 


Dalam riwayat Ibnu Wahb; Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Maka siapa yang tidak beriman kepada takdir (ketentuan Allah); yang baik dan buruknya, maka Allah pasti akan membakarnya dengan api neraka.” 


Diriwayatkan dalam Al-Musnad dan As-Sunan; Ibnu Ad-Dailamiy meriwayatkan, Aku datang kepada Ubay bin Ka'ab, kemudian aku katakan kepadanya, “Ada sesuatu keraguan dalam hatiku tentang masalah takdir, maka sampaikanlah kepadaku suatu hadis dengan harapan semoga Allah Ta’ālā menghilangkan keraguan itu dari hatiku.” Maka ia berkata, “Seandainya kamu menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, Allah tidak akan menerimanya darimu, sampai kamu beriman kepada takdir, dan kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan mengenai dirimu pasti tidak akan meleset, dan apa yang telah ditakdirkan tidak mengenai dirimu pasti tidak akan menimpamu, dan jika kamu mati tidak dalam keyakinan seperti ini, pasti kamu menjadi penghuni neraka.” 


Ibnu Ad-Dailamiy melanjutkan: Lalu aku mendatangi Abdullah bin Mas'ūd, Ḥużaifah bin Al-Yamān, dan Zaid bin Ṡābit, semuanya mengucapkan kepadaku hadis yang sama dengan sabda Nabi Muhammad ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam di atas. (Hadis sahih diriwayatkan oleh Al-Ḥākim dalam Ṣaḥīḥ-nya). (Hadis sahih; HR. Al-Ḥākim dalam Ṣaḥīḥ-nya).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Keterangan tentang kewajiban beriman kepada takdir.


2.    Keterangan tentang cara beriman kepada takdir.


3.    Amal ibadah seseorang sia-sia jika tidak beriman kepada kadar.


4.    Penjelasan bahwa seseorang tidak akan merasakan iman sebelum ia beriman kepada kadar.


5.    Penjelasan makhluk pertama yang diciptakan Allah.


6.    Diberitahukan dalam hadis bahwa -dengan perintah dari Allah- Qalam menulis semua takdir sampai hari Kiamat.


7.    Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa dirinya berlepas diri dari orang yang tidak beriman kepada kadar.


8.    Tradisi para ulama salaf dalam menghilangkan keraguan, yaitu dengan bertanya kepada ulama.


9.    Para ulama salaf memberikan jawaban yang dapat menghilangkan keraguannya tersebut; yaitu dengan hanya menyampaikan hadis dari Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam.





Bab: Tentang Penggambar Makhluk Bernyawa


Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu berkata, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah Ta’ālā berfirman, 'Dan tiada seseorang yang lebih zalim daripada orang yang bermaksud menciptakan makhluk seperti ciptaan-Ku. Maka cobalah mereka menciptakan seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum.'” (HR. Bukhari dan Muslim).


Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Aisyah raḍiyallāhu ‘anhā, bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Manusia yang paling pedih siksanya pada hari Kiamat adalah orang-orang yang membuat penyerupaan dengan makhluk Allah.” 


Mereka berdua juga meriwayatkan dari Ibnu 'Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, bahwa ia mengabarkan, Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Setiap muṣawwir (perupa) berada di dalam neraka, dan setiap gambar yang dibuatnya diberi napas untuk menyiksa dirinya dalam neraka Jahanam.” 


Mereka berdua juga meriwayatkan dari Ibnu 'Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā secara marfū’, “Siapa yang membuat gambar di dunia, maka kelak (pada hari Kiamat) ia akan dibebani untuk meniupkan ruh ke dalam rupaka yang dibuatnya, namun ia tidak bisa meniupkannya.” 


Imam Muslim meriwayatkan dari Abul-Hayyāj, ia berkata, Ali bin Abi Ṭālib raḍiyallāhu ‘anhu berkata kepadaku, “Maukah kamu aku utus untuk suatu tugas sebagaimana Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengutusku untuk tugas tersebut? Yaitu: janganlah kamu biarkan ada sebuah gambar tanpa kamu musnahkan, dan janganlah kamu biarkan ada sebuah kuburan yang menonjol kecuali kamu ratakan.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Ancaman berat bagi para penggambar/pembuat makhluk yang bernyawa.


2.    Penjelasan penyebab keharamannya, yaitu ia merupakan adab yang buruk kepada Allah Ta’ālā, sebagaimana firman-Nya, “Dan tiada orang yang lebih zalim daripada orang yang menciptakan makhluk seperti ciptaan-Ku.” 


3.    Firman Allah, “Maka cobalah mereka ciptakan seekor semut kecil, atau sebutir biji-bijian, atau sebutir biji gandum”; menunjukkan kekuasaan Allah dan kelemahan manusia.


4.    Penegasan bahwa para perupa adalah manusia yang paling pedih siksanya.


5.    Allah akan membuat ruh untuk setiap gambar yang dibuat guna menyiksa perupa (pembuat gambar) tersebut dalam neraka Jahanam.


6.    Perupa akan dibebani untuk meniupkan ruh ke dalam gambar yang dibuatnya.


7.    Perintah untuk memusnahkan gambar apabila menjumpainya.





Bab: Larangan Banyak Bersumpah


Firman Allah Ta’ālā, “Dan jagalah sumpah-sumpahmu.” [QS. Al-Mā`idah: 89].


Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan, Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sumpah itu dapat melariskan barang dagangan namun dapat menghapus keberkahan usaha.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Salmān raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tiga orang yang mereka itu tidak diajak bicara oleh Allah, tidak disucikan oleh Allah (pada hari Kiamat), dan mereka menerima azab yang pedih, yaitu: orang yang sudah beruban (tua) yang berzina, orang miskin yang sombong, dan orang yang menjadikan Allah sebagai barang dagangannya, ia tidak membeli atau menjual kecuali dengan bersumpah.” (HR. Aṭ-Ṭabarāniy dengan sanad sahih).


Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥ; 'Imrān bin Ḥuṣain raḍiyallāhu ‘anhu berkata, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik umatku adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya lagi.” –'Imrān berkata, “Aku tidak ingat lagi apakah Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam menyebutkan generasi setelah masa beliau dua kali atau tiga?”– “Kemudian akan ada setelah masa kalian orang-orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta, mereka berkhianat dan tidak dapat dipercaya, mereka bernazar tapi tidak memenuhi nazarnya, dan badan mereka tampak gemuk-gemuk."


Dalam Aṣ-Ṣaḥīḥ juga; Ibnu Mas'ūd raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang hidup pada masaku, kemudian generasi yang datang berikutnya, kemudian generasi yang datang berikutnya lagi, kemudian akan datang orang-orang yang kesaksian mereka mendahului sumpahnya, dan sumpahnya mendahului kesaksiannya.” 


Ibrahim (An-Nakha'iy) berkata, “Mereka memukuli kami karena kesaksian dan sumpah (yang kami lakukan) ketika kami masih kecil.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Adanya wasiat untuk menjaga sumpah.


2.    Penjelasan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bahwa sumpah itu dapat melariskan barang dagangan, tapi ia juga dapat menghapus keberkahan usaha itu.


3.    Ancaman berat bagi orang yang selalu bersumpah, baik ketika menjual atau membeli.


4.    Peringatan bahwa dosa itu bisa menjadi besar walaupun faktor yang mendorong untuk melakukannya itu kecil.


5.    Larangan dan celaan bagi orang yang bersumpah tanpa diminta.


6.    Pujian Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk ketiga generasi atau keempat generasi (sebagaimana tersebut dalam suatu hadis), dan memberitakan apa yang akan terjadi selanjutnya.


7.    Larangan dan celaan bagi orang yang memberikan kesaksian tanpa diminta.


8.    Orang-orang salaf (terdahulu) memukul anak-anak kecil karena memberikan kesaksian dan melakukan perjanjian.





Bab: Perjanjian dengan Allah dan Nabi-Nya


Firman Allah, “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji, dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpahmu itu sesudah mengukuhkannya, sedang kamu telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpah itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat.” [QS. An-Naḥl: 91].


Buraidah raḍiyallāhu ‘anhu berkata, Apabila Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengangkat komandan pasukan perang atau batalion, beliau menyampaikan pesan kepadanya agar selalu bertakwa kepada Allah, dan berlaku baik kepada kaum muslimin yang bersamanya, kemudian beliau bersabda, “Seranglah mereka dengan nama Allah, perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah demi jalan Allah, seranglah dan janganlah kamu menggelapkan harta rampasan perang, jangan mengkhianati perjanjian, jangan memutilasi korban yang terbunuh, dan jangan membunuh anak-anak. 


Apabila kamu menjumpai musuh-musuhmu dari kalangan orang-orang musyrik, maka ajaklah mereka kepada tiga hal: apa saja yang mereka setujui, maka terimalah dan hentikanlah penyerangan terhadap mereka. 


Ajaklah mereka kepada agama Islam; jika mereka menerima maka terimalah mereka, kemudian ajaklah mereka berhijrah dari daerah mereka ke daerah kaum muhajirin, dan beritahu mereka jika mereka mau melakukannya maka bagi mereka hak dan kewajiban sama seperti hak dan kewajiban kaum muhajirin; 


Tetapi, jika mereka menolak untuk berhijrah dari daerah mereka, maka beritahu mereka, bahwa mereka akan mendapat perlakuan seperti orang-orang badui dari kalangan umat Islam, berlaku bagi mereka hukum Allah, tetapi mereka tidak mendapatkan bagian dari hasil rampasan perang dan fai, kecuali jika mereka mau bergabung untuk berjihad di jalan Allah bersama orang-orang Islam; 


Namun, jika mereka menolak hal tersebut, maka mintalah dari mereka jizyah, kalau mereka menerima maka terimalah dan hentikan penyerangan terhadap mereka; 


Tetapi jika semua itu ditolak maka mohonlah pertolongan kepada Allah dan perangilah mereka. Dan jika kamu telah mengepung kubu pertahanan mereka, kemudian mereka menghendaki darimu agar kamu membuat untuk mereka perjanjian Allah dan Nabi-Nya, maka janganlah kamu buatkan untuk mereka perjanjian Allah dan Rasul-Nya, akan tetapi buatlah untuk mereka perjanjian dirimu sendiri dan perjanjian sahabat-sahabatmu, karena sesungguhnya melanggar perjanjianmu sendiri dan sahabat-sahabatmu itu lebih ringan risikonya dari pada melanggar perjanjian Allah dan Nabi-Nya. Dan jika kamu telah mengepung kubu pertahanan musuhmu, kemudian mereka menghendaki agar kamu mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, maka janganlah kamu mengeluarkan mereka atas dasar hukum Allah, tetapi keluarkanlah mereka atas dasar hukum yang kamu ijtihadkan, karena sesungguhnya kamu tidak mengetahui apakah tindakanmu sesuai dengan hukum Allah atau tidak.”  (HR. Muslim).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Perbedaan antara perjanjian Allah dan perjanjian Nabi-Nya dengan perjanjian kaum muslimin.


2.    Petunjuk Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk memilih salah satu pilihan yang paling ringan risikonya dari dua pilihan yang ada.


3.    Perintah beliau (tentang etika perang), “Seranglah mereka dengan nama Allah."


4.    Perintah beliau, “Perangilah orang-orang yang kafir kepada Allah."


5.    Perintah beliau (sebelum perang), "Mintalah pertolongan kepada Allah, lalu perangilah mereka."


6.    Perbedaan antara hukum Allah dan hukum hasil ijtihad para ulama.


7.    Disyariatkan bagi seorang komandan dalam kondisi yang diperlukan seperti yang tersebut dalam hadis, untuk berijtihad dalam menentukan hukum tertentu, walaupun ia tidak tahu apakah ijtihadnya sesuai dengan hukum Allah atau tidak?


Bab: Larangan Bersumpah Mendahului Allah


Jundub bin Abdullah raḍiyallāhu ‘anhu berkata, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ada seorang laki-laki berkata, 'Demi Allah! Allah tidak akan mengampuni si polan.' Maka Allah Ta’ālā berfirman,” Siapa yang bersumpah mendahului-Ku, bahwa Aku tidak akan mengampuni si polan? Sungguh Aku telah mengampuni-Nya dan Aku telah menghapuskan amalmu.'” (HR. Muslim).


Dalam hadis riwayat Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu disebutkan bahwa orang yang bersumpah demikian itu adalah ahli ibadah. Abu Hurairah berkata, “Ia telah mengucapkan suatu ucapan yang menghancurkan dunia dan akhiratnya.” 


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Peringatan untuk tidak bersumpah mendahului Allah.


2.    Hadis di atas menunjukkan bahwa neraka itu lebih dekat kepada seseorang daripada tali sandal jepitnya.


3.    Begitu juga surga.


4.    Bukti kedekatan surga atau neraka itu adalah hadis, “Sesungguhnya seseorang kadang mengatakan suatu kalimat yang ia tidak pedulikan, namun dengan sebab kalimat itu ia terjerumus ke dalam neraka ...” 


5.    Kadang-kadang seseorang mendapatkan ampunan dari Allah dengan faktor adanya sesuatu yang ia benci.





Bab: Larangan Menjadikan Allah Sebagai Perantara kepada Makhluk-Nya


Jubair bin Muṭ'im raḍiyallāhu ‘anhu berkata, Ada seorang badui datang kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dengan mengatakan, “Ya Rasulullah! Orang-orang pada kehabisan tenaga, anak istri kelaparan, dan harta benda pada musnah, maka mintalah siraman hujan untuk kami kepada Rabb-mu, sungguh kami menjadikan Allah sebagai perantara kepadamu, dan kami menjadikanmu sebagai perantara kepada Allah.” Maka Nabi ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Mahasuci Allah, Mahasuci Allah." Beliau masih terus bertasbih sampai tampak pada wajah para sahabat (perasaan takut akan kemarahan beliau), Kemudian beliau bersabda, “Kasihanilah dirimu, tahukah kalian siapa Allah itu? Sungguh kedudukan Allah Ta’ālā itu jauh lebih agung daripada yang demikian itu. Sesungguhnya tidak dibenarkan menjadikan Allah sebagai perantara kepada siapa pun dari makhluk-Nya ....” (HR. Abu Daud).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam mengingkari seseorang yang mengatakan, “Kami menjadikan Allah sebagai perantara kepadamu."


2.    Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam marah sekali ketika mendengar ucapan ini, dan bertasbih berkali-kali, sehingga para sahabat merasa takut.


3.    Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari ucapannya, “Kami menjadikanmu sebagai perantara kepada Allah.” 


4.    Penjelasan makna “Subḥānallah” (Mahasuci Allah).


5.    Kaum muslimin meminta Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam untuk memohon hujan kepada Allah.





Bab: Upaya Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dalam Menjaga Kemurnian Tauhid, dan Menutup Semua Sarana Kemusyrikan


Abdullah bin Asy-Syikhkhīr raḍiyallāhu ‘anhu berkata, Ketika aku ikut pergi bersama suatu delegasi Bani 'Āmir menemui Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, kami berkata pada beliau, “Engkau adalah sayyidunā (tuan kami).” 


Maka beliau bersabda, “Sayyid (tuan yang sebenarnya) adalah Allah -Tabāraka Wa Ta'ālā-.” 


Kemudian kami berkata, “Engkau adalah yang paling utama dan paling agung kebaikannya di antara kita.” 


Beliau bersabda, “Ucapkanlah semua atau sebagian kata-kata yang wajar bagi kalian, dan janganlah kalian terseret oleh setan.” (HR. Abu Daud dengan sanad sahih).


Anas bin Mālik raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan bahwa ada sebagian orang berkata, "Wahai Rasulullah! Wahai orang yang paling baik di antara kami, dan putra orang yang terbaik di antara kami! Wahai tuan kami dan putra tuan kami!” Maka Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, Wahai saudara-saudara sekalian! Ucapkanlah kata-kata yang wajar saja bagi kamu sekalian, dan janganlah sekali-kali kalian terbujuk oleh setan. Aku adalah Muhammad, hamba Allah dan utusan-Nya, aku tidak senang kalian mengagungkanku melebihi kedudukanku yang telah diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepadaku." (HR. An-Nasā`i dengan sanad jayyid).


    Pelajaran penting yang terkandung dalam bab ini:


1.    Peringatan kepada manusia agar tidak bersikap berlebih-lebihan terhadap beliau.


2.    Perkataan yang harus diucapkan oleh orang yang dipanggil dengan panggilan “Engkau adalah sayyidunā (tuan kami).”


3.    Peringatan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam, "Janganlah kalian terseret dan terbujuk oleh setan", padahal para sahabat tidak mengatakan kecuali yang sebenarnya.


4.    Peringatan Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam (kepada para sahabat), "Aku tidak senang kamu sekalian mengangkatku melebihi kedudukan yang telah diberikan kepadaku oleh Allah Ta’ālā."





Bab: [Keagungan Dan Kekuasaan Allah] 


Firman Allah Ta’ālā, “Dan mereka (orang-orang musyrik) tidak mengagung-agungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat, dan semua langit digulung dengan tangan kanan-Nya. Mahasuci dan Mahatinggi Allah dari segala perbuatan syirik mereka.” [QS. Az-Zumar: 67]


Ibnu Mas'ūd raḍiyallāhu ‘anhu berkata, Salah seorang pendeta Yahudi datang kepada Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Wahai Muhammad! Sesungguhnya kami dapati (dalam kitab suci kami) bahwa Allah meletakkan langit-langit di atas satu jari, bumi-bumi di atas satu jari, pohon-pohon di atas satu jari, air di atas satu jari, tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari, kemudian Dia berfirman, 'Akulah Penguasa (raja)'.” Maka Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam tertawa sampai tampak gigi geraham beliau, karena membenarkan ucapan pendeta Yahudi itu, kemudian beliau membacakan firman Allah, “Dan mereka (orang-orang musyrik) tidak mengagung-agungkan Allah dengan pengagungan yang sebenar-benarnya, padahal bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari Kiamat ...” 


Dalam riwayat Imam Muslim terdapat tambahan, “Gunung-gunung dan pohon-pohon di atas satu jari, kemudian Dia mengguncangnya seraya berfirman, 'Akulah penguasa, Akulah Allah'.” 


Dalam riwayat Imam Bukhari disebutkan, “Allah letakkan semua langit di atas satu jari, air serta tanah di atas satu jari, dan seluruh makhluk di atas satu jari.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Imam Muslim meriwayatkan dari Ibnu Umar raḍiyallāhu ‘anhumā secara marfū': “Allah akan menggulung seluruh lapisan langit pada hari Kiamat, lalu diambil dengan tangan kanan-Nya dan berfirman, 'Akulah penguasa, di manakah orang-orang yang berlaku lalim? Di manakah orang-orang yang sombong?' Kemudian Allah menggulung ketujuh lapis bumi, lalu diambil dengan tangan kiri-Nya dan berfirman, 'Akulah penguasa, di manakah orang-orang yang berlaku lalim? Di manakah orang-orang yang sombong?'” 


Diriwayatkan dari Ibnu 'Abbās raḍiyallāhu ‘anhumā, bahwa ia berkata, “Tidaklah tujuh lapis langit dan tujuh lapis bumi berada di telapak tangan Ar-Raḥmān, kecuali bagaikan sebutir biji sawi yang diletakkan di telapak tangan seseorang di antara kalian.” 


Ibnu Jarīr meriwayatkan, Yūnus menceritakan kepadaku, ia berkata, Ibnu Wahb mengabarkan kepadaku, ia berkata, Ibnu Zaid berkata, Ayahku menceritakan kepadaku, ia berkata, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah tujuh lapis langit berada di Kursi melainkan hanya bagaikan tujuh keping dirham yang diletakkan di atas perisai.” 


Kemudian Ibnu Jarīr meriwayatkan, Abu Żarr raḍiyallāhu ‘anhu mengabarkan, Aku mendengar Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidaklah Kursi berada di Arasy melainkan hanyalah bagaikan sebuah gelang besi yang dibuang di tengah-tengah padang pasir.” 


Ibnu Mas'ūd raḍiyallāhu ‘anhu berkata, “Antara langit yang paling bawah dengan yang berikutnya jaraknya 500 tahun, dan antara setiap langit jaraknya 500 tahun, antara langit yang ketujuh dan Kursi jaraknya 500 tahun, antara Kursi dan samudra air jaraknya 500 tahun, sedangkan Arasy berada di atas samudra air itu, dan Allah Ta’ālā berada di atas Arasy, tidak tersembunyi bagi Allah suatu apa pun dari perbuatan kalian.” (HR. Ibnu Mahdiy dari Ḥammād bin Salamah, dari 'Āṣim, dari Zarr, dari Abdullah bin Mas'ūd. Al-Mas'ūdiy juga meriwayatkan yang semakna dengannya dari 'Āṣim, dari Abi Wā`il, dari Abdullah bin Mas'ūd. Riwayat ini diriwayatkan dari berbagai macam jalur sanad; sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Aż-Żahabiy)


Al-'Abbās bin 'Abdul-Muṭṭalib raḍiyallāhu ‘anhu meriwayatkan, Rasulullah ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tahukah kalian berapa jarak antara langit dan bumi?” Kami menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda, “Antara langit dan bumi itu jaraknya perjalanan 500 tahun, dan antara langit yang satu dengan yang lain jaraknya perjalanan 500 tahun, sedangkan tebalnya setiap langit adalah perjalanan 500 tahun, antara langit yang ketujuh dengan Arasy ada samudra, dan antara dasar samudra dengan permukaannya seperti jarak antara langit dengan bumi, dan Allah Ta’ālā di atas itu semua, dan tiada yang tersembunyi bagi-Nya sesuatu pun dari perbuatan anak Adam.” (HR. Abu Daud dan lainnya).



Tulisan Terbaru

Keutamaan Puasa Enam ...

Keutamaan Puasa Enam Hari Syawal Shawal