Hakikat Thaharah
Syaikh Muhammad bin Shalih al‐Utsaimin rahimahullah
Pertanyaan: Syaikh, apakah yang dimaksud dengan thaharah?
Jawaban: Makna thaharah adalah bersuci dan membersihkan. Dalam
terminologi Islam, thaharah ada dua macam: thaharah maknawi dan thaharah
hissy. Adapun thaharah maknawi: yaitu mensucikan hati dari syirik dan bid'ah
dalam beribadah kepada Allah Subhanahuwata’alla, dan dari sifat dendam,
hasad, marah, benci dan yang menyerupai hal itu, dalam bergaul dengan
hamba-hamba Allah Subhanahuwata’alla dimana mereka tidak pantas
mendapat perlakuan seperti itu.
Adapun thaharah hissy: yaitu mensucikan badan, dan ia ada dua bagian:
1) menghilangkan sifat yang menghalangi shalat dan semisalnya dari sesuatu
yang disyaratkan baginya bersuci
2) menghilangkan kotoran.
Pertama kita akan membahas pertanyaan pertama tentang thaharah
maknawi: yaitu mensucikan hati dari syirik dan bid'ah pada sesuatu yang
terkait hubungan dengan hak-hak Allah Subhanahuwata’alla. Inilah bersuci
yang paling agung. Dan hal tersebut diatas lah yang menjadi dasar semua
ibadah. Ibadah apapun tidak sah dari seseorang yang hatinya berlumuran
syirik, dan bid'ah apapun yang dilakukan hamba untuk mendekatkan diri
kepada -Nya hukumnya tidak sah, yaitu yang tidak disyari'atkan oleh Allah
Subhanahuwata’alla. Firman Allah Subhanahuwata’alla
Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena
kafir kepada Allah dan Rasul-Nya (QS. at-Taubah:54)
Dan Nabi Muhammad Salallahu’alaihi awassalm bersabda:
"Barangsiapa yang melakukan amal ibadah yang tidak ada perintah kami
atasnya maka ia ditolak."1
Atas dasar inilah, maka orang yang menyekutukan Allah
Subhanahuwata’alla secara nyata (syirik akbar), tidak diterima ibadahnya,
sekalipun ia shalat, berzakat dan haji. Maka barangsiapa yang berdoa kepada
selain Allah Subhanahuwata’alla atau menyembah selain –Nya, maka
sesungguhnya ibadahnya tidak diterima. Sekalipun ia beribadah kepadanya
dengan ikhlas hanya karena Allah Subhanahuwata’alla semata, selama ia
menyekutukan -Nya dalam bentuk syirik akbar dari sisi yang lain.
Karena inilah Allah Subhanahuwata’alla menggambarkan orang-orang
musyrik bahwa mereka adalah najis. Firman Allah Subhanahuwata’alla:
Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis,... (QS. at-Taubah:28)
Dan Nabi Muhammad Salallahu’alaihi awassalm menafikan najis dari orang
yang beriman, seperti dalam hadits:
"Sesungguhnya orang yang beriman tidak najis."2
Inilah yang semestinya menjadi perhatian besar bagi orang yang beriman untuk
membersihkan hati darinya.
Demikian pula ia membersihkan hatinya dari sifat iri, dengki, marah dan
benci bagi orang-orang yang beriman, karena semua ini adalah sifat yang
tercela, bukan akhlak orang yang beriman. Seorang mukmin adalah saudara
mukmin yang lain, tidak membencinya, tidak menyakitinya, tidak dengki
kepadanya, akan tetapi ia mengharapkan kebaikan untuk saudaranya
sebagaimana ia mengharapkan kebaikan untuk dirinya sendiri. Sehingga
1 HR. Muslim no. 1718.
2 HR. Al-Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371.
Rasulullah Salallahu’alaihi awassalm menafikan iman dari orang yang tidak
menyukai untuk saudara sesuatu yang dia sukai untuk dirinya. Disebutkan
dalam hadits:
Rasulullah Salallahu’alaihi awassalm bersabda: "Tidak beriman (yang
sempurna) seseorang darimu sehingga ia menyukai untuk saudaranya sesuatu
yang dia sukai untuk dirinya."3
Kita melihat banyak ahli ibadah, taqwa dan zuhud serta sering pergi ke
masjid untuk memakmurkannya dengan membaca al-Qur`an, zikir dan shalat,
akan tetapi ia mempunyai sifat iri terhadap sebagian saudara mereka yang
muslim atau dengki bagi orang yang diberi nikmat oleh Allah
Subhanahuwata’alla. Ini jelas mencemari ibadah yang dilakukannya kepada -
Nya. Maka kita semua harus membersihkan hati dari sifat kotor ini terhadap
saudara kita sesama kaum muslimin.
Adapun thaharah hissiyah: yaitu seperti yang saya katakan ada dua
bagian:
1) menghilangkan sifat yang menghalangi shalat dan semisalnya yang
disyaratkan thaharah baginya, dan
2) menghilangkan najis.
Adapun menghilangkan sifat: yaitu mengangkat hadats kecil dan besar
dengan cara membasuh empat anggota tubuh dalam hadats kecil, dan
membasuh semua anggota tubuh dalam hadats besar. Bisa dengan air bagi
yang mampu dan bisa juga dengan tayammum bagi orang yang tidak mampu
memakai air. Dalam hal ini Allah Subhanahuwata’alla menurunkan firman-
Nya:
3 HR. al-Bukhari no. 13 dan Muslim no. 45.
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika
kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air
(kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan tanah yang baik
(bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu, Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia
hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur. (QS. al-Maidah:6)
Adapun jenis yang kedua: yaitu thaharah dari najis, yaitu setiap benda
yang diwajibkan kepada hamba agar menjauhkan diri darinya dan bersuci
darinya, seperti kencing, kotoran dan semisal keduanya yang dijelaskan oleh
syari'at tentang najisnya. Karena inilah para ahli fikih berkata: thaharah bisa
jadi dari hadats dan bisa jadi dari najis. Dan menunjukkan bagi jenis ini,
maksud saya thaharah dari kotoran, hadits yang diriwayatkan oleh ahlus
sunan, bahwa Rasulullah Salallahu’alaihi awassalm shalat bersama para
sahabatnya pada suatu hari. Lalu beliau melepaskan sendalnya maka para
sahabat melepaskan sendal mereka. Maka tatkala Nabi Muhammad
Salallahu’alaihi awassalm berpaling (setelah salam), beliau bertanya kepada
mereka: "Kenapa mereka melepas sendal mereka? Mereka menjawab: 'Kami
melihat engkau melepaskan sendal maka kami melepaskan sendal kami. beliau
bersabda:
Rasulullah Salallahu’alaihi awassalm bersabda: "Sesungguhnya Jibril ‘alaihi
sallam datang kepadaku seraya mengabarkan bahwa pada kedua ada adza."4
Maksudnya ada kotoran. Inilah pembicaraan tentang pengertian thaharah.
Syaikh Muhammad al-Utsaimin, Fiqhul Ibadah, hal 112-114.
4 HR. Abu Daud no. 650.