Artikel




Kaidah-kaidah Utama tentang Asma` dan


Sifat Allah I


Segala puji bagi Allah I yang telah menciptakan jin dan manusia


untuk beribadah kepada-Nya. Oleh karena itu, Dia mengutus para rasul


kepada umat manusia. Dia I menerangkan rincian ibadah, tujuan


penciptaan mereka di dalam Kitab-Nya yang mulia dan di dalam Sunnah


Rasul-Nya yang terpercaya. Dia I memerintahkan hamba-Nya untuk


melaksanakan seluruh apa yang diwajibkan dan meninggalkan semua yang


dilarang, secara ikhlas kepada-Nya. Shalawat dan salam semoga tetap


terlimpahkan kepada Nabi Muhammad r, beserta keluarga, para sahabat,


dan pengikutnya yang baik hingga hari kiamat. Amma ba'du,


Asma` dan sifat adalah termasuk bagian dalam tauhid, (selain Tauhid


Rububiyah dan Tauhid Uluhiyyah), yang maknanya adalah beriman kepada


nama-nama Allah I dan sifat-sifat-Nya sebagaimana diterangkan dalam al-


Qur`an dan Sunnah Rasul-Nya menurut apa yang pantas bagi Allah I


tanpa tahrif (mengubah lafazh dan membelokkan makna sebenarnya), ta'thil


(pengingkaran seluruh atau sebagian sifat dan Dzat Allah I), takyiif


(menanyakan bagaimana Allah I), tamtsil (menyerupakan Allah I dengan


makhluk-Nya). Dalam hal ini Allah I berfirman:





Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha


Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Asy-Syura:11)


Hal ini menunjukkan apabila kita mengenal Asma`ul Husna dengan


bersungguh-sungguh, menghafal, kemudian memahami maknanya serta


beribadah kepada Allah I maka akan menjadi penguat iman yang paling


besar, bahkan mengenal Asma` dan sifat-Nya merupakan dasar iman, di


mana iman seseorang itu kembali kepada dasar yang agung ini.


Berdasarkan hal tersebut, dalam kesempatan ini kami menulis


beberapa kaidah penting tentang asma dan sifat Allah I yang dikutip dari


kitab 'al-Qawa'idul Mutsla fil asma`i wash shifat karya Syaikh Muhammad


2


bin Shalih al-'Utsaimin dan dari kitab Syarh asma`ilhusna fii dhauil kitaab


wass sunnah, karya Syaikh Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani, serta dari


kitab Faidah Jalillah fi Qawa'idil Asma`il Husna, karya Ibnul Qayyim.


Dengan harapan semoga kutipan singkat ini bermanfaat bagi kita semua -


kaum muslimin- yang mengharapkan ridha Allah I.


Allah I berfirman:





Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan


menyebut asma-ul husna itu. (QS. Al-A'raaf:180)


Doa yang disebutkan dalam ayat di atas mengandung doa masalah dan doa


ibadah. Doa masalah adalah memohon kepada Allah I diawali dengan


menyebutkan nama yang sesuai dengan satu atau beberapa nama dari


nama-nama-Nya. Seperti mengatakan:





"Ya Allah Yang Maha Pengampun, ampunilah aku. Ya Allah Yang Maha


Pengasih, kasihilah aku. Ya Allah Yang Maha Pelindung, lindungilah aku."


Sedangkan doa ibadah adalah melaksanakan ibadah kepada Allah I


berdasarkan Asma`ul Husna ini. seperti kita bertaubat kepada Allah I


karena Dia Maha Penerima Taubat, berdzikir dengan-Nya karena Dia Maha


Mendengar, beribadah dengan raga karena Dia Maha Melihat, dengan


seterusnya.


Mengingat pentingnya masalah asma` dan sifat ini, banyak umat


Islam yang membicarakannya. Ada yang sesuai dengan al-Qur`an dan


Sunnah dan hanya inilah golongan yang benar dan diridhai Allah I, ada


yang menyimpang dari jalan yang lurus dengan menolak semua asma dan


sifat Allah I, ada yang menerima sebagian sifat Allah I dan menolak


sebagian yang lain, ada pula yang memalingkannya dari makna yang


sebenarnya. Di antara kaum yang menyimpang itu, ada yang karena salah


dalam memahami dalil, ada yang karena bodoh, dan ada pula yang hanya


karena berdasarkan ta'ashshub buta. Dan agar kita tidak terjerumus ke


3


jalan yang menyimpang, berikut ini beberapa kaidah penting yang


berkenaan dengan asma` dan sifat Allah I:


1. Seluruh Asma Allah I adalah husna, artinya Maha Indah. Firman


Allah I:





Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan


menyebut asma-ul husna itu. (QS. Al-A'raaf :180)


Asma Allah I Maha Indah dan sempurna karena tidak terkandung di


dalamnya kekurangan sedikitpun, baik secara eksplisit maupun implisit.


Contohnya: العليم (Yang Maha Tahu) salah satu asma` Allah I yang


mengandung sifat 'ilmu' (pengetahuan) yang sempurna, tidak didahului oleh


sifat kebodohan dan tidak pula dihinggapi sifat lupa. Firman Allah I:





Musa menjawab:"Pengetahuan tentang itu ada di sisi Rabbku, di dalam


sebuah kitab, Rabb kami tidak akan salah dan tidak (pula) lupa; (QS. Thaha


:52)


Ilmu pengetahuan Allah I maha luas, meliputi segala sesuatu, baik secara


umum maupun rinci, berkenaan dengan perbuatan Allah I sendiri maupun


makhluk-Nya. firman Allah I:





Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang ghaib; tak ada yang


mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa yang ada di


daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia


mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun dalam kegelapan bumi


dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam


kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh). (QS.al-An'aam:59)


Dan firman Allah I:





Dan tidak ada suatu binatang melatapun di bumi melainkan Allah-lah yang


memberi rezkinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan


tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh


Mahfuzh). (QS. Huud:6)


Kedua ayat di atas memberikan penjelasan secara nyata bahwa tidak ada


sesuatupun di alam semesta ini yang terlepas dari ilmu Allah I yang Maha


4


Luas dan tanpa batas. Itulah kesempurnaan dan keindahan ilmu Allah I.


Demikian pula sifat-sifat Allah I yang lainnya, semuanya indah dan


sempurna.


2. Asma` Allah I adalah nama dan sifat.


Nama dipandang dari indikasinya (dalalah) kepada dzat dan sifat


dipandang dari indikasinya kepada makna. Dari pengertian pertama, maka


seluruh asma` adalah mutaradif (sinonim), karena indikasinya hanya


kepada satu dzat, yaitu Allah I. Sedangkan dari pengertian kedua, maka


semua asma Allah I adalah mutabayinah (diferensial), karena setiap asma`


mempunyai indikasi (dalalah) makna yang tersendiri. Contohnya:





Semuanya adalah asma untuk satu Dzat, yaitu Allah I. Akan tetapi makna


الحيي tidak sama dengan makna العليم dan العليم tidak sama dengan makna القدير


demikianlah seterusnya.


Asma Allah I disebut nama dan sifat berdasarkan petunjuk dari al-Qur`an,


seperti firman Allah I:


و


dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Yunus: 107)


dan firman Allah I:





Dan RabbmulahYang Maha Pengampun, lagi mempunyai rahmat.. (QS. Al-


Kahf :58)


Ayat yang kedua dengan jelas menunjukkan bahwa ar-Rahim yaitu yang


mempunyai sifat rahmah.


Selain itu, berdasarkan konsensus para ahli bahasa dan adat


kebiasaan, bahwa tidak dikatakan 'alim kepada orang yang tidak


mempunyai ilmu, tidak dikatakan sami' kepada orang yang tidak


mempunyai pendengaran, tidak dikatakan bashir kepada orang yang tidak


mempunyai penglihatan, dan demikian pula seterusnya.


5


3. Asma Allah I, jika menunjukkan pengertian transitif (muta'adii),


maka mengandung tiga hal:


Pertama: ketetapan asma tersebut untuk Allah I.


Kedua: ketetapan sifat yang dikandung oleh Asma ini untuk Allah I.


Ketiga: Ketetapan hukumnya dan tuntutannya (objek) dari sifat tersebut.


Contoh nama السميع (Maha Mendengar), mengandung ketetapan nama ini


untuk Allah I, ketetapan bahwa Allah I mempunyai sifat 'sama'


(mendengar), dan ketetapan hukum dan tuntutannya (objek), yaitu segala


bisikan dan kata-kata rahasia serta segala bunyi yang selalu didengar oleh


Allah I, sebagaimana firman-Nya:





Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua.Sesungguhnya Allah


Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. Al-Mujadilah:1)


Akan tetapi jika nama Allah I menunjukkan makna intransitif


(lazim), maka hanya mengandung dua hal:


Pertama: ketetapan nama tersebut untuk Allah I.


Kedua: ketetapan sifat yang dikandung oleh makna ini untuk Allah I:


contoh: nama ' الحي ' (Yang Maha Hidup) mengandung ketetapan bahwa nama


ini untuk Allah I dan ketetapan adanya sifat 'hayah' (hidup) bagi-Nya.


4. Asma` Allah I adalah tauqifiyyah, yaitu berdasarkan pada wahyu,


akan tidak mempunyai peran di dalamnya.


Oleh karena itu, dalam masalah asma` ini harus berlandaskan al-


Qur`an dan Sunnah yang shahih, tidak boleh ditambah ataupun dikurangi,


karena akal saja tidak mungkin dapat mengetahui asma yang dimiliki oleh


Allah I. Untuk itu wajib berpijak kepada nash. Firman Allah I:





Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai


pengetahuan tentangnya. sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,


semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya. (QS. Al-Isra` :36)


Selain itu, memberikan nama kepada Allah I dengan asma` yang tidak


ditetapkan oleh Allah I bagi diri-Nya sendiri, atau mengingkari asma`-Nya


adalah pelanggaran terhadap hak Allah I. Maka, wajiblah berlaku sopan


6


dalam masalah ini dan cukup dengan mengikuti apa yang datang dari


nash.


5. Asma` Allah I tidak terbatas pada bilangan tertentu, berdasarkan


sabda Rasulullah r:





'Tidak ada duka cita dan kesedihan yang menimpa seorang muslim, lalu ia


membaca: 'Ya Allah I sesungguhnya aku adalah hamba-Mu dan putra dari


jariyah-Mu, ubun-ubunku berada di tangan-Mu, berlaku padaku hukum-Mu,


sangat adil padaku keputusan-Mu, aku memohon kepada-Mu dengan seluruh


asma-Mu, yang telah Engkau namakan untuk diri-Mu, atau Engkau turunkan


dalam kitab-Mu, atau engkau ajarkan kepada seseorang di antara makhluk-


Mu, atau masih dalam rahasia gaib pada-Mu, yang hanya Engkau sendiri


yang mengetahuinya, agar Engkau jadikan al-Qur`an sebagai penyejuk


hatiku, pembersih sakit hatiku, dan penghapus kesedihanku,' melainkan


Allah I menghilangkan kesedihan hatinya dan menggantikan tempat duka


citanya menjadi kebahagiaan.'1


Dia I menjadikan asma-Nya menjadi tiga bagian:


1. Nama yang Dia berikan untuk dirinya dan Dia beritahukan kepada


para malaikat-Nya atau yang lainnya, namun nama-nama-Nya tidak


disebutkan dalam kitab-Nya.


2. Dia menurunkan nama itu dalam kitab-Nya dan memberitahukan


kepada hamba-hamba-Nya.


3. Yang menjadi rahasia gaib padanya dan hanya Dia sendiri yang


mengetahuinya, tidak ada seorangpun di antara makhluk yang


mengetahuinya. Oleh karena itu Nabi r bersabda: "Ista`tsarta bihi"


artinya hanya Engkau yang mengetahuinya. Dan berdasarkan ini


Nabi r bersabda dalam hadits syafaat:


1 HR. al-Hakim 1877, Ibnu Hibban 972, Ahmad 3712 &4318, Ibnu Abi Syaibah


28318, dan Thabrani dalam al-Mu'jamul Kabir 10352-Shahih).


7





"Maka dibuka kepadaku (untuk mengungkapkan) segala pujian kepada-Nya


dengan pujian yang tidak bisa saya ungkapkan dengan baik di sini (di


dunia)."2


Dan dalam hadits yang lain:





"Aku tidak bisa menghinggakan pujian kepada-Mu seperti Engkau memuji


terhadap diri-Mu."3


Adapun hadits yang berbunyi:





Sesungguhnya Allah I memiliki 99 nama, barangsiapa yang dapat


menghitungnya niscaya ia masuk ke dalam surga."4


Yang dimaksud dengan menghitung asma Allah I ialah menghapalnya,


memahaminya maknanya, dan menghamba kepada Allah I berdasarkan


asma-Nya. hadits ini tidak menunjukkan bahwa asma` Allah I hanya 99


saja. Adapun makna hadits yang berbunyi "barangsiapa yang dapat


menghitungnya niscaya ia masuk ke dalam surga" merupakan kalimat


pelengkap, bukan kalimat terpisah dan berdiri sendiri. Sebagai contoh: bila


seseorang berkata: 'Saya mempunyai uang Rp. 100.000.000 yang saya


siapkan untuk sedekah', berarti bisa saja ia mempunyai uang selain RP.


100.000.000 yang disiapkan untuk berbagai macam keperluan lainnya.


Adapun yang berkenaan dengan penyusunan dan penentuan jumlah asma`


Allah I, maka hadits tersebut adalah dha`if (lemah) jadi tidak bisa menjadi


hujjah.


6. Ilhad (mengingkari) asma` Allah I ialah tindakan menyelewengkan


asma` dari kebenaran yang wajib dilaksanakan terhadapnya.


Macam-macam ilhad:


2 Muslim (1/183 dan 185)


3 Muslim 1/352


4 HR. al-Bukhari 2595, Muslim 2677, Ahmad 7493, at-Tirmidzi 3506, Baihaqi


19601, Ibnu Majah 3860.


8


a. Mengingkari sesuatu dari asma` Allah I, sifat dan hukum yang


terkandung di dalamnya. Seperti tindakan kaum Jahmiyah dan


golongan lain dari ahli ta'thil. Menurut mereka, sesungguhnya asma`


adalah lafazh yang kosong, tidak mengandung sifat dan makna.


Mereka memberikan nama kepada-Nya as-Sami`, al-Bashir, al-Hayy,


ar-Rahim, al-Mutakallim, dan al-Murid. Namun mereka mengatakan:


Tiada kehidupan bagi-Nya, tiada pendengaran, tiada penglihatan, tiada


perkataan, tiada kehendak yang berdiri dengan-Nya. Ini adalah ilhad


paling besar pada asma`, baik secara akal, syara`, bahasa, dan fithrah.


b. Menjadikan asma` Allah I mempunyai indikasi (dalalah) yang serupa


dengan sifat makhluk. Seperti tindakan ahlu tasybih


(antropomorphism). Golongan ini adalah kebalikan dari golongan


pertama yang mengingkari sifat Allah I dan menolak sifat


kesempurnaan-Nya.


c. Menamai Allah I dengan nama yang tidak disebutkan-Nya untuk diri-


Nya dan tidak disebutkan oleh Rasul-Nya dalam hadits yang shahih.


Seperti tindakan kaum Nasrani yang menamai-Nya 'Bapa' dan


tindakan filosof yang menyebut-Nya 'Al`ilah al-Fa`ilah' (Efficient Cause).


Karena Asma` Allah I adalah tauqifiyah, maka menamai Allah I yang


bukan berasal dari Allah I atau dari Rasul-Nya r, berarti


menyelewengkan Asma` Allah I dari kebenaran.


d. Mengambil dari Asma` Allah I nama untuk berhala. Seperti tindakan


kaum musyrikin yang menamai berhala mereka dengan nama al-'Uzza


berasal dari al-'Aziz dan berhala al-Laat yang berasal dari al-Ilah.


Ilhad dengan segala macamnya adalah haram, karena Allah I mengancam


orang yang berbuat ilhad dengan firman-Nya:





Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan


menyebut asma-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang


menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. Nanti


mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.


(QS. Al-A'raaf : 180)


e. Mensifati-Nya dengan sifat yang Dia I Maha Besar dan Maha Suci dari


sifat kekurangan, seperti perkataan Yahudi yang paling jahat: "Innahu


9


faqiir (bahwasanya Dia fakir) dan perkataan mereka bahwa Dia


beristirahat setelah menciptakan makhluk-Nya. Dan perkataan


mereka:





Tangan Allah terbelenggu", sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu


dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan


itu. (QS. Al-Maidah:64)


Dan perkataan-perkataan serupa dengan itu termasuk ilhad pada Asma`


dan sifat Allah I.


7. Dilalah Asma`ul Husna.


Seluruh asma` Allah I adalah husna, artinya Maha Indah dan


semuanya menunjukkan kesempurnaan dan pujian yang absolut.


Seluruhnya diambil dari sifat-sifat-Nya. Maka sifat yang ada padanya tidak


menafikan 'alamiyah (nama) dan 'alamiyah tidak menafikan sifat, dan


dilalahnya (indikasinya) ada tiga:


a. Dilaalah muthabaqah (adekusi), ketika kita tafsirkan nama dengan


seluruh yang ditunjukkannya.


b. Dilaalah tadhamun (inklusi), ketika kita tafsirkan dengan sebagian


yang ditunjukkannya.


c. Dan dilaalah iltizam (konsekuensi), ketika kita menunjukkannya atas


yang lainnya dari asma` (nama-nama) sebagai konsekuensi nama ini


atas nama-nama yang lain.


Misalnya: ar-Rahman (Yang Maha Pengasih), yang menunjukkan adanya


sifat rahmah dan Dzat adalah dilaalah muthabaqah (adekusi), dan atas


salah satunya adalah dilaalah tadhamun (inklusi) karena ia termasuk


dalam kandungannya. Dan indikasinya atas Asma` yang tidak didapatkan


sifat rahmat kecuali dengan tetapnya Asma` tersebut, seperti hayat (hidup),


ilmu (pengetahuan) iradah (kehendak), qudrat (kekuasaan) dan yang


lainnya adalah dilaalah iltizam (konsekuensi). Bagian yang terakhir ini


memerlukan pemikiran yang kuat dan perenungan. Para ahli ilmu berbeda


pendapat dalam hal ini. Maka jalan untuk mengenalnya adalah ketika anda


memahami lafazh (kata) dan makna yang terkandung di dalamnya dan


10


anda memahaminya dengan baik, maka pikirkan maknanya yang tidak


akan sempurna tanpa makna tersebut.


8. Asma` Allah I dan sifat-sifat-Nya hanya untuk-Nya, dan persamaan


nama tidak menunjukkan persamaan yang diberi nama.


Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: Allah I menamakan diri-Nya


dengan beberapa nama dan menamai sifat-sifat-Nya dengan beberapa


nama. Apabila Asma` tersebut diidhafahkan (disandarkan) kepada-Nya


maka asma` itu hanya untuk-Nya, tiada sesuatupun yang menyekutui-Nya


pada sifat itu. Dia I juga memberi nama kepada sebagian makhluk-Nya


dengan beberapa nama yang hanya untuk mereka. Persamaan nama tidak


menunjukkan persamaan yang diberi nama. Allah I menamai diri-Nya


Hayy (Yang Maha Hidup) dalam firman-Nya:





Allah tidak ada Ilah melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus


mengurus (makhluk-Nya); (QS. Al-Baqarah :255)


Dan Dia I memberi nama kepada sebagian hamba-Nya Hayy (yang


hidup) dalam firman-Nya:





Dia mengeluarkan yang hidup dari yang mati dan mengeluarkan yang mati


dari yang hidup (QS. Ar-Ruum:19)


Pengertian al-hayy (yang hidup) dalam surah ar-Rumm ini tidak seperti


pengertian al-Hayy (Yang Maha Hidup) dalam surah al-Baqarah yang


disebutkan sebelumnya.


Dalam ayat lain, Allah I menamakan diri-Nya 'Aliim, Haliim (Yang


Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun), dan Dia I memberikan nama


kepada sebagian hamba-Nya dengan nama 'Aliim, seperti dalam firman-Nya:





dan mereka memberi kabar gembira kepadanya dengan kelahiran seorang


anak yang alim (Ishak). (QS. Adz-Dzariyaat :28)


maksudnya: Nabi Ishaq u. Sebagaimana Dia juga menamai yang lain


Halim, seperti dalam firman-Nya:


11





Maka Kami beri dia kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.


(QS. Ash-Shaaffaat :101)


Maksudnya: Ismail u. 'Aliim dalam ayat di atas bukan seperti al-'Alim yang


merupakan asma` Allah I, dan Halim dalam ayat di atas bukan seperti


pengertian al-Halim yang merupakan salah satu dari asma` Allah I.


Dan Allah I menamakan diri-Nya Samii' dan Bashiir dalam firman-


Nya:





Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang


berhak menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di


antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah


memberi pengajaran yang sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah


adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat. (QS. An-Nisaa`:58)


Dan Dia I menamai sebagian makhluk-Nya dengan nama 'samii' dan


bashir' dalam firman-Nya:





Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang


bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan),


karena itu Kami jadikan dia mendengar dan melihat. (QS. Al-Insaan :2)


As-Samii' dalam ayat ini bukan seperti as-Samii' yang merupakan salah


satu dari asma` Allah I yang disebutkan dalam ayat sebelumnya. Demikian


pula al-bashiir dalam ayat ini tidak sama pengertiannya dengan al-Bashiir


yang merupakan salah satu asma` Allah I yang dalam surah an-Nisaa`


yang disebutkan sebelumnya.


Dia I menamai diri-Nya dengan nama ar-Ra`uf dan ar-Rahim, seperti


dalam firman-Nya:





Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada manusia.


(QS. Al-Baqarah:143)


Dan Dia I memberi nama kepada sebagian makhluk-Nya dengan


nama ar-Ra`uf ar-Rahim dalam firman-Nya:


12





Sesungguhnya telah datang kepadamu seorang rasul dari kaummu sendiri,


berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan


keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orangorang


mu'min. (QS. At-Taubah:128)


Sifat ar-Ra`uf pada ayat sebelumnya tidak seperti sifat ra`uf pada ayat


ini, dan sifat Rahim pada ayat sebelumnya tidak seperti sifat rahim para


ayat ini.


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: 'Nama-nama yang digunakan


kepada Allah I dan kepada hamba, seperti al-Hayy, as-Samii', al-Bashiir, al-


'Aliim, al-Qadiir dan yang semisalnya, ada tiga golongan dalam


memandangnya:


a. Segolongan dari mutakallimin berkata: ia adalah hakikat pada


hamba dan majaaz pada Rabb. Ini adalah pendapat kaum Jahmiyah


yang ekstrim. Ini adalah ucapan yang paling keji dan paling


merusak.


b. Pendapat sebaliknya, nama-nama itu adalah hakikat pada Rabb,


majaaz pada Rabb. Ini adalah pendapat Abul-Abbas an-Naasyi.


c. Sesungguhnya nama-nama itu adalah hakikat pada Rabb dan


hamba, dan inilah pendapat ahlus-sunnah. Perbedaan dua hakikat


pada keduanya tidak mengeluarkannya dari kondisinya yang


merupakan hakekat pada keduanya. Bagi Rabb dari nama-nama itu


yang sesuai dengan kebesaran-Nya, dan bagi hamba dari nama itu


yang sesuai dengan kapasitasnya sebagai hamba.


9. Urutan menjaga (menghapal, memahami dan mengamalkan) Asma`


Allah I Yang Maha Indah. Barangsiapa yang menjaganya niscaya masuk


surga.


Ini adalah keterangan penghapalan asma'-Nya 'barangsiapa yang


menghapalnya niscaya masuk surga'.


Pertama: menghapal lafazh dan bilangannya.


Kedua : Memahami makna dan yang diindikasikannya.


13


Ketiga: Berdoa dengannya, seperti firman Allah I:





Hanya milik Allah asma-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan


menyebut asma-ul husna itu. (QS. Al-A'raaf:180)


Terdapat dua martabat: pertama, adalah memuji dan beribadah.


Kedua, do'a meminta dan memohon. Dia tidak dipuji kecuali dengan asma`-


Nya Yang Husna dan Sifat-Nya Yang Maha Tinggi. Demikian pula Dia I


tidak diminta kecuali dengannya. Tidak boleh berdo'a dengan kata-kata:


'Hai yang ada (maujud), hai sesuatu, atau hai Dzat ampuni dan kasihilah


aku'. Tetapi Dia diminta dengan nama yang sesuai dengan permintaan.


Yang Berdo'a bertawassul kepada-Nya dengan nama itu. Siapa yang


memikirkan do'a para rasul, apabila doa Nabi Muhammad r, ia akan


mendapatkan doa-doa tersebut sesuai dengan penjelasan di atas.


Kita memohon kepada Allah I agar senantiasa membimbing kita


kepada cahaya-Nya dan memudahkan jalan bagi kita untuk mendapatkan


keridhaan-Nya, sesungguhnya Dia I sangat dekat dan Maha Mengabulkan


doa hamba-Nya.


Rujukan:



 



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i