Bersikaplah Adil, Wahai Suami!
Muqodimah
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta salam
semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi wa
sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya. Dari Abu Hurairah
radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam,
bersabda,
“Siapa saja orangnya yang memiliki dua istri lalu lebih cenderung
kepada salah satunya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam
keadaan sebagian tubuhnya miring.”
Takhrij Hadits Hadits ini diriwayatkan oleh Abu Dawud (no.
2133), an-Nasa’i (2/157), Tirmidzi (1/213), ad-Darimi (2/143), Ibnu
Majah (1969), Ibnu Abi Syaibah (2/66/7), Ibnul Jarud (no. 722), Ibnu
Hibban (no. 1307), al-Hakim (2/186), al-Baihaqi (7/297), ath-
Thayalisi (no. 2454), dan Ahmad (2/347, 471) melalui jalur Hammam
bin Yahya, dari Qatadah, dari an-Nadhr bin Anas, dari Basyir bin
Nuhaik, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhuma.
4
Di dalam Sunan at-Tirmidzi, hadits di atas diriwayatkan dengan
lafadz,
“Apabila seorang laki-laki memiliki dua istri namun tidak berlaku adil
di antara keduanya, pada hari kiamat kelak ia akan datang dalam
keadaan sebagian tubuhnya miring.”
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Al-Hakim menghukumi hadits ini
sahih berdasarkan syarat asy-Syaikhain (al-Bukhari & Muslim). Adz-
Dzahabi dan Ibnu Daqiqil ‘Ied sepakat dengan al-Hakim,
sebagaimana dinukilkan oleh al-Hafizh dalam at-Talkhis (3/201) dan
beliau pun menyepakatinya.
Al-Hafizh t menambahkan bahwa al-Imam at-Tirmidzi menghukumi
hadits ini gharib padahal beliau sendiri menyatakannya sahih. Abdul
Haq mengatakan, ‘Hadits ini tsabit, namun ada cacatnya, yaitu
Hammam sendirian meriwayatkannya.’
Asy-Syaikh al-Albani mengatakan, “Cacat semacam ini tidak
membuat hadits menjadi lemah. Oleh karena itu, para ulama secara
berturut-turut menyatakannya sahih.” (Silsilah ash- Shahihah no.
2017, al-Albani)
5
Islam Menjunjung Nilai-Nilai Keadilan
Islam sangat menjunjung nilai-nilai keadilan. Bahkan, keadilan menjadi salah satu pilar penting bagi seorang hamba untuk mewujudkan bangunan Islam. Sikap adil, menurut asy-Syaikh Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah, adalah menunaikan hak-hak yang wajib dan memenuhi hak bagi yang memilikinya.
Ada juga yang memaknai adil sebagai sikap menentukan hukum sesuai dengan Kitabullah dan sunnah Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam,, bukan semata-mata berdasarkan akal pikiran. Dalam memutuskan perkara, keadilan mesti menjadi landasan berpijak. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu menceritakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
“Apabila kalian memutuskan hukum maka bersikaplah adil!” (Dinyatakan hasan oleh al-Albani dalam ash-Shahihah [no. 469])
Bahkan, bagi orang tua, sikap adil haruslah mendasari setiap perhatian kepada anaknya. Nu’man bin Basyir radhiyallahu ‘anhu pernah bercerita, “Aku pernah diberi sesuatu oleh ayahku. ‘Amrah bintu Rawahah (ibunya) lantas berkata (kepada ayahku), ‘Aku tidak
6
rela (dengan pemberian ini) sampai engkau meminta persaksian dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam,.’ Lantas ayahku menemui Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, dan menyampaikan, ‘Sesungguhnya aku memberi sesuatu kepada salah seorang anakku, anak dari ‘Amrah bintu Rawahah.
Amrah menuntutku untuk meminta Anda sebagai saksi, wahai Rasulullah.’ Rasulullah bertanya, ‘Apakah engkau memberi seluruh anakmu seperti yang engkau berikan kepada anak itu?’ Ayahku menjawab, ‘Tidak.’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, bersabda,
‘Bertakwalah kalian kepada Allah dan bersikaplah adil di antara anak-anak kalian!’
Akhirnya ayahku pulang dan mengambil kembali pemberian itu.” (HR. Bukhari 5/2587)
Mengenai bentuk-bentuk keadilan, asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al- ‘Utsaimin rahimahullah pernah menjelaskannya berkenaan dengan ayat Allah Subhanahu wata’ala di dalam surat an-Nahl, yaitu firman -Nya,
“Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil, berbuat kebajikan, dan memberi kepada kaum kerabat. Dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”(an-Nahl: 90)
Beliau menerangkan , “Kewajiban hamba adalah bersikap adil terhadap diri sendiri, keluarga, dan orang-orang yang berada di bawah tanggung jawabnya. Bersikap adil terhadap diri sendiri artinya tidak memaksakan diri untuk melakukan hal-hal yang tidak diperintahkan oleh Allah Subhanahu wata’ala. Bahkan, ia pun harus memerhatikan diri sendiri saat melakukan kebaikan, dengan cara tidak melakukannya melebihi batas kemampuan. Oleh sebab itu, saat Abdullah bin Amr bin al-Ash radhiyallahu ‘anhuma menyatakan, ‘Aku akan berpuasa terus dan tidak akan berbuka. Aku akan shalat malam terus dan tidak akan tidur’, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, memanggilnya dan melarang hal itu. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
8
‘Sesungguhnya dirimu sendiri memiliki hak, Rabbmu juga memiliki hak, dan keluargamu pun memiliki hak. Maka dari itu, berikanlah hak masing-masing.’
Demikian juga seorang suami, ia harus bersikap adil di tengah-tengah keluarga. Siapa saja yang memiliki lebih dari satu istri, ia harus bersikap adil di antara para istrinya. Sebab, seorang suami yang lebih cenderung kepada salah satu istri, ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan miring sebelah tubuhnya.
Sikap adil juga wajib diwujudkan di antara anak-anak. Jika Anda memberi satu real kepada salah seorang di antara mereka, berikan juga senilai itu kepada yang lain. Jika engkau memberi dua real kepada anak laki-laki, berikanlah satu real kepada anak perempuan. Jika engkau memberikan satu real kepada anak laki-laki, berikanlah setengah real kepada anak perempuan.
Bahkan, ulama salaf memerhatikan sikap adil di antara anak-anak dalam hal ciuman. Jika ia mencium anaknya yang masih kecil sementara kakaknya ada di situ, ia pun menciumnya juga. Jadi, ia tidak membeda-bedakan di antara mereka dalam hal ciuman. Demikian juga dalam hal berbicara, Jangan sampai Anda berbicara dengan seorang anak dengan nada yang kasar, sedangkan kepada anak yang lain dengan nada yang lembut. Sikap adil harus juga
9
dijunjung kepada orang-orang yang berhubungan dengan kita. Jangan Anda berpihak kepada seseorang hanya karena ia adalah kerabat, orang kaya, orang fakir, atau seorang teman. Jangan berpihak kepada seseorang, semua orang sama kedudukannya.
Sesungguhnya para ulama rahimahumullah mengatakan, ‘Harus bersikap adil kepada dua orang yang sedang berseteru, jika mereka berhukum kepada seorang hakim, dalam hal tutur kata, perhatian, pembicaraan, tempat duduk, dan cara masuknya. Jangan engkau memandang kepada salah satunya dengan pandangan marah, namun kepada yang lain dengan pandangan senang.
Jangan engkau berbicara dengan nada lembut kepada salah seorang di antara mereka, namun kepada yang lain sebaliknya. Jangan sampai Anda bertanya kepada salah seorang di antara mereka, ‘Apa kabarmu? Apa kabar keluargamu? Bagaimana kabar anak-anakmu?’, namun orang kedua engkau biarkan tanpa pertanyaan. Bersikaplah adil di antara keduanya. Sampai serinci ini. Demikian juga dalam hal tempat duduk. Jangan Anda mempersilakan salah seorang darinya duduk dekat di sebelah kananmu sementara yang lain berada jauh darimu.
Namun, posisikan mereka berdua di hadapanmu dalam garis yang sama. Bahkan, jika ada seorang muslim bertengkar dengan orang kafir di hadapan seorang hakim, ia harus bersikap adil
10
di antara keduanya dalam pembicaraan, cara memandang, dan posisi duduk. Jangan sampai ia mengatakan kepada si muslim, ‘Kemarilah!’ sementara si kafir diposisikan jauh. Namun, ia harus memberikan tempat yang sama. Kesimpulannya, sikap adil harus dijunjung dalam segala hal. (Syarah Riyadhus Shalihin, al-Utsaimin)
Bersikap Adil kepada Istri
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad menerangkan makna hadits di atas, “… Dengan bersikap adil kepada para istri dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan pergaulan. Adapun perasaan yang ada di dalam hati, hal ini di luar kemampuan manusia dan dikembalikan kepada Allah Subhanahu wata’ala. Meski demikian, seorang suami tidak boleh bersikap lebih cenderung kepada istri yang paling ia sayangi dan cintai. Ia harus bersikap adil dalam hal giliran bermalam, nafkah, dan segala sesuatu yang ia mampu.
Adapun perasaan di hati, tidak ada yang mampu menentukannya selain Allah Subhanahu wata’ala. Akan tetapi, tidak sepantasnya seorang suami lebih condong kepada salah seorang istrinya. Yang seharusnya ia lakukan adalah memenuhi hak masing-masing tanpa menyakiti istri yang lain.
Membagi di antara istri dilakukan sebatas kemampuan yang ia miliki. Jika ada kecenderungan kepada salah seorang istri,
11
hendaknya ia tetap bertakwa kepada Allah Subhanahu wata’ala agar sikap tersebut tidak mendorongnya untuk menghilangkan atau mengurangi hak istri lainnya, atau hanya memberikan sedikit saja dari hak mereka padahal ia mampu.
Kewajiban suami adalah bersikap adil dan seimbang di antara para istri.”
Asy – Syaikh Abdu l Muhsin melanjutkan, “Abu Dawud membawakan hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu di atas untuk menunjukkan bahwa balasan yang diperoleh seorang hamba sesuai dengan jenis amalan yang ia perbuat.
Pada hari kiamat kelak, ia datang dengan sebelah tubuh yang miring karena saat di dunia ia lebih condong kepada salah seorang istri. Hal ini berlaku pada hal-hal yang sebenarnya ia mampu untuk bersikap adil, namun ia justru bersikap tidak sepantasnya. Orang semacam ini akan datang pada hari kiamat kelak dengan sebelah tubuh yang miring.” (Syarah Abu Dawud, al-Abbad)
Oleh sebab itu, seorang muslim yang memiliki lebih dari seorang istri harus benar-benar berjuang untuk bersikap adil. Alangkah beratnya hukuman dari Allah Subhanahu wata’ala yang harus dijalani pada hari kiamat nanti apabila sikap adil tersebut tidak diupayakan dengan maksimal. Dalam hal-hal yang dapat
12
diberlakukan sikap adil, seorang suami harus mampu memberikannya.
Apabila kepada salah seorang istri ia dapat bersikap romantis dengan kata-kata dan wajah berseri, kepada istri yang lain pun harus bersikap demikian. Memberikan waktu senggang untuk berbincang-bincang harus dapat terwujud kepada semua istri. Hadiah tidak hanya diberikan kepada salah seorang istri, namun kepada seluruh istri. Demikian pula halnya perhatian kepada anak-anaknya, haruslah sama antara anak dari istri yang satu dengan istri lainnya.
Perhatikanlah teladan dari Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam! Betapa pun dirasa berat, beliau tetap berjuang untuk bersikap adil. Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, tetap memerhatikan waktu menggilir meskipun beliau sedang sakit. Padahal keadaan beliau benar-benar payah. Al – Imam al – Bukhari rahimahullah meriwayatkan dari ‘Aisyah Rhadiyallahu ‘anhum bahwa pada saat sakit yang berujung wafatnya, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam selalu menanyakan,
نَا غَدًا
“Di manakah aku besok? Di manakah aku besok?”
13
Beliau berharap di rumah Aisyah radhiyallahu ‘anha. Istri-istri beliau yang lain pun mengizinkan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berada di rumah ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha sampai meninggalnya. Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata kepada Urwah bin az-Zubair rahimahullah, “Dahulu, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam tidak melebihkan salah seorang di antara kami (para istri) dalam jadwal giliran bermalam.
Dahulu, kebiasaan Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam, jarang sekali hari berlalu kecuali beliau pasti berkeliling di antara kami semua. Beliau mendekati tiap istri tanpa berhubungan sampai pada istri yang memiliki giliran lalu menginap (bermalam) di sana. Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, ”Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat di antara ulama tentang wajibnya menggilir dan kesamaan waktu untuk menggilir di antara para istri.”
Adapun dalam hal besar kecilnya rasa cinta dan
ketertarikan untuk berhubungan badan, hal ini di luar kemampuan
hamba. sebagaimana tercelanya orang yang memakai dua potong
pakaian kedustaan(al-Minhaj, 14/336)
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam memberikan permisalan seperti dalam hadits di atas agar para perempuan menjauhi perbuatan tersebut, karena akibat yang ditimbulkannya tidaklah remeh. Perbuatan itu bisa merusak hubungan suami dengan
14
si madu yang dipanas-panasi dan bisa membuat kebencian di antara keduanya, sehingga perbuatan tersebut seperti sihir yang bisa memisahkan antara suami dan istrinya. (Fathul Bari 9/394—395) Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.