Artikel




Berdakwah Dengan Akhlak Mulia


SEBUAH RENUNGAN DARI SEPENGGAL KISAH NYATA Seorang preman mendapatkan hidayah mengenal manhaj Salaf. Dulu, ia dibenci masyarakat karena suka mengganggu, gemar mabuk, berjudi, mengganggu orang lain dan seabrek perilaku negatif lain yang merugikan masyarakat. Namun tidak ada seorang pun yang berani menegurnya, karena takut mendapatkan bogem mentah darinya.


Setelah mengenal dakwah Ahlu Sunnah ini, ia berubah menjadi orang yang baik (shalih) dan alim, hanya saja masyarakat tetap tidak menyenanginya, tetap membencinya, padahal ia sudah meninggalkan keburukanya dulu. Kalau dulu masyarakat tidak berani menegurnya, sekarang malah berani memarahi, bahkan menyidangnya pula. Apa pasalnya?


Ternyata kebencian tersebut dipicu dari sikap kaku dan keras orang


tersebut, juga kekurangpiawaiannya dalam membawa diri di


masyarakat.Dulu dibenci karena 'kepremanannya', sekarang dibenci


karena 'keshalihan'nya…


Haruskah orang yang mengikuti manhaj Salaf menghadapi kebencian dari masyarakat? Apakah itu merupakan sebuah resiko yang tidak terelakkan? Adakah kiat khusus untuk menghindari hal tersebut atau paling tidak meminimalisirnya?


Benar, seseorang yang teguh memegang kebenaran, ia akan menghadapi tantangan. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Ulama Salaf saja sudah terlebih dulu menghadapi tantangan. Para pengusung kebenaran, apalagi di akhir zaman ini, akan tetap


4


dihadang oleh tantangan dimana kejahatan lebih mendominasi dunia dibandingkan kebaikan.


Namun, yang perlu menjadi catatan di sini, apakah kebencian yang muncul di banyak masyarakat kepada para pengikut manhaj Salaf, murni diakibatkan keteguhan mereka dalam berpegang teguh terhadap prinsip, atau disebabkan factor lain, seperti tidak bisa membawa diri dengan baik di tengah masyarakat, kurang cakap dalam dalam menjelaskan prinsip dan kurang pandai dalam menetralisir pandangan miring masyarakat terhadap prinsip-prinsip Ahlus Sunnah (dakwah Salaf) dengan penerapan akhlak mulia? Atau mungkin juga karena enggan melakukan sesuatu yang dikira terlarang, padahal sebenarnya boleh atau justru disyariatkan? Berdasarkan pengamatan terbatas penulis, juga kisah-kisah nyata yang masuk, nampaknya faktor terakhir lebih dominant dalam melahirkan antipati masyarakat. Dalam makalah sederhana ini, dengan memohon taufik dari Allâh semata, penulis berusaha memaparkan peran besar akhlak mulia dalam meredam kebencian masyarakat terhadap pengusung kebenaran, bahkan dalam menarik mereka untuk mengikuti kebenaran tersebut.


PERINTAH UNTUK BERAKHLAK MULIA


Sebagai agama sempurna yang mengatur seluruh aspek kehidupan manusia, tentunya Islam tidak melewatkan pembahasan akhlak dalam ajarannya. Begitu banyak dalil dalam al-Qur'ân maupun Sunnah yang memerintahkan kita untuk berakhlak mulia. Di antaranya:


5


Firman Allâh Azza wa Jalla tatkala memuji Nabi-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam:





Sesungguhnya engkau (wahai Muhammad) benar-benar berbudi pekerti yang luhur [al-Qalam/ : 4]


Juga sabda Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam :





Pergaulilah manusia dengan akhlak mulia [HR. at-Tirmidzi no. 1987 dari Abu Dzar, dan beliau menilai hadits ini hasan shahih] APA ITU AKHLAK MULIA?


Banyak definisi yang disampaikan Ulama. Definisi yang cukup mewakili adalah:





Akhlak mulia adalah berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya dan menahan diri ketika disakiti [1] Dari definisi di atas kita bisa membagi akhlak mulia menjadi tiga macam: 1. Melakukan kebaikan kepada orang lain. Contohnya: berkata jujur, membantu orang lain, bermuka manis dan lain sebagainya. 2. Menghindari sesuatu yang menyakiti orang lain. Contohnya: tidak


6


mencela, tidak berkhianat, tidak berdusta dan yang semisal. 3. Menahan diri tatkala disakiti. Contohnya: tidak membalas keburukan dengan keburukan serupa.


APA MAKSUD DAKWAH DENGAN AKHLAK?


Sebagian kalangan masih menganggap dakwah hanya berbentuk penyampaian materi secara lisan. Padahal sebenarnya dakwah meliputi aspek lainnya juga; semisal praktek nyata, memberi contoh amalan, dan akhlak mulia, atau yang lazim dikenal dengan dakwah bil hâl. Bahkan justru yang terakhir inilah yang lebih berat dibanding dakwah dengan lisan dan lebih mengena sasaran.[2] Banyak orang yang pintar berbicara dan menyampaikan teori dengan lancar, namun hanya sedikit yang menjalankan ucapannya dalam praktek nyata. Di sinilah terlihat urgensi adanya qudwah hasanah (potret keteladanan yang baik) di tengah masyarakat, yang tugasnya adalah menerjemahkan teori-teori kebaikan dalam amaliah nyata, sehingga teori tersebut tidak selalu hanya terlukis dalam lembaran-lembaran kertas. [3]


Jadi, dakwah dengan akhlak mulia maksudnya mempraktekkan akhlak mulia sebagai sarana untuk mendakwahi umat manusia kepada kebenaran.


AKHLAK MULIA DAN DAMPAK POSITIFNYA DALAM DAKWAH Di atas telah dijelaskan bahwa definisi akhlak mulia ialah berbuat baik kepada orang lain, menghindari sesuatu yang menyakitinya serta menahan diri ketika disakiti. Berdasarkan definisi ini berarti cakupan akhlak mulia sangatlah luas, dan tidak mungkin dipaparkan


7


satu persatu dalam makalah singkat ini. Karena itulah penulis hanya akan membawakan beberapa contoh saja. Semoga yang sedikit ini bisa mendatangkan berkah dan para pembaca dapat menganalogikannya kepada contoh-contoh yang lain. 1. Gemar Membantu Orang Lain.


Banyak nash dalam al-Qur'ân maupun Sunnah yang memotivasi kita untuk mempraktekkan karakter mulia ini. Di antaranya, sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam:





Allâh akan membantu seorang hamba jika ia membantu saudaranya [HR. Muslim no. 6793dari Abu Hurairah] Sifat gemar membantu orang lain akan membuahkan dampak positif yang luar biasa bagi keberhasilan dakwah pemilik karakter tersebut. Menarik untuk kita cermati ungkapan Ummul Mukminin Khadîjah Radhiyallahu anhuma tatkala beliau menghibur suaminya; Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketakutan dan merasa khawatir tatkala wahyu turun pertama kali pada beliau. Khadîjah Radhiyallahu anhuma berkata:





Demi Allâh tidak mungkin! Allâh tidak akan pernah menghinakanmu. Sebab engkau selalu bersilaturrahmi, meringankan beban orang lain, memberi orang lain sesuatu yang tidak mereka dapatkan kecuali pada dirimu, gemar menjamu tamu dan engkau membantu orang lain dalam musibah-musibah [HR. al-Bukhâri no. 3 dan Muslim no. 401]


Maksud perkataan Khadîjah Radhiyallahu anhuma di atas, sesungguhnya engkau Muhammad, tidak akan ditimpa sesuatu yang tidak kau sukai, karena Allâh Azza wa Jalla telah menjadikan dalam dirimu berbagai akhlak mulia dan karakter utama. Lalu Khadîjah Radhiyallahu anhuma menyebutkan berbagai contohnya,[4] di antaranya gemar membantu orang lain.


Karakter ini sangat membantu keberhasilan dakwah. Tatkala seseorang dalam keadaan sangat membutuhkan bantuan, kemudian ada orang yang membantunya, jelas susah baginya melupakan kebaikan orang tersebut. Dia akan terus mengingat jasa baik itu, sehingga manakala kita menyampaikan sesuatu padanya, minimal dia akan lebih terbuka untuk mendengar ucapan kita, bahkan sangat mungkin dia akan menerima masukan dan nasehat kita. Sebagai salah satu bentuk 'berbalas budi' atas kebaikan yang kita sodorkan kepadanya.


9


Karena itu, seyogyanya kita berusaha menerapkan akhlak mulia ini


dalam kehidupan sehari-hari. Tatkala ada tetangga yang meninggal


dunia, kitalah yang pertama kali memberikan sumbangan


belasungkawa kepada keluarganya. Manakala ada yang dioperasi


karena sakit; kita turut membantu secara materi semampunya. Saat


ada yang membutuhkan bantuan keuangan, kita berusaha


memberikan hutangan pada orang tersebut. Begitu seterusnya.


Jika hal ini rajin diterapkan, lambat laun akan terbangun jembatan


yang mengantarkan kita untuk masuk ke dalam hati orang-orang


yang pernah kita bantu, sehingga dakwah salafiyah yang kita


sampaikan lebih mudah untuk mereka terima.


2. Jujur Dalam Bertutur Kata


Sifat jujur merupakan salah satu karakter mulia yang amat dianjurkan dalam Islam. Allâh Azza wa Jalla berfiman:





Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allâh dan ucapkanlah perkataan yang benar [al-Ahzâb/33:70] Kejujuran bertutur kata dalam kehidupan sehari-hari membuahkan kepercayaan masyarakat terhadap apa yang kita sampaikan, bukan hanya dalam perkara duniawi, namun juga dalam perkara agama.


Ibnu 'Abbâs Radhiyallahu anhu bercerita, bahwa tatkala turun firman Allâh Azza wa Jalla ,


10





Berilah peringatan (wahai Muhammad) kepada kerabat-kerabatmu


yang terdekat. [asy-Syu'ara/26:214]


Rasulullah shallallahu'alaihiwasallam keluar dari rumahnya lalu


menaiki bukit Shafa dan berteriak memanggil, "Wahai kaumku


kemarilah!". Orang-orang Quraisy berkata, "Siapakah yang


memanggil itu?". "Muhammad", jawab mereka. Mereka pun


berduyun-duyun menuju bukit Shafa.


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, "Wahai bani Fulan,


bani Fulan, bani Fulan, bani Abdi Manaf dan bani Abdil Mutthalib.


Andaikan aku kabarkan bahwa dari kaki bukit ini akan keluar seekor


kuda, apakah kalian mempercayaiku?".


Mereka menjawab, "Kami tidak pernah mendapatkanmu berdusta!".


"Sesungguhnya aku mengingatkan kalian akan datangnya azab yang


sangat pedih!" , lanjut Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam [HR.


al-Bukhâri no. 4971 dan Muslim no. 507 dengan redaksi Muslim]


Lihatlah bagaimana kejujuran Rasûlullâh dalam bertutur kata menjadi dalil dan bukti akan kebenaran risalah yang disampaikannya.[5] Seorang Muslim yang telah dikenal di masyarakatnya jujur dalam bertutur kata, berhati-hati dalam berbicara dan menyampaikan berita, akan disegani. Ucapannya akan didengar. Dan ini modal yang amat berharga untuk berdakwah. Didengarkannya apa yang kita sampaikan itu sudah merupakan suatu langkah awal yang menyiratkan keberhasilan dakwah. Andaikan dari awal saja, masyarakat sudah enggan mendengar apa yang kita sampaikan, karena kita telah dikenal, misalnya mudah menyebarkan isu yang


11


belum jelas kebenarannya, tentu jalan dakwah berikutnya akan


semakin terjal.


3. Bertindak Ramah Terhadap Orang Miskin Dan Kaum Lemah


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





Tolonglah aku untuk mencari (dan membantu) orang-orang lemah.


Sesungguhnya kalian dikaruniai rezeki dan meraih kemenangan


lantaran adanya orang-orang miskin di antara kalian". [HR. Abu


Dâwud no. 2594, dan sanadnya dinilai jayyid (baik) oleh an-Nawawi]


[6]


Masih banyak hadits lain, juga ayat al-Qur'an yang memerintahkan


kita untuk berbuat baik, berlaku ramah dan membantu orang-orang


lemah juga miskin. Bahkan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam


pernah ditegur langsung Allâh Azza wa Jalla tatkala suatu hari beliau


bermuka masam dan berpaling dari seorang lemah yang datang


kepada beliau; karena saat itu beliau sedang sibuk mendakwahi para


pembesar Quraisy. Kejadian itu Allâh Azza wa Jalla abadikan dalam


surat 'Abasa. Setelah itu, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam


amat memuliakan orang lemah tadi dan bahkan menunjuknya


sebagai salah satu muadzin di kota Madinah. Dialah 'Abdullâh Ibn


Ummi Maktûm Radhiyallahu anhu .


Bersikap ramah dan perhatian terhadap orang-orang lemah


menguntungkan dakwah dari dua arah; sisi orang-orang lemah


tersebut, juga sisi masyarakat yang menyaksikan sikap mulia yang


kita praktekkan tersebut.


12


Adapun sisi pertama, keuntungannya: orang-orang lemah tersebut


akan mudah untuk didakwahi dan diajak kepada kebenaran; apalagi


pada umumnya mereka memang lebih mudah untuk didakwahi.


Perlu dicatat di sini, apa yang disebutkan para ahli sejarah tentang


salah satu isi dialog antara Abu Sufyan dan kaisar Romawi; Heraklius.


Tatkala Abu Sufyan ditanya tentang siapakah pengikut Rasul


Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Dia menjawab, "Orang-orang lemah


dan kaum miskin". Heraklius pun menimpali, "Begitulah kondisi


pengikut para nabi di setiap masa".[7]


Ketika menafsirkan Surat asy-Syu'ârâ ayat ke-111, Imam Abu Hayyân


rahimahullah menjelaskan bahwa orang-orang lemah lebih banyak


untuk menerima dakwah dibanding orang-orang yang terpandang.


Sebab, otak mereka tidak dipenuhi dengan keindahan-keindahan


duniawi, sehingga mereka lebih mudah mengetahui al-haq dan


menerimanya dibanding orang-orang terpandang.[8]


Sedangkan keuntungan kedua, dipandang dari sisi ketertarikan


orang-orang yang menyaksikan praktek akhlak mulia tersebut,


termasuk orang-orang yang memiliki status sosial tinggi. Masyarakat


cenderung lebih respek kepada ulama atau da'i yang rendah hati


serta akrab dengan orang-orang miskin dan lemah dibandingkan


kepada penceramah yang hanya berada dalam lingkaran kehidupan


orang-orang kaya dan pemilik kekuasaan. Sebab masyarakat


menganggap da'i tersebut cenderung lebih tulus. Adapun


penceramah (Ulama) yang hanya beramah-tamah dengan para


pejabat dan konglomerat; masyarakat akan bertanya-tanya tentang


motif kedekatan tersebut? Apakah karena mengharapkan harta


duniawi atau apa?


Keterangan ini sama sekali bukan untuk mengecilkan urgensi mendakwahi orang-orang yang memiliki kedudukan[9] , namun


13


penulis hanya ingin mengajak para pembaca untuk membayangkan


alangkah indahnya andaikan para da'i dan Ulama menyeimbangkan


antara kedekatannya dengan orang-orang terpandang dan


kedekatannya dengan orang-orang lemah yang kekurangan, dengan


satu tujuan lurus, mengajak mereka semua ke jalan Allâh Azza wa


Jalla .


Banyak pelajaran berharga yang bisa dipetik dari kisah masuk


Islamnya 'Adi bin Hâtim ath-Thâ'I, seorang raja terpandang di negeri


Arab. Ketika mendengar munculnya Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa


sallam dan pengikutnya dari hari kehari semakin bertambah,


membuncahlah dalam hatinya kebencian dan rasa cemburu atas


kemunculan raja pesaing baru, hingga datanglah suatu hari dimana


Allâh Azza wa Jalla membuka hatinya untuk mendatangi Rasul


Shallallahu ‘alaihi wa sallam .


Begitu mendengar kedatangan 'Adi, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang saat itu sedang berada di masjid dengan para Sahabatnya segera bergegas menyambut kedatangannya dan menggandeng tangannya mengajak berkunjung ke rumah beliau. Di tengah perjalanan menuju rumah, ada seorang wanita lemah yang telah lanjut usia memanggil-manggil beliau. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berhenti dan meninggalkan 'Adi guna mendatangi wanita tersebut. Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam cukup lama berdiri melayani kebutuhan si wanita. Melihat tawadhu' Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , 'Adi bergumam dalam hatinya, "Demi Allâh, ini bukanlah tipe seorang raja!". Setelah selesai urusannya dengan wanita tua tersebut, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam menggamit tangan 'Adi melanjutkan perjalanan. Sesampai di rumah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bergegas mengambil satu-satunya bantal duduk yang terbalut kulit dan berisikan sabut pohon kurma, lalu mempersilahkan 'Adi


14


untuk duduk di atasnya. 'Adi pun menjawab, "Tidak, duduklah


engkau di atasnya". "Tidak! Engkaulah yang duduk di atasnya" sahut


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam . Akhirnya, 'Adi duduk di atas


bantal tersebut dan Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk di


atas tanah. Saat itu, 'Adi kembali bergumam dalam hatinya, "Demi


Allâh, ini bukanlah karakter seorang raja!".


Lantas terjadi diskusi antara keduanya, hingga akhirnya 'Adi pun


mengucapkan dua kalimat syahadat; menyatakan keislamannya.


[10]


Lihatlah bagaimana 'Adi begitu terkesan dengan kerendahan hati


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dengan sabar melayani


kepentingan seorang wanita tua dan lemah di tengah-tengah


perjalanannya mendampingi seorang raja besar! Goresan kesan baik


yang mengendap dalam hatinya terhadap Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam , merupakan titik awal ketertarikan sang raja untuk memeluk


Islam.


Penulis tutup pembahasan ini dengan sebuah kisah nyata tentang salah seorang da'i muda Ahlus Sunnah di sebuah kota di tanah air. Dengan usianya yang masih sangat hijau, dalam waktu singkat, sebagai pemain baru di kotanya, berkat taufik dari Allâh Azza wa Jalla , dia telah berhasil mengambil hati banyak masyarakat di kota tersebut. Bahkan pernah pada suatu momen, ia diundang untuk mengisi suatu acara kemasyarakatan di sebuah komunitas yang sebenarnya di situ banyak tokoh-tokoh agama senior. Tatkala berusaha menghindar dengan alasan banyak kyai di situ, orang yang mengundang menjawab, "Kalau yang mengisi pengajian kyai A, sebagian masyarakat tidak mau datang, dan kalau yang diundang kyai B, yang mau datang juga hanya sebagian. Tapi kalau yang mengisi panjenengan, mereka semua mau datang!". Ketika penulis cermati, ternyata salah satu rahasia kecintaan masyarakat terhadap


15


da'i tersebut yaitu keramahannya kepada siapapun, apalagi


terhadap orang-orang 'kecil'. Dia menyapa tukang parkir, tukang


sapu, orang tidak punya, bersalaman dengan mereka dan tidak


segan-segan untuk bertanya tentang keadaan keluarga mereka dan


anak-anaknya!


4. Santun Dalam Menyampaikan Nasehat, Sambil Memperhatikan


Kondisi Psikologis Orang Yang Dinasehati.


Dari Abu Hurairah, Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:





Ucapan yang baik adalah sedekah [HR. al-Bukhâri no. 2989 dan


Muslim no. 2332]


Memilih kata-kata yang baik dan memperhatikan psikologis


seseorang sangat menentukan keberhasilan dakwah. Penulis pernah


mendapatkan cerita dari saksi mata obrolan antara seorang ikhwan


yang sudah ngaji dengan seorang awam yang sebelumnya tidak


pernah saling bertemu. Orang awam tadi membuka obrolannya


dengan kekagumannya akan perkembangan pembangunan fisik kota


tempat mereka berdua tinggal yang begitu cepat dan maju. Namun


ikhwan tadi langsung menangkis, "Ya, itukan cuma lahiriahnya saja.


Tapi kalau kita lihat jiwa-jiwa penduduknya, ternyata kosong dan


rapuh!". Begitu mendengar balasan lawan bicaranya, muka orang


awam tadi langsung berubah dan terdiam.


Kita bukan sedang meragukan niat baik ikhwan tadi, namun tidakkah ada kata-kata yang lebih santun? Haruskah kita 'menabrak' langsung lawan bicara kita. Bukankah itu akan mengakibatkan dakwah kita sulit untuk diterima? Bukankah akan lebih enak didengar dan diterima jika ikuti alur pembicaraannya, lalu secara perlahan kita


16


arahkan kepada poin yang kita sampaikan?


Misalnya kita katakan pada orang awam tersebut, "Betul Pak,


pembangunan fisik kota kita ini memang amat membanggakan, dan


ini amat bermanfaat untuk kesejahteraan ekonomi masyarakat.


Namun alangkah indahnya jika pembangunan fisik tersebut diiringi


pula dengan pembangunan mental masyarakat, sehingga timbullah


keseimbangan antara dua sisi tersebut".


Kita bisa mengambil suri teladan dari metode Rasûlullâh Shallallahu


‘alaihi wa sallam dalam menasehati para Sahabat.


Abu Umamah Radhiyallahu anhu bercerita, "Suatu hari ada seorang


pemuda yang mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya


berkata, "Wahai Rasûlullâh, izinkan aku berzina!". Orang-orang pun


bergegas mendatanginya dan menghardiknya, mereka berkata,


"Diam kamu, diam!". Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam


berkata, "Mendekatlah". Pemuda tadi mendekati beliau dan duduk.


Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, "Relakah engkau jika ibumu dizinai orang lain?". "Tidak demi Allâh, wahai Rasul" sahut pemuda tersebut. "Begitu pula orang lain tidak rela kalau ibu mereka dizinai". "Relakah engkau jika putrimu dizinai orang?". "Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!". "Begitu pula orang lain tidak rela jika putri mereka dizinai". "Relakah engkau jika saudari kandungmu dizinai?". "Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!". "Begitu pula orang lain tidak rela jika saudara perempuan mereka dizinai". "Relakah engkau jika bibi (dari jalur bapakmu) dizinai?". "Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!". "Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai".


17


"Relakah engkau jika bibi (dari jalur ibumu) dizinai?".


"Tidak, demi Allâh, wahai Rasul!".


"Begitu pula orang lain tidak rela jika bibi mereka dizinai".


Lalu Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan


tangannya di dada pemuda tersebut sembari berkata, "Ya Allâh,


ampunilah kekhilafannya, sucikanlah hatinya dan jagalah


kemaluannya".


Setelah kejadian tersebut, pemuda itu tidak pernah lagi tertarik


untuk berbuat zina". [HR. Ahmad XXXVI/545 no. 22211 dan sanad


shahîh].[11]


Cermatilah bagaimana Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak


langsung menyalahkan pemuda tadi. Namun, dengan sabar beliau


mengajak pemuda tadi untuk berpikir sambil memperhatikan


kondisi psikologisnya. Mungkin, sebagian kalangan yang kurang


paham menilai bahwa metode tersebut terlalu panjang dan berteletele.


Namun lihatlah apa hasilnya? Jalan dakwah memang panjang


dan membutuhkan kesabaran.


Tidak ada salahnya, kita kembali memutar rekaman perjalanan


hidup kita dahulu sebelum mengenal dakwah Salaf dan proses


perkenalan kita dengan manhaj yang penuh dengan berkah ini.


Apakah dulu serta-merta sekali diomongi, kita langsung


meninggalkan keyakinan yang telah berpuluh tahun kita pegangi?


Atau melalui proses panjang yang penuh dengan lika-liku?


Dengan merenungi masa lalu kelam sebelum mendapat hidayah,


dan bahwasanya kita memperolehnya secara bertahap, kita akan


terdorong untuk mendakwahi orang lain juga dengan hikmah,


nasehat yang bijak, serta secara bertahap. Demikian keterangan


yang disampaikan Syaikh 'Abdur Rahmân as-Sa'di rahimahullah


ketika beliau menafsirkan firman Allâh Azza wa Jalla :





Begitu pulalah keadaan kalian dahulu, lalu Allâh melimpahkan


nikmat-Nya pada kalian. [an-Nisâ/4: 94] [12]


Tidaklah mudah, mengajak seseorang meninggalkan ideologi


lamanya untuk menganut sebuah keyakinan baru. Maka, langkah


awal yang ditempuh, buatlah ia ragu akan ideologi lamanya, lalu


secara bertahap kita jelaskan keunggulan (keistimewaan,


kebenaran) ideologi baru yang akan kita tawarkan padanya. Dengan


berjalannya waktu, dengan izin Allâh Azza wa Jalla , sedikit demi


sedikit ideologi lama akan ditinggalkannya, kemudian beralih ke


ideologi yang baru.


5. Bersifat Pemaaf Terhadap Orang Yang Menyakiti Dan Membalas


Keburukan Dengan Kebaikan.


Allâh Azza wa Jalla berfirman:





Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan kebajikan, serta


jangan pedulikan orang-orang jahil [al-A'râf/7:199]


Potret praktek akhlak mulia ini dalam kehidupan Rasûlullâh


Shallallahu ‘alaihi wa sallam amatlah banyak, baik dengan sesama


Muslim, maupun dengan para musuh beliau dari kalangan orangorang


kafir dan kaum musyrikin.


19


Di antara contoh jenis pertama, kejadian yang dikisahkan Anas bin


Malik Radhiyallahu anhu :





Suatu hari aku berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan saat itu beliau mengenakan pakaian (kain) buatan Najran yang tepinya kasar. Tiba-tiba datanglah seorang Arab badui dari belakang dan menarik keras kain beliau, hingga aku melihat di pundaknya tergaris merah bekas kasarnya tarikan orang itu, sembari berkata, "Berilah aku sebagian dari harta yang Allâh berikan padamu!". Beliau pun menengok kepadanya sembari tersenyum lalu memerintahkan agar ia diberi sebagian harta". [HR. al-Bukhâri no. 3149 dan Muslim no. 2426]


Contoh jenis kedua antara lain, kejadian yang dikisahkan ‘Aisyah


Radhiyallahu anhuma :


Suatu hari aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, "Wahai Rasûlullâh, apakah engkau pernah melewati suatu hari yang lebih berat dibandingkan hari peperangan Uhud?". Beliau menjawab, "Aku telah menghadapi berbagai cobaan dari kaummu, dan cobaan yang paling kurasa berat adalah kejadian di hari Aqabah. Saat itu, aku menawarkan dakwah kepada Ibn Abd Yâlil bin Abd Kulal, namun ia enggan menerimaku. Aku pun pergi dalam keadaan amat sedih dan tidak tersadar melainkan tatkala sampai di


20


Qarn ats-Tsa'âlib. Aku pun mendongakkan kepala, ternyata di atasku ada awan yang menaungiku. Kulihat di sana ada malaikat Jibril, ia memanggilku, "Sesungguhnya Allâh telah mendengar ucapan kaummu dan bantahan mereka padamu. Allâh telah mengirimkan untukmu malaikat gunung, supaya engkau memerintahkannya melakukan apa saja kepada mereka sesuai kehendakmu". Malaikat gunung pun memanggilku dan mengucapkan salam lalu berkata, "Wahai Muhammad, jika engkau mau, akan kutimpakan dua gunung atas mereka!". Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menjawab, "Justru aku berharap, semoga Allâh berkenan menjadikan keturunan mereka generasi yang mau beribadah kepada Allâh semata dan tidak mempersekutukan-Nya dengan suatu apapun". [HR. Muslim no. 4629] Jalan dakwah merupakan jalan yang terjal yang dipenuhi onak dan duri, apalagi mengajak manusia meninggalkan keyakinan-keyakinan keliru yang telah mendarah-daging puluhan tahun dalam diri mereka. Pasti akan muncul tantangan, berupa cemoohan, makian, atau bahkan mungkin juga berbentuk serangan fisik, dari pihak yang antipati terhadap dakwah. Ketika seorang da'i menghadapi semua halangan tadi dengan ketegaran dan kesabaran, tidak lupa diiringi dengan kelapangan dada, bahkan justru membalas keburukan dengan kebaikan; insya Allâh dengan berjalannya waktu, hati para 'lawan' dakwah akan luluh, atau minimal akan menyegani dakwah yang penuh berkah ini dan tidak mudah untuk melontarkan tuduhan-tuduhan miring. [13]


Biografi para ulama Islam penuh dengan contoh praktek sifat mulia ini. Penulis bawakan dua contoh dari kehidupan seorang ulama yang sangat masyhur keteguhannya dalam mempertahankan prinsip dan ketegasannya dalam meluruskan penyimpangan sekte-sekte sesat. Beliau adalah Syaikhul Islam Ibn Taimiyyah rahimahullah.


21


Contoh pertama: Suatu hari segerombolan ahlul bid’ah menghadang Ibnu Taimiyah rahimahullah lalu mereka memukuli beliau ramai-ramai dan pergi. Tatkala kabar itu sampai ke telinga murid-murid dan para pendukung beliau, mereka pun bergegas datang kepadanya, meminta izin guna membalas dendam perbuatan jahat gerombolan ahlul bid’ah itu.


Namun Ibnu Taimiyah rahimahullah melarang mereka, seraya berkata, “Kalian tidak boleh melakukan hal itu”.


“Perbuatan mereka pun juga tidak boleh didiamkan, kami sudah tidak tahan lagi!”, tukas mereka.


Ibnu Taimiyah rahimahullah menimpali, “Hanya ada tiga kemungkinan; hak untuk balas dendam itu milikku, atau milik kalian, atau milik Allâh. Seandainya hak untuk balas dendam itu adalah milikku, maka aku telah memaafkan mereka! Jika hak itu adalah milik kalian, seandainya kalian tidak mau mendengar nasehatku dan fatwaku maka berbuatlah semau kalian! Andaikan hak itu adalah milik Allâh, maka Dia k yang akan membalas jika Dia k berkehendak!”. [14]


Contoh kedua: Kisah makar ahlul bid'ah untuk menggantung Ibnu Taimiyyah. Sultan Muhammad Qalawun rahimahullah termasuk penguasa yang mencintai dan mendukung dakwah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Pada suatu tahun, Sultan Qalawun pergi berhaji ke Baitullah. Selama menjalankan ibadah haji, pemerintahan diserahkan kepada salah seorang wakilnya, Sultan al-Muzhaffar Ruknuddin Piprus, yang merupakan murid salah satu tokoh sufi abad itu, Nashr al-Manbaji, dikenal sangat benci terhadap Ibnu Taimiyah.


22


Tatkala Piprus mengambil tampuk pemerintahan, ahlul bid’ah pun segera menyusun makar agar pemerintah mengeluarkan surat perintah hukum mati Ibnu Taimiyah rahimahullah. Namun sebelum makar mereka berhasil, Sultan Qalawun terlebih dahulu kembali dari haji.


Mendengar berita adanya makar ahlul bid’ah tersebut, Sultan Qalawun pun marah besar dan memerintahkan bawahannya untuk menghukum mati para pelaku makar tersebut. Namun, begitu sampai berita itu ke telinga Ibnu Taimiyah rahimahullah , ulama ini bergegas mendatangi Sultan Qalawun , sambil mengatkan, “Saya telah memaafkan mereka semua”. Akhirnya, Sultan pun memaafkan mereka.


Setelah peristiwa itu, salah seorang musuh besar Ibnu Taimiyah rahimahullah , Zainuddîn bin Makhlûf pun berkata, “Tidak pernah kita mendapatkan orang setakwa Ibnu Taimiyah! Setiap ada kesempatan untuk mencelakakannya, kami berusaha untuk memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Namun, tatkala dia memiliki kesempatan untuk membalas, malah memaafkan kami!”.[15] Begitulah orang-orang berjiwa besar menyikapi kejahatan orang lain, dan lihatlah buahnya! Disegani lawan maupun kawan. Betapa banyak musuh bebuyutan yang berubah menjadi teman seperjuangan, berkat taufiq dari Allâh Azza wa Jalla , kemudian dengan ketulusan hati para da'i.


6. Menahan Diri Dari Meminta-Minta Apa Yang Dimiliki Orang Lain. Sifat ini lebih dikenal para Ulama dengan istilah 'iffah atau 'afâf. Ini merupakan salah satu karakter para Sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi


23


wa sallam sebagaimana Allâh Azza wa Jalla beritakan dalam al-Qur'ân,





"(Orang lain) yang tidak tahu menyangka bahwa mereka adalah orang-orang kaya; karena mereka menjaga diri (dari meminta-minta). Engkau (wahai Muhammad) mengenal mereka dari ciri-cirinya, mereka tidak meminta dengan cara mendesak kepada orang lain". [Al-Baqarah: 273].


Tidak heran andaikan mereka memiliki karakter mulia tersebut;


sebab mereka dapat menyaksikan langsung Rasûlullâh Shallallahu


‘alaihi wa sallam sendiri mempraktekkannya dan senantiasa


memotivasi mereka untuk mempraktekkannya juga. Di antara


nasehat yang beliau sampaikan: sabdanya,





"Barang siapa menahan diri untuk tidak minta-minta; maka Allâh akan jadikan ia memiliki sifat 'iffah. Dan barang siapa menampakkan diri berkecukupan; niscaya Allâh akan menjadikannya kaya". [HR. al-Bukhâri no. 1427 dan Muslim no. 2421 dari Hakîm bin Hizâm Radhiyallahu anuh]


Lantas apa korelasi antara bersifat 'iffah dengan keberhasilan dakwah? Sekurang-kurangnya bisa ditinjau dari dua sisi: Pertama: Orang yang menjaga diri dari meminta apa yang dimiliki


24


orang lain, juga tidak silau dengan apa yang dimiliki orang lain; akan dicintai mereka. Sebab secara tabiat, manusia tidak menyukai orang lain yang meminta-minta apa yang dimilikinya. Hal itu telah Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam isyaratkan dalam nasehatnya untuk seseorang yang bertanya, "Wahai Rasûlullâh, beritahukan padaku suatu amalan yang jika kukerjakan, aku akan disayang Allâh dan dicintai manusia!". Beliau pun menjawab:





Bersifat zuhudlah di dunia, niscaya engkau akan disayang Allâh. Dan


bersikap zuhudlah dari apa yang ada di tangan manusia, niscaya


mereka mencintaimu [HR. Ibnu Mâjah no. 4177 dari Sahl bin Sa'd as-


Sâ'idi Radhiyallahu anhu dan sanadnya dinilai hasan oleh Imam an-


Nawawi rahimahullah] [16]


Jika seorang da'i telah dicintai masyarakat, maka mereka akan lebih


mudah untuk menerima dakwahnya.


Kedua: Orang yang memiliki sifat 'afâf, ketika ia berdakwah,


masyarakat akan menilai bahwa dakwahnya tersebut ikhlas karena


Allâh Azza wa Jalla , bukan karena mengharapkan balasan duniawi


dari mereka. Saat mereka merasakan ketulusan niat da'i tersebut;


jelas -dengan izin Allâh Azza wa Jalla - mereka akan lebih mudah


untuk menerima dakwahnya. Allâh Azza wa Jalla berfirman:


Ikutilah orang yang tidak meminta imbalan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk [Yâsin/36:21]


25


KIAT MENUMBUHKAN SIFAT ‘AFAF


Sifat mulia ini memang cukup berat untuk ditumbuhkan dalam jiwa.


Namun, ada kiat khusus yang dapat membantu kita menumbuhkan


karakter mulia ini dalam diri kita. Yaitu, dengan melatih diri bersifat


qona'ah yang berarti menerima dan rela dengan berapapun yang


diberikan Allâh Azza wa Jalla . Sebab, sebenarnya sifat 'afâf


merupakan buah dari sifat qona'ah. [17]


Jika ada yang bertanya bagaimana cara membangun pribadi yang


qona'ah? Jawabannya, dengan melatih diri menyadari seyakinyakinnya


bahwa rezeki hanyalah di tangan Allâh Azza wa Jalla dan


yang kita dapatkan telah dicatat Allâh Azza wa Jalla , serta tidak


mungkin melebihi apa yang telah ditentukan-Nya, walaupun kita


pontang-panting dalam bekerja.


CATATAN PENTING [18]


Ada tiga catatan penting di akhir makalah ini:


Pertama: Untuk merealisasikan akhlak mulia ini bukan berarti kita


'melarutkan' diri dalam ritual-ritual bid'ah yang ada di masyarakat


dengan alasan penerapan akhlak mulia!


Kita bisa bermasyarakat tanpa harus larut mengikuti yasinan[19] , tahlilan[20] , maulidan atau acara-acara bid'ah lainnya. Caranya? Dengan selalu berusaha berpartisipasi dalam acara-acara kemasyarakatan yang tidak mengandung unsur penyimpangan terhadap syariat, semisal kerja bakti, pembuatan taman RT, kumpul bulanan RT, menjenguk tetangga yang sakit, mengantar jenazah ke pemakaman, membantu orang yang sedang ditimpa musibah,


26


menebarkan salam, berbagi masakan ketika kita sedang memasak makanan yang enak, membantu membawakan barang belanjaan seseorang yang baru pulang dari pasar, membantu mendorong becak yang keberatan bawaan ketika dia menaiki jalan yang menanjak dan lain sebagainya.


Dengan berjalannya waktu, masyarakat akan paham bahwa ketidakikutsertaan kita dalam ritual-ritual bid'ah bukan berarti karena kita sedang mengucilkan diri dari mereka, namun karena hal itu berkaitan dengan keyakinan yang 'tidak ada tawar-menawar' di dalamnya.


Kedua: Sebagian pihak 'mengolok-olok' beberapa da'i Ahlus Sunnah yang tidak jemu-jemunya menekankan pentingnya akhlak mulia, dengan mengatakan bahwa mereka telah tasyabbuh (menyerupai) salah satu kelompok ahlul bid'ah yang terkenal berkonsentrasi dalam membenahi akhlak umat, namun mengabaikan pembenahan akidah.


Jawabannya: A. Barangkali pihak yang gemar 'mengolok-olok' itu lupa bahwa dakwah Ahlus Sunnah wal Jama’ah bukanlah dakwah yang hanya mengajak kepada akidah yang benar saja. Namun, juga merupakan dakwah yang mengajak kepada penerapan akhlak mulia dalam kehidupan sehari-hari; karena dakwah Ahlus Sunnah tidak lain adalah agama Islam yang dibawa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dimana Islam memadukan antara akidah, ibadah dan akhlak. Imam Bisyr al-Hâfî rahimahullah berkata, "Sunnah adalah Islam dan Islam adalah Sunnah"[21].


Syaikh Dr. Ibrâhîm bin ‘Âmir ar-Ruhailî hafizhahullâh menjelaskan, "Hendaklah diketahui bahwa Ahlus Sunnah sejati adalah mereka


27


yang mengamalkan ajaran Islam secara sempurna, baik yang berkenaan dengan akidah maupun akhlak. Termasuk pemahaman yang keliru, adanya prasangka bahwa sunni atau salafi adalah orang yang merealisasikan akidah Ahlus Sunnah saja, tanpa memperhatikan sisi akhlak dan adab Islam, serta penunaian hak-hak kaum Muslimin"[22] .


B. Seandainya ada sebagian ahlul bid'ah menonjol dalam pengamalan beberapa sisi syariat Islam, apakah kita akan mengabaikannya hanya karena mereka lebih terkenal dalam penerapannya?! Bukankah justru sebaliknya kita harus berusaha membenahi diri dengan menutupi kekurangan yang ada pada diri kita, sehingga kita benar-benar bisa menerapkan ajaran Ahlus Sunnah secara komprehensif dan bukan sepotong-sepotong?! Ketiga: Mungkin pula ada sebagian pihak lain yang ketika ia merasa jenuh melihat kekurangan sebagian Ahlus Sunnah dalam penerapan akhlak Islami, dia cenderung 'menjauhi' mereka dan memilih 'bergabung' dengan kelompok-kelompok ahlul bid'ah yang terkenal menonjol dalam sisi itu.


Sikap ini juga kurang tepat, karena seharusnya dia berusaha membenahi diri dengan memperbaiki akhlaknya yang belum baik, lalu berusaha terus-menerus menasehati saudara-saudaranya sesama Ahlus Sunnah guna memperbaiki akhlak mereka, bukan malah menjauh. Mari kita selesaikan suatu masalah dengan cara yang tidak menimbulkan masalah lain!


PENUTUP Sebenarnya masih banyak contoh lain penerapan akhlak mulia yang akan membuahkan dampak positif bagi keberhasilan dakwah. Seperti bersifat amanah dalam segala sesuatu, termasuk dalam berbisnis, yang amat disayangkan mulai luntur, bahkan sampai di


28


kalangan mereka yang sudah ngaji. Sehingga muncullah istilah


"Bisnis afwan akhi!" [23] , yang intinya adalah berbisnis tanpa


mengindahkan etika-etikanya. Dan contoh-contoh lainnya yang


dipandang perlu untuk disinggung. Semoga yang sedikit ini dapat


memberikan manfaat yang banyak dan menjadikan kita selalu


berupaya untuk berakhlak mulia di tengah masyarakat yang jelasjelas


membutuhkan pembinaan Islami untuk menjadi lebih baik.


Wallâhul muwaffiq ilâ aqwamith tharîq... Wa shallallahu 'ala


nabiyyina muhammadin wa 'ala alihi wa shahbihi ajma'in.


[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 09/Tahun XIV/1432H/2011.


Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo –


Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-


858197 Fax 0271-858196]


_______ Footnote : [1]. Lihat Ikhtiyar al-Ûlâ fî Syarh Hadîts al-Mala' al-A'lâ karya Imam Ibn Rajab, sebagaimana dalam Majmû' Rasâ'il al-Hafizh Ibn Rajab al-Hambali IV/44 dan Madârijus Sâlikîn karya Imam Ibnul Qayyim II/318-319 [2]. Lihat Munthalaqât ad-Da'wah wa Wasâ'il Nasyriha, Hamd Hasan Raqîth (hal. 97-99) dan Ashnâf al-Mad'uwwîn wa Kaifiyyah Da'watihim, karya Prof. Dr. Hamûd bin Ahmad ar-Ruhaili hlm. 41 [3]. It-hâf al-Khiyarah al-Maharah fî Ma'rifah Wasâ'il at-Tarbiyah al-Mu'atsirah , Ummu 'Abdirrahmân binti Ahmad al-Jaudar hlm. 14 [4]. Syarh Shahîh Muslim , Imam Nawawi II/377 [5]. Makârim al-Akhlâq fî Dhau'i al-Kitâb wa as-Sunnah karya Syaikh Salim al-Hilâli hlm. 39 [6]. Riyâdh ash-Shâlihîn hlm. 146 [7]. al-Bidâyah wa an-Nihâyah VI/471-472


29


[8]. Tafsîr al-Bahr al-Muhîth VII/30 [9]. Penulis telah sedikit mengupas tentang permasalahan ini serta dampaknya yang amat signifikan untuk kemajuan dan perkembangan dakwah, dalam buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah hlm. 69-73 [10]. Tahdzîb Sîrah Ibn Hisyâm , 'Abdussalâm Hârûn hlm. 272-274 [11]. Ash-Shahîhah I/713 no. 370 [12]. Tafsîr as-Sa'di hlm. 158 [13]. Cermati Ashnâf al-Mad'uwwîn hlm. 54 [14]. Al-'Uqûd ad-Durriyyah , Ibnu 'Abdil Hâdi hlm. 224-225 [15]. Lihat: Ibid (hlm. 221) [16]. Riyâdhush Shâlihîn hlm. 216 [17]. Bahjatun Nâzhirîn I/583 [18]. Nukilan dari buku 14 Contoh Praktek Hikmah dalam Berdakwah hlm. 25-27 [19]. Untuk mengenal lebih lanjut hukum acara dipandang dari kacamata Islam, silahkan merujuk ke buku Yasinan karya Ust. Yazîd bin Abdul Qâdir Jawwâs, dan makalah Takhrîj Hadits-Hadits tentang Keutamaan Surat Yâsîn karya Ust. Dzulqarnain Sunûsi (dalam Majalah an-Nashîhah vol 06 hlm 50-59). [20]. Untuk mengenal lebih lanjut hukum tahlilan dipandang dari kacamata Islam Hukum Tahlilan Menurut Empat Madzhab karya Ust. Abdul Hakîm bin ‘Âmir ‘Abdât. [21]. Syarh as-Sunnah , Imam al-Barbahârî (hal. 126). [22]. Nashîhah li asy-Syabâb hlm. 1 [23]. Majalah Nikah, vol. 8, no. 6, September-Oktober 2009 hlm. 82-83



Tulisan Terbaru

PESAN DARI KHAMAH MUS ...

PESAN DARI KHAMAH MUSLIM KEPADA ORANG KRISTEN

Keutamaan Puasa Enam ...

Keutamaan Puasa Enam Hari Syawal Shawal