Artikel




Adab Memberi Keputusan Dan


Menasihati Orang Lain


Pertanyaan: Bolehkah bagi seseorang menempatkan dirinya sebagai hakim (pemberi keputusan, menghukumi) orang lain di setiap kondisi? Dan kapankah dibolehkan secara syara’ bagi seseorang berkata: Ini sangat buruk dan ini seperti ini?


Jawaban: Tidak pantas bagi seseorang menempatkan dirinya sebagai hakim terhadap orang lain dan melupakan dirinya sendiri. Akan tetapi seseorang harus lebih dulu melihat kekurangan yang ada pada dirinya sebelum melihat kekurangan orang lain. Akan tetapi jika ia menempatkan dirinya sebagai pemberi nasihat kepada saudara-saudaranya, menyuruh yang ma’ruf dan melarang yang munkar, maka ini sesuatu yang baik. Dan tidak dikatakan bahwa ia menempatkan dirinya


4


sebagai hakim bagi manusia. Allah subhanahu wa ta'ala


berfirman:





Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada Allah supaya kamu mendapat rahmat.(QS. Al-Hujurat: 10).


Dan Nabi salallahu 'alaihi wasallam bersabda:





“Seorang mukmin bagi mukmin yang lain adalah seperti bangunan, sebagiannya menguatkan sebagian yang lain.”P0F1


1 HR. Al-Bukhari 2446 dan


5


Dan Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:





Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan)


kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam


berbuat dosa dan pelanggaran. (QS. Al-Maidah: 2)


Dan Nabi salallahu 'alaihi wasallam bersabda:





“Agama adalah nasihat. Kami bertanya: Untuk siapa? Beliau menjawab: ‘Bagi Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para pemimpin kaum muslimin dan kalangan awam.”P1F2


2 HR. Muslim 55.


6


Dan beliau salallahu 'alaihi wasallam bersabda:





“Tidak beriman (yang sempurna) seseorang darimu sehingga ia mencintai untuk saudaranya sesuatu yang dia sukai untuk dirinya.”P2F3


Hendaklah seseorang memperbaiki dirinya sendiri lebih dahulu kemudian berusaha memperbaiki orang lain karena mencintai kebaikan dan memberi nasihat kepada mereka, bukan dari sisi merendahkan atau mencari kekurangan orang lain, dan inilah yang dilarang di dalam Islam.


Adapun ucapan seseorang: Ini sangat buruk dan ini tidak seperti itu..maka tidak boleh bagi seorang muslim secara syara’ mengatakan hal itu kepada saudaranya sesama muslim, kecuali bila ia terkenal


3 HR. Al-Bukhari 13 dan Muslim 45.


7


menyimpang dan mempunyai tujuan buruk. Siapa yang mengetahui kondisinya niscaya ia harus mengatakan apa yang dia ketahui tentang keburukan dan penyimpangannya, apabila hal itu berdampak baik untuk kepentingan agama agar manusia (kaum muslimin) berhati-hati terhadapnya sehingga mereka bisa mengantisipasi bahayanya. Adapun bila ia mengucapkan hal itu hanya karena semata-mata ingin menjatuhkannya atau ingin mencela saja maka ini tidak boleh. Karena hal ini menjadi celaan yang sifatnya pribadi yang tidak ada mashlahah padanya.


Tidak diragukan lagi bahwa memberi keputusan terhadap orang lain memerlukan ketelitian dan kepastian. Seseorang jangan berpegang terhadap prasangkanya, dan Allah subhanahu wa ta'ala berfirman:





Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain. (QS. Al-Hujurat: 12)


Demikian pula seseorang tidak boleh berpegang terhadap berita orang yang fasik. Firman Allah subhanahu wa ta'ala:





Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. (QS. Al-Hujurat: 6)


9


Karena alasan inilah seseorang harus menjauhi prasangka buruk dan tidak memutuskan hanya karena dugaan belaka. Ia tidak boleh menerima berita dari setiap orang yang datang tanpa meneliti. Ia jangan memutuskan terhadap manusia kecuali berdasarkan ilmu syar’i. Maka apabila ia mempunyai ilmu syar’i maka ia memutuskan berdasarkan ilmu yang ada padanya. Adapun bila ia seorang yang jahil terhadap hukum-hukum syara’ maka ia tidak boleh memberi keputusan terhadap tindakan dan prilaku manusia. Seseorang tidak boleh memasuki wilayah yang dia tidak mempunyai pengetahuan tentangnya:





Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya


10


pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.(QS. Al-Isra’: 36)


Dan firman Allah subhanahu wa ta'ala:





Katakanlah: "Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak atau pun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui".. (QS. Al-A’raaf: 33).


Maka orang yang tidak punya ilmu tidak boleh memunculkan hukum hanya semata-mata dugaannya atau pendapatnya atau sesuatu yang diminati oleh nafsunya. Namun ia harus menahan


11


diri karena persoalannya sangat berbahaya. Barangsiapa yang menuduh seorang mukmin yang tidak ada padanya atau menyebutkan sifatnya yang tidak sesuai atasnya maka akibatnya akan kembali kepadanya, sebagaimana disebutkan dalam hadits:





‘Sesungguhnya siapa yang mengutuk seseorang yang tidak pantas niscaya kutukan itu kembali kepadanya.”P3F4


Demikian pula tidak boleh bagi seorang muslim berkata kepada saudaranya, wahai orang fasik, atau wahai orang kafir, atau wahai orang keji, atau gelar-gelar buruk yang serupa. Firman Allah subhanahu wa ta'ala:


4 HR Abu Daud 4908, at-Tirmidzi 1978 dari hadits Ibnu Abbas ra dan ia berkata: Hasan gharib. Dan Abu Daud 4905 dengan teks serupa dari Abud Darda` ra dan dishahihkan oleh al-Albani dalam Shahih Sunan Abu Daud 4099 dan 4102.





dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman...(QS. Al-Hujurat: 11).


Seorang muslim harus menjaga diri dari hal ini dan hendaknya ia mempunyai ilmu dan pengetahuan sehingga bisa memutuskan dengannya terhadap dirinya lebih dahulu, kemudian terhadap orang lain, sebagaimana ia harus mempunyai sifat teliti, berpandangan jauh dan tidak terburu-buru dalam segala perkara. Syaikh al-Fauzan – Kitab Dakwah edisi (7) (2/168-170).



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i