Artikel




17


Allah berfirman: Kemudian kami utus Musa dan saudaranya Harun dengan


membawa tanda-tanda (kebesaran) kami, dan bukti yang nyata, Kepada


Fir'aun dan pembesar-pembesar kaumnya, Maka mereka Ini takbur dan


mereka adalah orang-orang yang sombong. (QS. al Mukminun: 45, 46)


Di dalam Islam, kekuasaan adalah amanat, sebagaimana dikatakan oleh


Rasulullah  kepada Abu Dzarr:


"Wahai Abu Dzarr, engkau adalah orang yang lemah, dan jabatan itu adalah


amanat, dan pada hari kiamat ia menjadi kehinaan dan penyesalan, kecuali


yang memegangnya dengan baik, dan menunaikan haknya" (HR. Muslim)


Dan Nabi  mengatakan bahwa seorang penguasa mesti bertanggung


jawab: "Setiap kalian adalah peminpin, dan setiap kalian bertanggung jawab


atas yang dipinpinnya, penguasa adalah peminpin dan ia bertanggung jawab


atas rakyatnya, orang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya dan ia


bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya, wanita adalah peminpin di


rumah suaminya dan ia bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya,


pembantu adalah pemelihara harta tuannya, dan ia bertanggung jawab atas


pekerjaannya, dan kalian semua adalah pempimpin dan bertanggung jawab


atas apa yang dipimpinnya" (Muttafaq alaih).


Dia adalah tanggung jawab yang bersifat menyeluruh, yang dipikulkan


oleh Islam di atas pundak setiap umat, dan tidak ada seorangpun terlepas


dari tanggung jawab, dan Allah menjadikan tanggung jawab tertinggi adalah


tanggung jawab penguasa atas rakyatnya, ia adalah tanggung jawab terbesar


yang dipikulkan oleh Allah kepada hambaNya dalam kehidupan ini. Hal ini


telah ditegaskan oleh Umar bin Khattab  dalam suratnya yang ditujukan


kepada Abu Musa al Asy'ari, salah seorang gubernurnya, dimana di antara isi


surat tersebut: "Engkau hanyalah salah satu dari mereka, akan tetapi Allah


menjadikanmu orang yang paling berat tanggung jawabnya" (8).


Penguasa dan kekayaan negara di dalam masyarakat muslim


Di antara hal yang dipelopori oleh Islam, di mana dia merupakan


kemajuan baru di dalam bidang hak kepemilikan secara konstitusional adalah


terpisahnya secara indefenden hak milik rakyat atau masyarakat atau umat


(8) Jamharat rasaail al arab: 1/223.


18


Islam secara umum dari hak milik penguasa pribadi. Hal ini, karena umat


mempunyai kepemilikan tersendiri dimana penguasa tidak berhak


mengeksploitasinya kecuali dengan cara yang sesuai menurut syari'at dan


hukum Islam, yang juga dinamakan dengan harta umum yang ada di baitul


mal umat Islam. Setiap bentuk eksploitasi atas harta ini oleh al-Qur'an dan


hadits disebut kecurangan, yaitu mengambil harta rakyat, Allah berfirman:


Barangsiapa yang berkhianat dalam urusan rampasan perang itu, Maka


pada hari kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.


(QS. Ali Imran: 161)


Rasulullah  bersabda:





«Barangsiapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan,


lalu ia menyembunyikan jarum atau lebih darinya maka itu merupakan


pengkhianatan yang akan ia bawa nanti di hari kiamat» (HR. Muslim).


Yakni siapa yang aku beri tugas suatu pekerjaan dan telah kami tentukan


gajinya, lalu ia mengambil lebih dari itu maka itu merupakan pencurian dan


khianat.


Sikap wara' para penguasa yang bertakwa


Oleh karena itulah, kita melihat kehati-hatian para penguasa yang


bertakwa agar tangan mereka tidak sedikitpun menyentuh harta milik umum.


Para khulafa' ar rasyidin dan gubernur-gebernur mereka telah sampai pada


tingkat tauladan yang luar biasa di dalam hal ini, mata mereka tidak melirik


kepada apa yang diluar gaji yang telah ditentukan bagi mereka, terkadang gaji


mereka tidak lebih dari gaji rakyat biasa, bahkan mereka bertindak sangat


tegas terhadap diri mereka sendiri, mereka sangat hati-hati agar tidak terjatuh


kepada harta yang haram karena takut pada murka dan siksa Allah. Seperti


itu pulalah riwayat hidup kebanyakan para khalifah dan penguasa di dalam


pentas sejarah islam.


19


Ketaatan kepada penguasa dalam masyarakat muslim


Penguasa mempunyai hak-hak atas rakyat, sebagaimana dia


mempunyai kewajiban (atas rakyatnya). Hak tersebut didapatkan sebagai


balasan atas komitmennya dalam melaksanakan hukum syari'at, dan dan


konsisten dengan musyawarah, bersifat amanat, berani memikul beban


tanggung jawab terbesar di dalam negara dan masyarakat. Dia berhak


mendapat ketaatan rakyat agar bisa menegakkan kebenaran, menjamin


keamanan, menegakkan keadilan, membela harga diri umat dan agamanya.


Dan rakyat wajib taat kepadanya dalam batas syari'at dan kepentingan


umum, sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakar ash shiddiq  ketika beliau


dilantik menjadi khalifah: "Ta'atlah kepadaku selama aku ta'at kepada Allah


dalam memimpin kalian, jika aku tidak menta'ati Allah maka kalian tidak


wajib ta'at kepadaku" (9). Dan Rasulullah  bersabda:





«Tidak ada ketaan di dalam kemaksiatan, ketaatan hanyalah pada kebaikan»


(HR. Bukhari Muslim)


Rasulullah  bersabda:





«Barangsiapa yang melihat sesuatu yang tidak disukainya dari pemimpinnya


hendaklah bersabar, karena tidak ada seorangpun yang memisahkan diri dari


jamaah satu jengkal lalu mati pada saat itu kecuali mati dengan kematian


jahiliyah» (HR. Bukhari dan Muslim)


Dan Nabi  bersabda:


(9) Jamharat khutab al arab: 1/180.


20





«Wajib bagi setiap muslim mendengar dan ta'at pada apa yang disukainya dan


yang tidak disukai, selama tidak disuruh berbuat maksiat, jika disuruh


bermaksiat maka ia tidak wajib mendengar dan ta'at kepadanya» (HR.


Bukhari dan Muslim)


Di dalam shahih Bukhari sebutkan:





«Dengarkan dan ta'atilah, walaupun yang memimpin kalian adalah seorang


hamba Habasyah yang kepalanya ibarat kismis, selama ia menegakkan kitab


Allah dalam meminpin kalian» (HR. Bukhari)


Ketaatan bersyarat yang telah disebutkan di dalam nash-nash di atas


menjelaskan tentang perintah Allah untuk taat (kepada penguasa) karena


Allah dan untuk mewujudkan kemaslahatan bagi umat Islam. Sebagaimana


dikatakan oleh Imam at Thabari di dalam menafsirkan firman Allah : Hai


orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil


amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang


sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul


(sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari


kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.


(QS. an Nisaa': 59)


Dalam masyarakat muslim, kekuasaan hanya ada di tangan Allah, baik


dalam urusan yang bersar maupun kecil, dan wajib taat kepada Allah, dan di


antara hak ketuhanan Allah adalah membuat syari'at, maka syari'atnya wajib


dilaksanakan, dan orang-orang yang beriman wajib ta'at kepada Allah dan


ta'at kepada Rasulullah yang telah diutus untuk membawa syari'at ini.


Dan ulil amri di antara kamu, yakni orang-orang mukmin yang


memenuhi syarat Islam dan Iman. Nash di atas menjadikan ketaatan kepada


Allah dan kepada Rasul sebagai dasar dan ketaatan kepada penguasa


21


mengikuti ketaatan kepada Allah dan RasulNya. Sebab, kata perintah untuk


ta'at (kepada penguasa) tidak diulangi ketika menyebutkan mereka,


sebagaimana kata perintah tersebut diulangi ketika ayat di atas menyebut


nama Rasulullah . Hal ini untuk menegaskan bahwa ketaatan kepada


mereka mengikuti ketaatan kepada Allah dan RasulNya.


Batasan kekuasaan seorang penguasa di dalam masyarakat


Sesunnguhnya syari'at islam sejak pertama diturunkannya datang


dengan tuntunan yang membatasi kekuasan pemimpin, dia adalah undangundang


pertama yang membatasi kekuasaan pemimpin, membatasi


kebebasan tindakan mereka, dan memaksa mereka memimpin dalam batas


tertentu yang tidak boleh dilanggar, dan menjadikan mereka bertanggung


jawab atas kesalahan mereka sendiri.


Sebelum turunnya syari'at Islam kekuasaan peminpin bersifat mutlak,


tidak ada batasannya, dan hubungan antara penguasa dengan rakyat tegak di


atas kekuatan kekuasaan semata. Dengan kekuatan itulah seorang penguasa


mengambil kekuasaanya. Kekuasaan mereka sebatas kekuatan mereka.


Apabila dia kuat maka kekuasaannya meluas meliputi segala sesuatu, namun


jika lemah, maka kekuasaannya bekuarang. Rakyat mentaati penguasa bukan


karena mereka sebagai peminpin bagi rakyat, akan tetapi karena dia lebih


kuat dari mereka, dan rakyat ibarat pembantu dan budak bagi penguasa, baik


dia meraih kekuasaan tersebut karena warisan maupun karena kemenangan


dan usaha.


Syari'at Islam datang dan mengganti kondisi yang buruk ini dengan


kondisi yang layak bagi kemuliaan manusia, dan hajat masyarakat yang


tinggi. Dia menjadikan landasan hubungan antara rakyat dan penguasa


adalah terciptanya kemaslahatan umum, bukan kekuatan penguasa dan


lemahnya rakyat, ia memberikan hak bagi rakyat untuk memilih pempinpin


dengan musyawarah, dan menjadikan batasan bagi kekuasaannya yang tidak


boleh dilanggar, jika dilanggar maka perbuatannya batil, dan rakyat berhak


mencopotnya dan menggantinya dengan orang lain.


Dalam syari'at Islam, kekuasaan seorang peminpin tidak mutlak di


dalam (meminpin) masyarakat muslim, ia tidak boleh berbuat dan


22


meninggalkan sesuatu secara semena-mena, dia tidak lain hanyalah salah


satu komponen umat yang dipilih untuk mempimpin umat ini. Hal ini


tergambar dengan indah dalam sebuah perkataan Abu Bakar ketika beliau


dilantik menjadi khalifah: "Sesungguhnya aku telah dipilih untuk memimpin


kalian, dan aku bukanlah yang terbaik di antara kalian, jika kalian melihatku


di dalam kebenaran maka bantulah aku, namun jika aku dalam kebatilan


maka luruskanlah diriku, taatlah kepadaku selama aku ta'at kepada Allah,


jika aku bermaksiat kepadaNya maka kalian tidak wajib menta'atiku.


Ketahuilah bahwa orang yang paling kuat di antara kalian bagiku adalah


orang lemah sehingga aku mengambil sesuatu yang menjdi hak bagi dirinya,


dan orang yang paling lemah di antara kalian bagiku adalah orang yang kuat


sehingga aku mengambil hak darinya, inilah yang aku komitmenku kepada


kalian dan aku memohon ampun kepada Allah untukku dan untuk kalian"(10).


Umar pernah berkata dalam salah satu pidatonya:


"Wahai segenap umat Islam, apakah yang akan kalian katakan jika aku


memalingkan kepalaku kepada dunia seperti ini", lalu dia memiringkan


kepalanya, kemudian bangkitlah seseorang lelaki sambil menghunuskan


pedangnya, ia berkata: "Ya, seperti inilah yang akan kami lakukan dengan


pedang ini". Lelaki tersebut mengisyaratkan dengan memenggal (leher), Umar


berkata: "Apakah aku yang engkau maksudkan dengan perkataanmu itu?" ia


berkata: "Engkaulah yang aku maksudkan dengan perkataanku ini ", maka


Umar menghardiknya tiga kali, dan ia menghardik Umar, lalu Umar berkata:


"Semoga engkau dirahmati oleh Allah, segala puji bagi Allah yang telah


menjadikan di dalam rakyatku terdapat orang yang mau meluruskanku jika


aku bengkok"(11).


Sesungguhnya suatu masyarakat dimana penguasanya meminta


rakyatnya untuk meluruskan dirinya pada saat melihat peminpinnya


bertindak tidak benar, dan suatu masyarakat dimana rakyatnya berani


mengatakan kepada orang pertama di dalam suatu negara: "Seandainya, kami


melihat tindakanmu tidak lurus, maka kami meluruskanmu dengan pedang,


(10) Jamharah khutab al arab: 1/180.


(11) Ar Riyadh an Nadhirah fi manaqib al asyrah, oleh Abu Ja'far yang dikenal dengan at Thabari: 2/381.


23


lalu sang kepala negara senang dengan jawaban ini, dan memuji Allah yang


telah menjadikan di antara rakyatnya pribadi yang berani meluruskannya.


Sesungguhnya masyarakat seperti ini adalah masyarakat yang selamat,


bersih dan kuat, tidak mungkin diperdaya oleh pribadi yang hipokrit, tidak


akan tersebar kemunafikan di dalamnya, dan tidak akan dihinggapi oleh


kelemahan dan kehinaan.


Jika kita membandingkan antara masyarakat ini dengan masyarakatmasyarakat


arab dan muslim sekarang ini, maka kita menyaksikan bahwa


kritik apapun yang ditujukan kepada penguasa akan mengancam nyawa


pengkritiknya, atau menjebloskannya ke dalam penjara seumur hidup.


Setelah itu, barulah kita menyadari penyebab utama hancurnya kuwalitas


(sebaik-baik umat yang dikeluarkan untuk manusia) menjadi (buih, seperti


buih di lautan).


Apabila di dalam masyarakat muslim sang penguasa mempunyai hak


dan kewajiban, maka kewajiban dan haknya tetap dibatasi agar tidak keluar


dari nash-nash syari'at dan ruhnya, sebagaimana firman Allah : Dan


hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang


diturunkan Allah…  (QS. al Maidah: 49).


Dan firmanNya: Kemudian kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat


(peraturan) dari urusan (agama itu), Maka ikutilah syariat itu dan janganlah


kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak Mengetahui. (QS. al Jatsiyah:


18)


Di dalam masyarakat muslim kekuasaan seorang penguasa terikat dengan


nash-nash syari'at, apa yang dibolehkan oleh syari'at boleh dilakukan, dan


apa yang diharamkan oleh syari'at maka tidak boleh dilakukan.


Syari'at Islam telah mendahului semua undang-undang buatan


manusia dalam mambatasi kekuasaan seorang penguasa, dan mencanangkan


baginya suatu pedoman yang menjadi pijakannya dalam membentuk


hubungan antara penguasa dengan rakyat, dan di dalam mengokohkan


kekuasaan umat terhadap para penguasa.


Undang-undang pertama setelah syari'at Islam yang mengakui


kekuasaan umat atas penguasa adalah undang-undan Inggris pada abad


ketujuh belas masehi, yaitu sepuluh abad setelah syari'at Islam menetapkan


24


kaidahnya, kemudian datanglah revolusi prancis di akhir abad ke delapan


belas, maka berangkat dari sinilah prinsip ini menyebar memasuki


perundang-undang buatan manusia.


Kekuatan hubungan antara penguasa dan rakyat di dalam


masyarakat muslim


Demikianlah sistem pemerintahan di dalam Islam, yang menjamin


terjalinnya hubungan yang kuat antara penguasa dan rakyatnya di dalam


masyarakat muslim. Dia berdiri di atas pondasi kebebasan, keadilan,


ketenangan dan kepercayaan; Sebab seorang penguasa tidak akan sampai


pada puncak jabatannya kecuali melalui satu jalan, yaitu: keinginan rakyat


secara mutlak dan pemilihan yang bebas. Kekuasaannya tidak akan bisa


bertahan kecuali dengan satu jalan: yaitu taat kepada Allah dan menjalankan


syari'atNya.


Sungguh, kekuasaan yang tegak di atas ridha dan kebebasan memilih,


yang diwujudkan setelah bermusyarawah dan izin rakyat atasnya, serta tidak


memimpin kecuali dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka


sungguh kepemimpinan inilah yang akan menebarkan kepercayaan dan


ketenangan di dalam jiwa, dan memberikan ketentraman di dalam hati, tidak


ada tempat untuk merasa muak, membenci dan berpikir untuk menentang,


selama ia memimpin dengan jalan yang telah digariskan oleh Islam, dan batas


yang telah ditentukan oleh syari'at Islam.


Ia adalah pemerintahan Islam yang baik dan tegak di atas musyawarah:


Sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; 


(QS. as Syuura: 38)


Dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu (QS. Ali Imran:


159)


Apabila syari'at tidak menentukan tehnik tertentu di dalam bermusyawarah,


maka ini berarti urusannya diserahkan kepada tuntutan kebutuhan di setiap


masa dan caranya tersendiri (masa tersebut), akan tatapi dasar dan tehniknya


sudah ditententukan. maksudnya adalah umat Islam disertakan berperan di


dalam mengatur urusan mereka sendiri, sehingga mereka tidak bisa marah


karena mereka ikut berperan aktif di dalam mengatur kekuasaan.


25


Sesunnguhnya, penerapan undang-undang ilahi yang terwujud di dalam


syari'at Islam, tidak membedakan siapapun, dan tidak memberikan


keistimewaan kepada orang-orang tertentu atau golongan tertentu, baik


penguasa maupun individu atau rakyat biasa, baik golongan kaya maupun


miskin. Syari'at ini menjamin keamanan, keselamatan dan kesejahteraan


masyarakat, karena ia memimpin seluruh rakyat untuk kemaslahatan


seluruh rakyat.


Nikmat Allah yang sangat besar kepada umat Islam nampak ketika


mereka dinaungi oleh syari'at Allah, mereka memimpin dengan apa yang


diturunkan oleh Allah, jika dibandingkan dengan masyarakat Amerika dan


barat pada umumnya yang menganut sistim demokrasi barat, dan pemilihan


umum dipengaruhi beragam kepentingan, maka orang-orang yang memiliki


uang yang banyak, yang mendanai kampanye pemilu yang akan meraup


banyak keuntungan, mereka tukar menukar keuntungan dan kepentingan


dengan calon prisiden, dan kepentingan merugikan rakyat yang banyak.


Banyak perusahaan-perusahaan besar yang mempuyai kepentingan


memenangkan calon ini atau itu, mengorbankan uang yang banyak untuk


mendanai kampanye pemilu, dan melakukan peliputan yang luas bagi orang


yang dikehendakinya. Sementara di sisi lain, prisiden terpilih membalas jasa


perusahan tersebut dengan memberikan berbagai pelayanan khusus. Hal ini


sebagaimana dikatakan oleh Frederick Thayer, guru besar jurusan


administrasi publik di Amerika. Dan pelayanan khusus tersebut terwujud


dalam bentuk penurunan pajak, atau memberikan hak istimewa bagi


perusahaan yang bersangkutan, atau memberi izin bagi perusahaan untuk


mengadakan kontrak dagang dengan negara luar, atau memberikan rute


penerbangan baru bagi perusahaan penerbangan dan sebagainya. (12)


Ketinggian derajat penguasa yang shalih di sisi Allah


Sesungguhnya fitnah kekuasaan, jabatan dan pangkat termasuk fitrnah


terbesar yang dihadapi oleh manusia di dalam kehidupannya, bahkan dia


adalah godaan duniawi yang paling berat, sebab apabila seorang penguasa


telah terjerat di dalamnya, maka dunia akan berdatangan kepadanya dengan


(12) Amrika kama raituha, oleh Mukhtar khalil al maslati: 91, 92


26


semua godaan, kesenangan, hawa nafsu dan daya tariknya. Semuanya telah


tersedia di tangannya.


Tidak mudah bagi seseorang untuk menghiraukannya demi mengharap


ridha Allah, karena hawa nafsu selalu mengajak kepada keburukan, apalagi


dalam posisi sebagai prisiden yang berpotensi bisa menguasai semua


kesenangan ini. Agar sesorang tidak tergoda dengan semua ini memerlukan


sayap seekor burung rajawali, bukan sayap kupu-kupu sebagaimana


dikatakan oleh Dr. Mustafa as siba'I rahimahullah (13).


Oleh karena itulah, Allah  memberikan balasan kepada para penguasa


yang mampu bertahan terhadap semua godaan ini, Allah menyediakan bagi


mereka kedudukan yang tinggi, menempatkan mereka pada tempat yang


mulia, mereka adalah naungan Allah di muka bumi dan kekasihNya di hari


kiamat, sebagaimana sabda rasulullah :





«Sesungguhnya orang yang paling dicintai oleh Allah pada hari kiamat dan


orang yang paling dekat kedudukannya kepada Allah adalah pemimpin yang


adil, dan orang yang paling dibenci oleh Allah pada hari kiamat dan yang


paling jauh tempatnya dari Allah adalah pempimpin yang zalim» (HR. Tirmidzi)


Cukuplah sebagai balasan bagi penguasa yang adil, yang selamat dari


godaan ini, bahwa dia termasuk salah satu tujuh golongan orang-orang


pilihan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naunganNya pada hari


dimana tidak ada naungan selain nauganNya, sebagaimana yang disebutkan


di dalam hadits muttafaq alaih:





(13) Lihat buku: musthafa as siba'I addaiyah al mujaddid, oleh Dr. Adnan zarzuur hal: 17.





«Tujuh golongan yang akan dinaungi oleh Allah di bawah naunganNya pada


hari yang tidak ada naugan selain nauganNya, mereka adalah: pemimpin yang


adil, pemuda yang tumbuh dalam ibadah kepada Allah , seorang yang


hatinya selalu terpaut kepada masjid, dua orang yang saling mencintai karena


Allah, keduanya bertemu dan berpisah dalam kecintaan kepada Allah, dan


seorang lelaki yang dipanggil oleh wanita cantik (untuk berbuat maksiat) lalu


ia berkata: Aku takut kepada Allah, dan seorang yang bersedekah lalu dia


menyembunyikan sedekahnya sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa


yang diinfakkan oleh tangan kanannya, dan orang yang menyendiri untuk


berdzikir kepada Allah lalu matanya berlinang» (Muttafaq alaih).


Sikap umat Islam terhadap penguasa yang lalim


Terkadang, umat Islam diuji dengan lenyapnya hukum Allah lalu


digantikan dengan hukum buatan manusia, ketika kekuasaan dipegang oleh


para penguasa tirani, mereka mengabaikan musyawarah, mengklaim (secara


apriori) hak mereka untuk membuat undang-undang sendiri, mengubur


kebebasan berpikir, berpendapat dan mengkritik. Dengan cara ini, mereka


telah mengangkat diri mereka sebagai tuhan, terkadang mereka keluar dari


manhaj Islam dalam akidah atau syari'atnya, dan inilah yang dikatakan oleh


Rasulullah : «Kafir dengan tarang-terangan» seabgaimana disebutkan di


dalam sebuah riwayat ketika beliau berwasiat agar bersabar untuk


menghindari fitnah, beliau bersabda:





«Kecuali jika kalian melihat kekufuran yang jelas, dan kalian mempunyai


bukti dari Allah» (14).


(14) Muttafaq alaih, dari hadits Ubadah bin Shamit, lengkapnya: «Kami berbai'at kepada rasulullah  untuk


mendengar dan menta'ati (pemimpin)dalam keadaan suka dan duka, susah dan mudah, dan diwaktu kami dikuasai,


dan agar tidak merebut kepemimpinan dari orang yang memangkunya" beliau berkata: "kecuali jika kalian melihat


28


Dalam kondisi seperti ini, wajib bagi umat Islam bersikap bijaksana dan


bertindak yang baik. Maka mereka berusaha menghilangkan kemungkaran ini


dengan syarat tidak menimbulkan kemungkaran yang lebih besar, jika


meyakini bahwa usaha mereka ini akan menimbulkan kemungkaran yang


lebih besar, maka wajib bagi mereka bersabar atas kemungkaran yang lebih


kecil untuk menghindarkan diri agar tidak terjatuh pada kemungkaran yang


lebih besar. Hal ini didasarkan pada sebuah kaidah fiqh yang menjelaskan


bahwa boleh melakukan bahaya yang lebih ringan, dan keburukan yang lebih


mudah, dan mencukupkan diri dengan kritik dan nasihat dengan lisan


maupun tulisan. Namun, jika cara ini tidak efektif, maka wajib


mengingkarinya dengan hati. Ini tingkatan iman yang paling lemah,


sebagaimana disebutkan di dalam sebuah hadits:





«Barangsiapa di antara kalian yang melihat kemungkaran, maka hendaklah


dia merubahnya dengan tangannya, jika tidak mampu maka dengan lisannya,


dan jika tidak mampu pula maka dengan hatinya dan ini adalah selemahlemahnya


iman» (HR. Bukhari dan Muslim)


Jadi harus berusaha menghilangkan kerusakan dengan cara-cara yang


memungkinkan. Semua ini termasuk jihad yang diperintahkan oleh


Rasulullah  di dalam sebuah sabdanya:





kekufuran yang nyata, dan kalian mempunyai bukti dari Allah» Hadits-hadits tentang masalah ini banyak sekali,


semuanya menunjukkan bahwa tidak boleh melawan penguasa, kecuali jika mereka melakukan kekufuran yang


nyata yang jelas ada dalilnya dari al-Qur'an dan hadits.


29


«Tidak ada seorang nabipun yang diutus oleh Allah dalam suatu umat


sebelumku kecuali di antara umat tersebut terdapat hawariyyun (orang yang


dekat dan setia) dan sahabat yang mengikuti sunnahnya, melaksanakan


perintahnya. Kemudian, datanglah pengganti setelah mereka orang-orang


mengatakan apa yang tidak mereka lakukan, dan melakukan apa yang tidak


diperintahkan. Berangsiapa yang berjihad melawan mereka maka dia adalah


orang yang beriman, dan barangsiapa yang berjihad melawan mereka dengan


lisannya maka dia orang yang beriman, dan barangsiapa yang berjihad


melawan mereka dengan hatinya maka dia adalah mukmin, dan tidak iman


walau seberat biji sawi (bagi orang yang tidak mengingkarinya dengan hatinya)


» (HR. Muslim)


Di antara ujian yang paling berat bagi masyarakat adalah sampainya


orang-orang zalim kepada pucuk kekuasaan, dan sebgaian manusia


menjadikan sebagian yang lain sebagai tuhan baginya. Di dalam realitas


seperti ini hukum Allah akan diabaikan, syari'atnya disingkirkan, dan makna


"Tidak ada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah" akan


terhapus. Orang-orang musyrik bangsa Arab telah mengerti hakikat ini,


mereka mengerti makna "Tidak ada tuhan (yang berhak disembah dengan


sebenarnya) selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah". Mereka


memahaminya sebagai perubahan dari kehidupan jahiliyah, pengumuman


tentang lahirnya kehidupan baru, pembuat hukum adalah Allah dengan


syari'atNya, yang diwahyukan kepada Muhammad . Sementara, manusia


yang mejabat sebagai pemimpin hanyalah pelaksana dan pemegang amanat


bagi perintah Allah.


Oleh karena itu, orang-orang Arab di bawah pimpinan bangsa Quraisy


menolak dakwah Islam, mereka mengumpulkan segenap kekuatan untuk


memeranginya dan menghalanginya. Sebab Islam akan mencabut kekuasaan


dan arogansi mereka dari tangan mereka sendiri. Tidak ada yang lebih tegas


membuktikan tentang pemahaman ini selain dari keteguhan paman


Rasulullah Abu Thalib untuk tetap menolak masuk Islam. Dia menolak


mengabulkan harapan keponakannya, Muhammad , sehingga beliau sangat


sedih karena pamannya yang menjaga dan memeliharanya tetap dalam


kesyirikan, beliau berkata padanya: "Wahai paman, ucapkanlah syahadah,


30


katakanlah di telingaku walau dengan berbisik, agar aku bisa bersksi


untukmu di hari kiamat, namun Abu Thalib tetap enggan, lalu ia menjawab


keponakannya: "Aku takut dicela oleh bangsa Arab. Hal ini karena dia melihat


bahwa mengucapkan kesaksian tentang keesaan Allah dan kerasulan


Muhammad  berarti meninggalkan cara hidup yang lama, dengan segala


adat dan budayanya, kemudian masuk pada kehidupan baru, dimana


syahadah ini akan menimbulkan perubahan di dalam kehidupannya dalam


aspek pola berpikir, status sosial dan politiknya.


Al-Qur'an telah mencela penguasa yang sewenang-wenang dan


mengaku tuhan seperti Fir'aun dengan perkataannya: "Akulah Tuhanmu


yang paling tinggi". (QS. an Nazi'at: 24)


dan perkataannya yang lain: Aku tidak mengetahui Tuhan bagimu selain


Aku. (QS. al Qashash: 38) dan ucapan Fir'aun: "Aku tidak mengemukakan


kepadamu, melainkan apa yang Aku pandang baik;  (QS. Ghafir: 29)


Sebagaimana Allah juga mencela mereka yang membangun dan mendukung


penguasa zalim, menjadi pembantunya untuk menundukkan rakyat dan


menindas mereka: Sesungguhnya Fir'aun dan Ha- man beserta tentaranya


adalah orang-orang yang bersalah. (QS. al Qashash: 8)


dan mencela kaum dan bangsa yang menerima pemerintah yang zalim,


yang menerima kezaliman mereka, yang diam atas kerusakan mereka, Allah


berfirman tentang Fir'aun dan kaumnya: 54. Maka Fir'aun mempengaruhi


kaumnya (dengan perkataan itu) lalu mereka patuh kepadanya. Karena


Sesungguhnya mereka adalah kaum yang fasik. (QS. az Zukhruf: 54)


dan berfirman tentang kaum 'Aad kaumnya nabi Huud: Dan mereka


menuruti perintah semua Penguasa yang sewenang-wenang lagi menentang


(kebenaran). Dan mereka selalu diikuti dengan kutukan di dunia Ini dan


(begitu pula) di hari kiamat. (QS. Huud: 59, 60)


Yang paling ditakuti oleh para penguasa tirani dan dictator adalah


bangkitnya kesadaran islam dalam masyarakat, karena dengan kesadaran


pemahaman ini hukum Allah akan dikembalikan dalam masyarakat muslim,


kedaulatan yang mereka rebut ketika mereka memproklamirkan diri sebagai


dewa sebagai pengganti tuhan, oleh karena itu mereka tidak enggan


melaksanakan acara-acara keagamaan dan khurafat seperti merayakan


31


peringatan maulud, halaqah dzikirnya para sufi, dimana suara dikeraskan,


badang bergoyang, lagu-lagu dilantunkan, dan acara-acara lainnya yang


menghipnotis umat islam, dan memalingkan mereka agar tidak berpikir u


ntuk membangun insan muslim, keluarga muslim, masyarakat muslim yang


menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah, pelaksanaan ibadah hanya


untuk Allah, kedaulatan hanya miliki Allah, dalam segala aspek kehidupan;


karena acara-acara keagamaan tidak mengancam kekuasaan dan kezaliman


mereka.


Dorongan dan peringatan dalam masyarakat muslim


Masyarakat muslim yang mendapat pencarahan hidayah islam, yang


bernaung di bawah naungan syari'at islam adalah masyarakat yang diliputi


rasa aman, bersih dan mulia dalam akhlak dan perilakunya; hal ini karena


manusia dalam masyarakat muslim tunduk dan patuh pada tarbiyah,


bimbingan, dorongan dan peringatan; mereka mempelajari halal dan haram,


ditanamkan dalam jiwa mereka cinta yang halal dan membenci yang haram,


sebagaimana ditanamkan dalam jiwa mereka nila-nilai yang luhur, akhlak


yang tinggi yang dianjurkan oleh islam, dan yang membedakannya dengan


hewan.


Dalam waktu yang sama dalam masyarakat muslim manusia


mendengar syari'at yang mencegah dan melarang, disertai dengan janji dan


ancaman dalam kehidupan dunia dan akhirat, menakut-nakuti dan memberi


harapan, pengarahan dan pendidikan, menganjurkan bertobat dan


memperbaiki diri, mengingatkan pada nama-nama Allah yang baik: Yang


maha perkasa jika memerintah, yang maha bijaksana dalam syari'atnya, yang


maha pengampun dan penyayang bagi siapa yang bertobat dan memperbaiki


diri.


Dalam masyarakat muslim manusia bukanya hanya diberi dorongan,


dan bukan hanya diberi ancaman, akan tetapi mereka diberi dorongan dan


ancaman dalam waktu yang sama, oleh karena itu syari'at islam terdiri dari


didikan dan arahan, aturan dan undang-undang.


32


Islam telah datang untuk semua manusia: ia mendorong manusia agar


waspada supaya tidak terjatuh pada perbuatan jahat, dan menjelaskan bahwa


orang-orang yang rusak dan tidak hati-hati akan mendapat siksa, mereka


adalah manusia aneh dalam masyarakat dan jumlahnya sangat sedikit.


Jika kita melihat pada kejahatan zina misalnya, kita dapatkan bahwa


al-Qur'an menyebutkan hukumannya dalam satu ayat di awal surat an Nuur,


yaitu firman Allah : Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina,


Maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan


janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk


(menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari


akhirat, (QS. an Nuur: 2)


Dalam waktu yang sama dalam ayat itu pula berisi puluhan ayat-ayat


lain yang mengarahkan manusia agar menjahui perbuatan zina, sebagaimana


firman Allah : Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita)


perbuatan yang amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman,


bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. (QS. an Nuur: 19)


Dan firmannya: Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman:


"Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya;


yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha


mengetahui apa yang mereka perbuat". Katakanlah kepada wanita yang


beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya,


dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa)


nampak dari padanya. dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung


kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami


mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera


mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki


mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera


saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak


yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai


keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang


aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinya agar diketahui


perhiasan yang mereka sembunyikan. (QS. an Nuur: 30, 31)


33


Demikian pula kejahatan-kejatah lain dan hukumannya yang ditangani


oleh islam dengan dorongan dan peringatan.


Kesimpulannya: bahwasanya masyarakat yang menerapkan hukum


Allah  merasakan keadilan dalam bentuk yang paling sempurna, keamanan


dengan pemahaman yang paling luas, persamaan dalam kondisi yang paling


baik, kebebasan dan musyawarah dalam maknanya yang paling jelas,


manusia merasa mendapat kehormatan sebagai manusia, mendapat haknya


dalam kehidupan yang mulia, semua anggota masyarakat merasa bahwa


kekayaan Negara terjaga baik di tangan-tangan yang amanat, dikembalikan


untuk tanah air dan rakyat, dikembangkan untuk kepentingan semua, tidak


dikuasai oleh seorang penguasa dictator, dan tidak dihabiskan oleh


sekelompok orang yang dekat dengan penguasa, dengan demikian masyarakat


mendapat kehidupan yang sejahtera ekonomi yang cukup, kesengsaraan dan


kemelaratang menghilang dan sirna. Ini semua tidak terjadi kecuali karena


masyarakat terlepas dari penghambaan kepada manusia, dan tidak mau


kecuali kekuasaan ada di tangan Allah.


Lebih dari itu semua ini merupakan pelaksanaan terhadap perintah


Allah dalam menciptakan penghambaan kepada Allah, dan inilah yang dibawa


oleh islam sebagaimana ditegaskan oleh rasulullah , dan sebagaimana


dipahami oleh para sahabat dahulu, bahwasanya melaksanakan syari'at dan


hukum Allah adalah ibadah, dimana orang-orang yahudi dan nasrani menjadi


musyrik karena mereka melanggar perintah menyembah hanya kepada Allah.


Tirmidzi meriwayatkan dengan sanadnya dari Adi bin Hatim 


bahwasanya takala dakwah rasulullah  sampai kepadanya, ia lari ke Syam,


pada masa jahiliyah ia telah masuk agama nasrani. Kemudian saudara


perempuannya tertawa bersama beberapa orang kaumnya, kemudian


rasulullah  melepaskan saudarinya dan memberinya hadiah, lalu ia kembali


kepada saudaranya dan mengajaknya masuk islam, dan pergi menemui


rasulullah , maka orang-orang berbicara tentang kedatangannya. Ia masuk


menemui rasulullah  sedangkan di lehernya tergantung salib dari perak,


rasulullah  membaca ayat ini: Mereka menjadikan para pendeta dan rahib


mereka sebagai tuhan selain Allah, ia berkata: aku berkata: mereka tidak


menyembahnya, maka nabi  bersabda:


34


*u *vZ:( l$ 41f w


 'I


  *d( 1x0 4f$P w


  1I  *u x .%    0 'J





«benar, akan tetapi mereka menghalalkan kepada mereka apa yang


diharamkan oleh Allah, lalu mereka menghalalkannya, dan mengharamkan


kepada mereka apa yang dihalalkan oleh Allah, lalu mereka


mengharamkannya, itulah ibadah mereka»


Penafsiran rasulullah terhadap ayat ini merupakan nash yang jelas


bahwa mengikuti dalam syari'at dan hukum selain yang diturunkan oleh Allah


merupakan ibadah yang mengeluarkan manusia dari agama, dan bahwasanya


itulah yang namanya menjadikan sebagian orang sebagai tuhan atas sebagian


yang lain, dan itulah yang dihapuskan oleh agama islam, dan mengumumkan


pembebasan manusia di muka bumi dari penghambaan kepada selain Allah,


dan membiarkannya bebas dalam memilih akidah yang diinginkan tanpa ada


tekanan dan paksaan, karena  Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama


(Islam).


Membebaskan manusia di muka bumi dari penghambaan kepada


selain Allah merupakan tujuan yang tertanam dalam pikiran sahabat yang


berjihad, ini tidak tercapai kecuali dengan menyebarkan kekuasaan Allah di


muka bumi dengan melaksanakan syari'atnya, dan mengusir kekuasaan para


thaghut yang merampas kekuasaan ini, oleh karena itu apabila mereka


ditanya untuk apa berjihad? Mereka tidak mengatakan: kami berjihad untuk


membela tanah air kami yang terancam, atau kami berjihad untuk melawan


Persia dan romawi yang menyerang kami, atau kami berjihad untuk


memperluas kekuasaan dan memperbanyak harta rampasan perang. Akan


tetapi mereka berkata seperti yang dikatakan oleh Rib'I bin Amir, Hudzaifah


bin Muhshin dan al Mughirah bin Syu'bah kepada Rustum panglima tentara


Persia di al Qadisiyah ketika ia bertanya kepada mereka satu persatu selam


tiga hari berturut-turut sebelum terjadi peperangan: untuk apa kalian datang?


Maka jawab mereka adalah sebagaiana dijelaskan oleh salah seorang dari


mereka yaitu Rib'I bin Amir: "Allah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa


yang dikehendaki dari hambanya dari penyembahan kepada manusia kepada


penyembahan kepada Allah, dan dari sempitnya dunia kepada keluasannya,


dan dari kezaliman agama-agama kepada keadilan islam, Allah mengutus


35


kami dengan agamanya kepada makhluknya untuk mengajak mereka


kepadanya, siapa yang menerima hal itu dari kami maka kami menerimanya,


dan kami akan kembali, dan siapa yang enggan, maka kami akan


memeranginya hingga kami sampai kepada janji Allah. Mereka berkata: apa


janji Allah? Ia berkata: surga bagi yang meninggal karena memerangi orang


yang enggan, dan keberuntungan bagi yang hidup"(15).


Itulah jihad di jalan Allah, bukan untuk mendapatkan dunia, akan


tetapi karena satu motifasi yaitu menegakkan penghambaan kepada Allah


dengan menegakkan kekuasaannya, menerapkan syari'atnya di muka bumi,


dan menghancurkan kekuasaan thaghut yang memaksa manusia menyembah


hamba.


(15) Al bidayah wa an Nihayah, oleh Ibnu Katsir: 7/40.



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i