Berserah Diri Kepada Allah
Arti menyerahkan kekuasaan kepada Allah
Ibadah kepada Allah merupakan tujuan utama diciptakannya jin
dan manusia: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan
supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. adz Dzariyaat: 56).
Ibadah ini tidak bisa dilaksanakan dengan benar kecuali apabila kekuasaan
(terhadap manusia ini) diserahkan kepada Allah : Keputusan itu hanyalah
kepunyaan Allah. dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah
selain Dia. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui." (QS. Yusuf: 40)
Tidak ada hukum kecuali hukum Allah, tidak ada perintah kecuali
perintah Allah, dan Allah telah memerintahkan agar tidak menyembah kecuali
kepadaNya. Terlihat bahwa, pada saat redaksi ayat di atas membatasi tentang
kebijakan menentukan hukum hanya kepada Allah kemudian menegaskan
hal tersebut dengan dengan perintahNya, Allah tidak mengatakan: "Dia telah
memerintahkan agar kalian tidak berhukum kecuali kepadaNya", akan tetapi
Dia berfirman: Dia Telah memerintahkan agar kamu tidak menyembah selain
Dia ini adalah dalil bahwa menerapkan hukum Allah adalah ibadah, dan
ibadah adalah menerapkan hukum Allah. Jadi ibadah kepada Allah tidak
benar apabila hukum dan perundang-undangan diserahkan kepada selain
Allah. Dan hakikat ini termasuk masalah yang telah maklumi secara
aksiomatis di dalam urusan agama ini.
Islam telah mencabut hak untuk membuat sebuah aturan dari tangan
manusia; karena Allahlah yang berhak membuat syari'at, dan ini termasuk
salah satu keistimewaan masyarakat muslim. Hal ini, karena masyarakat
yang syari'atnya dari Allah, di mana semua manusia adalah hamba Allah,
tidak mungkin di dalam syari'atNya ada kekurangan, atau kezaliman satu
4
kelompok atas yang lain, atau satu golongan atas golongan yang lain, karena
Allah tidak mungkin memihak kepda salah satu golongan.
Namun apabila hak membuat undang-undang ada di tangan manusia,
maka tidak ada seorangpun yang bisa menjamin kalau para pembuat undangundang
tersebut terbebas dari pengaruh tendensi, kepentingan, ambisi dan
hawa nafsu, baik para pembuat undang-undang itu adalah kapitalits,
komunis, sosialis, sekuler atau yang lainnya, dan apakah mereka dari kelas
atas maupun kelas menengah.
Faktor inilah yang akan menciptakan terwujudnya keadilan dalam
bentuknya yang paling tinggi, yang akan tercermin di dalam masyarakat
muslim, yaitu sebuah masyarkat di mana Allahlah yang membuat undangundang
untuk para hambaNya, bukan manusia membuat undang-undang
untuk golongan manusia lainnya.
Inilah wujud penyerahan kekuasaan kepada Allah, yaitu kekuasaan
dalam membuat perundang-undangan yang memerintah dan melarang, yang
menghalalkan dan mengharamkan. Yang mempunyai hak prerogatif dalam
memerintah dan mewajibkan kepada seluruh makhluk. Ia adalah kewajiban
yang bersifat pasti dan mutlak yang tidak boleh dilanggar oleh seorang
muslim, yang baik pemahamannya terhadap Islam dan hatinya penuh dengan
iman.
Keraguan yang dibuat oleh orang-orang kafir dan bodoh
Orang-orang sekuler, ateis, dan orang-orang Islam yang bodoh berusaha
menciptakan keraguan terhadap hakikat ini, mereka menganggap bahwa dia
bersumber dari pendapat dan ijtihad para pemikir Islam moderen.
Anggapan mereka ini telah dibantah oleh Dr. Yusuf al Qardhawi dalam
bukunya: Malamihul Mujatama'il Muslimi lazdi Nunsyiduhu1 beliau
berkata: "Sebagian orang menyangka bahwasanya pemikiran ini merupakan
hasil pemikiran al Maududi di Pakistan, atau sayyid Quthb di Mesir,
sebenarnya pemikiran ini bersumber dari ilmu (ushul fiqh) Islam. Para ulama
ushul fiqh telah menyebutkan masalah ini dalam pembahasan tentang (
atau Hukum) di dalam pengantar ilmu ushul fiqh, dan pada pembahasan
1 Terjemah judul buku di atas adalah: Karekteristik masyarakat muslim yang kita idamkan. Pen.
5
tentang ( atau al hakim) siapa Dia?. Mereka semua sepakat bahwa yang
dimaksud dengan kata al hakim (pembuat undang-udang) adalah Allah, yakni
satu-satunya Zat yang memiliki hak secara mutlak untuk membuat aturan
bagi para hambaNya, bahkan golongan muktazilahpun tidak berbeda
pendapat dalam hal ini, sebagaimana dijelaskan oleh komentator buku
(musallam ats tsubuut), buku ini termasuk di antara buku-buku ushul fiqh
yang terkenal.
Bukti bahwa prinsip ini ditetapkan dengan al-Qur'an dan hadits sangat
jelas. Sebagian telah kami sebutkan di dalam penjelasan tentang wajibnya
menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah. Dan menerapkan hukum
yang datang dari Allah bukan berarti menghilangkan peran manusia, karena
manusialah yang memahami nash-nash yang ditujukan kepadanya,
mengambil kesimpulan darinya, dan mengisi kekosongan yang terdapat pada
masalah yang tidak ada nash padanya, yang juga disebut dengan
(Manthiqotul Afwu atau wilayah yang dimaafkan) ia adalah sebuah wilayah
pembahasan yang luas, yang sengaja dibiarkan oleh Allah karena kasih
sayangNya kepada kita dan bukan karena lupa. Di sisi inilah akal manusia
bebas bergerak, dan berijtihad dalam batas-batas (yang telah ditetapkan oleh )
nash-nash dan prinsip-prinsip syara'" (2).
Wujud penyerahan kekuasaan kepada Allah
Masyarakat muslim yang benar adalah masyarakat yang meyakini
bahwa kekuasaan hanya milik Allah, dimana komunitasnya tunduk kepada
ajaran tauhid, aqidah Islam, yaitu aqidah yang tinggi dan tidak ada yang
melebihi ketinggiannya. Dan Masyarakat muslim ini menghormati serta
mensucikan aqidah tersebut, juga hukum-hukumnya tertanam di dalam akal,
hati dan ruh. Di atas pondasi inilah generasi muslim dididik. Sementara nilainilai,
hukum-hukum dan norama-normanya tercermin jelas di dalam
berbagai lembaga kemasyarakatan, seperti mesjid, sekolah-sekolah, media
cetak, siaran radio dan telivisi serta berbagai media massa lainnya. Dia
diterapkan di dalam tata peradilan, di mana hukum-hukumnya berlaku dalam
segala segi kehidupan baik pendidikan, pemikiran, sosial, politik dan
(2) malamih al mujtama' al muslim alladzi nunsyiduhu: 25, 26.
6
ekonomi, sehingga setiap penduduk dalam masyarakat muslim merasa
bahwasanya ia diatur dengan syari'at Islam dan bernaung di bawahnya.
Kewajiban menerapkan hukum Allah
Ayat-ayat al-Qur'an datang silih berganti menegaskan tentang
kewajiban menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah, di antaranya,
firman Allah :
Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah
Allah wahyukan kepadamu, (QS. an Nisaa': 105)
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa
yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak
memalingkan kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah
kepadamu. (QS. al Maidah: 49)
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah
yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. al
Maidah: 50)
Kewajiban menerapkan hukum yang diturunkan oleh Allah telah
berlaku sejak dahulu kala, yang telah diserukan oleh semua rasul kepada
kaum mereka. Ketika al-Qur'an berbicara tentang ahli kitab, dia menetapkan
hukum kafir secara umum bagi setiap orang yang tidak menerapkan hukum
yang diturunkan oleh Allah:
… Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah,
Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (QS. al Maidah: 44)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. al Maidah: 45)
Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik. (QS. al Maidah: 47)
Dan penggunaan kata (al kafiruun) (adz dzalimuun) (al fasiquun)
menunjukkan bahwa makna antara kata-kata di atas saling berdekatan,
karena Allah berfirman: Dan orang-orang kafir Itulah orang-orang yang
zalim. (QS. al Baqarah: 254)
7
Di ayat lain Allah berfirman: Dan barangsiapa yang (tetap) kafir sesudah
(janji) itu, Maka mereka Itulah orang-orang yang fasik. (QS. an Nuur: 55)
Dihukumi kafir karena mengingkari ketuhanan Allah pada saat syari'atnya
ditolak. Dan dihukumi zalim karena membawa manusia kepada selain syari'at
Allah serta menyebarkan kerusakan dalam kehidupan mereka. Juga disebut
fasik karena keluar dari manhaj Allah dan mengikuti jalan yang lain. Semua
ini adalah sifat yang bisa membawa seseorang kepada kakafiran.
Taat kepada rasul termasuk taat kepada Allah
Di dalam masyarakat muslim, menerapkan hukum dengan apa yang
disyari'atkan oleh Allah melalui wahyu kepada rasulNya merupakan
kewajiban yang pasti, maka dengan demikian ketaatan kepada rasulullah
termasuk ketaatan kepada Allah : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu,
Sesungguhnya ia Telah mentaati Allah. (QS. an Nisaa': 80)
Dan perintah Rasul bersifat wajib bagi orang-orang yang beriman, karena hal
itu perintah Allah: Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak
(pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah
menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain)
tentang urusan mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya
Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al Ahzab: 36)
Bahkan Allah menjadikan menerima keputusan Rasulullah adalah
syarat keimanan bagi orang-orang yang mengadukan persoalan mereka
kepada beliau , dan sikap tidak merasa keberatan dan tidak ragu-ragu
dalam menerima keputusan beliau: Maka demi Tuhanmu, mereka (pada
hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap
perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa di dalam
hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima dengan sepenuhnya (QS. an Nisaa': 65)
Kebutuhan manusia pada syari'at rabbani
Hal ini karena syari'at Islamlah yang mengatur perjalanan hidup di
dalam masyarakat muslim dan dialah yang menciptakan keadilan di antara
manusia, menjamin bagi mereka keamanan, keselamatan dan ketentraman:
8
Sesungguhnya kami Telah mengutus rasul-rasul kami dengan membawa
bukti-bukti yang nyata dan Telah kami turunkan bersama mereka Al Kitab
dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan (QS. al
Hadid: 25)
Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab kepadamu dengan membawa
kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang Telah
Allah wahyukan kepadamu, (QS. an Nisaa': 105)
Kebutuhan manusia kepada manhaj rabbani yang bersih dari
kesesatan, kebodohan, hawa nafsu dan syahwat manusia sangatlah tinggi,
namun semua itu tidak bisa dicapai kecuali dengan menegakkan syari'at ini,
syari'at yang dipelihara oleh Allah dari pengaruh revisi dan perubahan,
sebagaimana diakui oleh para peneliti yang obiektif, yang berasal dari
berbagai macam bangsa, madzhab dan agama.
Tidak ada paksaan dalam beragama
Walaupun syari'at Islam mempunyai kedudukan yang tinggi, yang telah
dianugrahkan oleh Allah bagi syari'at yang toleran ini, dan memiliki nilai suci
yang meliputinya, akan tetapi Allah tidak memaksa seseorangpun dari
makhlukNya untuk memeluknya tanpa (dilandasi) sikap yakin, ridha dan
menerima. Allah berfirman: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama
(Islam); Sesungguhnya Telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat.
Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada
Allah, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang amat
Kuat yang tidak akan putus. dan Allah Maha mendengar lagi Maha
Mengetahui. (QS. al Baqarah: 256)
Penguasa di dalam masyarakat muslim
Seorang penguasa di dalam masyarakat muslim, bagaimanapun
kedudukan dan posisinya secara konstitusional bukanlah pembuat undangundang,
akan tetapi ia hanya pelaksana bagi syari'at Islam yang terkandung
dalam al-Qur'an dan hadits Nabi, kekuasaannya pada sebagai eksekutif
bukan legislatif; karena di dalam Islam, kekuasaan membuat perundang—
undangan hanya dimiliki oleh Allah .
9
Segala bentuk Penambahan, penggantian, perubahan, membuat kalimat
yang mutlak dan terbatas di dalam nash-nash syari'at telah terhenti setelah
sayri'at ini disempurnakan, berdasarkan firman Allah : Pada hari ini Telah
Kusempurnakan untuk kamu agamamu … (QS. al Maidah: 3) di akhir hidup
nabi , menjelang berpulangnya beliau kepada Allah , serta terputusnya
wahyu. Para khalifah, prisiden dan semua pejabat negara di dalam Islam tidak
lain hanyalah pelaksana dan penerap perintah Allah dan rasulNya yang
tertuang di dalam nash-nash syari'at yang khusus maupun yang umum dari
al-Qur'an dan hadits. Bahkan, ijtihad yang baru pada beberapa persoalan dan
perkara yang baru muncul, yaitu perkara yang tidak ada nashnya di dalam
syari'at, tidak dikatakan membuat syari'at di dalam pandangan Islam, akan
tetapi dia merupakan penerapan bagi nash-nash syari'at yang umum,
dan kaidah-kaidah qiyas, istihsan dan istishlah yang bersumber dari nashnash
syari'at. Ia merupakan implementasi bagi kaidah syari'at dan tujuan
syari'at sesuai dengan tuntutan zaman, yang mana sarana dan metode bisa
berubah antara satu waktu dengan yang lain.
Ijtihad harus dilakukan pada persoalan-persoalan yang tidak ada
nashnya, baik di dalam kehidupan induvidu maupun masyarakat, dan pada
masalah yang nashnya merupakan pedoman yang umum dan kaidah yang
bersifat universal, yang bisa di manfaatkan untuk berijtihad, serta meliputi
masalah yang kecil dan rinci. Dan ijtihad ini harus dilakukan dalam bingkai
petunjuk al-Qur'an dan hadits serta tujuan syari'at yang mulia, dan dilakukan
oleh orang-orang khusus, yaitu para ulama yang memenuhi syarat untuk
berijtihad, dan tidak boleh dikuasai (secara negatif) oleh orang-orang yang
memegang kekuasaan. Apabila terjadi perbedaan pendapat, maka diputuskan
dengan musyawarah setelah persoalannya dikembalikan kepada Allah dan
rasulNya: Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), (QS. an
Nisaa': 59)
Syari'at Islam adalah hukum-hukum yang bersifat objektif, dimana
setiap muslim bisa merujuk kepadanya, ia tidak dimonopoli oleh kelompok
tertentu. Di dalam Islam tidak ada istilah rijal diin (tokoh agama) seperti yang
terdapat di dalam agama Kristen, ia adalah syari'at yang jelas dan mudah,
10
tidak ada teka-teki dan misteri, ia disampaikan oleh al-Qur'an yang mulia dan
hadits yang suci, tidak ada tempat bagi seseorang untuk memonopoli
pemahaman dan penafsirannya, baik pemerintah maupun para ulama, setiap
insan muslim yang memiliki kunci ilmu agama bisa memahami hukum Allah
yang tertuang di dalam syari'atnya.
Hubungan yang mengikat masyarakat muslim
Apabila Allah telah menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi
ini, setelah membekali mereka dengan kemampuan untuk membedakan
antara yang baik dan buruk, sebagaimana membekali mereka dengan
kebebasan untuk memilih, bekehendak dan berilmu pengetahuan, maka
Allah telah menjadikan orang-orang mukmin sebagai khlaifah bagi agama
Allah untuk melaksanakan syari'atNya, agama Allah yang terakhir adalah
Islam yang diturunkan kepada Nabi Muhammad , dan umat Islam adalah
umat yang dijadikan oleh Allah sebagai khalifah untuk menegakkan Islam di
muka bumi. Dan negara Islam ditegakkan untuk mewujudkan kekhalifahan
ini agar mendapat ridha Allah dan menjadi kebahagiaan bagi manusia.
Oleh karena itulah, maka hubungan yang mengikat masyarakat muslim
adalah hubungan akidah dan agama, bukan hubungan tanah dan debu,
dimana di dalam negara tersebut telah melebur semua ras, tanah air, bahasa,
warna kulit dan semua ikatan yang tidak ada hubungannya dengan hakikat
manusia.
Hubungan yang mengikat masyarakat muslim adalah hubungan yang
bersifat komitmen kepada akidah keimanan dan syari'at yang telah bumikan,
bukan hubungan nasab, kabilah, dan ras. Oleh karena itulah, negara Islam
adalah negara aqidah dan syari'at, yaitu sebuah negara yang terbuka bagi
setiap orang yang beriman kepada kebenaran aqidah dan syari'at ini, bukan
negara yang dibentuk karena ikatan kebangsaan, tanah air, dan bukan pula
negera yang dibentuk karena ada ikatan jenis dan kesukuan. Dia adalah
negera yang merupakan wujud pilihan manusia terhadap sistem robbani.
Perbedaan antara system pemerintahan di dalam masyarakat dan system
pemerintahan lainnya
11
Dengan demikian, system pemerintahan (yang diberlakukan) di dalam
masyarakat muslim berbeda dengan system pemerintahan di dalam
masyarakat lainnya, dia bukanlah kekuasaan mutlak yang pernah dianut oleh
bangsa-bangsa timur dan barat di masa lalu, dan bukan pula seperti sistem
demokrasi serta tidak pula sistem modern yang tegak di atas satu partai.
Dalam ketiga sistem ini, individu atau partai yang menjadi rujukan mutlak
dalam melegislasi perundang-undangan. Dan legislasi semacam ini termasuk
kesyirikan, karena dalam ketiga sistem ini manusia telah menempatkan
dirinya pada posisi ketuhanan, dan kekuasaan dalam ketiga sistem ini ada di
tangan manusia bukan Allah.
Dalam sebuah pemerintahan di mana kedaulatan hanya ada di tangan
Allah, masyarakat berdiri di atas akidah, syari'at, akhlak, nilai-nilai dan
konsep Islam.
Oleh karenanya, masyarakat muslim meyakini bahwa menerapkan
hukum yang diturunkan oleh Allah termasuk salah satu kewajiban agama,
dan menjadikan agama dan negara sebagai satu kesatuan, yang tidak
terpisahkan antara keduanya. Karena, suatu kepemimpinan, sebagaimana
didefinisikan oleh para ulama merupakan jabatan agama dan politik secara
bersama, dan penanggung jawab umum dalam urusan agama dan dunia. Di
dalam Islam, politik tidak terpisahkan dari akidah, syari'at dan akhlak.
Namun, semuanya saling berkaitan.
Menerapkan hukum dalam segala aspek kehidupan harus
disosialisasikan dalam masyarakat muslim, setiap individu merasa bahwa
dirinya diatur dengan agama Allah, mengamalkan petunjuknya, agar ia
mendapa ridha dan pahala dariNya. Oleh karena itulah, datang perintah al-
Qur'an dari Allah kepada rasulNya: Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah
ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar,
agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang
musyrik". Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya;
dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang
12
yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (QS. al An'am: 161-
163)
Menerapkan hukum Islam adalah tujuan, bukan sarana untuk
menancapkan kedudukan, sensai atau promosi untuk suatu negara, keluarga,
partai, masa jabatan, perundang-undangan atau madzahab, akan tetapi
pelaksanaan hukum Islam merupakan konsekwensi keimanan kepada Allah,
patuh pada hukumaNya dan hukum rasulNya, dengan penuh keridhaan,
kepasrahan dan penerimaan.
Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga
mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu
keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima
dengan sepenuhnya. (QS. an Nisaa': 65)
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi
perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya Telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan
mereka. dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah
dia Telah sesat, sesat yang nyata. (QS. al Ahzab: 36)
Sesungguhnya jawaban oran-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada
Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara
mereka[1045] ialah ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka
Itulah orang-orang yang beruntung. (QS. an Nuur: 51)
Sumber hukum perundang-undangan di dalam masyarakat muslim
Sumber hukum perundang-undangan di dalam masyarakat muslim
adalah syari'at Allah yang telah diwahyukan kepada Rasulullah , bukan
rakyat sebagaimana yang dianut oleh sistem demokrasi, bukan pula penguasa
tunggal seperti yang diberlakukan sistem diktator, dan bukan pula partai
penguasa sebagaimana yang dianut oleh sistem totaliter.
Di dalam Islam, penguasa adalah pelaksana bagi syari'at Allah yang
telah diturunkanNya dan Dia memerintahkan untuk mengikutinya. Dia
dibangun dalam rangka mewujudkan kekhalifahan manusia di muka bumi,
13
dengan menegakkan hukum Allah, menebarkan keadilan, keamanan,
persamaan dan kebebasan antara manusia, membangun masyarakat dimana
penghambaan hanya kepada Allah, dan seorang peminpin muslim berhak
mendapat ketaatan dari rakyat, selama dia taat kepada Allah, namun jika
sang peminpin melanggar maka ia tidak mempunyai hak untuk ditaati oleh
rakyat. Inilah makna perkataan Abu Bakar di waktu beliau dibai'at menjadi
khalifah: "Ta'atlah kepadaku selama aku ta'at kepada Allah, namun jika aku
tidak menta'atiNya maka kalian tidak wajib menta'atiku " (3).
Pemilihan kepala negara di dalam masyarakat
Pemilihan kepala negara di dalam masyarakat muslim mempunyai dua
kaidah yang tidak pernah dikenal oleh manusia di dalam sejarah
perpolitiknya:
Pertama: Menentukan kriteria obyektif atau sifat-sifat yang harus dipenuhi
oleh orang yang akan dipilih menjadi kepala Negara Masalah ini disimpulkan
oleh para ulama dari al-Qur'an dan hadits, pada aspek yaitu:
1- Akidah: yang merupakan keyakinan umat dan menjadi dasar negara.
2- Keilmuan dan pengetahuan: Harus bagi seorang peminpin dan
penguasa kaum muslimin, di mana mereka rujukan utama di dalam
negara harus memiliki penguasaan yang cukup tentang Islam, akidah,
dan syari'at serta kemampuan di dalam menguasai pengetahuan umum
modern, agar dia bisa memecahkan persoalan-persoalan negara dalam
bingkai akidah Islam dan syari'atnya.
3- Pengalaman politik dan administrasi: Peminpin umat Islam harus
mempunyai pengalaman dan pengetahuan dalam mengurusi masalah
politik dan administrasi. Semua ini telah diungkapkan oleh al Mawardi
dengan penjelasannya: "kecerdasan dan pengalaman yang
memungkinkan penguasa untuk memimpin rakyat dan mengatur
negara"(4)
(3) Jamharat khitaab al arab: 1/180
(4) Lihat: nidzam al islam oleh: Muhamad al mubarak: 63.
14
4- Kepribadian yang baik: Maksudnya adalah dia berakhlak mulia seperti
amanat, istiqamah, sopan, berani, perkasa dan cinta kepada kebaikan
dan berbagai akhlak serta kepribadian yang baik lainnya.
5- Laki-laki: Syarat ini sama sekali tidak berarti meremehkan kemampuan
wanita. Dia hanya pembagian tugas antara laki-laki dan wanita dalam
kehidupan ini. Hal ini karena Islam tidak membebani wanita untuk
bekerja demi menafkahi dirinya, namun Islam membebani laki-laki
untuk memberi nafkah kepada keluarga, memikulkan pada dirinya
tanggung jawab memenuhi kebutuhan keluarga, agar wanita
berkonsentrasi menunaikan tugas keluarga dan sebagai ibu rumah
tangga. Maka ia menjadi ratu di dalam rumah, membuat keindahan dan
kegembiraan di dalam rumah, dia menjadi pengatur rumah tangga,
memenuhi rumah dengan kasing sayang, dan kegembiraan bagi anakanak.
Oleh karena itu, wanita muslimah yang mengerti tidak berambsi
mencari pekerjaan di luar rumah kecuali jika keadaan memaksanya,
yaitu jika tidak ada yang menanggung biaya hidupnya, atau ia
diperlukan oleh masyarakatnya untuk melakukan pekerjaan tertentu
yang sesuai dengan kodrat kewanitaannya, dengan tetap menjaga
kehormatannya serta memelihara agama dan akhlaknya (5).
Inilah pandangan Islam terhadap wanita dan pekerjaannya di dalam
kehidupan secara umum, hal ini merupakan pandangan yang
bijaksana, dimana ia tidak membebani wanita untuk bekerja dan
bersusah payah mencari penghidupan kecuali dalam kondisi darurat,
maka bagaimana mungkin Islam mencampakkan wanita untuk
memperebutkan posisi tertinggi di dalam umat, dan tidak ada bukti
yang lebih nyata dari perjalanan sejarah panjang manusia dimana
jumlah wanita yang memangku jabatan tertinggi negara sangat sedikit
sekali, dibandingkan jumlah para raja dan kepala negara dari laki-laki.
Kaidah kedua: dalam memilih kepala negara di dalam masyarakat muslim
adalah: Seorang kepala negara dipilih oleh umat, dan inilah yang dinamakan
(5) Lihat buku kepribadian wanita muslimah: 449
15
bai'at, yang dilaksanakan oleh ahlul halli wal aqdi, dan diterima oleh rakyat,
serta berdasarkan musyawarah dan pemilihan yang bebas.
Kedua kaidah ini yang diambil dari al-Qur'an dan hadits oleh umat
Islam sejak masa negara Islam pertama, yaitu memilih peminpin yang
memenuhi kriteria, dan legalitas kepemimpinannya adalah bai'at umat Islam
terhadap dirinya, dan keridhaan mereka atas dirinya sebagai pemimpin,
kedua kaidah ini merupakan perubahan bagi perjalanan sejarah perpolitikan
dalam kehidupan manusia, dan sebuah kemajuan besar di dalam sejarah
sistem pemerintahan dan hak konstitusi, dimana Islam sebagai pelopor di
dalam hal ini.
Posisi penguasa di dalam masyarakat muslim
Dalam masyarakat muslim, seorang penguasa tunduk pada dua
batasan: syari'at dan syura, yakni dengan hukum Allah dan pendapat (yang
disepakati oleh) umat. dia bertanggung jawab kepada Allah dan kepada
manusia, ia tidak mempunyai kekebalan hukum, di depan pengadilan dia
seperti rakyat biasa. Di dalam sejarah Islam, terdapat banyak bukti-bukti
tentang menampakkan yang benar sebagai kebenaran dan keadilan antara
rakyat dan peminpin, dan kepala negara. Seperti dakwaan amirul mukminin,
Ali bin Abi Thalib kepada seorang hakim, Syuraih di masa pemerintahannya
terhadap baju besi (milik Ali bin Abi Thalib) yang diambil oleh seorang
Nasrani. Di mana pada saat hakim meminta bukti dan ternyata setelah amirul
mukminin tidak mempunyai bukti maka hakim memenangkan orang Nasrani
tersebut, padahal baju besi tersebut miliki amirul mukminin. Kejadian yang
luar biasa ini sangat berkesan di hati orang Nasrani tersebut. Akhirnya, ia
segera menyatakan masuk Islam. (6)
Tanggung jawab seorang penguasa dalam masyarakat muslim
Tanggung jawab pemerintah di dalam masyarakat muslim adalah di
hadapan Allah , bisa jadi (jabatan itu) mengangkatnya ke derajat yang paling
tinggi, dan bisa jadi pula menjerumuskannya ke derajat yang paling rendah;
jika dia berbuat adil terhadap rakyatnya, dan menunaikan kewajiban yang
(6) Lihat: al bidayah wa an nihayah: 8/4, 5.
16
diwajibkan oleh Allah terhadap rakyatnya, yaitu melindungi orang yang
teraniaya, orang lemah, mengurus kepentingan umat, membela negara, maka
Allah akan membalasnya dengan balasan yang sebaik-baiknya. Sehingga
dengan demikian ia akan mendapat derajat yang paling tinggi yang tidak
didapatkan oleh para ahli ibadah yang hanya menyibukkan diri dengan
beribadah kepada Allah. Namun, jika dia berlaku zalim, curang dan berbuat
buruk, maka ia akan mendapat balasan buruk pula yang tidak didapatkan
oleh para penjahat seperti pencuri, pembunuh, dan orang-orang fasik.
Ia bertanggung jawab di hadapan umat manusia yang telah
memberikannya amanat untuk mengurusi jiwa, harta, agama dan tanah air
mereka. Mereka telah memilihnya untuk meminpin mereka, kemudian mereka
berbai'at untuk menta'atinya dengan sebuah ikrar bahwa dia berjanji akan
menegakkan keadilan, melaksanakan hukum-hukum syari'at dan
menjadikannya sebagai undang-undang bagi mereka, dan setiap orang dari
mereka berhak menasihatinya, dan mereka wajib melakukan amar makruf
nahi mungkar.
Umat adalah pengawas bagi penguasa, sebagaimana mereka
memilihnya melalui ahlul halli wal aqdi, dan sebagaimana kesempurnaan
legitimasi kekuasaan mereka terwujud melalui bai'at mereka, maka
masayarakt muslim juga memiliki hak mencopotnya dari kursi jabatannya
jika sang peminpin tidak melaksanakan amanat yang diamanatkan oleh
rakyat, menurut pendapat para ulama (7).
Dalam masyarakat muslim, kekuasaan bukanlah suatu keangkuhan
dan kesombongan di muka bumi dan suatu keistimewaan, al-Qur'an telah
menyebutkan sifat Fir'aun sebagai contoh bagi penguasa tirani yang sangat
angkuh dan sombong, Allah berfirman: Sesungguhnya Fir'aun Telah berbuat
sewenang-wenang di muka bumi dan menjadikan penduduknya berpecah
belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki
mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka.
Sesungguhnya Fir'aun termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS.
al Qashash: 4)
(7) Lihat buku: an nadzariyaat as siyaasiyah al islamiyah. Oleh Dr. Dhiyauddin arris: 294, cet. Cairo, 1960.