Artikel




Masyarakat Yang Beribadah Kepada Allah


Syi'ar ibadah di dalam masyarakat muslim


Keistimewaan terpenting yang membedakan masyarakat muslim dengan


masyarakat lainnya bahwa dia adalah masyarakat yang beriman kepada


Allah, bertauhid; tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun,


beribadah kepada Allah, mendirikan syi'ar-syi'ar yang mencerminkan


hubungannya dengan Allah, menerapkan penghambaannya kepada Allah,


dimulai dari kesaksian bahwa tiada tuhan (yang berhak disembah dengan


sebenarnya) selain Allah dan bahwasanya Muhammad adalah utusan Allah,


kemudian barulah datang kewajiban yang empat, yaitu: shalat, zakat, puasa


ramadhan, dan haji ke baitullah, ini terhimpun dalam hadits Nabi  yang


masyhur:





"Islam dibangun atas lima perkara: Kesaksian bahwa tidak ada tuhan selain


Allah, dan bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mendirikan shalat,


menunaikan zakat, berpuasa bulan ramadhan, dan haji ke baitullah» (HR.


Bukhari dan Muslim).


1- Shalat:


Shalat adalah rukun Islam pertama dan tiang Islam, kewajiban ini


dilaksanakan berulang lima kali dalam setiap sehari, dia adalah ibadah yang


paling pertama akan dihisab dari amal seorang mu'min di hari kiamat kelak,


dialah pemisah antara iman dan kekafiran, sebagaimana ditegaskan oleh


Rasulullah  dengan sabdanya:





« "Antara seserang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan


shalat» (HR. Muslim)


Maka, tidak heran jika shalat menjadi ciri pertama bagi masyarakat


muslim yang membedakannya dengan masyarakat lainnya, dan menjadikan


orang-orang mukmin beruntung, selamat dan meraih kenikmatan abadi di


surga.


Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang


yang khusyu' dalam sembahyangnya, (QS. al mukminun: 1-2)


4


Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orangorang


yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus.


mereka kekal di dalamnya. (QS. al Mukminun: 9-11)


Apabila shalat dilaksanakan dan membekas di dalam jiwa, maka ia


akan berpengaruh positif pada moralitas sosial orang yang shalat, yaitu


dengan terbentuknya kepribadian yang stabil, pikiran yang jernih, dan


keseimbangan di dalam sikap baik di waktu senang maupun susah.


Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia


ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah, Dan apabila ia mendapat kebaikan ia


amat kikir, Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat, Yang mereka itu


tetap mengerjakan shalatnya, (QS. al Ma'arij: 19-23).


Shalat berjamaah:


Oleh karena itulah Islam menganjurkan shalat berjamaah, agar


masyarakat muslim dipenuhi oleh pribadi-pribadi yang berpikiran jernih,


berjiwa terdidik, berakhlak tinggi, layak menjadi khalifah di muka bumi,


membangun alam semesta, dan menegakkan kalimat Allah di muka bumi.


Oleh karena itulah, maka shalat berjamaah lebih baik dilaksanakan di


mesjid, baik karena dia adalah perintah yang bersifat sunnah mu'akkadah


atau fardhu kifayah, sebagaimana pendapat kebanyakan para ulama, atau


fardhu ain sebagaimana pendapat imam Ahmad.


Perhatian Rasulullah  terhadap shalat berjamaah di dalam masyarakat


muslim, generasi pertama sampai pada tingkat bahwa beliau berniat


membakar rumah orang-orang yang tanpa halangan tidak mengikuti shalat


berjamaah, beliau bersabda:





«Demi yang jiwaku ada di tanganNya, sungguh aku telah berniat menyuruh


orang mengambil kayu bakar, kemudian aku memerintahkan agar shalat


didirikan, kemudian aku menyuruh seseorang menjadi imam, kemudian aku


pergi ke rumah orang-orang yang meninggalkan shalat berjamaah untuk


membakar rumah-rumah mereka». (Muttafaq alaih).


Oleh karena pentingnya shalat berjamaah ini, orang-orang yang sedang


berperangpun tidak diperkenankan meninggalkannya, maka disyari'atkanlah


bagi mereka shalat khauf, yaitu shalat berjamaah yang khusus didirikan pada


waktu perang; dilaksanakan di bawah satu imam yaitu panglima perang


dalam dua tahap: tahap pertama dilakukan oleh sekelompok mujahidin


dengan satu raka'at di belakang imam, kemudian mereka pergi ke kampnya


masing-masing dan menyempurnakan shalat mereka di sana. Kemudian


5


datang kelompok kedua yang sebelumnya berada di hadapan dengan musuh


lalu shalat di belakang imam.


Islam mensyari'atkan shalat khauf agar tidak seorangpun dari


mujahidin yang kehilangan fadhilah shalat berjamaah, dan dalam rangka itu


pula syari'at Islam membolehkan adanya beberapa gerakan dan perbuatan


yang berbeda, yang tidak boleh dilakukan dalam shalat berjamaah biasa.


Allah berfirman tentang masalah ini di dalam kitabNya:


Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu


hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, Maka hendaklah segolongan


dari mereka berdiri (shalat) besertamu dan menyandang senjata, Kemudian


apabila mereka (yang shalat besertamu) sujud (telah menyempurnakan


serakaat), Maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk


menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum


bersembahyang, lalu bersembahyanglah mereka denganmu, dan hendaklah


mereka bersiap siaga dan menyandang senjata. Orang-orang kafir ingin supaya


kamu lengah terhadap senjatamu dan harta bendamu, lalu mereka menyerbu


kamu dengan sekaligus. dan tidak ada dosa atasmu meletakkan senjatasenjatamu,


jika kamu mendapat sesuatu kesusahan Karena hujan atau Karena


kamu memang sakit; dan siap siagalah kamu. Sesungguhnya Allah Telah


menyediakan azab yang menghinakan bagi orang-orang kafir itu.  (QS. an


Nisa': 102)


Kedudukan shalat di dalam jiwa seorang muslim


Ayat ini merupakan dalil yang kuat atas pentingnya shalat berjamaah,


dan syari'at Islam sangat menekankan agar tetap dilakukan walaupun orangorang


muslim dalam situasi peperangan, dan hal ini sekaligus menunjukkan


pentingnya kedudukan shalat di dalam jiwa seorang muslim. Shalat harus


dilaksanakan pada waktunya dalam kondisi dan situasi apapun, dengan cara


yang memungkinkan, dalam keadaan takut terkadang dilakukan tanpa rukuk


dan tanpa sujud, dan dalam keadaan perang sedang berkecamuk mungkin


dilakukan tanpa mengahadap kiblat, kondisi seperti ini termasuk darurat,


maka cukup dengan niat dan apa saja yang bisa dilakukan berupa bacaan


dan dzikir.


Allah  berfirman: Peliharalah semua shalat(mu), dan (peliharalah)


shalat wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan khusyu'. Jika


kamu dalam keadaan takut (bahaya), Maka shalatlah sambil berjalan atau


berkendaraan. Kemudian apabila kamu Telah aman, Maka sebutlah Allah


(shalatlah), sebagaimana Allah Telah mengajarkan kepada kamu apa yang


belum kamu ketahui. (QS. al Baqarah: 238-239)


Arti dari (sambil berjalan atau berkendaraan) adalah shalatlah semampu


kalian, baik sambil berjalan maupun berkendaraan, menghadap kiblat


maupun tidak menghadap kiblat. Contoh yang disebutkan oleh ayat al-Qur'an


ini berlaku bagi orang yang sedang berperang di masa sekarang ini, baik


6


dalam keadaan berada di dalam pesawat terbang, tank atau kendaraan lapis


baja.


Adapun dalam situasi yang aman, maka tetap wajib dilaksanakan pada


waktunya, apaun kondisi seseorang, jika ia tidak mampu shalat secara


berdiri, maka dia mengerjakannya dengan cara duduk, jika tidak mampu


mengerjakannya dengan cara duduk karena sakit, maka dia boleh shalat


sambil berbaring. Demikianlah, dia bisa dilaksanakan dengan cara yang


mungkin bisa dilakukan, dan tidak boleh ditinggalkan sama sekali.


Shalat sebagaimana disyari'atkan oleh Islam, dan sebgaimana yang


disyaratkan dalam rangka mendirikannya seperti syarat harus bersih dan


suci, memakai pakaian yang bagus ketika pergi ke masjid, menghadap ke satu


kiblat, penentuan waktu shalat, dan apa-apa yang diwajibkan-padanya


berupa dzikir, bacaan dan doa, perbuatan yang dilakukan orang shalat


berupa gerakan-gerakan dan perkataan, ini semua menunjukkan bahwa


shalat bukan hanya sekedar ibadah, akan tetapi ia adalah aturan bagi


kehidupan jiwa umat Islam, dan sebuah manhaj bagi tarbiyah dan pendidikan


masyarakat muslim.


Shalat berjamaah yang menghimpun individu masyarakat muslim lima


kali dalam satu hari dalam ketaatan, kedisiplinan, kecintaan, persaudaraan


dan persatuan di hadapan Allah Yang Maha Tinggi dan Maha Besar, realita


seperti ini lebih nampak daripada sekedar bekumpulnya orang untuk


melaksanakan shalat berjamaah. Sungguh, dia adalah metode yang cocok


untuk membangun hubungan sosial, sebab dengan shalat berjamaah akan


tercabut perasaan negatif, egois, dan terisolasi, shalat berjama'ah mengangkat


mereka dari kesibukan, ikatan dan kalalaian hidup, dimana masjid


mengumpulkan mereka dan mengakrabkan hati-hati mereka, maka shalat


berjamaah adalah taman pendidikan harian untuk membina keakraban,


persamaan, persatuan dan kasih sayang.


Shalat jum'at


Puncak kebersamaan masyarakat muslim terlihat pada saat shalat


jum'at, ia merupakan kewajiban mingguan yang mesti dilaksanakan oleh


setiap muslim di masjid jami', yang di dalamnya disampaikan khutbah jum'at


sebelum shalat, dia merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari shalat,


semua jamaah mendengarkannya, memusatkan perhatian mereka dengan


telinga dan hati mereka pada kata-kata yang dikatakan oleh khatib; hal ini


karena khutbah jum'at dalam masyarakat muslim adalah syiar agama yang


disyari'tkan untuk membahas persoalan umat pada masa itu di dalam


kehidupan umat Islam, sebagai sarana untuk mengajarkan mereka tuntutnan


agama ini, yang datang untuk mengatur kehidupan dunia dan akhirat. Maka


semestinya khutbah rutin mingguan ini jika dilaksanakan dengan memenuhi


syarat-syaratnya untuk menciptakan berbagai keajaiban di dalam kehidupan


umat Islam, sehingga dengannya wawasan membuka diri untuk menerima


7


kebenaran, membebaskan jiwa dari kehinaan, mengangkat ruh mereka


kepada tingkat yang lebih tinggi yang dikehendaki oleh Islam.


Dan sungguh, khutbah ini telah menunaikan tugasnya di suatu masa,


di mana dia telah membentuk umat Islam sebagai sebaik-baik umat yang


dikeluarkan untuk manusia, mengajak kepada yang baik dan mencegah dari


yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Semua ini telah terwujud di dalam


realita kehidupan manusia, bukan sekedar tertimbun di dalam buku-buku,


kitab-kitab dan teori.


Oleh karena itulah, langkah pertama yang dilakukan oleh Rasulullah 


setelah sampai di Madinah saat berhijrah adalah mendirikan masjid, sebagai


sarana beribadah, dan sarana untuk pendidikan dan pengajaran serta tempat


bermusyawarah.


Adzan untuk mendirikan shalat


Sudah diketahui bahwa panggilan untuk melaksanakan shalat


diwujudkan dengan mengumandangkan adzan, dan adzan merupakan ciri


khas masyarakat muslim yang membedakannya dengan masyarakat lain,


sebab hanya di dalam masyarakt muslim suara merdu seorang mu'adzin


menggema, dengan suaranya yang keras dia menggemakan panggilan suci:





Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, aku bersaksi bahwa


tidak ada tuhan selain Allah, aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain


Allah, aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah, aku bersaksi


bahwa Muhammad adalah utusan Allah, mari melaksanakan shalat, mari


melaksanakan shalat, mari meraih keberuntungan, mari meraih


keberuntungan, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar, tidak ada tuhan selain


Allah.


Panggilan suci ini menggema dalam masyarakat muslim lima kali dalam


satu hari, telinga merasa senang mendengarnya, lisan-lisan ikut


mengucapkan adzan bersama mu'adzzin, sebagai pengkohan bagi maknanya


di dalam jiwa orang-orang yang mendengarnya, dan memantapkan maknanya


di dalam akal dan hati.


Orang-orang muslim yang pernah musafir ke negara-negara asing


(selain negara Islam) dan mereka yang menetap di negara tersebut merasa


kehilangan dengan suara lantunan adzan ini, yang telah terpatri dengan rasa


cinta di dalam hati mereka, mereka rindu untuk mendengarnya, dan


merasakan kegalauan rohani selama mereka berada di negeri tersebut,


8


mereka menginginkan kembali ke negeri Islam, agar telinga mereka dapat


menikmati kembali panggilan yang indah ini, yang telah terbiasa terdengar


oleh telinga mereka lima kali dalam satu hari.


Kedudukan shalat di dalam masyarakat muslim


Kaum muslimin di dalam masyarakat muslim pada saat mendengar


kumandang adzan, mereka segera mendirikan shalat, dan shalat berjamaah


lebih utama dari shalat sendirian dengan dua puluh tujuh derajat,


sebagaimana disebutkan dalam hadits yang mulia. Setiap shalat mempunyai


waktu-waktu tertentu, di mana dia mesti ditunaikan padanya, masyarakat


muslim tidak rela melihat sebagian anggota masyarakatnya lalai dalam


melaksanakan shalat, orang yang meninggalkan shalat dalam masyarakat


muslim terhina dan tercela, dan dia tetap dalam keadaan tersebut sehingga


dia kembali kepada jalan yang benar dan termasuk orang-orang yang


mendirikan shalat.


Masyarakat muslim yang dikehendaki oleh Islam adalah masyarakat


yang teratur dalam urusannya, mampu membangun lembaganya, mengatur


jam kerjanya agar tidak bebenturan dengan waktu-waktu shalat, dan tidak


memaksa seorangpun dari para pekerja untuk beraktifitas sehingga


melewatkan waktu pelaksanaan shalat.


Termasuk dalam kategori ini adalah acara-acara seminar, pesta,


ceramah, dan rapat-rapat, semua aktifitas ini tidak boleh menghalangi


seseorang melaksanakan shalat pada waktunya.


Setiap keluarga yang telah dibangun oleh Islam di dalam masyarakat


muslim dituntut untuk memerintahkan anak-anak mereka untuk mendirikan


shalat, jika mereka telah berumur tujuh tahun, dan memukul mereka apabila


enggan melakasnakan shalat setelah mereka berumur sepuluh tahun Hal ini,


demi melaksanakan peritah Rasulullah , agar mereka terbiasa


melaksanakan shalat dari sejak kecil, dan setiap keluarga yang tidak


memperhatikan arahan Nabi ini maka ia berdosa, dan tidak layak menjadi


anggota masyarakat muslim.


Terakhir, kedudukan shalat di dalam masyarakat muslim yang benar


sangat tinggi, hal ini sesuai dengan kedudukannya yang sangat urgen di


dalam agama ini, dia mempunyai wujud yang nampak dan pengaruh yang


jelas di dalam realita masyarakat, baik di bidang pendidikan, budaya,


penerangan, sosial, dan olah raga, dengan wujud yang layak bagi sebuah


masyarakat menghambakan dirinya kepada Allah.


2. Zakat


Zakat adalah rukun Islam yang kedua, ia selalu disebutkan secara


berbarengan dengan shalat di dalam al-Qur'an dan hadits. Dia disebutkan


setelah shalat dalam dua puluh delapan tempat di dalam al-Qur'an seperti


pada ayat-ayat berikut ini:





Yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk


(kepada Allah) (QS. al Maidah: 55)


(#ߊÏ% r  n    4x.¨“9$# (#è?#uu  n    4n=¢Á9$# &u


 Dan Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat  (QS. al Baqarah: 43)





Mendirikan shalat, menunaikan zakat, (QS. al Baqarah: 277)


Ia adalah ibadah yang disyari'atkan sejak lama, sama seperti shalat


(yang disyari'atkan di) dalam agama Allah yang satu, yaitu agama yang dibawa


oleh para nabi dan para rasul. Kita mendapatkan di dalam banyak ayat yang


menyebutkan secara beriringan antara shalat dengan zakat, di antaranya


adalah firman Allah  yang menyebutkan tentang pujianNya terhadap bapak


para nabi yaitu nabi Ibrahim, Ishak dan Ya'qub: Kami Telah menjadikan


mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan


perintah kami dan Telah kami wahyukan kepada mereka mengerjakan


kebajikan, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan Hanya kepada Kamilah


mereka selalu menyembah, (QS. al Anbiya': 73)


Di antaranya adalah firman Allah yang menyebutkan tentang pujianNya


kepada Ismail: Dan ia menyuruh ahlinya untuk shalat dan menunaikan zakat,


dan ia adalah seorang yang diridhai di sisi Tuhannya (QS. Maryam: 55)


Di antaranya juga adalah firman Allah ketika berbicara kepada Musa: Dan


rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan Aku tetapkan rahmat-Ku untuk


orang-orang yang bertakwa, yang menunaikan zakat dan orang-orang yang


beriman kepada ayat-ayat Kami". (QS. al A'raf: 156)


Di antaranya adalah firman Allah melalui lisan Isa ketika dalam pangkuan:


Dan dia memerintahkan kepadaku (mendirikan) shalat dan (menunaikan)


zakat selama Aku hidup; (QS. Maryam: 31).


Dan di antaranya adalah perintah Allah kepada bani israil: Serta ucapkanlah


kata-kata yang baik kepada manusia, Dirikanlah shalat dan tunaikanlah


zakat. (QS. Al Baqarah: 83)


Di antaranya adalah firman Allah tentang ahli kitab: Padahal mereka tidak


disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan


kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka


mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama


yang lurus. (QS. al Bayyinah: 5)


10


Zakat dan shalat adalah dua syi'ar, dua kewajiban, dua ibadah yang


dari sejak dahulu selalu disebutkan secara beriringan di dalam agama Allah


yang satu, yang telah diturunkan sejak masa dahulu melalui lisan para rasul.


Hingga pada saat Islam telah datang, sebagai penutup semua agama (samawi),


dia menjadikan zakat selain sebagai ibadah juga sebagai sistem baru yang


istimewa, di mana tidak ada satupun dari agama samawi yang


mendahuluinya dan tidak pula undang-undang buatan manusia.


Islam telah menjadikan zakat sebagai pilar penting bagi solidaritas


sosial, karena Islam telah menjadikannya sebagai ibadah dan kewajiban harta


yang telah diatur secara seksama, yang menjamin hak-hak orang-orang fakir,


Islam tidak menjadikan zakat sebatas tindakan kebaikan, kemuliaan dan


sumbangan sukarela. Ia dipungut oleh negara Islam, dengan mengangkat


petugas tertentu yang bekerja secara khusus untuk mengumpulkan zakat


pada sebuah lembaga yang disebut dengan "Badan amil zakat". Dan para


petugas ini akan mendapat bagian tertentu yang merupakan salah satu arah


penyaluran zakat, sebagai bentuk penegasan atas keterpisahannya dari hartaharta


lain yang dipungut oleh negara Islam, dan agar tidak bercampur dengan


harta-harta lain sehingga dapat menghilangkan hak-hak orang fakir, dalam


hal ini Allah  menegaskan: Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk


orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf


yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang


berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan,


sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui


lagi Maha Bijaksana. (QS. at Taubah: 60)


Zakat dalam masyarakat muslim merupakan kewajiban terhadap harta


sebagai ibadah yang harus dilakukan, yang dipungut oleh Negara. Namun,


jika sautu negara tidak mengumpulkannya seperti pada masa kita sekarang,


maka kaum muslimin harus segera menunaikannya dengan sempurna


sebagaimana yang telah dijelaskan oleh syari'at, dan tidak ada seorang


muslimpun yang ragu menunaikannya kecuali orang yang lemah agamanya,


lemah jiwanya, dan tidak baik akhlaknya.


Cukup kita mengetahui bahwa orang yang menolak menunaikan zakat


boleh diperangi dan darahnya halal, sehingga dia menunaikannya dengan


sempurna sebagaimana dijelaskan oleh hukum agama. Penegasan Abu Bakar


ash shiddiq tentang orang-orang murtad karena menolak menunaikan zakat


masih menggaung pada pendengaran masa, di mana dia mengumumkan


keagungan agama ini dalam menyatukan antara agama dan dunia: "Demi


Allah, sungguh aku akan memerangi orang yang membedakan antara shalat


dan zakat" (1). Ini adalah sumpah dari Abu Bakar yang menggambarkan


kedalaman pemahamannya terhadap agama yang sempurna ini, dan karena


(1) al Bidayah wa an nihayah, oleh Ibnu Katsir 6/315.


11


adanya hubungan yang kuat antara shalat dan zakat dalam menegakkan


agama Islam.


3. Puasa bulan Ramadhan


Ia adalah rukun Islam yang ketiga, masyarakat muslim menyambut


kedatangan bulan ramadhan dengan sambutan yang istimewa dan mereka


juga memberikan perhatian yang khusus kepada bulan ramadhan. Suasana


ramadhan terlihat jelas di jalan-jalan, rumah-rumah dan masjid-masjid.


Orang-orang yang berpuasa menyadari hak puasa terhadap mereka, dalam


menjaga lisan, mata, dan anggota badan mereka dari semua pelanggaran yang


merusak puasa atau membatalkan amal mereka, sebab mereka mengikuti


petunjuk Nabi  yang mereka dengar di masjid-masjid. Nabi  bersabda:





«Jika kalian sedang berpuasa maka janganlah berbuat rafats, jangan membuat


keributan, jika ada orang yang memakinya atau mengajaknya berkelahi maka


hendaklah berkata: aku sedang berpuasa» (Muttafaq alaih).


Nabi  juga bersabda:





«Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta dan melakukannya


maka Allah tidak perlu memberikan pahala pada perbuatannya dalam


meninggalkan makan dan minum» (HR. Bukhari).


Sebagian besar umat Islam di dalam masyarakat muslim berusaha


memanfaatkan waktunya di bulan yang penuh berkah ini, mereka mengisinya


dengan amal shalih; pada waktu siang dimanfaatkan untuk berpuasa,


membaca al-Qur'an, bertasbih, bersedekah dan amal-amal shalih lainnya.


Sementara, pada waktu malam diisi dengan shalat tahajjud dan do'a, dalam


rangka mencontohi Rasulullah  yang bersungguh-sungguh di bulan


ramadhan melebihi bulan-bulan lainnya, dan pada sepuluh hari terakhir


melebihi kesungguhan beliau dari hari-hari yang lainnya, hal ini sebagaimana


disebutkan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dari Aisyah .


Selaian itu, mereka mengaharap pahala yang besar yang disiapkan oleh Allah


untuk orang-orang yang berpuasa dan qiyamullail, sebagaimana disampaikan


oleh Rasul yang mulia dengan sabdanya:





« Barangsiapa yang qiyamullail di bulan ramadhan karena iman dan


mengharap pahala dari Allah, maka diampuni baginya dosa-dosanya yang


telah lalu» (Muttafaq alaih).


Sesungguhnya umat Islam yang berada di dalam masyarakat muslim


yang bernaung di bawah petunjuk al-Qur'an dan hadits, mengerti bahwa


bulan ramadhan adalah bulan ibadah, sehingga tidak ada kesempatan bagi


12


pribadi muslim serius untuk menghabiskan waktu malam dengan kesia-siaan


dan bergadang yang lama dengan sesuatu yang tidak berguna, sehingga


apabila waktu subuh telah mendekat, mereka menyantap makanan beberapa


suap lalu pergi ke tempat tidur kemudian tenggelam di dalam tidur yang pulas


sehingga tidak bangun untuk shalat subuh.


Pribadi-pribadi muslim di dalam masyarakat muslim kembali dari


shalat tarawih dengan tidak begadang panjang, kerena beberapa saat lagi


mereka akan bangun untuk qiyamullail dan makan sahur, kemudian pergi ke


masjid untuk melaksanakan shalat subuh.


Sahur dalam masyarakat muslim adalah suatu keharusan di bulan


ramadhan, sebagai pelaksanaan dari perintah Rasulullah  yang bersabda:





«Makan sahurlah, karena di dalam makan sahur itu terdapat berkah» (Muttafaq


alaih).


Hal ini karena bangun untuk makan sahur mengingatkan mereka kepada


qiyamul lail, dan menggiatkan diri mereka untuk melangkah ke masjid untuk


shalat subuh berjamaah, selain itu dia juga menguatkan badan untuk


berpuasa. Inilah yang selalu dilakukan oleh Rasulullah  dan dengannya pula


beliau melatih para para sahabat di dalam masyarakat muslim generasi


pertama. Dari zaid bin tsabit  berkata:





«Kami makan sahur bersama Rasulullah  kemudian kami bangkit untuk


shalat, dikatakan kepadanya: "Berapa lamakah jarak waktu antara sahur dan


shalat? Beliau berkata: (Kira-kira) selama membaca lima puluh ayat» (Muttafaq


alaih).


Ramadhan memiliki nilai kemuliaan dan kesakralan di dalam


masyarakat muslim yang dipelihara oleh negara. Negara tidak membolehkan


makan (di siang hari bulan ramadhan) dengan terang-terangan dan tidak


boleh melanggar kemuliaan bulan yang penuh berkah dalam bentuk apapun.


Bahkan, pemerintah memberi sanksi kepada siapa yang melanggar adab-adab


syara' di bulan ini, dan menetapakan berbagai kebijakan yang bisa


menjadikan masjid bercahaya dan berkilau, menarik manusia untuk


melakukan ketaatan, menyenangkan mereka beribadah dan mendorong


mereka untuk menyambut hidayah. Hal ini terwujud dengan memperhatikan


mimbar-mimbar masjid, majlis-majlis ilmu, nasihat dan bimbingan agama,


sehingga tidak ada yang menempatinya kecuali para ulama, para khatib ulung


yang bisa berbicara dengan baik, memahami hukum-hukum syari'at, dan


bersifat jujur, konsisten, bertakwa dalam perkataan dan perbuatan.


Dalam suasana yang suci dan bersih inilah umat Islam melewati harihari


di bulan ramadhan di dalam masyarakat muslim, sebuah suasana yang


sehat dan bersih yang membantu terlaksananya ibadah sehingga setiap


13


individu benar-benar merasakan bahwa dirinya betul-betul hidup di dalam


masyarakat yang mengbadikan dirinya kepada Allah.


4. Haji


Ia adalah rukun Islam yang keempat, pada musim inilah umat Islam


berkumpul di Mekkah al Mukarramah, mereka datang dari berbagai penjuru


dunia. Warna mereka berbeda, bahasa dan bentuk mereka berbeda, namun


dengan pakaian ihram, mereka tampak dalam satu pakian yang sama, tidak


ada perbedaan antara yang tua dan yang muda, yang kaya dan yang miskin,


raja dan rakyat, semuanya mengahadap ke satu kiblat, berdoa kepada satu


Tuhan, melakukan satu amal; berupa thawaf, sa'i, wukuf di arafah, bermalam


di muzdalifah, Mina dan masya'ir yang lainnya serta kesamaan di dalam


menjalankan ibadah-ibadah lainnya yang dilakukan oleh para jamaah haji.


Jika perkumpulan umat Islam pada satu kiblat merupakan simbol


persatuan abadi dan penanaman rasa kesatuan bagi kaum muslimin, maka


ibadah haji memwujudkan persatuan ini dengan berkumpulnya umat Islam


secara lahir dan batin; bukan sekedar perkumpulan yang bersifat simbolis


bagi perasaan semata, akan tetapi dia mewujudkan persatuan ini dengan


berkumpul dan bertemu dengan jiwa dan jasad, setelah sebelumnya


persatuan tersebut tercipta dengan perasaan. Selain itu, ia juga menciptakan


persamaan ketika semua jemaah haji menanggalkan pakaian mereka (masingmasing),


pakaian yang menjadikan antara manusia berbeda ketika


mamakainya; pakaian itu memperlihatkan wibawa pemuka agama, kekuasaan


seorang tentara, dan kedudukan para petinggi. Dengan pakaian, orang yang


kaya raya akan tanpak berbeda dengan orang yang fakir, para pembesar


dengan orang kecil. Sehingga, setelah setiap pribadi menanggalkan pakaian


mereka masing-masing, maka meleburlah mereka dalam satu tingkatan, yaitu


sebagai jamaah haji kaum muslimin. Di padang Arafah, tidak (pantas) kita


mengatakan kepada seorang pemimpin: Wahai pemimpin yang mulia, tidak


juga kepada seorang prisiden: Wahai presiden yang terhormat, tidak juga


kepada seorang direktur: Wahai direktur yang terhormat. Kita tidak


berkomunikasi dengan seorang penguasa dengan mengungkapkan kata


kebesaran. Tidak ada di padang Arafah orang yang tetap mengaku sebagai


penguasa, direktur, orang kaya, orang miskin, tua dan muda.


Islam telah menghapuskan perbedaan yang disebabkan oleh pakaian,


tempat tinggal dan gelar di padang Afarah. Di mana hal ini tidak pernah


dikenal sejak terdahulu kecuali di dalam ibadah haji yang Islami. Terkadang


manusia datang dengan jumlah yang besar dalam pertemuan internasional,


pameran umum, pesta-pesta pertandingan dan acara-acara tradisional


lainnya, bahkan terkadang jumlah mereka menyamai jumlah para jamaah


haji, akan tetapi mereka datang dengan membawa tujuan duniawi mereka


masing-masing yang menyebabkan mereka berbeda dalam pakaian yang


14


mereka kenakan, hotel yang mereka tinggali, dan kendaraan yang mereka


tumpangi.


Namun, di dalam ibadah haji, semuanya tunduk pada satu aturan,


setiap mereka berkumpul di tempat tertentu yang sama, melakukan amal


yang sama, pada waktu tertentu, tidak ada kelebihan bagi seseorang atas


yang lain. Rasulullah  telah menunaikan haji bersama umat Islam,


mengajarkan kepada umat ini bagaimana cara mereka berhaji, dimana beliau


bersabda:





« Ambillah dariku cara kalian melakukan ibadah haji » (HR. Muslim).


Beliau telah menggambarkan kepada mereka dengan manasik ini sebuah


bentuk persatuan yang paling indah, dan wujud persamaan yang paling


tinggi, dalam sebuah pemandangan yang mana matahari tidak pernah melihat


gambaran yang sebanding dengannya.


Masyarakat muslim berhimpun dan membentang menjadi satu sekali


dalam satu tahun, yaitu pada musim haji, mereka adalah masyarakat dunia


yang terbuka, mengumpulkan semua bangsa-bangsa di dunia di sekitar


ka'bah, haji merupakan mukmatar internasional yang tidak pernah dikenal


oleh dunia kecuali dalam pelaksanaan haji, jamaah haji dengan berbagai


warna, jenis dan bahasa mengumandangkan talbiyah, tahlil, takbir, tasbih


dan pujian bagi Tuhan Yang Maha Esa lagi Maha Tinggi dan Maha Besar.


Dalam suasana yang indah dengan ketakwaan ini, ketika mereka


sedang menunaikan ibadah haji, kaum muslimin merasakan bahwa mereka


adalah hamba Allah, datang dari berbagai penjuru dunia, mengharapkan


ridha Allah  dan melaksanakan perintahNya dengan haji: Mengerjakan haji


adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup


mengadakan perjalanan ke Baitullah. (QS. Ali Imran: 97)


Dan dengan amal ibadah yang mereka laksanakan di dalam ibadah haji,


mereka menegaskan tentang kesatuan orientasi mereka, yaitu menghadap


kepada Allah, di mana hal ini merupakan wujud persatuan yang paling tinggi


yang dikenal oleh manusia, dan dengannyalah tercipta keunggulan umat ini,


sekalipun mereka berbeda dalam warna kulit, bahasa dan jenis: Kamu


adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada


yang ma'ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah.


(QS. Ali Imran: 110)


Luasnya pemahaman ibadah dalam Islam


Di dalam Islam ibadah bukan hanya terbatas pada syi'ar dan amal-amal


yang bersifat ubudiah, akan tetapi mencakup pelaksanaan semua hukum


Islam, penghambaan kepada Allah tidak tercipta secara sempurna kecuali


dengan melaksanakan syari'at secara keseluruhan, mempraktekkan dan


melaksanakan hukum-hukumnya, menghadirkan perasaan merendah dan


15


ubudiah kepada Allah Yang Maha Esa dalam melaksanakan semua hukum


ini.


Sayyid Quthb berkata tentang makna ubudiah kepada Allah: ((Kalau


hakikat ibadah hanya sekedar syi'ar ibadah semata, maka hal itu tidak


membutuhkan diutusnya para rasul dan risalah yang mereka bawa, serta


tidak membutuhkan kepada perjuangan yang sulit yang dilakukan oleh para


rasul, dan tidak perlu adanya tantangan dan rintangan yang menghalangi


para da'i dan orang-orang yang beriman sepanjang masa!. Yang berhak


mendapat harga yang tinggi adalah mengeluarkan manusia dari


penghambaan kepada manusia, dan mengembalikan mereka kepada


penghambaan kepada Allah Yang Maha Esa dalam setiap aspek dan urusan,


serta dalam manhaj hidup mereka secara keseluruhan baik di dunia dan


akhirat.


Sesungguhnya dalam rangka menegakkan tauhid uluhiyah, tauhid


rububiyah, tauhid di dalam kepemimpinan, bertauhid di dalam menegakkan


hukum, bertauhid di dalam sumber syari'at, bertauhid di dalam manhaj


kehidupan dan bertauhid di dalam kiblat yang dengannya manusia bisa


beragama secara menyeluruh … sungguh tauhid inilah yang menjadi tujuan


diutusnya para rasul, dikorbankannya segala usaha untuk mewujudkan


tujuan tersebut, semua penderitaan ditanggung demi menegakkannya


sepanjang masa, bukan karena Allah  perlu padanya, Allah tidak butuh


kepada alam semesta, akan tetapi karena kehidupan manusia tidak akan


baik, tidak akan tegak lurus, tidak mulia dan tidak layak bagi manusia


kecuali dengan tegakknya tauhid ini, yang pengaruhnya tidak terbatas pada


kehidupan manusia dalam segala segmen kehidupannyan.


Beragama kepada Allah membebaskan manusia dari beragama kepada


selain Allah, dan mengeluarkan manusia dari mengamba kepada makhluk


menuju pengambaan diri kepada Allah Yang Maha Esa. Dengan demikian


inilah manusia akan meraih kemuliaan dan kemerdekaan yang hakiki, di


mana kebebasan dan kemuliaan ini tidak bisa didapatkan dalam aturan


mana saja selain di dalam Islam, dimana manusia saling menyembah satu


sama lain dengan berbagai macam bentuknya, baik penghambaan di dalam


keyakinan, atau penghambaan di dalam perasaan, atau penghambaan di


dalam syari'at. Semua ini adalah pengahambaan di mana yang satu seperti


yang lain, leher ditundukkan kepada selain Allah, dengan menundukkannya


agar mengikuti dalam segala sisi kehidupan kepada selain Allah.


Manusia tidak bisa hidup tanpa beragama, manusia mesti mempunyai


agama, orang yang tidak menyembah Allah, ia akan terjatuh kepada


penyembahan kepada selain Allah, dalam segala aspek kehidupan.


Mereka terjatuh pada perangkap hawa nafsu dan syahwat mereka yang


tanpa batas. Karena itulah mereka kehilangan keistimewaan mereka sebagai


manusia dan masuk ke dalam golongan hewan.


16


Dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti


makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka. (QS.


Muhammad: 12)


Manusia tidak akan pernah merugi seperti kerugian mereka ketika


kehilangan kemanusiaanya, dan masuk ke dalam golongan alam hewan,


inilah yang terjadi ketika manusia terlepas dari penghambaan kepada Allah


semata lalu terjatuh pada penyembahan kepada hawa nafsu dan syahwat:


Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya


sebagai Tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?,


(QS. al Furqaan: 43).


Kemudian, mereka mesti terjatuh sebagai mangsa bagi berbagai macam


penghambaan kepada hamba; mereka terjerumus untuk menghambakan diri


kepada para penguasa dan peminpin yang membuat aturan uintuk diri


mereka sendiri, di mana tidak ada tujuan bagi mereka kecuali kepentingan


mereka sendiri –baik hal ini terwujud dalam seorang penguasa, atau


sekelompok orang-orang yang berkuasa, atau keluarga penguasa- hal ini


tanpak jelas dari prikehidupan manusia secara umum yang memperlihatkan


fenomena ini dalam setiap aturan buatan manusia, yang tidak bersumber dari


Allah , dan tidak terkait dengan syari'at Allah.


Namun demikian, penghambaan tersebut tidak akan berhenti pada


penghambaan kepada para pemimpin dan orang-orang yang membuat


undang-undang… ini adalah bentuk yang paling nyata!, akan tetapi bukan


sebatas itu! Penghambaan kepada manusia masih terwujud dalam bentuk lain


yang tersembunyi, namun bisa jadi dia lebih kuat dan lebih melekat serta


lebih keras dari bentuk ini! Misalnya penghambaan kepada para perancang


mode dan pakaian, kekuasaan apa yang mereka miliki atas kebanyakan


manusia? Semua yang mereka namakan orang-orang maju… Sesungguhnya


mode yang dibuat oleh tuhan-tuhan pemuja mode berupa pakaian,


kendaraan, bangunan, pemandangan, atau pesta… dan seterusnya, sungguh


merupakan bentuk penghambaan penghambaan yang keji, tidak ada jalan


bagi orang jahiliyah baik laki-laki maupun wanita untuk bisa terlepas darinya,


atau berpikir untuk tidak terpengaruh dengannya! Kalau seandainya manusia


tunduk kepada Allah dengan sebagaian bentuk penghambaan mereka kepada


para perancang mode, niscaya dengan hal itu, mereka menjadi para ahli


ibadah yang bersungguh-sungguh. Maka bentuk ketundukan manakah yang


bisa dikatakan penghambaan kalau bukan ini?


Terkadang manusia melihat seorang wanita malang mengenakan


pakaian yang mempertontonkan auratnya, padahal pada saat yang sama hal


itu tidak sesuai dengan model dan bentuk pribadinya, ia berdandan dengan


sesuatu yang membuatnya menjadi buruk atau menjadikannya sebagai bahan


ejekan orang lain. Akan tetapi karena penghambaan terhadap para perancang


mode dan modelis telah menguasai dirinya dan menghinakannya pada


kehinaan seperti ini sehinga dia tidak mampu untuk menghadapinya dan


17


tidak pula kuat untuk menolak penghambaan tersebut, karena semua


masyarakat di sekitarnya menghambakan diri kepadanya, maka ketundukan


manakah yang dimaksud dengan penghambaan jika bukan ketundukan


seperti ini? Bagaimana kerajaan dan ketuhanan jika bukan itu?


Dalam setiap keadaan, kondisi, dan aturan di mana manusia


menghambakan dirinya kepada sesama manusia, maka mereka (pada saat


yang bersamaan telah) mengorbankan harta dan jiwa mereka sebagai


harganya, mereka membayarnya kepada tuhan yang bermacam-macam.


Penghambaan adalah suatu kemestian!; Jika tidak kepada Allah, maka


seseorang akan menghambakan diri kepada selain Allah. Dan penghambaan


kepada Allah akan membentuk manusia menjadi merdeka, mulia, dan


terhormat. Pemghambaan kepada selain Allah akan menghancurkan derajat


kemanusiaan, kemuliaan dan kehormatan manusia, sehingga akibatnya,


menghancurkan harta dan maslahat mereka sendiri)) (2).


Jika undang-undang masyarakat muslim adalah syari'at Islam, maka


pelaksanaan hukum dan taat kepada peraturan ini di dalam masyarakat


muslim merupakan ibadah dan ketaatan kepada Allah, bukan wujud


kepatuhan dan ketundukan kepada aturan yang dibuat oleh dewan


permusyawaratan rakyat, tidak pula kepada keputusan penguasa atau


pemerintah, inilah perbedaan besar (yang membedakan) antara hukum


syari'at dan hukum buatan manusia, di mana taat kepada yang pertama


merupakan ibadah dan ketaatan pada peraturan, sementara (taat kepada)


yang kedua hanya merupakan ketaatan kepada peraturan semata.


Dari sisi inilah, muncul keistimewaan masyarakat musilm dalam


kesiagaan pribadi masyaraktnya untuk segera mentaati peraturan dan hukum


dengan jiwa yang suka rela, karena orang yang melanggar aturan dan hukum


ini merasa bahwa dirinya telah bermaksiat kepada Allah, melanggar perintah


dan mengingkari janji kepadaNya:


Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada


Allah dan rasul-Nya agar Rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah


ucapan. "Kami mendengar, dan kami patuh". dan mereka Itulah orang-orang


yang beruntung. (QS. an Nuur: 51)


Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu (QS. al Maidah: 1)


Dan penuhilah janji; Sesungguhnya janji itu pasti diminta pertanggungan


jawabnya. (QS. al Isra': 34).


Oleh karena itulah, para da'I Islam yang jujur pada masa ini, berusaha


menerapkan syari'at Islam secara keseluruhan, karena penerapan syari'at


inilah yang menjadi standar yang membedakan masyarakat muslim dengan


masyarakat-masyarakat lainnya.


Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa


yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.


(2) Fii dzilal al qur'an oleh Sayyid Quthb: 1938-1943.


18


dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan


kamu dari sebahagian apa yang Telah diturunkan Allah kepadamu. (QS. al


Maidah: 49)


Tidak cukup dengan menjadikan hukum buatan manusia sehingga


menyerupai hukum syari'at agar bisa diterapkan dalam masyarakat muslim.


Oleh karena itulah, salah seorang ulama fiqh dalam sebuah gerakan Islam


menjawab ketika ditanya: Apakah tidak mungkin menerapakan hukum


buatan manusia yang menyerupai hukum syari'at Islam?. Beliau menjawab:


"Tidak boleh menerapkan hukum buatan manusia walaupun menyerupai


hukum syari'at, karena kita dituntut untuk menerapkan syari'at Islam, bukan


yang menyerupainya, Allah berfirman: Dan hendaklah kamu memutuskan


perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah


kamu mengikuti hawa nafsu mereka … dan Allah tidak mengatakan dengan


yang menyerupai apa yang diturunkan oleh Allah.


Syari'at Islam adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan, tidak boleh


menerapkan sebagiannya dan meninggalkan sebagian yang lain, walaupun


yang ditinggalkan ini seperseribunya. Kita diperintahkan untuk mengambil


syari'at Islam yang sebenarnya, bukan undan-undang yang meyerupainya,


walaupun memiliki titik kesamaan yang banyak.


Urgensi persoalan ini menjadi bertambah, karena dia berkaitan dengan


ibadah kepada Allah yang tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk


beribadah kepadaNya: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan


supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. adz dzariyaat: 56)


Sesungguhnya agama Allah yang satu, yang diturunkan oleh Allah


kepada umat manusia dalam waktu dan kurun yang panjang didasari oleh


satu kaidah yang permanen, yaitu agama tersebut diterapkan secara


keseluruhan, bukan secara parsial. Ketika Bani Israil berkeras kepala


melakukan penentangan, tipu daya dan penipuan agar mereka bisa


menerapkan hukum yang sesuai dengan keinginan mereka dan meninggalkan


apa yang tidak cocok bagi mereka, maka Allah mengingkari perbuatan buruk


mereka ini, dan mengancam mereka dengan kehinaan dalam kehidupan


dunia, dan siksa yang pedih di akhirat. Kita mendapatkan hal ini dalam


firman Allah:


Apakah kamu beriman kepada sebahagian Al Kitab (Taurat) dan ingkar


terhadap sebahagian yang lain? tiadalah balasan bagi orang yang berbuat


demikian daripadamu, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada


hari kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak


lengah dari apa yang kamu perbuat (QS. al Baqarah: 85)


Ini adalah kaidah yang permanent dan tetap berlaku, yaitu agar agama


diambil secara keseluruhan, tidak boleh ada sediktipun yang ditolak, dan


penolakan terhadap suatu bentuk hukum yang bersifat pasti (qath'i) dari


hukum-hukum syari'at, yang telah diketahui dari agama secara pasti, maka


19


hal itu adalah kekufuran terhadap Islam yang bisa mengeluarkan seseorang


dari keislamannya, dan mengeluarkannnya dari barisan orang-orang beriman,


dan keluar dari masyarakat yang menghambakan diri mereka kepada Allah.


Islam adalah jalan hidup yang bersifat universal, tidak hanya sebatas


perkara ibadah dan syi'ar semata, akan tetapi mencakup aktifitas-aktifitas


sosial yang dianjurkan oleh Islam, yaitu mencakup hubungan seorang


muslim dengan kedua orang tuanya, isterinya, anak-anaknya, saudarasaudaranya,


teman-temannya, semua keluarga dan semua anggota


masyarakat. Mengamalkan hal itu sesuai dengan syari'at merupakan ibadah.


Maka seorang muslim yang benar, semua aktifitasnya adalah ibadah,


dan kewajiban-kewajiban yang ditunaikannya jika niatnya baik, maka itu


merupakan ibadah, mempelajari ilmu dan mengajarkannya, berdakwah


kepada Allah, mendidik anak dan membinanya, mengurusi keluarga, berbuat


baik kepada manusia, berkorban dalam membantu mereka, memberikan


solusi terhadap orang-orang yang kesusahan dan kebingungan, memberikan


manfaat kepada orang lain dengan amal yang dibolehkan, mencari rezeki yang


halal, itu semua merupakan ibadah kepada Allah  jika niatnya baik.


Masyarakat muslim tegak di atas manhaj yang universal ini, dan


menanamkan bentuk hubungan sosial seperti kepada manusia, sehingga dia


tercermin hidup di dalam perilaku, di mana mereka menghiasi diri dengannya


dan menerapkannya dalam kehidupan mereka; tidak hanya sekedar


perkataan, aturan, filsafat dan teori yang dihimpun dalam buku-buku. Realita


inilah yang telah dirasakan oleh bangsa Arab yang musyrik pada saat


datangnya Islam dan mereka mendengar hukum-hukum dan syari'at Islam


dari lisan Rasulullah , mereka merasakan bahwa mereka berhadapan


dengan manhaj hidup yang sempurna dan menyeluruh, yang akan


menggantikan tradisi, budaya dan gaya hidup mereka. Oleh karena itulah


timbul permusuhan antara umat Islam dan orang-orang musyrik, dan suku


Quraisy berusaha menghalangi bangsa Arab agar mereka tidak masuk ke


dalam agama yang baru ini, yang akan merubah kehidupan mereka secara


total, dan mengeluarkan mereka dari kegelapan kepada cahaya.


Seandainya Rasulullah  yang mulia dan para sahabatnya hanya


menunaikan ritual keagamaan tanpa memasuki urusan sosial, pemikiran,


politik dan ekonomi, niscaya tidak akan terjadi permusuhan antara mereka


dengan orang-orang Arab yang musyrik, dan umat Islam tidak akan terpaksa


untuk berhijrah dengan menanggung kesulitan yang besar dan pengorbanan


yang agung agar mendapat kesempatan di Madinah untuk mendirikan


masyarakat muslim yang dibawa oleh Islam; sebuah masayarakat yang


dibangun atas dasar prinsip-prinsip Islam yang orisinil, dan ini semua


termasuk ibadah di dalam Islam.


Di dalam tuntunan Islam, semua ibadah memiliki hubungan sinergis


dengan masyarakat. Oleh karena itulah, shalat berjamaah lebih besar


pahalanya dibandingkan dengan shalat sendirian, dan shalat jum'at


20


merupakan kewajiban setiap individu yang harus dilaksanakan oleh setiap


muslim, dimana umat Islam berkumpul pada sebuah masjid jami' guna


mendengarkan khutbah jum'at sebelum shalat. Demikian pula dengan ibadah


puasa dan haji, di mana umat Islam melaksanakannya dalam bingkai jama'ah


sangat unik, sebagaimana telah ditegaskan dalam pemabahasan sebelumnya.


Islam mewajibkan berbagai ibadah bagi manusia untuk mensucikan


hatinya, mendidik jiwanya, dan mengantarkannya kepada ridha Tuhannya ,


semua ini tidak bisa dicapai oleh manusia kecuali jika dia jujur kepada Allah


di dalam menjalankan ibadah-ibadahnya, yang dengannya dia mengharapkan


ridha Tuhannya. Dengan dasar inilah Islam memerangi sikap dusta dalam


beragama, yaitu sikap beragama yang tidak menghunjam ke dalam jiwa


manusia yang dengannya jiwa menjadi suci dan perilaku menjadi bersih,


tegak di atas ketaatan kepada Allah, melaksanakan perintahNya, menjauhi


laranganNya, serta (memerangi sikap beragama yang) tidak (mengarahkan


(seseorang) kepada mengamalkan manhaj Islam secara totalitas di dalam


semua sendi kehidupan.


Oleh karena itulah terdapat ancaman keras bagi orang-orang yang


shalat, yaitu orang yang keluar dari masjid dengan tujuan ingin mendapat


pujian orang lain (riya'), dan mencegah kebaikan dari orang yang berhak


menerimanya: Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang


yang menghardik anak yatim, Dan tidak menganjurkan memberi makan orang


miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, (yaitu) orang-orang


yang lalai dari shalatnya, Orang-orang yang berbuat riya, Dan enggan


(menolong dengan) barang berguna. (QS. al Ma'un: 1-7)


Selain itu, terdapat ancaman keras bagi yang curang di dalam


menimbang, dengan mengurangi timbangan: Kecelakaan besarlah bagi orangorang


yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari


orang lain mereka minta dipenuhi, Dan apabila mereka menakar atau


menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi. Tidaklah orang-orang itu


menyangka, bahwa Sesungguhnya mereka akan dibangkitkan, Pada suatu hari


yang besar, (yaitu) hari (ketika) manusia berdiri menghadap Tuhan semesta


alam? (QS. al Muthaffifiin: 1-6)


Maka dengan realita seperti, akan tampak sebuah perbedaan yang jelas


dan jauh antara masyarakat muslim yang benar dan berbagai masyarakat


lainnya dalam kedisiplinan anggota masyarakatnya dalam bersikap


istiqamah, jujur, amanat, adil dan nilai-nilai luhur Islam lainnya. Semua ini


termasuk di dalam bingkai ibadah yang dibawa oleh Islam, dan


menjadikannya sebagai tujuan diciptakannya jin dan manusia: Dan Aku


tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi


kepada-Ku. (QS. adz Dzariyaat: 56).


Sebab, Islam memperluas makna ibadah di dalam ayat yang mulia ini,


karena tidak masuk akan kalau maknanya adalah Allah tidak menciptakan jin


dan manusia kecuali untuk berdiam di masjid untuk mendirikan shalat


21


sepanjang siang dan malam, akan tetapi Allah bekehendak: agar mereka


menghabiskan umur mereka dalam membangun alam ini, mengembangkan


kehidupan, menebarkan petunjuk dan kebaikan, mereka mencari ridha Allah,


melaksanakan perintahNya, menjauhi laranganNya, dan inilah penghambaan


kepada Allah.



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i