Mengikuti Syari'at Allah Tiang
Keimanan
Muqodimah
Segala puji hanya untuk Allah Ta'ala, shalawat serta
salam semoga tercurah kepada Nabi Muhammad Shalallahu’alaihi
wa sallam beserta keluarga dan seluruh sahabatnya.
Dari Abu Muhammad ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash Radhiyallahu
anhuma, ia berkata, “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda, ‘Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian
sehingga keinginannya mengikuti apa yang aku bawa.’” [Hadits
hasan shahih yang kami riwayatkan dalam kitab al-Hujjah[1]
dengan sanad shahih]
TAKHRIJ HADITS
Hadits ini diriwayatkan oleh al-Baghawi dalam Syarhus
Sunnah, no.104; Ibnu Abi Ashim dalam as-Sunnah, no.15; Hadits
ini didha’ifkan (dilemahkan) oleh Syaikh al-Albani dalam Zhilalul
4
Jannah fii Takhrijis Sunnah, no.15 dan Hidayatur Ruwat ila Takhriji
Ahaditsil Mashabih wal Misykat, I/131, no. 166.
Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Menganggap hadits
ini shahih merupakan anggapan yang jauh (dari kebenaran)
karena beberapa alasan :
Hadits ini hanya diriwayatkan oleh Nu’aim bin Hammad
al-Marwazi rahimahullah. Kendati Nu’aim bin Hammad ini
dianggap sebagai perawi terpercaya oleh sejumlah imam dan
haditsnya diriwayatkan imam Bukhari, karena para ulama hadits
berbaik sangka kepadanya disebabkan keteguhannya diatas
sunnah dan ketegasannya dalam menentang para pengikut hawa
nafsu (ahlul bid’ah). Karenanya, para Ulama hadits mengatakan
bahwa Nu’aim keliru dan ragu pada sebagian hadits. Mereka
menemukan beberapa haditsnya yang mungkar, maka mereka
memvonis Nu’aim sebagai perawi dha’if.
Shalih bin Muhammad al-Hafizh rahimahullah
meriwayatkan dari Ibnu Ma’in rahimahullah yang pernah ditanya
tentang Nu’aim kemudian beliau rahimahullah menjawab, “Ia
tidak ada apa-apanya, namun ia pengikut sunnah.” Shalih berkata,
“Nu’aim bin Hammad al-Marwazi menceritakan hadits dari
hafalannya dan mempunyai banyak hadits mungkar yang belum
5
disetujui.” Abu Dawud rahimahullah berkata, “Nu’aim mempunyai dua puluh hadits yang tidak ada asalnya.” An-Nasa-i rahimahullah berkata, “Ia perawi dha’if.” Di lain waktu beliau mengatakan, “Ia bukan perawi terpercaya.” Imam an-Nasa'i juga pernah berkata, “Ia banyak meriwayatkan beberapa hadits seorang diri dari para imam terkenal, sehingga ia masuk dalam kategori perawi yang tidak bisa dijadikan sebagai hujjah.” Abu Zur’ah ad-Dimasyqi rahimahullah berkata, “Ia menyambungkan sanad hadits, padahal hadits tersebut dianggap mauquf oleh para ulama.” Maksudnya, ia menjadikan hadits mauquf menjadi marfu’. Abu Arubah al-Harrani rahimahullah berkata, “Masalah orang ini tidak jelas.” Abu Sa’id bin Yunus rahimahullah berkata, “Ia meriwayatkan hadits-hadits mungkar dari para perawi terpercaya.” Ulama lain berkata bahwa Nu’aim bin Hammad al-Marwazi membuat hadits-hadits palsu.[2]
Sanad Nu’aim bin Hammad al-Marwazi diperdebatkan. Hadits tersebut diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi dari Hisyam. Hadits tersebut juga diriwayatkan darinya dari ats-Tsaqafi yang berkata, sebagian guru-guru kami, Hisyam dan lain-lain, berkata kepada kami. Menurut riwayat tersebut, guru ats-Tsaqafi tidak dikenal. Hadits tersebut juga diriwayatkan dari Nu’aim bin Hammad al-Marwazi dari ats-Tsaqafi yang berkata, sebagian guru-
6
guru kami berkata kepada kami, Hisyam dan lain-lain berkata kepada kami. Menurut riwayat ini, ats-Tsaqafi meriwayatkan hadits tersebut dari guru yang tidak diketahui namanya dan gurunya meriwayatkannya dari perawi yang tidak dikenal. Jadi, ketidakjelasan perawi semakin bertambah dalam sanad hadits ini. Dalam sanad hadits tersebut terdapat perawi ‘Uqbah bin Aus as-Sadusi al-Bashri. Ada yang mengatakan, Ya’qub bin Aus. Abu Dawud, an-Nasa-i, dan Ibnu Majah rahimaullah meriwayatkan haditsnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr Radhiyallahu anhu dan ada yang mengatakan ‘Abdullah bin ‘Umar Radhiyallahun anhuma. Jadi, ada kerancuan dalam sanadnya. Ia dianggap sebagai perawi terpercaya oleh al-‘Ijli, Ibnu Sa’ad, dan Ibnu Hibban rahimahullah. Ibnu Khuzaimah berkata, “Ibnu Sirin kendati mulia meriwayatkan hadis darinya.” Ibnu ‘Abdil Barr berkata, “Ia Majhul (tidak diketahui identitasnya).” Al-Ghullabi berkata dalam Tarikh-nya, “Para ulama menduga bahwa ‘Uqbah bin Aus tidak mendengar hadits tersebut dari ‘Abdullah bin ‘Amr, namun ia mengatakan mendengarnya dari ‘Abdullah bin ‘Amr.” Jika demikian, riwayat ‘Uqbah bin Aus dari ‘Abdullah bin ‘Amr terputus. Wallaahu a’lam.”[3]
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata tentang hadits ini: “Ini adalah kesalahan, sanadnya dha’if karena ada Nu’aim bin
7
Hammad, dia adalah perawi yang dha’if. Al-Hafizh Ibnu Rajab memberinya ‘illat (cacat) bukan dengan ‘illat ini saja (tapi juga dengan ‘illat yang lain) karena mengomentari an-Nawawi yang menshahih-kannya. Silahkan lihat kitabnya Jaami’ul ‘Uluum wal Hikam, kemudian penyandaran riwayat yang disebutkan oleh penulis al-Misykaat kepada yang beliau sebutkan membuat sebuah opini bahwa tidak ada perawi yang lebih tinggi tingkatannya yang meriwayatkan hadits ini daripada Imam an-Nawawi dan al-Baghawi. Dan kenyataannya tidak seperti itu, al-Hasan bin Sufyan telah meriwayatkan dalam al-Arba’iin dan dia termasuk yang mengambil dari Ahmad dan Ibnu Ma’in. Dan al-Qasim Ibnu Asakir juga meriwayatkannya dalam Arba’iin, dan dia berkata: Hadits ini gharib.”[4]
Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits hasan shahih dan kami riwayatkannya dari kitab al-Hujjah dengan sanad yang shahih.” Ibnu Rajab rahimahullah mengomentari penilaian Imam an-Nawawi ini dengan mengatakan, “Hadits ini tidak shahih.” Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menganjurkan agar kaum Muslimin membaca syarah Ibnu Rajab dan komentarnya terhadap derajat hadits ini dalam kitab al-Arba’iin. Sebab Ibnu Rajab rahimahullah termasuk pakar hadits. Apabila ia menilai beberapa hadits yang disebutkan Imam an-Nawawi rahimahullah
8
itu cacat, maka kita akan mengetahui alasan beliau rahimahullah
melemahkannya. Jadi kesimpulannya, HADITS INI DHA’IF
(LEMAH).
Akan tetapi makna hadits ini benar, sebab hawa nafsu
manusia harus mengikuti risalah yang dibawa oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam.[5] Hadits shahih yang semakna
dengan hadits di atas yaitu sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa
sallam:
Tidak beriman (dengan sempuna) salah seorang dari kalian
hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya dan
semua manusia[6]
SYARAH HADITS.
Makna hadits di muka yaitu seseorang tidak akan bisa
meraih keimanan yang sempurna kecuali kalau kesukaannya
sudah sejalan dengan syari'at yang dibawa oleh Rasulullah
Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Artinya, ia suka atau mencintai
semua perintah Nabi dan membenci semua larangan beliau.
Kandungan makna seperti ini disebutkan dibanyak tempat dalam
al-Qur'an. Allah Azza wa Jalla berfirman:
Demi Rabb-mu, mereka tidak (disebut) beriman hingga mereka
menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara
yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang engkau
berikan dan mereka menerima dengan sepenuhnya. [an-Nisa’/4:
65]
Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan
yang mukmin, apabila Allah dan Rasul -Nya telah menetapkan
suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka
tentang urusan mereka [al-Ahzab/33: 36]
Allah Shubhanahu wa ta’alla mengecam orang-orang yang
membenci apa yang Allah Azza wa Jalla cintai dan mencintai apa
yang Allah Azza wa Jalla benci. Allah Azza wa Jalla berfirman :
Yang demikian itu karena mereka membenci al-Qur'an yang
diturunkan Allah, maka Allah menghapus segala amal mereka
[Muhammad/47: 9]
Juga firman-Nya:
"Yang demikian itu, karena sesungguhnya mereka mengikuti apa
yang menimbulkan kemurkaan Allah dan membenci (apa yang
menimbulkan) keridhaan -Nya, sebab itu Allah menghapus segala
amal mereka.” [Muhammad/47:28].
Jadi, setiap mukmin wajib mencintai apa yang dicintai Allah
Shubhanahu wa ta’alla. Kecintaan ini menuntut mereka untuk
melaksanakan kewajiban mereka terhadap Allah Azza wa Jalla .
Jika cintanya bertambah, maka ia akan terdorong untuk
mengerjakan yang sunnah. Seorang mukmin juga harus
membenci apa yang dibenci Allah Shubhanahu wa ta’alla,
minimal dengan kebencian yang bisa menahannya dari segala
yang diharamkan Allah Shubhanahu wa ta’alla. Jika rasa benci ini
bertambah hingga mampu mengerem dirinya dari segala yang
makruh, maka itu merupakan nilai lebih yang harus disyukuri.
11
Ketika menjelaskan hadits riwayat Imam Bukhari dan
Muslim yang artinya, "Tidak sempurna iman salah seorang dari
kalian hingga aku lebih dicintai daripada orang tuanya, anaknya
dan semua manusia." Imam Ibnu Rajab rahimahullah
mengatakan, “Cinta kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam merupakan pokok (prinsip) keimanan dan ia
bersanding dengan cinta kepada Allah Azza wa Jalla . Allah
Shubhanahu wa ta’alla juga mengaitkan cinta kepada Nabi -Nya
dengan cinta kepada -Nya serta mengancam orang-orang yang
mendahulukan cinta kepada keluarga, harta dan tanah air
daripada cinta kepada Allah Azza wa Jalla dan Rasul -Nya.
Allah Azza wa Jalla berfirman :
Katakanlah, ‘Jika bapak-bapakmu, anak-anakmu, saudara-saudaramu, istri-istrimu, keluargamu, harta yang kamu usahakan, perdagangan yang kamu khawatirkan kerugiannya serta rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul -Nya serta berjihad di jalan -Nya, maka
12
tunggulah sampai Allah memberikan keputusan -Nya...’” [at-
Taubah/9:24]
Begitu juga ketika ‘Umar Radhiyallahu anhu datang
kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam seraya
berkata, "Wahai Rasulullah, engkau lebih aku cintai dari segala
sesuatu kecuali diriku." Kemudian Nabi Muhammad Shalallahu
‘alaihi wa sallam berkata, “Tidak wahai ‘Umar, sampai aku lebih
engkau cintai daripada dirimu sendiri.” Lalu ‘Umar Radhiyallahu
anhu berkata, ‘Demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai
daripada diriku sendiri.’ Maka Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi
wa sallam berkata, “Sekarang wahai ‘Umar”[7]. Jadi,
mengedepankan cinta kepada Beliau daripada cinta kepada diri,
anak, keluarga, harta, dan lainnya merupakan sebuah kewajiban.
Dan cinta kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak
sempurna kecuali dengan mentaati perintah beliau. Allah Azza wa
Jalla berfirman :
Katakanlah (Muhammad), ‘Jika kamu mencintai Allah, ikutilah
aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu.’
Allah Maha pengampun, Maha penyayang.” [Ali ‘Imran/3:31]
13
Tanda mengedepankan cinta kepada Rasul ialah apabila terjadi pertentangan antara perintah Rasul dengan sesuatu yang dia cintai, kemudian dia lebih memilih taat kepada Rasul. Ini merupakan bukti dari pengakuan cintanya kepada Rasul. Akan tetapi sebaliknya, jika ia lebih mengedepankan kesenangan dunia yang ia cintai daripada mentaati Rasul, maka ia belum menunaikan kewajiban iman yang dibebankan kepadanya.”[8] Al-Hasan rahimahullah ketika menjelaskan ayat 31 dari surat Ali ‘Imran, beliau berkata, “Para Shahabat Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami sangat mencintai Rabb kami.’ Allah Shubhanahu wa ta’alla ingin menjadikan bukti cinta kepada -Nya kemudian menurunkan ayat tersebut.”[9] Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa Nabi Muhammad Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
Tiga perkara, apabila ada pada diri seseorang, maka dia akan
merasakan manisnya iman;(1) Allah dan Rasul -Nya lebih ia cintai
daripada yang lain,(2) ia tidak mencintai seseorang melainkan
karena Allah, dan(3) ia benci kembali kepada kekafiran setelah
Allah menyelamatkannya dari kekafiran tersebut sebagaimana ia
benci dilemparkan ke neraka.[10]
Ibnu Rajab rahimahullah berkata, “Sesungguhnya
manusia akan merasakan manisnya iman apabila hatinya bersih
dari penyakit. Apabila hati bersih dari nafsu yang menyesatkan
dan syahwat yang diharamkan, maka saat itu, hati akan
merasakan manisnya iman. Sebaliknya, bila hati sakit atau kotor,
maka ia tidak merasakan manisnya iman, bahkan ia merasa
nyaman dengan maksiat dan hawa nafsu yang akan menyeretnya
ke lembah kebinasaan.”[11]
Barangsiapa mencintai Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya dengan tulus dari lubuk hati, mestinya dia mencintai semua yang dicintai Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya serta membenci apa saja yang dibenci Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya. Cinta ini juga menyebabkan dia ridha terhadap semua yang diridhai Allah Shubhanahu wa ta’alla dan
15
Rasul -Nya serta murka kepada semua yang dimurkai Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul-Nya lalu rasa cinta dan rasa benci ini diwujudkan dengan amalan fisik. Jika amalan fisiknya bertentangan dengan itu semua, misalnya ia mengerjakan sebagian yang dibenci Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya, atau meninggalkan sesuatu yang dicintai Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya padahal itu wajib dan ia mampu mengerjakannya, maka itu menunjukkan cintanya kurang sempurna. Oleh karena itu, ia wajib bertaubat kepada Allah Azza wa Jalla dan kembali menyempurnakan cinta yang wajib. Abu Ya’qub an-Nahrajuri rahimahullah berkata, “Siapa saja yang mengaku mencintai Allah Shubhanahu wa ta’alla, namun tidak menyesuaikan diri dengan Allah Shubhanahu wa ta’alla dan perintah -Nya, maka pengakuannya tidak benar. Setiap orang (yang mengaku) cinta Allah Shubhanahu wa ta’alla namun tidak takut kepada -Nya berarti dia tertipu.”[12]
Salah seorang dari generasi salaf berkata,
Engkau bermaksiat kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, padahal
engkau mengaku cinta kepada -Nya? Aku bersumpah ini buruk
dalam bandingan. Jika saja cintamu benar, engkau pasti taat
kepada –Nya Karena sesungguhnya pecinta itu taat kepada yang
ia cintai. Semua kemaksiatan itu terjadi disebabkan cinta
16
terhadap hawa nafsu lebih didahulukan daripada cinta Allah
Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -Nya. Allah Shubhanahu wa
ta’alla menjelaskan dalam banyak ayat bahwa sifat orang-orang
kafir ialah menuruti hawa nafsu. Allah Shubhanahu wa ta’alla
berfirman :
Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), ketahuilah
bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan mereka. Dan
siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti
keinginannya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun...”
[al-Qashash/28: 50]
Begitu juga bid’ah-bid’ah, ia terjadi karena cinta kepada hawa nafsu lebih didahulukan daripada kecintaan kepada syariat. Oleh karena itu, para pelaku bid’ah dinamakan juga pengekor hawa nafsu. Begitu juga mencintai figur-figur (tokoh-tokoh tertentu). Seharusnya kecintaan kepada figur itu diselaraskan dengan syari'at yang dibawa Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, orang mukmin wajib mencintai Allah Azza wa Jalla dan mencintai yang dicintai -Nya, misalnya para malaikat, para rasul, para nabi,
17
orang-orang jujur, para syuhada’ dan orang-orang shalih secara
umum. Oleh karena itu, di antara indikasi seseorang sudah
merasakan manisnya iman ialah ia tidak mencintai orang lain
kecuali karena Allah Shubahanhu wa ta’alla, tidak menjadikan
musuh-musuh -Nya sebagai teman dekat (tidak berwala kepada
mereka) dan semua orang yang dibenci -Nya. Dengan demikian,
dia hanya taat kepada Allah Shubahanhu wa ta’alla semata.
Disebutkan dalam hadits
Barangsiapa cinta karena Allah, marah karena -Nya, memberi
karena -Nya serta mencegah karena -Nya, maka sungguh ia telah
menyempurnakan imannya.[13]
Sebaliknya, barangsiapa mencintai, membenci, memberi atau tidak memberi dengan dilandasi hawa nafsu, berarti keimanannya yang wajib masih kurang. Oleh karena itu, ia wajib bertaubat dan kembali mengikuti syari'at yang dibawa oleh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dengan lebih mendahulukan cinta Allah Shubahanhu wa ta’alla dan Rasul -Nya, serta keridhaan Allah Shubahanhu wa ta’alla dan Rasul -Nya daripada cinta hawa nafsunya dan seluruh keinginannya. Hawa nafsu maksudnya
18
adalah kebathilan, cinta hawa nafsunya artinya cinta atau
cendrung kepada kebathilan. Seperti dalam firman Allah Azza wa
Jalla :
…Dan janganlah engkau mengikuti hawa nafsu, karena ia akan
menyesatkan engkau dari jalan Allah... [Shad/38:26]
Allah Azza wa Jalla juga berfirman :
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabb-nya
dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya, maka sungguh,
surga-lah tempat tinggal(nya). [an-Nazi’at/79:40-41]
Hawa nafsu terkadang juga diartikan cinta dan kecenderungan
secara umum, termasuk kecenderungan kepada kebenaran dan
kebalikannya.[14]