32
yang mendukungnya lalu menyandarkan kisah tersebut
kepada ahli kitab…kemudian beliau melanjutkan – Berusaha
untuk membela Adam dan Hawa, bahwa kesyirikan yang
mereka lakukan hanya dari segi memberi nama semata bukan
dari segi peribadatan. Dan keduanya melakukan hal tersebut
karena kealpaanya bukan secara sengaja, sehingga keduanya
pun diperingatkan oleh Allah ta'ala dalam hal tersebut".45
2. Sebagian ulama ada yang mencoba memberi jawaban bahwa
dalam kisah tersebut tidak bisa dijadikan sebagai dalil atas
bolehnya syirik dalam uluhiyah. Akan tetapi, nabi Adam
melakukannya karena mengedepankan hawa nafsu lebih
condong mentaati perintah Iblis dan menerima bisikannya
sambil dibarengi sikap ruju' (kembali) kepada Allah
Shubhanahu wa ta’alla. dan itu semua tidak masuk dalam
kategori pilihan, atau kemungkinan kisah itu terjadi sebelum di
angkat menjadi nabi.46
Tapi, pernyataan diatas yang mengatakan barangkali
kejadiannya sebelum diangkat sebagai nabi, perlu dikoreksi,
sebab kekafiran tidak mungkin terjadi sampai pun hal tersebut
45 . Da'watu Tauhid hal: 89 oleh Muhammad Khalil Haras.
46 . Ibid.
33
sebelum diangkat menjadi nabi.47 Lalu pendapat tadi
disanggah bahwa kesyirikan yang dilakukan oleh Adam dan
Hawa kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla, dari segi ketaatan
mereka berdua kepada Iblis manakala memberi nama anaknya
dengan Abdul Harits, sebagaimana jelas dalam kisah tersebut,
tentu saja itu belum sampai pada kekafiran. Namun, sebuah
dosa yang mungkin saja dilakukan sebelum diangkat menjadi
nabi.48 Dan akan datang sanggahan atas pernyataan ini,
tatkala kita sampai pada pembahasan kapan ketaatan kepada
selain –Nya dianggap syirik, dan kapan di anggap sebagai dosa
besar?
3. Ada juga ulama yang menjawab dengan mengatakan, 'Bahwa
nabi Adam dan istrinya Hawa tidak pernah beranggapan
bahwa al-Harits adalah rabbnya dengan sebab memberi nama
pada anaknya Abdul Harits, akan tetapi, keduanya
beranggapan dengan memberi nama al-Harits menjadi faktor
anaknya selamat, oleh karena itu keduanya memberi nama
tersebut, sebagaimana orang mengatakan pada dirinya sendiri
hamba tamu untuk menjelaskan kalau dirinya sangat
47 . Permasalahan ini diperselisihkan secara tajam oleh para ulama hingga
dikalangan sesama Ahlu Sunah.
48 . Da'watu Tauhid hal: 89 oleh Muhammad Khalil Haras. Menukil dari
ucapannya Sayid Syarif al-Jurjani dalam al-Mawaqif.
34
menghormati tamunya. Bukan karena punya keyakinan kalau
tamunya adalah rabbnya, sebagaimana dikatakan oleh Hatim49
dalam bait syairnya:
Aku adalah hamba tamuku selama memuliakanya
Tidaklah aku dikatakan hamba melainkan dari segi
penamaan50
Akan tetapi, di sini ada dua pertanyaan mendasar dalam
masalah ini:
Pertama: Apakah pengabdian diri kepada selain Allah –
walaupun dalam bentuk nama- termasuk perbuatan dosa atau
masuk dalam jenis syirik kecil?
Pertanyaan kedua; Taruhlah itu termasuk kesyirikan, apakah
hal itu mungkin terjadi dari para nabi?
Jawaban; Adapun pengabdian kepada selain Allah
Shubhanahu wa ta’alla, maka dikatakan oleh Ibnu Hazm51
49 . Beliau adalah kakeknya Hatim ath-Tha'i. penyair pada zaman
Jahiliyah, terkenal dengan keberanian, kedermawanan dan kemuliaanya.
Dirinya sangat dermawan, memiliki bait-bait syair yang terkenal.
Meninggal pada tahun akhir abad ke enam masehi. Setelah kelahirannya
Nabi shalallahu 'alaihi wa sallam. Lihat biografinya dalam al-A'laam 2/151
oleh Zarkali.
50 . Bait syair ini tidak dijumpai dalam kumpulan syairnya, akan tetapi
disandarkan kepada tafsir al-Qurthubi 4/7/215.
51 . Beliau adalah al-Allamah, hafidh, fakih, Abu Muhammad, Ali bin
Ahmad bin Sa'id bin Hazm al-Umawi, maula Qurthubi, adh-Dhahiri.
35
dalam pernyataanya, "Para ulama bersepakat atas haramnya
memberi nama yang terkandung pengabdian diri kepada
selain Allah Shubhanahu wa ta’alla. Seperti nama Abdu Amr
atau Abdu Ka'bah dan yang semisalnya, kecuali Abdul
Muthalib".52 Hukum ini –sebagaimana nampak jelas- di tinjau
dari sisi hukum taklifiyah (hukum halal dan haram), adapun
bila ditinjau dari segi dosa apakah perbuatan tersebut
termasuk syirik ataukah tergolong dosa besar?
Terjadi silang pendapat dikalangan ulama. Sebagian
ulama mengatakan, 'Sesungguhnya alasan larangan dari
pengabdian diri kepada selain Allah ialah karena termasuk
perbuatan syirik didalam rububiyah dan uluhiyah. Sebab, seluruh
makhluk adalah miliknya Allah dan hambaNya. Lalu Allah
menuntut pada mereka untuk beribadah kepadaNya semata, dan
Awalnya beliau bermadzhab Syafi'i, kemudian ganti memilih madzhab
Dhahiri. Beliau sangat banyak menguasai berbagai disiplin ilmu, wara',
dan zuhud. Kitab beliau diantaranya ilah al-Muhalla yang merupakan
madzhab dan hasil kumpulan ijtihadnya. Kemudian al-Fashl, Maratibul
Ijma dan yang lainnya. Meninggal pada tahun 457 H. lihat biografinya
dalam Tadzkiratul Hufaadh 3/1147 oleh Dzahabi. Dan dalam Syadzraatu
Dzahab 3/299 oleh Ibnu Ma'ad.
52 . MaraCbul Ijma' hal: 154 oleh Ibnu Hazm.
36
mengesakan dalam rububiyah dan peribadatan padaNya, maka
pengabdian diri kepada selain Allah tergolong kesyirikan.53
Kalau seandainya sampai beribadah kepadanya secara
hakekat, dengan mengantungkan rasa takut, harap dan cinta,
sebagaimana itu semua wajib diarahkan kepada Allah
Shubhanahu wa ta’alla, atau jika dirinya menyekutukan -Nya
dalam masalah-masalah tadi, maka dirinya telah terjatuh dalam
lembah syirik besar. Dan apabila hanya mencukupkan diri dalam
bentuk pengabdian, hanya sekedar menyandarkan nikmat kepada
selain Allah Shubhanahu wa ta’alla maka ini termasuk syirik kecil.
Oleh karena itu, para ulama berpendapat pada perkara
semacam ini tatkala mereka sedang berbicara tentang macammacam
syirik kecil, maka mereka membawakan contoh syirik kecil
yang terjadi dari anggota badan lisan ialah dengan pengabdian
diri kepda selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, seperti memberi
nama Abdu Nabi dan Abdu Rasul. Dan menjelaskan tentang
perkara-perkara yang masuk dalam jenis syirik kecil semisal
bersumpah dengan nama selain Allah Shubhanahu wa ta’alla,
atau ucapan, 'Menurut kehendak -Nya dan kehendakmu'. Atau
53 . Lihat pernyataan ini dalam Fathul Majid 2/617 oleh Syaikh
Abdurahman bin Hasan alu Syaikh, dan juga faidah yang saya dapat dari
guru kami Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad.
37
ucapan, 'Hakim agung atau raja diraja'. Maka hukum itu semua
pada hakekatnya sama saja.54
Imam Ibnu Qoyim menerangkan, "Tidak boleh memberi
nama dengan Abdu Ali atau Abdu Husain, atau Abdu Ka'bah,
berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah55 dari
Hani bin Syuraih56 berkata, "Suatu ketika Pernah datang delegasi
54 . Lihat pembahasannya dalam Madkhul ila DirasaaCl Aqidah hal: 139
oleh Ibrahim al-Buraikan.
55 . Beliau adalah Abu Bakar bin Abi Syaibah bin Abdullah bin Muhammad
bin Ibrahim bin Utsman al-Abbasi, maula mereka al-kufi, al-Hafiidh.
Meriwayatkan dari Syuraik, Hasyim, Ibnu Mubarak, Ibnu Uyainah,
Ghandar, dan yang lainnya, sedangkan yang meriwayatkan darinya ialah
Bukhari dan Muslim, Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu Majah, Abu Zur'ah dan
yang lainnya. Meninggal pada tahun 235 H. lihat biografinya dalam Siyar
a'lamu Nubala 11/122 oleh Dzahabi.
56 . Begitulah dengan nama Hani bin Syuraih seperti dalam kitab al-
Mushanaf, begitu juga dinukil oleh Imam Ibnu Qayim dalam kitabnya
Tuhfatul Maudud bii Ahkamil Maulud hal: 72. Kemudian kesalahan ini
terus berlangsung sampai di nukil oleh penulis kitab Taisir Azizil Hamid.
Sungguh diriku telah mengerahkan waktu dan upaya untuk mencari
namanya maka tidak saya jumpai kecuali yang bernama Hani bin Yazid
seperti disebutkan dalam buku-buku induk rijal hadits semisal al-Ishabah
3/566 no: 8927 dan juga dalam al-Khulashah hal: 408 oleh al-Khazraji.
Sehingga saya memutuskan bahwa beliau adalah Hani bin Yazid al-
Kindi al-Madzhaji al-Haritsi, Abu Syuraih. Seorang sahabat, sebab hadits
ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam kitabnya Adabul Mufrad.
Beliau mengatakan, 'Hani bin Yazid', sebagai ganti dari Hani bin Syuraih.
Lihat Adabul Mufrad no: 811. dari sini saya merasa yakin bahwa beliau
adalah Hani bin Yazid, sehingga cetakan yang ada dalam kitab al-
Mushanaf merupakan salah cetak sehingga tercetak dengan nama Hani
38
suatu kaum kepada Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam
lalu nabi mendengar diantara mereka ada yang bernama Abdu
Hajar, maka Nabi bertanya padanya, "Siapa nama anda? Abdu
Hajar, jawab orang tersebut. Kemudian Rasulallah Shalallahu
‘alaihi wa sallam bersabda padanya, "Sesungguhnya engkau
adalah Abdullah (hamba Allah)".57
Syaikhul Islam Ahmad bin Abdul Halim bin Taimiyah
menjelaskan tentang hukum mengabdikan diri kepada selain -
Nya, bahwa kaum musyrikin mereka mengabdikan dirinya serta
anak-anaknya kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla,
sehingga sebagian mereka memberi nama dengan Abdu Ka'bah,
seperti nama asli sahabat Abdurahman bin Auf, ada lagi yang
memberi nama dengan Abdu Syams seperti namanya Abu
Hurairah, dan juga nama Abdu Syams bin Abdu Manaf, sebagian
mereka ada yang memberi nama Abdul Latta, ada juga yang
memberi nama Abdul Uzza atau Abdu Manaat, dan lain
sebagainya dari nama-nama yang mengandung penghambaan diri
kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla. Ada yang
bin Syuraih. Wallahu a'lam. Kemudian saya melihat dalam tahqiq kitab
Tuhfatul Maudud oleh Syaikh Basyir Muhammad Uyun telah lebih dulu
menyebutkan kekeliruan tadi. Al-Hamdulillah 'ala kuli haal.
57 . al-Mushanaf 5/262 no: 25901. oleh Ibnu Abi Syaibah. Adabul Mufrad
no: 811 oleh Bukhari. Tuhfatul Maulud hal: 73 oleh Ibnu Qayim.
39
menyandarkan kepada Matahari, patung, manusia, dan lain
sebagainya yang jelas mengandung kesyirikan kepada –Nya, dan
mirip dalam hal ini ialah yang dilakukan oleh orang Nashrani yang
memberi nama dengan Abdul Masih.
Maka ketika Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa
sallam menjumpai hal tersebut, beliau merubah nama-nama itu
lalu menjadikan penghambaan hanya kepada -Nya semata. Yang
mana beliau memberi nama sebagian para sahabatnya dengan
Abdullah dan Abdurahman. Sebagaimana beliau memberi nama
pada Abdurahman bin Auf dan yang semisal dengannya, dan Abu
Mu'awiyah yang nama aslinya adalah Abdul Uzza lantas beliau
merubahnya menjadi Abdurahman. Beliau memiliki mantan
budak yang bernama Qayum lantas beliau menggantinya menjadi
Abdul Qayum, dan yang semisal dengan ini.
Ada juga yang mirip yaitu perilaku sebagian sekte Syiah
yang ekstrim serta orang-orang yang mirip dengan mereka dari
segi ke ekstrimannya terhadap guru-gurunya, seperti di katakan,
ini adalah pembantu Syaikh Yunus, atau pembantu yang dimiliki
oleh Syaikh Yunus, atau ucapan Pembantunya Ibnu Rifa'i atau
Hariri. Dan yang sejenis dengan tindakan semacam ini yang
terkandung penyembahan kepada makhluk. Sebagaimana
dilakukan oleh orang-orang Nashrani dalam jiwa mereka terhadap
40
al-Masih. Dan kaum musyrikin terhadap sesembahan mereka,
dengan mengharap dan merasa takut padanya, atau terkadang
mereka sampai bertaubat kepadanya, sebagaimana kaum
musyrikin bertaubat kepada sesembahannya, begitu juga
Nashrani kepada al-Masih atau orang-orang yang mengkultuskan
guru-gurunya.
Adapun syariat Islam yang merupakan agama yang murni
hanya untuk Allah Shubhanahu wa ta’alla semata maka
penghambaan harus di tujukan kepada -Nya semata sebagaimana
dijelaskan oleh sunah Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam,
dengan merubah nama-nama yang terkandung kesyirikan dengan
nama-nama Islami, dan merubah nama-nama kufur menjadi
nama-nama yang mengandung keimanan…".58
Imam Ibnu Qoyim menjelaskan, "Jika seandainya ada
yang bertanya, bagaimana cara memadukan antara larangan
memberi nama yang mengandung penghambaan kepada selain
Allah Shubhanahu wa ta’alla dengan sebuah hadits shahih yang
menyebutkan, 'Akan datang hamba dinar'59, sebagaimana dalam
shahih Bukhari. Begitu juga hadits nabi yang mengatakan, 'Saya
58 . Majmu Fatawa 1/378, 379.
59 . SeperC di riwayatkan oleh Bukhari no: 2887.
41
adalah seorang Nabi yang tidak berdusta, saya adalah cucu Abdul
Muthalib?60
Jawabannya ialah, untuk hadits yang mengatakan 'Akan
datang hamba dinar', di sini tidak ada nama yang dicantumkan,
namun, hanya sekedar sifat. Dan celaan bagi orang yang hatinya
menghamba kepada dinar ataupun dirham yang di samakan
kedudukannya seperti orang yang beribadah kepada kedua materi
tersebut dengan beribadah kepada Allah azza wa jalla".
Adapun hadits kedua yang mengatakan, 'Saya adalah
cucu Abdul Muthalib'. Maka didalam hadits ini tidak mengandung
bentuk memberi nama baru, tapi, hanya sekedar mengabarkan
tentang sebuah nama yang orang tersebut dikenal dengan nama
tersebut, dan mengabarkan semisal itu yaitu dengan menjelaskan
nama seseorang maka tidak dilarang. Tidak ada bentuk
pengkhususan yang mengaitkan antara Abu Muhammad dengan
Abdul Muthalib secara khusus. Sebagaimana para sahabat
menamai kakek beliau dengan Abdu Syams, dan menamai mereka
dengan Bani Abdil Daar, sedangkan Nabi Muhammad Shalallahu
'alaihi wa sallam tidak mengingkari hal tersebut. Kesimpulannya,
bab ikhbar (mengabarkan) lebih luas cakupannya dari pada insyaa
(permulaan), maka dibolehkan ketika kita mengabarkan sesuatu
60 . HR Bukhari no: 2854.
42
yang mengandung kesyirikan apa yang tidak boleh dilakukan pada
permulaan".61
Beralasan dengan ini maka dilarang memberi nama
dengan Abdul Muthalib atau yang semisal, yang terkandung
didalamnya penghambaan kepada selain Allah Shubhanahu wa
ta’alla. bagaimana mungkin dibolehkan, sedangkan para ulama
telah bersepakat akan haramnya memberi nama dengan nama
Abdu Nabi, atau Abdu Rasul, atau Abdu Masih, atau Abdu Husain,
atau Abdu Ka'bah. Karena kalau hal itu dibolehkan yakni memberi
nama dengan Abdu Muthalib maka nama-nama tadi lebih berhak
untuk di izinkan dari pada nama Abdu Muthalib. Sebagaimana
pula Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam telah
menjelaskan bahwa menamai Abdu Harits bagian dari wahyu
setan, kalau kita anggap haditsnya shahih.
Adapun ucapan sebagian orang yang mengatakan bahwa
yang dimaksud, kesyirikan yang di lakukan oleh Adam dan Hawa
dari sisi mentaati bukan dari sisi beribadah kepada setan.
Maksudnya bahwa nabi Adam dan istrinya Hawa mau mentaati
setan dengan memberi nama anaknya Abdul Harits, bukan berarti
keduanya beribadah kepada setan. Sehingga diambil dari sini
61 . Tuhfatul Maulud hal: 72-73, oleh Ibnu Qayim.
43
sebuah dalil perbedaan antara syirik dalam ketaatan dan syirik
dalam ibadah.
Tapi, ada sedikit kejanggalan manakala menafsirkan
makna ibadah dengan ketaatan, maka hal ini mengharuskan
ucapan Qatadah tadi menjadikan kesyirikan dalam ibadah sama
dengan kesyirikan dalam ketaatan. Sanggahan akan hal itu, bahwa
penafsiran ibadah dengan ketaatan merupakan tafsir lazim.
Karena kelaziman ibadah mengharuskan seorang penyembah
mau mentaati dzat yang sedang di sembahnya, oleh karena itu di
sini ibadah di definisikan dengan ketaatan, atau bisa juga di
katakan merupakan tafsir malzum dan konsekuensi lazim.
Maknanya manakala ketaatan melazimkan adanya ibadah maka
ibadah sebuah konsekuensi dari ketaatan, yang tidak mungkin
tercapai sebuah ibadah tanpa adanya ketaatan, dengan itu maka
menjadi jelas akan bolehnya menafsirkan dengan tafsiran
semacam itu.62
Atau bisa dikatakan, tidak semua ketaatan di namakan
kesyirikan. Karena yang dimaksud dengan ketaatan yang masuk
dalam kategori peribadatan adalah ketaatan yang mempunyai
makna khsusus, semisal didalam menghalalkan yang haram atau
62 . lihat pernjelasannya dalam kitab Taisir Azizil Hamid hal: 571-572 oleh
Sulaiman bin Abdullah alu Syaikh dengan sedikit perubahan.
44
sebaliknya. Adapun dalam beberapa kasus dosa maka hukumnya
seperti hukum kebanyakan para pelaku dosa. Inilah barometer
ketaatan yang masuk atau tidaknya dalam kesyirikan,
sebagaimana dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
"Orang-orang yang menjadikan rahib dan orang sholeh sebagai
tandingan, dimana mereka mentaatinya ketika mereka
menghalalkan sesuatu yang telah Allah Shubhanahu wa ta’alla
haramkan dan mengharamkan apa yang telah –Dia halalkan,
maka bila dilihat orang-orang tadi terbagi menjadi dua golongan:
Pertama: Mereka mengetahui kalau rahib dan orang alimnya
telah merubah agama Allah Shubhanahu wa ta’alla kemudian
mereka mengikutinya, dengan menerima penghalalan yang telah
Allah Shubhanahu wa ta’alla haramkan atau pengharaman yang
telah Allah Shubhanahu wa ta’alla halalkan. Dalam rangka
mengikuti pembesar-pembesar mereka, dan dengan kesadaran
penuh jika perilakunya tadi menyelisihi agama para Rasul. Maka
hukum pelakunya adalah kafir. Dimana dirinya telah membuat
tandingan kepada –Nya dan rasul -Nya. Walaupun mereka
tidak sampai sholat dan sujud terhadap para pembesarnya tadi.
Sedangkan orang yang mengikuti orang lain yang jelas
menyelisihi agama dengan kesadaranya kalau perkara tersebut
menyelisihi agama, dan meyakini apa yang di ucapkan orang tadi
45
lalu mengabaikan ucapan Allah Shubhanahu wa ta’alla dan Rasul -
Nya, maka dia dihukumi musyrik semisal orang-orang di awal tadi.
Kedua: Apabila mereka tetap meyakini dan mengimani dengan
perkara yang haram dan yang halal, namun, mereka taat didalam
melakukan perbuatan maksiat kepada Allah Shubhanahu wa
ta’alla, seperti halnya seorang muslim yang mengerjakan
perbuatan maksiat tapi masih tetap meyakini jika perbuatanya
adalah maksiat, maka orang-orang semacam tadi dan yang
semisal denganya di hukumi sebagai pelaku dosa…".63
Barangkali yang dimaksud dengan ucapan ulama yang
mengatakan, 'Sekutu dalam bentuk ketaatan bukan dalam
peribadatan kepadanya', yang dimaksud mereka adalah makna
kedua yang disebut oleh Syaikhul Islam tadi, sehingga tidak di
hukumi sebagai kesyirikan. Wallahu a'lam.
Inilah hukum terhadap pendapat yang mengatakan
bahwa pengabdian diri kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla
merupakan syirik akbar, apabila menginginkan pada makna secara
hakekatnya. Adapun jika yang diinginkan dari kelakuannya tadi
hanya sekedar berpaling dan menganggap hal itu merupakan
sebab, lalu menjadikan sebagai faktor untuk bisa memperoleh
nikmat maka hal ini tidak sampai pada syirik akbar, namun
63 . Majmu' Fatawa 7/70.
46
berubah menjadi syirik kecil. Inilah pendapat yang kuat dan yang
saya pilih dalam masalah ini.
Ada sebagian ulama yang mengategorikan hal tersebut
masuk dalam kategori syirik nama64, dimana mereka memberi
contoh semisal orang yang menasabkan anak-anaknya kepada
para wali dengan keyakinan bahwa para wali tadi yang memberi
dan mengasih selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, seperti nama
Abdu Nabi, Hibatu Ali, atau Hibatu Hasan, atau Hibatul Mursyid,
atau Hibatul Madaar, atau Hibatu Solar, dan biasanya mereka
punya tujuan dengan memberi nama-nama tadi untuk bisa
mengusir bala dan musibah…maka itu semua berada dalam ruang
lingkup kesyirikan dan pelakunya dianggap musyrik65.
Ada juga diantara ulama yang mengatakan, 'Diantara
fenomena yang terjadi sekarang ini ialah banyaknya orang yang
meminta pertolongan kepada guru-gurunya dan para
nabi…dimana mereka menisbatkan anak-anaknya kepada para
masyayikh nya dalam rangka mengharap bisa dijauhkan dari
bencana, sehingga ada diantara mereka yang memberi nama
64 . Lihat pembasahannya dalam kitab Kasyaaf Isthilahaat al-Funun 4/146-
153 oleh at-Tahanawi. Hujatullahi Balighah 1/183 oleh Waliyullah
Dahlawi, Taqwiyatul Iman hal: 19-21 oleh Syaikh Syah Muhammad
Isma'il.
65 . Taqwiyatul Iman hal: 19-21 oleh Syaikh Syah Muhammad Isma'il.
47
anaknya dengan Abdu Nabi, ada pula yang memberi nama Ali
Bakhsy, atau Husain Bakhsy, atau Bair Bakhsy, atau Madar
Bakhsy, atau Salar Bakhsy….jelas tanpa disangkal, itu adalah
kesyirikan yang nyata…dan itu semua perbuatan tadi bisa
dipastikan sebagai kesyirikan.
Dan dinamakan dengan kesyirikan dalam ibadah, artinya
mereka telah mengagungkan selain Allah Shubhanahu wa ta’alla
dalam tindakan dan perbuatan yang biasanya tidak dilakukan dan
tidak layak dikerjakan kecuali ketika sedang mengagungkan Allah
Shubhanahu wa ta'ala".66
Dan di sana ada sebagian kelompok yang beranggapan
bawah memberi nama dengan bentuk pengabdian diri kepada
selain Allah Shubhanahu wa ta’alla bukan termasuk dari
kesyirikan. Lalu sebagain orang yang terkontaminasi dengan
pemikiran diawal mencoba membelanya dengan mengatakan,
'Sesungguhnya menyandarkan kata 'Abdu' kepada selain Allah
Shubhanahu wa ta’alla, tidak terlepas menjadi beberapa kondisi,
adakalanya yang disandarkan tadi adalah sesembahan selain Allah
Shubhanahu wa ta’alla, adakalanya bukan sesembahan, kalau
kondisinya yang kedua yakni bukan sesembahan bisa jadi itu
dilakukan karena salah persepsi atau memang benar, jika pertama
66 . Taqwiyatul Iman hal: 25-40 oleh Syaikh Syah Muhammad Isma'il.
48
yang dilakukan yakni sesembahan selain -Nya maka hukumnya
haram adapun jika itu yang kedua yakni salah persepsi maka
hukumnya makruh, kalau bukan karena ini maka tidak mengapa,
seperti nama Abdu Uzza maka ini haram, adapun nama Abdu Nabi
maka hukumnya makruh sedang nama Abdul Muthalib maka
hukumnya boleh".67
Tidak diragukan lagi akan kebatilan ucapan seperti ini,
ucapan yang merusak dan tidak laku dijual, tidak ada kebaikan
sedikitpun bagi penggagasnya, di mana mereka tidak memiliki
satu dalilpun atas pembagian yang mereka ada-adakan tadi, yang
semakin membukitkan bahwa pembagian tadi datangnya dari
hawa nafsunya belaka. Dan mereka lupa dengan firman Allah
ta'ala:
"Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab,
Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu
menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah". (QS al-Imran:
79).
67 . Faidhul Bari 3/287 oleh Anwar Syah al-Kasymiri.
49
Setelah penjelasan ini semua kita menjadi tahu bahwa
menurut pendapat yang mengatakan bahwa kisahnya nabi Adam
tadi benar, yang menjadikan dalil kesyirikan kecil yang dinisbatkan
kepada beliau, atau paling tidak menisbatkan tindakan dosa yang
beliau lakukan, lantas muncul pertanyaan berikut, apakah para
Nabi mungkin untuk mengerjakan dosa? Sehingga pertanyaan ini
mengusung kita kepada permasalan berikutnya yaitu, apakah
para nabi terjaga dari mengerjakan dosa?
Masalah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dan
perselisihan ini muncul dari beberapa sisi, yang barangkali bisa
disimpulkan bahwa muara perselisihan ini kembali pada empat
pokok, yaitu:
1) Dosa yang terjadi dalam perkara i'tiqod (keyakinan).
2) Dosa yang terjadi dalam perkara tabligh (penyampaian
risalah).
3) Dosa yang terjadi dalam masalah hukum dan memberi fatwa.
4) Dosa yang terjadi dalam perbuatan dan keseharian mereka.
Kemudian para ulama berbeda pendapat lagi tentang kapan
dimulainya waktu 'ishmah (terjaga dari dosa), menjadi tiga kubu:
Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu terjaganya mereka
dimulai semenjak kelahirannya. Ini merupakan pendapatnya
orang-orang Rafidhoh.
50
Pendapat kedua ialah pendapat yang mengatakan bahwa
waktu terjaganya para nabi dari melakukan dosa dimulai dari usia
baligh, dan orang yang berpendapat semacam ini tidak
membolehkan para nabi untuk melakukan dosa besar dan
kekufuran sebelum diangkatnya menjadi nabi, ini adalah
pendapat kebanyakan sekte Mu'tazilah.
Pendapat ketiga mengatakan bahwa dosa besar dan
kekafiran tidak mungkin dikerjakan oleh mereka setelah diangkat
menjadi nabi, adapun sebelum diangkat menjadi nabi maka
mungkin saja mereka melakukanya.68
Sedangkan pembicaraan yang menjelaskan masalah ini
sangat rumit untuk dipahami, akan tetapi, saya akan mencoba
untuk merangkumnya dan menjelaskan sesuai dengan yang telah
disepakati oleh mereka yang berkaitan dengan masalah ini. Yaitu
apakah mungkin perbuatan dan maksiat dikerjakan oleh para
nabi? Dan disini saya tidak akan menyebutkan tentang pembagian
hukum yang keluar dari materi karena sudah jauh dari
pembahasan risalahku ini.
68 . Tafsir Mafathul Ghaib 2/3/7-8 oleh ar-Razi.
51
PERKARA YANG TELAH DISEPAKATI:
Kaum muslimin telah bersepakat bahwa para rasul
terjaga ketika mengemban tugas untuk menyampaikan risalah69.
Mereka para nabi tidak lupa sedikitpun dari perkara-perkara yang
telah diwahyukan kepadanya kecuali segelintir saja dari
permasalahan yang telah dihapus hukumnya sebelumnya,
sehingga garis besarnya, mereka terjaga dari mengerjakan dosa
tatkala sedang mengemban tugas menyampaikan risalah.
Berkata Fakhrur Razi menjelaskan pemikiran pendapat ini
dengan ucapannya, "Kaum muslimin telah bersepakat bahwa para
nabi adalah orang yang terjaga dosa, berbuat dusta dan
menyelewengkan perkara-perkara yang seharusnya disampaikan
kepada umat, karena jika mereka tidak terjaga dalam masalah ini
tentu saja akan hilang nilai kepercayaan terhadap mereka didalam
mengemban amanah.
Dan kaum muslimin bersepakat bahwa hal tersebut tidak
boleh dikerjakan oleh para nabi baik dilakukan secara sengaja
atau karena faktor lupa, walaupun ada sebagaian ulama yang
69 . Banyak para ulama yang menukil terjadinya ijma' dalam masalah ini.
coba lihat penjelasannya dalam Majmu Fatawa 10/291 oleh Ibnu
Taimiyah. Dan Lawami'ul Anwar al-Bahiyah 2/304 oleh Safarini.
52
menganggap dibolehkan ketika mereka lupa, mereka berhujah
dengan mengatakan, seseorang tidak mungkin bisa menghindar
dari yang namanya lupa".70
Adapun yang berkaitan dalam
masalah aqidah maka kekeliruan tidak boleh terjadi di kalangan
para nabi71.
Sehingga manakala kita mengacu kepada pendapat ini,
yang mengatakan para nabi tidak boleh keliru dalam masalah
aqidah, maka menjelaskan pada kita bahwa tidak mungkin sama
sekali penghambaan kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla di
lakukan oleh nabi Adam a'laihi sallam. Dan Perselisihan yang ada
diawal tadi bermula dari anggapan kalau haditsnya shahih,
sedangkan bagi para ulama yang mengatakan haditsnya lemah,
dan ini yang dipegang oleh kebanyakan para ulama –dan ini yang
kuat insya Allah sebagaimana akan datang penjelasannya- maka
para ulama dalam hal ini menyatakan, 'Sesungguhnya hadits ini
lemah', sebagian mereka ada yang melemahkan dari sisi
riwayatnya, dan sebagian yang lain melemahkan dari sisi fikih
haditsnya.
70 . Tafsir Mafathul Ghaib 2/3/7 oleh ar-Razi.
71 . Tafsir Mafathul Ghaib 2/3/7 oleh ar-Razi. Al-Mawaqif hal: 134 oleh al-
Iji. Nasimi Riyadh Syarh Syifaa lii Qodhi Iyadh 4/41-42. oleh Syihab al-
Khafaji.
53
Adapun para ulama yang melemahkan hadits tersebut
dari sisi riwayatnya, tidak tanggung-tanggung mereka adalah para
pakar hadits, semisal al-Hafidh Ibnu Adi72, dimana beliau
melemahkan hadits tersebut dikarenakan ada cacatnya yaitu
Umar bin Ibrahim yang meriwayatkan secara sendirian, beliau
menegaskan, "Haditsnya dari Qatadah mudhtarib (goncang)".73
Sedangkan al-Hafidh Ibnu Katsir, beliau menyatakan,
"Sesungguhnya hadits ini memiliki cacat dari tiga sisi:
Pertama: Bahwa Umar bin Ibrahim ini adalah al-Bashari, dimana
dirinya di kuatkan oleh Ibnu Ma'in74 akan tetapi, dikatakan oleh
72 . Beliau adalah Ibnu Adi, Imam, al-Hafidh besar. Abu Ahmad, Abdullah
bin Adi bin Muhammad bin Mubarak al-Jurjani, pemilik kitab al-Kamil fii
Jarh wa Ta'dil, lahir pada tahun 277 H dan meninggal pada tahun 365 H.
Meriwayatkan dari Muhammad bin Utsman bin Abi Syaibah, Nasa'i dan
Abu Ya'la, sedang yang meriwayatkan darinya ialah Ibnu Uqdah, al-
Maliyani dan yang lainnya. Lihat biografinya dalam kitab Bidayah wa
Nihayah 11/283 oleh Ibnu Katsir dan Thabaqaat Syafi'iyah 3/315 oleh as-
Subki.
73 . al-Kamil fii Jarh wa Ta'dil 3/1701 oleh Ibnu Adi.
74 . Beliau adalah Yahya bin Ma'in bin Aun al-Ghathfani, maula mereka al-
Baghdadi. Seorang ulama besar, meriwayatkan dari Ibnu Uyainah, Abu
Usamah, dan Abdurazzaq. Dan yang meriwayatkan darinya ialah Bukhari
dan Muslim, Abu Dawud, Abdullah bin Imam Ahmah dan yang lainnya.
Meninggal di kota Madinah pada tahun 203 H. Lihat biografinya dalam
kitab Tadzkirotul Hufaadh 2/249 oleh Imam Dzahabi.
54
Abu Hatim ar-Razi75, 'Riwayatnya tidak bisa dijadikan hujah'.
Namun diriwayatkan oleh Ibnu Mardawaih dari haditsnya al-
Mu'tamir dari ayahnya dari al-Hasan dari Samurah secara marfu',
wallahu a'lam.
Kedua: Terkadang hadits ini diriwayatkan secara mauquf sampai
Samurah saja bukan sabdanya Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi
wa sallam, sebagaimana dinyatakan oleh Ibnu Jarir.
Ketiga: Bahwa al-Hasan sendiri menafsirkan ayat bukan dengan
hadits ini. kalau seandainya hadits ini darinya yang diriwayatkan
dari Samurah secara marfu niscaya dirinya tidak akan berpaling
dari hadits ini, lalu mengambil riwayat yang dibawakan oleh Ibnu
Jarir lengkap dengan sanadnya dari al-Hasan. Firman -Nya:
"Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah
dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". (QS al-A'raaf: 190).
75 . Beliau adalah al-Hafidh besar, al-Allamah Abu Hatim, Muhammad bin
Idris bin al-Mundzir ar-Razi. Salah seorang ulama penghafal hadist,
meriwayatkan dari Ahmad, Abu Khaitsamah, Qutaibah dan ulama
lainnya. Dan yang meriwayatkan darinya ialah Abu Dawud, Nasa'i, Ibnu
Majah dan yang lainnya. Meninggal di kota ar-Ray tahun 277 H. Lihat
biografinya dalam kitab Tarikh Baghdad 2/72 oleh al-Khatib Baghdadi.
Thabaqaatul Hufaadh hal: 259 oleh Imam Suyuthi.
55
Beliau mengatakan, 'Perilaku tersebut dilakukan oleh
sebagian pengikut agama-agama yang lalu bukan dikerjakan oleh
Adam". Dan dengan sanad yang sampai pada al-Hasan beliau
mengatakan, "Yang dimaksud ialah anak cucu Adam yang berbuat
kesyirikan dikalangan mereka". Dan masih dengan sanad yang
sampai kepada al-Hasan, beliau mengatakan, "Mereka adalah
Yahudi dan Nashrani, Allah Shubhanahu wa ta’alla telah memberi
karunia anak pada mereka lalu dibimbing untuk menjadi seorang
Yahudi dan Nashrani".
Selanjutnya Imam Ibnu Katsir menjelaskan, "Sanad
hadits-hadits diatas semuanya shahih dari al-Hasan radhiyallahu
'anhu yang menafsirkan makna ayat dengan ucapannya tadi. Dan
ini merupakan penafsiran terbagus yang sangat tepat sesuai
dengan kandungan ayat. Dan kalau seandainya hadits tersebut
berasal darinya dari Rasulallah Shalallahu 'alaihi wa sallam
niscaya dirinya tidak akan berpaling dari hadits tersebut dan
mengambil ucapan orang lain, apalagi dengan ketakwaan dan
sikap kehati-hatian yang beliau miliki.
Maka hal ini membuktikan padamu bahwa riwayat
tersebut adalah mauquf yang hanya sampai pada sahabat, yang
kemungkinan mereka dapat dari sebagian ahli kitab yang beriman
56
dan masuk Islam semisal Ka'ab bin Mani'76 dan Wahb bin
Munabih77 dan selain keduanya".78 Kemudian ucapan ulama
terdahulu tersebut di tambah oleh Syaikh Nashirudin al-Albani
yang menegaskan adanya cacat yang lain, yaitu bahwa riwayatnya
al-Hasan dari Samurah merupakan riwayat yang diperselisihkan
secara masyhur oleh para pakar hadits, kemudian disini dia
melakukan tadlis, dimana tidak terang-terangan telah mendengar
dari Samurah. Dan dia dikatakan oleh Imam Dzahabi dalam
kitabnya Mizanul I'tidal, "Adalah al-Hasan dirinya banyak
melakukan tadlis, maka apabila dirinya menyebutkan dengan
76 . Beliau adalah Ka'ab bin Mani' al-Humairi, Abu Ishaq al-Habr termasuk
ahli kitab yang masuk islam, meriwayatkan dari Umar dan Shuhaib, Abu
Hurairah, Ibnu Abbas dan Mu'awiyah. Beliau termasuk dari kalangan
Tabi'in. Berkata Ibnu Sa'ad, 'Beliau meninggal pada tahun 32 H di Hums
pada khilafah Utsman bin Affan'. Lihat biografinya dalam al-Khulashah
hal: 321 oleh al-Khazraji.
77 . Beliau adalah Wahb bin Munabih bin Kamil al-Abnawi ash-Shan'ani,
al-Akhbari, meriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jabir dan yang lainnya.
Meriwayatkan darinya Hamam, Samak, dan ulama lainya. Di kuatkan oleh
Imam Nasa'i, dan beliau meninggal karena dibunuh oleh Yusuf bin Umar
pada tahun 110 H. Lihat biografinya dalam kitab al-Khulashah hal: 419
oleh al-Khazraji.
78 . Lihat penjelasan beliau ini dalam kitab Tafsirnya 2/275.
57
ucapannya, 'Dari fulan', maka haditsnya lemah tidak bisa dijadikan
hujah".79
Akan tetapi, seperti yang kami pahami dari ucapanya al-
Hafidh al-Ala'i80 bahwa riwayat-riwayat yang berasal dari Samurah
bisa dibawa pada makna sima' (mendengar), dimana beliau
membawakan contoh yang menguatkan pendapatnya81. Sehingga
dengan ini tinggal tersisa cacat haditsnya dari kritikan yang
disampaikan oleh Imam Ibnu Katsir.
Begitu pula bila ditinjau dari fikih haditsnya maknanya
juga tidak lurus. Sebab kita tidak memiliki referensi valid yang
menetapkan bahwa nama Iblis adalah Harits. Kemudian ditambah
lagi, kita tidak mempunyai dalil yang menunjukan kalau nabi
79 . Lihat ucapan Imam Dzahabi dalam Mizanul I'Cdal 1/527 no: 1968. dan
Syaikh al-Albani dalam Silsilah Dha'ifah 1/517.
80 . Beliau adalah al-Hafidh pengkritik hadits yang kapabel dan kompeten.
Sholahudin Khalil bin Kikaldi al-Ala'i, asy-Syafi'i. Lahir pada tahun 694 H di
Damaskus. Mendapat riwayat hadits dari al-Mizzi dan adz-Dzahabi.
Belajar ilmu fikih dari Ibnu az-Zamlakani. Serta berguru kepada Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Meninggal pada tahun 761 H. Diantara muridmuridnya
yang terkenal ialah al-Hafidh Ibnu Katsir, dan Subki. Beliau
mempunyai tulisan-tulisan yang sangat bermanfaat, diantaranya, Jami'u
Tahshil. Lihat biografinya dalam Duraru Kaminah 2/179 oleh Ibnu Hajar.
Thabaqaatul Hufaadh hal: 532-533, oleh SuyuC.
81 . Lihat ucapan beliau ini dalam kitabnya Jami'u Tahshil hal: 165-166.
dengan Tahqiq oleh Hamdi Abdul Majid as-Salafi. Sebagaimana juga
dikatakan oleh Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Milal wal Ahwa wa Nihal
4/11.
58
Adam mempunyai anak-anak yang mati sebelum dirinya kecuali
Habil. Selanjutnya perbedaan ini sesuai dengan tujuan diutusnya
dia ke bumi oleh Allah azza wa jalla, dimana Allah Shubhanahu wa
ta’alla menurunkan dia supaya memakmurkan bumi, kalau
seandainya anak-anaknya selalu meninggal niscaya tujuan
tersebut diatas tidak bisa tercapai sama sekali.
Inilah faktor yang melemahkan hadits tersebut dari sisi
dirayah (pengetahuan hadits). Oleh sebab itu Imam Ibnu Hazm
menegaskan dalam pernyataanya, "Dan perkara ini, yang
menisbatkan pada nabi Adam a'laihi wa sallam bahwa beliau
memberi nama anaknya dengan Abdul Harits adalah khurafat
yang dusta dan di bikin-bikin. Dari tulisan orang yang tidak
memiliki agama dan rasa malu sama sekali, tidak pula mempunyai
sanad yang absah, namun, ayat tersebut turun berkaitan dengan
kaum musyrikin Arab sebagaimana jelas konteks ayatnya".82
Imam Ibnu Qoyim juga menegaskan hal tersebut dalam
ucapannya, "Maka yang dimaksud jiwa yang satu adalah Adam
dan istrinya Hawa, adapun dua orang yang menjadikan sekutu
bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla terhadap anak yang telah
dianugerahkan -Nya maka mereka adalah kaum musyrikin yang
keduanya dilakukan terhadap anak-anaknya. Maka jangan
82 . Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Milal wal Ahwa wa Nihal 4/11.
59
terkecoh dengan pendapat-pendapat lain yang mengatakan, kalau
anak nabi Adam dan Hawa tidak pernah hidup sebelumnya…"83.
Bila di simpulkan maka di jumpai sisi lemah dari pendapat
tersebut melalui beberapa segi, yaitu:
1) Bahwa nabi Adam 'alihi wa sallam adalah manusia yang paling
paham dengan permusuhan Iblis terhadapnya, kemudian
setelah itu Iblis mempunyai nama Harits –taruhlah kalau
memang benar riwayatnya- lantas bagaimana mungkin beliau
setelah paham permusuhan dengan Iblis lalu memberi nama
anaknya dengan Abdul Harits?
2) Bentuk plural dari firman Allah ta'ala: "Maka keduanya
menjadikan sekutu bagi Allah terhadap anak yang telah
dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu". Kalimat syurakaa
yang menunjukan kalau yang menjadikan sekutu itu banyak,
selanjutnya dalam hal ini yang dijadikan sebagai sekutu bagi -
Nya itu cuma satu yaitu Iblis. Maka mengungkapkan dengan
bentuk plural yang menunjukan arti banyak sebagai bukti akan
kelemahan pendapat tersebut.
3) Didalam ayat tidak disebut Iblis sebelumnya, kalau seandainya
Iblis lah faktor yang menyebabkan untuk memberi nama yang
terkandung didalamnya kesyirikan, –sebatas pengertian yang
83 . Raudhotul Muhibbin hal: 297 oleh Ibnu Qoyim.
60
diacu oleh pendapat tersebut- niscaya Allah Shubhanahu wa
ta’alla akan menyebut nama Iblis sebelumnya, sebab
kondisinya adalah kondisi peringatan terhadap tipu daya dan
was-was setan sehingga menuntut untuk disebut nama Iblis
sebelumnya, supaya orang yang datang setelahnya tidak
terkecoh dengan perkara yang sama.
4) Selanjutnya didalam ayat Allah Shubhanahu wa ta’alla
menyebutkan setelahnya:
﴿
"Apakah mereka mempersekutukan (Allah dengan) berhada-berhala yang
tak dapat menciptakan sesuatupun? sedangkan berhala-berhala itu sendiri
buatan orang". (QS al-A'raaf: 191).
Hal ini menjadi bukti bahwa yang dimaksud dalam ayat
tersebut ialah membantah orang-orang yang menjadikan
berhala sebagai sekutu-sekutu bagi Allah ta'ala, adapun nama
Iblis maka dalam ayat tersebut tidak dicantumkan sama sekali.
5) Kalau sekiranya yang dimaksud dalam ayat adalah Iblis niscaya
bunyinya, 'Apakah mereka mempersekutukan Allah
Shubhanahu wa ta’alla dengan dzat yang tidak mampu
menciptakan sesuatupun', tidak mengatakan seperti dalam
ayat diatas dengan menggunakan kata ' ', sebab dalam
61
gramatika bahasa arab di gunakan kata ' ن' untuk yang
berakal dan kata ' ' untuk yang tidak berakal.84
Sedangkan tafsir ayat, mengacu kepada pendapat yang
melemahkan hadits tersebut ialah sebagai berikut:
1) Bahwa kedua ayat tersebut berkaitan dengan nabi Adam dan
Hawa, adapun untuk mengangkat kejanggalan maksud firman
-Nya: "Maka keduanya menjadikan sekutu bagi Allah terhadap
anak yang telah dianugerahkan -Nya kepada keduanya itu".
Maksud Firman Allah Shubhanahu wa ta’alla disini adalah
hadzaf mudhof, artinya ialah dia menjadikan anak-anaknya
sekutu bagi Allah Shubhanahu wa ta’alla terhadap anugerah
yang telah diberikan kepada anak-anaknya. Di sebut dengan
jumlah bilangan dua, sebab anaknya terbagi menjadi dua,
berkelamin laki-laki atau perempuan, artinya dua jenis.
Dengan pemahaman seperti ini kejanggalan ayat diatas dalam
lafadh ' ' dan lafadh ' آ ' menjadi terangkat. Dan dalam
firman -Nya yang setelahnya: "Maka Maha Tinggi Allah dari
apa yang mereka persekutukan". Dengan menyebut dalam
84 . Lihat penjelasan ini oleh Fakhrur Razi dalam Tafsirnya 8/15/60-61.
62
bentuk plural karena hal tersebut ditinjau dari jumlah anaknya
yang banyak.85
2) Bahwa kandungan ayat ini ditujukan bagi seluruh manusia.
Sedangkan kata ganti dalam lafadh ' ' dan lafadh ' ' آ
kembali kepada jiwa dan istrinya. Bukan kepada nabi Adam
dan Hawa86. Berdasarkan hal ini maka kata jiwa tidak
termasuk dari penyebutan makna ayat. Dan ini merupakan
pentakwilan yang terjauh dan terdekat dari sisi takalufnya.
3) Bahwa ayat ini berbicara kepada Quraisy yaitu kepada bani
Qushai, yang sesungguhnya mereka berasal dari satu jiwa
yaitu Qushai. Dimana dia punya istri dari bangsanya sendiri
yaitu Quraisy. Kemudian keduanya memohon kepada Allah
Shubhanahu wa ta’alla untuk di beri anugerah anak. Lalu –Dia
mengabulkan permintaan keduanya, dengan
menganugerahkan empat anak laki-laki yang keduanya beri
nama dengan, Abdu Manaf, Abdu Syams, Abdul Uzza dan
Abdu Daar.87
85 . al-Kasyaaf 2/109 oleh Zamakhsyari. At-Tibyaan fii Aqsamil Qur'an hal:
263-264 oleh Imam Ibnu Qoyim.
86 . Lihat penjelasan ini oleh Fakhrur Razi dalam Tafsirnya 8/15/60-61.
87 . Tafsir Raghaibil Furqaan wa Gharaibil Qur'an 6/9/94 oleh an-
Naisaburi.
63
4) Yang diinginkan dalam ayat adalah Adam dan Hawa. Dan
meminta kepada Adam dan Hawa kepada Allah Shubhanahu
wa ta’alla untuk di karunia anak yang sholeh adalah
keturunanya yang lurus untuk mendapat keturunan laki-laki
maupun perempuan. Akan tetapi anak-anak keturunan
tersebut yang menjadikan sekutu bagi -Nya, dari patung dan
berhala. Maka maha suci Allah Shubhanahu wa ta’alla dari
kesyirikan yang di lakukan oleh kaum musyrikin yang
merupakan keturunan keduanya.
Adapun firman Allah ta'ala:
﴿ ($a ] ~ اف: Rm+ ﴾ [ ا ~ (qِWٰp (aَ ٰ ُ bَ 4 َ ءَا Wَ
"Tatkala Allah memberi kepada keduanya seorang anak yang sempurna".
(QS al-A'raaf: 190).
Jenis anak dari anak yang sempurna dari segi penciptaan,
mulai dari fisik, akal, kekuatan tubuh. Yang menunjukan
banyak di sini ialah sifat yang di miliki oleh anak tersebut dan
ini disebut sebagai jenis. Maka ini mencakup laki-laki dan
perempuan baik sedikit maupun banyak.
Seakan-akan di katakan, 'Tatkala keduanya di beri anakanak
yang sempurna dalam penciptan baik laki-laki maupun
64
perempuan, Allah Shubhanahu wa ta’alla jadikan dua bentuk
dalam firman -Nya "Mereka menjadi sekutu bagi Allah". dari
segi dua bentuk ini ada sebagian mereka yang menjadikan
sekutunya dengan patung, berhala, api, matahari dan ada pula
yang lainnya.88
Kesimpulan dari ini semua ialah bahwa tidak absah yang
menetapkan kalau nabi Adam yang melakukan kesyirikan, namun,
yang otentik sebagaimana kami telah paparkan di awal bahwa
awal mula kesyirikan yang terjadi di tengah-tengah bani Adam
ialah di mulai dari kaumnya nabi Nuh a'laihi sallam. Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah menegaskan, "Sesungguhnya manusia setelah nabi
Adam 'alahi sallam, dan sebelum nabi Nuh berada diatas agama
tauhid yang murni. Sebagaimana keadaan bapak mereka nabi
Adam a'laihi sallam, hingga akhirnya mereka membikin perkara
baru dengan kesyirikan dan peribadatan kepada berhala. Bid'ah
yang merupakan hasil inovasi mereka sendiri, yang tidak pernah
di turunkan oleh Allah perkara tersebut sebuah kitab pun tidak
pula di utus seorang rasul yang mengajarkan hal tersebut, mereka
lakukan berdasarkan kerancuan yang dihiasi oleh setan dari
analogi-analogi yang batil dan filsafat-filsafat yang merusak.
88 . Dikatakan oleh al-Khatib Syarbini dalam Sirajul Munir fii I'anatu 'ala
Ma'rifatil Kalami Rabbinaa al-Khabir 1/449.
65
Sehingga diantara mereka ada yang mengklaim jika patungpatung,
jimat dan mantera, bintang dilangit dan gugusan tata
surya serta arwah yang berada diatas langit punya kekuasaan.
Ada pula yang menjadikan gambar dan foto dari
kalangan generasi sebelumnya dari para nabi dan orang-orang
sholeh. Ada lagi yang menjadikan sekutu untuk persembahan
arwah yang rendah dari kalangan jin dan setan. Dan ada pula yang
berada dalam pemikiran dan perilaku yang sesat lainnya. Yang
kebanyakan mereka hanya sekedar mengikuti para pembesarpembesarnya,
dan mereka sangat jauh dari kebenaran,
selanjutnya Allah Shubhanahu wa ta’alla mengutus nabi –Nya,
Nuh a'laihi sallam untuk mengajak mereka hanya beribadah
kepada Allah Shubhanahu wa ta’alla semata dan tidak
menyekutukan -Nya, dan melarang mereka untuk beribadah
kepada selain Allah Shubhanahu wa ta’alla, walaupun mereka
mengklaim jika sesembahnnya tersebut hanya dijadikan sebagai
wasilah yang akan mendekatkan diri kepada -Nya sedekatdekatnya
dan menjadikan sebagai perantara pemberi syafaat".89
89 . Majmu Fatawa 28/603-604.