Artikel




بسم الله الرحمن الرحيم


Segala puji bagi Allah yang telah mengutus Muhammad


sebagai pemberi kabar gembira dan peringatan, mengutusnya


sebagai da’i yang menyeru kepada Allah atas izinNya dan


sebagai lentera yang terang benderang, juga memuliakan para


sahabatnya, dan memeberikan mereka keutamaan yang besar,


semoga shalawat dan salam dari Allah senantiasa tercurahkan


kepada Muhammad, para keluarga, dan para sahabatnya.


Amma ba’du:


Saya menulis buku ini sebagai bantahan atas syubhat


yang diutarakan oleh orang-orang yang terkena tipu daya


syetan, dan disesatkan olehnya. Sering kali permasalahan


memukul wanita dalam Islam diangkat dalam beberapa


kesempatan, dan kami perhatikan banyak sekali situs-situs


yang memfatwakan hal itu tanpa didasari ilmu dan


pengetahuan, yang dimanfaatkan oleh orang-orang yang


memiliki kebencian kepada Islam untuk berusaha menfitnah


agama ini dengan perkara yang sama sekali tidak diajarkan


oleh agama Islam, maka aku ingin menyuguhkan kepada


saudaraku para pembaca yang mulia mengenai sikap agama


Islam berkaitan dengan memukul istri, dan perbedaan yang


jelas antara agama Islam dengan agama selainnya, karena


agama ini adalah satu-satunya agama yang menjelaskan


larangan memukul wanita baik ketika mereka masih kecil,


atau sudah besar, maka marilah bersama-sama kita telaah


[4]


masalah ini secara terperinci, kemudian baru silahkan kalian


simpulkan berdasarkan ilmu dan pengetahuan yang ada.


Penulis


[5]


Sesungguhnya amalan dan perbuatan manusia dalam


syariat Islam, hukumnya terbagi menjadi beberapa jenis,


supaya kita memahami hukum suatu perbuatan apakah ia


mubah atau haram, adapun jenis hukum tersebut adalah


sebagai berikut:


1. Fardhu: ini adalah derajat taklif tertinggi, yang


artinya, segala hal yang diperintahkan oleh syariat


dan harus dikerjakan melalui dali yang qoth’i yang


tidak terdapat syubhat padanya, seperti perintah


untuk mengerjakan shalat, puasa, membaca alquran,


hukum hal ini: wajib dikerjakan, hal ini akan


menghasilkan pahala bagi orang yang


mengerjakannya, dan orang yang meninggalkannya


akan mendapat hukuman.


2. Mustahab: artinya, segala hal yang diperintahkan


oleh syariat, namun tidak harus dilaksanakan, orang


yang mengerjakannya akan mendapat pahala, dan


orang yang meninggalkannya tidak mendapat dosa,


seperti, membersihkan gigi dengan siwak sebelum


shalat.


3. Mubah: segala perkara yang apabila dikerjakan tidak


akan menghasilkan pahala, dan jika ditinggalkan


tidak menghasilkan dosa, seperti, jalan, mengendarai


kendaraan, dan perkara-perkara lainnya yang


[6]


diizinkan dari perbuatan-perbuatan yang biasa kita


kerjakan di keseharian kita.


4. Makruh: artinya, segala hal yang dilarang oleh


syariat, namun tidak harus ditinggalkan, maka


seorang yang meninggalkannya karena patuh, akan


mendapat pahala, namun orang yang


mengerjakannya tidak mendapat dosa, akan tetapi


disunnahkan untuk meninggalkan segala hal yang


berkaitan dengan yang makruh ini, walaupun jika


melakukannya tidak mendapat dosa, karena


kebiasaan dan keseringan mengerjakan hal yang


makruh akan meneybabkan pelanggaran atas


batasan-batasan yang telah Allah tetapkan, dan


mengerjakan perkara-perkara yang haram, adapun


alasan mengapa hal yang makruh jika dikerjakan


tidak memberikan dosa bagi pelakunya, walaupun


hal tersebut makruh, karena keterdesakan yang amat


besar, dan keadaan hidup seorang manusia, sehingga


ia terpaksa mengerjakan hal yang dimakruhkan


tersebut, contohnya: Allah ta’ala memakruhkan talak


(perceraian), akan tetapi tidak mengharamkannya,


untuk memberi keluasan bagi para hambaNya jika


memang mereka terdesak dan sangat membutuhkan


hal itu.


5. Haram: yaitu, segala hal yang dilarang oleh syariat,


dan harus ditinggalkan, dengan dalil qoth’i yang di


dalamnya tidak terdapat syubhat, orang yang


melakukannya akan mendapatkan dosa, dan orang


yang meninggalkannya karena patuh kepada Allah


[7]


akan mendapatkan pahala, seperti: keharaman


meminum khamr.


Perbedaan antara halal dan haram:


Mengetahui perkara yang halal, dan membedakan antara


yang halal dan yang haram adalah tonggak berdirinya agama


Islam, dan bukti keimanan, karena hal itu berhubungan


dengan amalan hati, sebagaimana ia pun berhubungan dengan


amalan anggota tubuh.


Hukum asal segala sesuatu itu halal atau mubah, tidak


ada yang diharamkan kecuali apa yang telah dijelaskan dalam


nash-nash yang shahih dan sharih (jelas) akan


pengharamannya.


Menghalalkan dan mengharamkan sesuatu adalah hak


Allah ta’ala, karena Allah lah pencipta, pengatur, pemberi


kemudahan, dan kenikmatan, Allah berhak menghalalkan


apapun yang Ia kehendaki bagi para hambanya, dan


mengharamkan atas mereka apapun yang ia kehendaki, akan


tetapi Allah ta’ala atas rahmat dan kasih sayang kepada para


hambanya, Allah menjadikan halal dan haram, karena sebab


yang bisa dimengerti, demi kemaslahatan manusia itu sendiri,


sehingga Allah tidak menghalalkan kecuali sesuatu yang baik,


dan tidak mengharamkan kecuali yang buruk.


[8]


Perpindahan hukum suatu perbuatan dari yang satu ke


yang lainnya:


1. Berpindahnya hukum sesuatu yang mubah menjadi


haram, atau sebaliknya:


Terkadang perbuatan yang mubah bisa berubah menjadi


haram, apabila terdapat sebab-sebab yang mengubahnya dari


perbuatan yang baik, dan diridhai oleh setiap jiwa, menjadi


perbuatan yang buruk dan berbahaya bagi manusia, sebagai


contoh, hukum berjalan-jalan adalah mubah, akan tetapi bisa


jadi hukumnya berubah dari mubah menjadi haram, apabila


pemimpin setempat mengeluarkan peraturan yang melarang


jalan-jalan setelah jam 10 malam, di sebagian jalan atau kota,


karena alasan keamanan, yang bisa mengakibatkan kecelakaan


bagi seseorang.


Dan perbuatan yang haram terkadang bisa berubah


menjadi mubah, apabila terdapat sebab-sebab yang


mengharuskan hal itu diperbuat dalam keadaan darurat, demi


menjaga jiwa seseorang, seperti meminum khamr, khamr


adalah suatu yang haram dalam syariat, akan tetapi hukumnya


bisa menjadi mubah ketika seseorang tersesat di tengah


padang pasir, sampai ia hampir mati karena kehausan, sedang


ia tidak 4mendapati minuman apapun kecuali khamr, maka


saat itu, ia boleh meminum khamr tersebut sekedarnya,


sehingga ia bisa menyelamatkan hidupnya, tanpa berlebihan.


2. Berpindahnya hukum seseuatu yang wajib menjadi


haram, atau sebaliknya:


[9]


Terkadang perbuatan yang wajib berubah menjadi


haram, dan terkadang perbuatan yang haram berubah menjadi


wajib, seperti penjelasan yang lalu, contohnya shalat,


hukumnya wajib, akan tetapi hal itu akan berubah menjadi


haram ketika seorang melaksanakan shalat di dalam


rumahnya, di tengah bencana gempa, yang mana seorang yang


melakukan shalat tersebut yakin, kalau ia tidak segera keluar


dari rumahnya ia akan mati!!! Mendzalimi orang lain, dengan


cara memotong kakinya adalah perbuatan yang haram, akan


tetapi jika seorang dokter tidak mendapatkan cara lain untuk


menyelamatkan seorang pasien yang sakit, kecuali dengan


memotong kakinya, jika tidak ia akan mati, maka dalam


keadaan seperti ini, memotong kaki orang yang sakit itu


hukumnya wajib atas sang dokter, jika ia tidak melakukannya,


maka sang dokter berdosa, bersalah, dan layak dihukum


karena tidak memotong kaki orang yang sakit tadi.


3. berpindahnya hukum sesuatu yang makruh


menjadi mustahab, dan berpindahnya hukum


sesuatu yang mustahab / mandub menjadi haram:


Perbuatan yang makruh terkadang bisa berubah menjadi


mustahab, bahkan menjadi wajib, contohnya cerai, dalam


hukum Islam, perceraian hukumnya makruh, dan dibenci oleh


Allah azza wa jalla, akan tetapi dalam beberapa keadaan,


ketika seseorang tidak menceraikan istrinya, bisa jadi hal itu


akan menjerumuskannya kepada perkara yang diharamkan


secara syariat, yang mana hal tersebut tidak bisa dihindari


kecuali dengan bercerai, seperti misalnya sang istri tidak bisa


menjaga kehormatan, dan tidak bisa dinasehati lagi, maka saat


[10]


itu kita katakan, bahwa jalan terbaik adalah dengan


menceraikannya, dengan demikian perkara yang makruh


berubah menjadi mustahab.


Dan terkadang perbuatan yang mustahab bisa berubah


menjadi haram, contohnya menggunakan siwak, hal ini


merupakan perkara yang mustahab, sewaktu-waktu bisa


berubah menjadi makruh, bahkan haram, ketika gigi-gigimu


keropos, dan engkau tau, kalau engkau tetap bersiwak, hal itu


akan menyebabkan gigimu tanggal, maka dalam keadaan


seperti ini, bersiwak berlawanan dengan suatu kaidah dalam


syariat Islam:


لا ضرر ولا ضرار


Tidak boleh melakukan sesuatu yang membahayakan


diri sendiri dan orang lain.


Kesimpulan:


Kesimpulan dari penjelasan yang lalu, bahwa agama


Islam bukanlah agama yang buta, dan tidak menimbang


keadaan manusia, dan kemampuan mereka di kehidupan


sehari-hari. Akan tetapi yang sebenarnya buta adalah hati para


musuh Islam yang ingin menyebarkan syubhat dan


kebohongan tentang Islam, mereka ingin mematikan cahaya


Allah ta’ala, namun Allah enggan kecuali untuk


menyempurnakan cahayanya, walaupun orang-orang kafir


benci.


Semoga anda wahai pembaca yang budiman


mengetahui, bahwa agama Islam bukanlah agama yang


[11]


dzalim, akan tetapi agama Islam adalah agama yang adil, dan


adil sendiri adalah salah satu nama dari nama-nama Allah


ta’ala, pengharaman dan penghalalan dalam agama Islam,


dibangun atas keadilan bukan atas kebutaan, adapun


kedzaliman dalam segala bentuknya, maka hal itu diharamkan


dalam syariat agama Islam.


[12]


Dalam nash-nash alquran kita dapati Allah subahanhu


wa ta’ala telah memerintahkan untuk berbuat baik kepada


istri, memuliakannya, bergaul dengannya dengan cara yang


ma’ruf, walaupun ketika tidak lagi memiliki rasa cinta di hati,


Allah berfirman dalam alquran:


وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللََُّّ فِيهِ


خَيْرًا كَثِيرًا


“Dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian


bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena


mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah


menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (QS An Nisa:


19).


Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


لا يفرك مؤمن مؤمنة , إن كره منها خلقا رضي منها آخر


“Janganlah seorang mu’min membenci seorang


mu’minah, pabila ia membenci salah satu perangainya, maka


ia menyukai perangainya yang lain”. (HR Muslim).


Allah juga menjelaskan bahwa wanita memiliki hak atas


suaminya, sebagaimana suami memiliki hak atas istrinya,


Allah ta’ala berfirman:


[13]


وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ


“Dan Para wanita mempunyai hak yang seimbang


dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf.” (QS Al


Baqarah: 228).


Dan diantara wasiat Rasulullah صلى الله عليه وسلم sebelum beliau


meninggal adalah, agar memperhatikan wanita, memuliakan


mereka, tidak mendzalimi, dan juga tidak merampas hak-hak


mereka, Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


إستوصوا بالنساء خيرا


“Perlakukanlah wanita dengan baik”. (HR Muslim).


Beliau juga bersabda:


أكمل المؤمنين إيمانا أحسنهم خلقا وخياركم خياركم لنسائهم


“Orang mu’min yang paling sempurna imannya adalah


orang yang paling baik akhlaknya, dan orang yang paling baik


diantara kalian adalah orang yang paling baik kepada


istrinya”. (HR Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dalam shahihnya,


Tirmidzi mengatakan: “Hadits hasan shahih”).


Dari ‘Aisyah رضي الله عنها berkata, Rasulullah صلى الله عليه وسلم


bersabda:


خيركم خيركم لاهله وأنا خيركم لاهلي


“ Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik


kepada keluarganya, dan aku adalah orang yang paling baik


[14]


kepada keluargaku”. (HR Tirmidzi, dan Ibnu Hibban dalam


shahihnya).


Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga memerintahkan untuk bersabar atas


segala kesalahan istri, memaklumi, dan memaafkan mereka,


seraya mengasih tau tabiat yang diberikan oleh Allah kepada


wanita, beliau bersabda:


إن المرأة خلقت من ضلع , لن تستقيم لك على طريقة , فإن استمتعت بها


استمتعت بها وفيها عوج , وإن ذهبت تقيمها كسرتها , وكسرها طلاقها


“Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk, ia


tidak akan pernah bisa lurus, apabila kau bersenang-senang


dengannya, engkau bersenang-senang, sedang mereka masih


tetap bengkok, dan apabila kau paksa ia untuk lurus, engkau


akan mematahkannya, dan patahnya ditandai dengan


perceraian”. (HR Muslim).


Rasulullah صلى الله عليه وسلم juga bersabda:


استوصوا بالنساء خيرا, فإنهن خلقن من ضلع وإن أعوج شئ في الضلع أعلاه,


فإن ذهبت تقيمه, كسرته, وإن تركته, لم يزل أعوج, فاستوصوا بالنساء خيرا


“Perlakukanlah wanita dengan baik, karena mereka


diciptakan dari tulang rusuk, dan tulang rusuk yang paling


bengkok adalah yang paling atas, apabila kau coba


meluruskannya engkau akan mematahkannya, namun apabila


engkau biarkan, ia akan tetap bengkok, maka perlakukanlah


wanita dengan baik”. (HR Bukhari).


[15]


صلى الله عليه وسلم


Rasulullah صلى الله عليه وسلم merupakan suri tauladan bagi setiap


muslim, Allah memerintahkan kaum muslimin untuk


mengikuti sunnah beliau, Allah ta’ala berfirman:


لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللََِّّ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كَانَ يَرْجُو اللََّّ وَالْيَوْمَ اآْخخِرَ وَذَكَرَ


اللَََّّ كَثِيرًا


“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri


teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap


(rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan Dia banyak


menyebut Allah.” (QS Al Ahzab: 21).


Beliau adalah contoh tertinggi, dan makhluk yang paling


mulia, Allah ta’ala mengutusnya dengan membawa agama


yang lurus dan santun, Tuhannya telah mendidiknya dengan


baik, beliau memiliki segala perangai baik, dan akhlak yang


terpuji, Allah ta’ala berfirman:


وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ


“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti


yang agung.” (QS Al Qalam: 4).


Beliau mengaplikasikan akhlak mulia itu dalam


perilakunya sehari-hari, beliau bersabda:


إنما بعثت لأتمم مكارم الأخلاق


[16]


“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan


akhlak yang baik”. (HR Malik dalam kitab “Muwattha’”, dan


Bukhari dalam kitab “Al Adabul Mufrad”).


‘Aisyah رضي الله عنها istrinya, yang lebih mengetahui


tentang pribadi Rasulullah صلى الله عليه وسلم dari siapapun, menceritakan


tentang diri Rasulullah صلى الله عليه وسلم, beliau berkata:


كان خلقه القرءان


“Akhlak beliau adalah alquran”. (HR Ahmad).


Maksudnya: beliau senantiasa mengerjakan apa yang


diperintahkan di dalam alquran, dan meninggalkan larangan


yang ada di dalamnya, tidak ada satu pun akhlak mulia yang


diperintahkan oleh alquran, kecuali Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan orang


yang paling sempurna bentuk perealisasiannya, dan tidak ada


satu akhlak buruk pun yang dilarang oleh alquran, kecuali


Nabi صلى الله عليه وسلم merupakan orang yang paling menghindarinya.


Belum pernah terjadi sedikitpun dalam kehidupannya, ia


memumukul seorang wanita atau anak kecil sedikit pun!!!


Bahkan seorang yang mengikuti biografi kehidupannya,


dan menelaah hadits-haditsnya yang mulia, niscaya akan


mendapati dengan jelas, bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم melarang dan


mengharamkan dengan keras hal tersebut, istrinya ‘Aisyah


رضي الله عنها bercerita tentang beliau:


ما ضرب رسول الله صلى الله عليه وسلم شيئا قط بيده ولا امرأة ولا خادما إلا أن يجاهد في سبيل


الله . وما نيل منه شيء قط . فينتقم من صاحبه . إلا أن ينتهك شيء من محارم


الله . فينتقم لله عز وجل


[17]


“Rasulullah صلى الله عليه وسلم tidak pernah sedikit pun memukul


sesuatu dengan tangannya, tidak wanita, dan tidak pula


pembantu, kecuali ketika beliau sedang berjihad di jalan


Allah, dan tidaklah pernah beliau didzalimi, lantas ia


membalas orang yang melakukannya, kecuali jika sampai


melanggar hal-hal yang diharamkan oleh Allah, maka ia akan


membalas karena Allah”. (HR Muslim).


Bahkan musuh-musuh yang senantiasa berusaha untuk


menghalangi dakwah beliau, mereka tidak mendapati dari


pribadi Rasulullah صلى الله عليه وسلم kecuali sebagaimana yang telah kami


sebutkan.


Mari kita perhatikan apa yang dikatakan oleh orang yang


paling dekat dengan beliau, dan paling sering menemani


beliau, tidak diragukan lagi, jika seseorang sering menemani


orang lain, maka ia akan mengetahui pribadi orang yang


ditemani itu dan akhlaknya, Anas bin Malik رضي الله عنه


pembantu yang telah berkhidmat bagi Rasulullah صلى الله عليه وسلم selama


10 tahun, mengatakan:


خدمت رسول الله صلى الله عليه وسلم عشر سنين, فما قال لي: أف قط, وما قال لشئ صنعته : لم


صنعته ؟ ولا لشئ تركته : لم تركته ؟ وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم من أحسن الناس خلقا


“Aku berkhidmat bagi Rasulullah صلى الله عليه وسلم selama 10 tahun,


beliau tidak pernah mengatakan kepadaku: ‘uf’ sama sekali,


dan tidak pernah beliau mencela apa yang aku kerjakan


dengan mengatakan: ‘Mengapa kau kerjakan demikian?’, dan


apa yang aku tinggalkan dengan mengatakan: ‘Mengapa kau


tinggalkan hal ini?’, Rasulullah صلى الله عليه وسلم adalah salah seorang yang


paling baik akhlaknya”. (HR Muslim dan Tirmidzi).


[18]


[19]


Sesungguhnya sumber syariat agama Islam adalah nashnash


dari kitab Allah dan sunnah NabiNya صلى الله عليه وسلم yang shahih,


dari keduanya kita mengambil dali, dan melalui keduanya kita


mengetahui hukum memukul wanita dalam agama Islam,


apakah ia wajib, musthab, mubah, makruh, atau haram, dari


hadits yang diriwayatkan dari jalan Iyas bin Abdillah berkata:


Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


)لا تضربوا إماء الله(, فجاء عمر إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : )ذئرن النساء على


أزواجهن(, فرخص في ضربهن فأطاف بآل رسول الله صلى الله عليه وسلم نساء كثير يشكون


أزواجهن, فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : )لقد طاف بآل محمد نساء كثير يشكون أزواجهن


ليس أولئك بخياركم(.


“Janganlah kalian pukul hamba-hamba wanita Allah”,


maka datanglah Umar kepada Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan berkata:


“Sebagian istri durhaka kepada suaminya”, maka Rasulullah


صلى الله عليه وسلم mengizinkan para suami untuk memukul istri-istri mereka,


maka para wanita pun banyak mendatangi keluarga (istri)


Rasulullah صلى الله عليه وسلم guna mengadukan perilaku suami-suami


mereka, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Telah datang banyak


wanita kepada keluarga (istri) Rasulullah, mengadukan


perilaku suami-suami mereka, meraka bukanlah orang yang


baik diantara kalian”. (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan Ad


Darimi, Al Albani berkata: “ Shahih”).


Dari hadits tersebut kita bisa mengetahui:


[20]


Bahwa hadits tersebut tidak disampaikan oleh Rasulullah


صلى الله عليه وسلم dalam satu kesempatan, akan tetapi disampaikan dalam


tiga kesempatan yang berbeda:


Kesempatan pertama: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


“Jangan kalian pukul hamba- hamba wanita Allah”, sampai


disini selesailah kesempatan yang pertama.


Oleh karena itu, semua orang yang saat itu mendengar


sabda Rasulullah صلى الله عليه وسلم itu pun mengetahui, bahwa hukum


memukul wanita adalah haram, karena Rasulullah صلى الله عليه وسلم


melarang hal tersebut, dan pelakunya berdosa karena ia


melanggar larangan yang telah diberikan oleh Rasulullah .صلى الله عليه وسلم


Kesempatan kedua: kedatangan Umar bin Khattab


رضي الله عنه di kesempatan yang berbeda dengan kesempatan


pertama, untuk mengadukan perilaku sebagian wanita, beliau


berkata: “Para wanita durhaka kepada suami mereka”,


maksudnya: mereka mulai berani, membantah, dan melawan


suaminya, saat ini lah Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengizinkan para suami


untuk memukul para wanita, berdasarkan keadaan dan


kebutuhan hidup yang mana kehidupan manusia tidak akan


sempurna tanpanya, akan tetapi bagaimana cara memukul


wanita? Inilah yang akan kita jelaskan dalam pembahasan


berikutnya.


Kesempatan ketiga: setelah Rasulullah صلى الله عليه وسلم


mengizinkan para suami untuk memukul istri-istri mereka


yang membangkang dan berani menentang suaminya, banyak


wanita yang mendatangi Rasulullah صلى الله عليه وسلم guna mengadukan


perilaku suami-suami mereka, maka Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


[21]


“ Telah datang banyak wanita kepada keluarga Muhammad,


mengadukan perilaku suami-suami mereka, maka mereka


bukanlah sebaik-baik kalian”.


Pada kesempatan terakhir inilah, menjadi jelas hukum


final memukul wanita dalam agama Islam, yaitu makruh, atau


haram, ketika sang istri melanggar aturan-aturan Allah


subhanahu wa ta’ala –inilah yang akan kita bahas di


kesempatan yang akan datang– namun apakah hadits ini


menunjukkan bahwa Rasulullah صلى الله عليه وسلم menganjurkan untuk


memukul wanita? Atau memuji orang yang memukul istrinya?


Sesungguhnya di dalam ucapan Rasulullah صلى الله عليه وسلم tersebut


terdapat celaan, dan beliau menafikan kebaikan dalam diri


seorang yang memukul istrinya!!!


Para sahabat telah memahami maksud dari ucapan


Rasulullah صلى الله عليه وسلم dan meyakini, bahwa orang yang memukul


istrinya tidak akan mendapat keridhaan dan pujian Rasulullah


صلى الله عليه وسلم, dan tidak diragukan lagi, bahwa sesuatu yang tidak


diridhai oleh Rasulullah صلى الله عليه وسلم hukumnya makruh bahkan bisa


sampai haram.


Kita telah saksikan bersama tahapan dan hukum asla


memukul wanita dalam Islam, yang mana pada asalnya


hukum memukul wanita adalah haram, kemudian berubah


[22]


menjadi mubah karena sebab sebab tertentu, kemudian


berubah lagi menjadi makruh, akan tetapi kapan memukul


wanita bisa menjadi haram? Hukum memukul wanita bisa


menjadi haram ketika hal itu dilakukan secara dzalim tanpa


sebab, segala bentuk kedzaliman dilarang dalam agama Islam,


Allah ta’ala berfirman dalam alquran melarang segala bentuk


kedzaliman:


ومن يظلم منكم نذقه عذابا كبيرا


“Dan barang siapa di antara kamu yang berbuat zalim,


niscaya Kami rasakan kepadanya azab yang besar.” (QS Al


Furqan: 19).


Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


اتَّقُوا الظُّلْمَ فَإِنَّ الظُّلْمَ ظُلُمَاتٌ يَوْمَ الْقِيَامَةِ


“Jauhilah kedzaliman, karena kedzaliman akan


mengakibatkan kegelapan pada hari kiamat”. (HR Muslim).


Dari Anas رضي الله عنه berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:


اتقوا دعوة المظلوم و إن كان كافرا فإنه ليس دونها حجاب


“Hati-hatilah dari doa orang-orang yang terdzalimi,


walaupun ia seorang kafir, karena tidak ada penghalang bagi


doa tesebut (untuk dikabulkan)”. (HR Ahmad dan dishahihkan


oleh Al Albani).


Agama Islam melarang segala bentuk menggangu orang


lain siapapun itu, baik melalui perkataan, sebagaimana firman


Allah ta’ala:


[23]


إِنَّ الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلََتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي الدُّنْيَا وَاآْخخِرَةِ وَلَهُمْ


عَذَابٌ عَظِيمٌ


“Sesungguhnya orang-orang yang menuduh wanita yang


baik-baik, yang lengah lagi beriman (berbuat zina), mereka


kena la'nat di dunia dan akhirat, dan bagi mereka azab yang


besar.” (QS An Nuur: 23).


Ataupun melalui perbuatan, dengan memukul ataupun


yang lainnya tanpa alasan yang benar, sesuai firman Allah:


وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ المُؤْمِنِينَ وَالمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا


مُبِينًا


“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang


mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat,


Maka Sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan


dosa yang nyata.” (QS Al Ahzab: 58).


Ataupun perbuatan dzalim yang dikerjakan dengan


memakan harta orang lain dengan cara yang bathil, Allah


ta’ala berfirman:


وَلََ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ


“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta


sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang


bathil.” (QS Al Baqarah: 188).


Hukum ini berlaku bagi semua manusia, baik laki-laki,


ataupun perempuan, kecil ataupun besar, muslim ataupun


kafir, dari Abu Hurairah رضي الله عنه dari Rasulullah :صلى الله عليه وسلم


[24]


المسلم من سلم الناس من لسانه ويده والمؤمن من أمنه الناس على دمائهم


وأموالهم


“Seorang muslim sejati adalah, orang yang membuat


manusia merasa selamat dari perbuatan buruk lisan dan


tangannya, dan seorang mu’min sejati adalah, orang yang


membuat manusia merasa aman atas darah dan hartanya”.


(HR Nasai, syeikh Al Albani mengatakan: “Hadits hasan


shahih“.).


Barang siapa yang mengatakan bahwa agama Islam


menyuruh untuk mendzalimi dan memukul wanita, maka ia


telah melakukan fitnah yang sangat keji.


Hukum peradilan dalam agama Islam, tidak menganggap


remeh masalah pemukulan wanita, dan kekerasan yang


dilakukan oleh suami kepada istri-istri mereka, agama Islam


berlaku adil, dan menghukum para suami yang memukul istri


mereka secara dzalim, ia juga akan dikenakan hukuman syar’I


ketika perkara tersebut diangkat ke pengadilan, sebagai


permisalan adalah kasus berikut:


1. Surat kabar “Riyadh” memberitakan dalam situs resmi


mereka, pada tanggal 12/12/2012 kasus sebagai berikut:


Pengadilan khusus pidana provinsi Qatif Arab Saudi,


memvonis seorang suami yang memukul istrinya secara


dzalim dengan hukuman 30 kali pukulan di depan khalayak,


[25]


guna menjadikan hal itu pelajaran bagi seluruh suami yang


mendzalimi istrinya, pengadilan juga menghukum sang suami


untuk belajar selama 10 hari, di salah satu sekolah khusus


yang mengajarkan tata cara bergaul dengan istri dan cara


mengatur rumah tangga, setelah itu ia harus mengikuti tes


tertulis yang hasilnya disertakan di lampiran kasus.


Sama halnya dengan pengadilan-pengadilan lain di


setiap negara Islam, yang akan menghukum suami yang


menganiaya istrinya dengan memukul, anehnya, sampai ada


beberapa wanita yang mengancam suaminya dengan


memukuli dirinya sendiri, kemudian ia pergi ke kantor polisi


dan melaporkan bahwa yang memukul adalah suami mereka,


padahal suami mereka berlepas diri dari tuduhan tersebut.


Kasus ini membuktikan bahwa seorang muslim yang


berakal dan mengikuti ajaran-ajaran Islam, tidak akan ridha


atas kedzaliman dan penganiayaan terhadap wanita,


sebagaimana agama kita tidak mengajarkan hal yang


demikian, maka ia pun mengharamkannya, dan


menjadikannya sebagai salah satu kedzaliman yang


diharamkan, bahkan agama Islam memerintahkan kita untuk


memaafkan, mengampuni, bersabar, dan berusaha untuk


membayar keburukan dengan kebaikan.


Perlu diketahui, bahwa agama Islam tidak membolehkan


begitu saja memukul wanita, akan tetapi mengizinkannya


dalam keadaan yang memang harus dikerjakan demi menjaga


kerukunan rumah tangga, itu pun dengan syarat, supaya hal itu


hanya dilakukan sesekali saja, demi merealisasikan satu


[26]


tujuan, yaitu menjaga keutuhan rumah tangga, dan akhlak


masyarakat pada umumnya.


[27]


Seorang akan mengatakan, bukankah seorang suami


harusnya measehati istrinya ketika ia membangkang, bukan


malah memukulnya, maka kami katakan, inilah hukum yang


ditetapkan oleh Allah ta’ala, Allah berfirman dalam alquran:


وَاللََّتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُ وهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ


أَطَعْنَكُمْ فَلََ تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًَ إِنَّ اللَََّّ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا


“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya


(mmebangkang), Maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah


mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka.


kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu


mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya


Allah Maha Tinggi lagi Maha besar.” (QS An Nisa: 34).


Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda pada saat haji wada’:


ألا واستوصوا بالنساء خيرا , فإنما هن عوان عندكم , ليس تملكون منهن يير


ذلك , إلا أن يأتين بفاحشة مبينة , فإن فعلن فاهجروهن في المضاجع


واضربوهن ضربا يير مبرح , فإن أطعنكم فلا تبغوا عليهن سبيلا . ألا إن لكم


على نسائكم حقا , ولنسائكم عليكم حقا


“Ingatlah, berbuat baiklah kepada wanita, karena mereka


(bagaikan) tawanan di sisi kalian, kalian tidak memiliki kuasa


atas mereka sedikit pun selain itu, kecuali jika mereka


melakukan perbuatan nista yang nyata, dan apabila mereka


[28]


melakukan itu, maka tinggalkanlah mereka di tempat tidur


mereka, dan pukullah mereka dengan pukulan yang tidak


melukai. Jika mereka mentaati kalian, maka janganlah berbuat


aniaya kepada mereka, ketahuilah, bahwa kalian memiliki hak


yang harus ditunaikan oleh istri-istri kalian, dan istri-istri


kalian memiliki hak yang harus kalian tunaikan”. (HR


Tirmidzi, syeikh Al Al Bani mengatakan: “ Hadits hasan”).


Demikianlah Allah mengajarkan kita hukum yang sesuai


dengan keadaan para hambaNya, dan demikuan pula


Rasulullah صلى الله عليه وسلم mengajarkan kepada kita, cara untuk mengatasi


pembangkangan istri, dan mengurutkannya menjadi beberapa


tahapan:


1. Tahapan pertama:


Seorang suami hendaknya menggunakan nasehat sebagai


jalan mengoreksi istrinya yang tidak mentaatinya, sebelum ia


menghajr (mendiamkan istri) di atas kasur. Urutan ini wajib


hukumnya menurut jumhur ahli fiqih, maka seorang suami


harus mengambil hati istrinya dengan cara melembutkan


perkataan kepada mereka, dan mengucapkan kata-kata yang


menjelaskan rasa cinta dan kedudukan sang istri di hati suami,


bahwa ia ingin menasehatinya, dan mengerahkan segenap


kemampuannya untuk menasehati dan mengoreksi kesalahan


sang istri.


Perlu diketahui, bahwa nasehat tidak pernah keluar dan


diterima dari hati yang kering dan kasar, akan tetapi nasehat


yang diterima adalah nasehat yang disampaikan dengan


ucapan yang lembut, dan pergaulan yang baik, seperti


[29]


membelikan hadiah untuk sang istri, sehingga istrinya


menerima nasehat dari suaminya dengan hati yang ridha, dan


akal yang baik.


Tentunya seorang istri yang baik, dan memiliki akhlak


yang mulia, akan menerima nasehat dari suaminya, menaruh


nasehat tersebut di keningnya, seraya mengingat kebaikan


rumah tangga dan anak-anaknya. Adapun jika seorang istri


adalah wanita yang buruk, dan memiliki tabiat yang jelek,


maka nasehat tiadk akan bermanfaat bagi orang yang seperti


itu, maka ketika itu seorang suami mulai berpindah kepada


tahapan kedua yang telah diperintahkan oleh Allah ta’ala,


yaitu menghajr (mendiamkan) istrinya di atas kasur.


2. Tahapan kedua:


Seorang suami menggunakan cara hajr (mendiamkan)


istrinya di atas kasur, dengan berpaling dari sang istri ketika


mereka di atas kasur, dan tidak memberikan hak biologis


kepadanya maksimal selama 3 hari, sesuai sabda Rasulullah


:صلى الله عليه وسلم


لا يحلُّ لمسلمٍ أن يهجرَ أخاه فوق ثلاثٍ


“Tidak boleh seorang muslim mendiamkan saudaranya


lebih dari 3 hari”. (Muttafaq ‘alaihi).


Hal itu guna memberikan pengertian kepada istri akan


ketidak ridhaan suaminya atas perbuatan yang telah ia


kerjakan, cara ini bisa dikatakan sebagai masa yang diberikan


kepada sang istri untuk mengoreksi dirinya dan memanfaatkan


waktu yang diberikan-yaitu 3 hari-untuk berfikir, karena


[30]


apabila seorang suami mendiamkan istrinya lebih dari itu,


maka sama saja ia menyiksa istrinya, bukan mengoreksinya.


Apabila sang istri bisa mengoreksi dirinya dan kembali


berbuat baik, maka sang suami harus berhenti mendiamkan


istrinya, dan memaafkannya. Namun apabila sang istri masih


membangkang dan enggan untuk berlaku baik, berarti cara ini


belum memberikan efek baginya, maka saat itu sang suami


boleh berpindah ke tahapan yang ketiga.


3. Tahapan ketiga:


Apabila suami sudah berusaha untuk menasehati istrinya


yang membangkan dengan ucapan yang baik, dan memberi


hadiah keapdanya, namun hal itu belum memberikan efek,


kemudian berusaha menggunakan cara kedua, dengan


mendiamkan sang istri diatas kasur, dan menampakkan


ketidak ridhaannya kepada dirinya, namun hal itu juga belum


memberikan efek yang berarti, maka saat itu, seorang suami


diizinkan untuk mendidik istrinya dengan cara memukul,


namun dengan pukulan yang tidak melukai, dan


meninggalkan bekas.


Para ulama bersepakat, bahwa urutan ketiga tahapan ini


hukumnya wajib dalam menanggulangi masalah ketidak


taatan istri, yaitu mulai dari nasehat, kemudian hajr


(mendiamkan) istri, kemudian memukul.


Atha’ berkata: Aku berkata kepada Ibnu Abbas:


“Bagaimana pukulan yang tidak melukai itu?”, Ibnu Abbas


mengatakan: “Memukulnya dengan siwak atau yang


sejenisnya”.


[31]


Hasan al Bashri mengatakan: “Maksudnya pukulan yang


tidak meninggalkan bekas”.


Demi Allah, saudaraku para pembaca yang mulia, rasa


sakit apa yang dihasilkan oleh sepotong siwak (yang panjang


dan besarnya saja tidak sampai menyamai pensil)?!! Maka


mana mungkin memukul dengan siwak dianggap sebagai


kekerasan dalam rumah tangga?


Apabila engkau menganggap seorang suami yang


memukul istrinya dengan siwak sebagai orang yang


melakukan kekerasan dalam rumah tangga, maka mari samasama


kita lihat bersama, betapa banyak film-film Hollywood


dan sebagainya yang menggambarkan kepada kita, bagaimana


seorang marah kepada orang lain, seorang laki-laki marah


kepada wanita, seorang direktur marah kepada bawahannya,


ketika ia marah, ia letakkan jari telunjuknya di dada orang


lain, dan membentaknya, bahkan sering kali ia tusukkan jari


telunjuk atau pulpennya ke dada orang lain, sering pula kita


dapati seorang yang menampar pipi orang lain. Dalam banyak


kesempatan, kita dapati seorang istri memiliki masalah


dengan suaminya, sampai ia tega menampar pipi sang suami


[32]


dengan sangat keras, atau sebaliknya, suami menampar


istrinya dengan keras, kemudian pergi begitu saja. Semua ini


tidak dianggap sebagai kekerasan dalam rumah tangga oleh


orang-orang barat, akan tetapi hanya sebagai luapan emosi


yang dirasakan oleh seorang suami atau istri sehingga mereka


tega menampar pipi pasangannya, malah mereka menganggap


orang yang melakukan hal itu sebagai pasangan suami istri


modern. Perlu diketahui bahwa memukul wajah dalam agama


Islam hukumnya haram, namun anehnya, orang-orang


menuduh agama Islam, bahwa Islam adalah agama yang


mengajarkan kekerasan.


Meskipun agama Islam membolehkan seseorang suami


yang sudah berusaha untuk menggunakan cara pertama dan


kedua, untuk beralih ke cara ketiga, akan tetapi aama Islam


juga telah memberikan hak bagi wanita, sebelum sampai ke


tahap ini, untuk menuntut cerai, atau yang biasa disebut


dengan khulu’. Apabila ia merasa tidak bisa lagi menerima


suaminya, maka ia berhak untuk menentukan sendiri jalan


hidupnya: inilah yang akan kita bahas bersama in syaa Allah.


Perlu diketahui, bahwa tahapan-tahapan ini, yang


dimulai dengan memberikan nasehat, kemudian hajr,


kemudian memukul, bukanlah jalan keluar untuk


menyelesaikan masalah-masalah yang sering terjadi seharihari


antara suami istri, akan tetapi cara ini digunakan untuk


menyelesaikan masalah-masalah yang besar, sebagai contoh,


jika seorang suami menyuruh istrinya: “Tolong hari ini


masakkan untuk kami nasi dan ikan”, lantas istrinya lupa,


malah memasak nasi dan ayam, apakah kita menyikapinya


[33]


dengan ayat tersebut, menasihati, menghajr, atau


memukulnya??


Tentu tidak, karena hal ini adalah masalah yang biasa


terjadi, harus diselesaikan dengan damai, dan tanpa makian.


Namun apabila seorang istri adalah perempuan yang buruk


akhlaknya, keras kepalanya, dan suaminya mulai


memperhatikan gelagat kemaksiatan istrinya, maka saat inilah


kita dihadapkan dengan wanita pembangkang, yang butuh


dikoreksi demi kesembuhannya, sebagaimana orang sakit


yang membutuhkan obat. Mari kita bayangkan bersama


saudaraku pembaca yang budiman, seorang wanita yang terus


menerus membangkang dan congkak, juga terus menerus


melakukan perbuatan-perbuatan buruk, yang akan berakibat


pada hancurnya rumah tangga, dan perceraian. Bisa jadi


suaminya sudah berusaha sejak lama untuk menasehati dan


menghajrnya di atas tempat tidur, akan tetapi hal itu tidak


memberikan efek yang berarti. Mana kiranya yang lebih baik


dilakukan, menceraikannya, atau memukulnya dengan


pukulan yang tidak menyakitkan??!!! Apabila memukul itu


ibarat buta sebelah, dan perceraian itu buta seluruhnya, maka


buta sebelah itu lebih baik dari pada buta seluruhnya, karena


apabila seorang suami meninggalkan istrinya dalam keadaan


seperti itu, hal itu akan menyebabkan rusaknya rumah tangga,


dan lebih dari itu rusaknya msayarakat pada umumnya.


[34]



Tulisan Terbaru

Menjaga Shalat dan Kh ...

Menjaga Shalat dan Khusyuk dalam Melaksanakannya

Menjampi Air Termasuk ...

Menjampi Air Termasuk Ruqyah Yang Syar'i