Pertanyaan
Apakah makna dari Ilahiyyat (ketuhanan) menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah sama maknanya menurut selain mereka, dari kalangan Asy’ariyyah, Shufiyyah, Falasifah dan yang lainnya ?, jika jawabannya: tidak sama, maka apa maksud dari masing-masing mereka pada saat lafadz ini diucapkan, khsusnya menurut sunnah, Asy’ariyyah dan Shufiyyah karena mereka ini yang paling banyak disebut-sebut ?
Teks Jawaban
Alhamdulillah.
Pertama:
Para ahli kalam dari kalangan Asy’ariyyah dan yang lainnya membagi kalam dalam aqidah pada tiga hal utama, yaitu;
- Al Ilahiyyat (Ketuhanan)
- An Nubuwwat (Kenabian)
- As Sam’iyyat (Keyakinan yang didengarkan)
Al Bajuri berkata:
“Pembahasan masalah ini terbagi menjadi tiga bagian:
Al Ilahiyyat, yaitu; permasalahan yang berkaitan dengan Tuhan
An Nubuwwat, yaitu; permasalahan yang berkaitan dengan para Nabi
As Sam’iyyat, yaitu; permasalahan yang hukumnya tidak dikenal kecuali dengan apa yang didengar (wahyu)”. (Hasyiyat al Bajuri ‘ala Jauharat at Tauhid: 104)
Kedua:
Pembagian tersebut tidak masalah menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah, hanya saja rincian masalahnya berbeda antara Ahlus Sunnah wal Jama’ah dan Asya’ariyyah dan Falasifah (filsafat).
Terkadang dikatakan hal itu merupakan pembahasan ilmu tauhid berputar pada tiga pembahasan, hal itu sebagaimana berikut ini:
- Dzat Allah –Ta’ala- atau Al Ilahiyyat.
Pembahasan mengenai Dzat Allah terdiri dari tiga hal:
- Semua apa yang menjadi sifat Allah Ta’ala, dari mulai Ilmu, hidup, mampu, berkuasa dan semua sifat-sifat-Nya dan kesempurnaan-Nya. Dia berfirman:
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
الشورى/11
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Asy Syura: 11)
- Semua apa yang Dia Allah terhindar dari kedzaliman, kekurangan, lemah, dan aib, dan semua yang tidak layak dengan keagungan dan kesempurnaan-Nya, Allah Ta’ala berfirman:
اللَّهُ لا إِلَهَ إِلَّا هُوَ الْحَيُّ الْقَيُّومُ لا تَأْخُذُهُ سِنَةٌ وَلا نَوْمٌ
البقرة/255
“Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia Yang Hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur”. (QS. Al Baqarah: 255)
- Hak-hak-Nya dari para hamba-Nya, yaitu; hendaknya mereka beribadah kepada-Nya dan tidak mensekutukannya dengan sesuatu, dan agar mereka mentaati-Nya dan tidak durhaka kepada-Nya selamanya, Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْأِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
الذاريات: 56
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku”. (QS. Adz Dzariyat: 56)
Firman Allah yang lainnya:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ
البينة/5
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus..”. (QS. Al Baiyyinah: 5)
Banyak orang yang menyelisihi Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam hal keyakinan lupa dengan tiga hal ini dalam pembahasan yang menjadi inti dari ilmu tauhid, sehingga mereka tidak maksimal membahas cakupan masalah penetapan keberadaan-Nya, rububiyyah-Nya, Nama dan Sifat-sifat-Nya, dan mereka melupakan apa yang mencakup Uluhiyyah dan ibadah kepada-Nya, penyebabnya adalah mereka tidak maksimal dalam keimanan atas membenarkan, dan mengeluarkan amal dari ketaatan, dan menjauhi kesyirikan, dan mereka menjadikan kekufuran itu hanya mendustakan dan pengingkaran dengan hati, tidak ada peran amal fisik dalam kekufuran, kecuali jika menunjukkan adanya pertentangan dengan amalan hati saja, dan karenanya sebagian mereka berkata terkait dengan inti tauhid:
ومن لمعلوم ضرورة جحد ... من ديننا يقتل كفرا ليس حد
ومثل هذا من نفي لمجمع ... أو استباح كالزنا فلتسمع
Dan bagi yang mengingkari dari sesuatu yang menjadi aksioma (dalam agama) #
Maka dia dibunuh dalam agama kami karena kakafiran bukan karena hukuman
Begitu juga seperti orang yang menafikan (meniadakan) sesuatu yang telah menjadi ijma’ (Konsensus para ulama’) #
Atau menghalalkannya seperti zina, maka dengarkanlah
Maka jika seorang peneliti tidak maksimal dalam membahas ilmu tauhid dari tiga sudut pandang ini dan dengan pemahaman ulama salaf, maka ia masih berada di dalam naungan Islam dan Sunnah, dan jika ia menyelami pembahasan tentang Dzat dan inti sifat-sifat-Nya, dan permasalahan ketuhanan (ilahiyyat) berdasarkan kaidah ahli kalam, maka ia telah keluar dari sunnah menuju bid’ah, dari petunjuk menuju kesesatan, dan jika perbedaannya bertambah, lalu ia membahasnya dengan kaidah ahli filsafat maka ia telah keluar dari wilayah bid’ah menuju kekufuran, na’udzu billah min dzalik.
Semoga Allah memberikan rahmat-Nya kepada orang yang berkata:
العجز عن درك الإدراك إدراك ... والبحث في كنه ذات الله إشراك
“Tidak mampu untuk mengenali itu bentuk pengenalan # dan mencari hakekat Dzat (Allah) adalah kesyirikan”.
- Dzatnya Para Nabi dan Rasul (An Nubuwwat)
Membahas dzat para Rasul yang mulia dari beberapa segi berikut ini:
- Yang menjadi kewajiban mereka adalah jujur, amanah, menyampaikan (risalah), menasehati umat mereka, dan lain sebagainya.
Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ إِبْرَاهِيمَ لَحَلِيمٌ أَوَّاهٌ مُنِيبٌ
هود: 75
“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi penghiba dan suka kembali kepada Allah”. (QS. Huud: 75)
Allah Ta’ala juga berfirman:
وَإِنَّكَ لَعَلَى خُلُقٍ عَظِيمٍ
القلم: 4
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung”. (QS. Al Qalam: 4)
Allah ‘Azza wa Jalla juga berfirman:
مَا عَلَى الرَّسُولِ إِلَّا الْبَلاغُ
المائدة: 99
“Kewajiban Rasul tidak lain hanyalah menyampaikan”. (QS. Al Maidah: 99)
- Apa yang dibolehkan bagi mereka, mulai makan, menikah, penyakit yang tidak menjadikan orang lari, kematian dan yang lainnya dari apa yang menimpa manusia.
Allah Ta’ala berfirman:
وَقَالُوا مَالِ هَذَا الرَّسُولِ يَأْكُلُ الطَّعَامَ وَيَمْشِي فِي الْأَسْوَاقِ
الفرقان: 7
“Dan mereka berkata: "Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?”. (QS. Al Furqon: 7)
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلًا مِنْ قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
الرعد: 38
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka isteri-isteri dan keturunan”. (QS. Ar Ra’du: 38)
Allah Ta’ala berfirman:
قَالَتْ لَهُمْ رُسُلُهُمْ إِنْ نَحْنُ إِلَّا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ
إبراهيم: 11
“Rasul-rasul mereka berkata kepada mereka: "Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu”. (QS. Ibrahim: 11)
- Apa yang mustahil bagi mereka (para Nabi) dari berdusta, berkhianat, kufur, dosa besar, dan dosa penghancur.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى، إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
النجم: 3، 4
“dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)”. (QS. An Najm: 3-4)
- Apa yang diwajibkan bagi mereka dari para pengikutnya dengan mencintai, taat, mengikuti, dan mengangungkannya.
Allah Ta’ala berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ
النساء/64
“Dan kami tidak mengutus seseorang rasul, melainkan untuk dita`ati dengan seizin Allah” (QS. An Nisa’: 64)
Allah Ta’ala berfirman:
النَّبِيُّ أَوْلَى بِالْمُؤْمِنِينَ مِنْ أَنْفُسِهِمْ
الأحزاب: 6
“Nabi itu (hendaknya) lebih utama bagi orang-orang mukmin dari diri mereka sendiri”. (QS. Al Ahzab: 6)
- As Sam’iyyat atau Al Ghaibiyyat
Adalah apa yang menuntut untuk mengimaninya hanya dengan mendengar atau karena adanya wahyu, tidak ada ruang bagi akal untuk menetapkannya atau meniadakannya, seperti tanda-tanda kiamat, dan rincian hari kebangkitan dan balasan, shirath, telaga, dan kabar surga dan neraka, dan lain sebagainya.
Membahas as sam’iyyat atau masalah-masalah ghaib dari sisi meyakininya, ia berdiri di atas dua pilar:
- Mengakuinya disertai membenarkan, lawan dari kufur dan mengingkarinya.
- Membiarkan dengan disertai penetapan maknanya, lawan dari mendalami inti dan hakekatnya, juga berusaha menggambarkan dan mengira dengan akal yang jauh dari dalil naqli.
Patokan as sam’iyyat bahwa akal tidak menghalanginya atau mengalihkannya, dan tidak mampu melakukan, juga tidak mampu untuk mewajibkannya, dan tidak bingung akan hal itu.
Maka kapan saja ada dalil naqli yang shahih dari Allah ‘Azza wa Jalla atau Rasul-Nya –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka yang diwajibkan adalah meyakini dan mengakuinya, dan menolak semua klaim berlawanan antara syari’at Allah yang berupa wahyu dengan ciptaan-Nya berupa akal, Allah Ta’ala berfirman:
أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالْأَمْرُ
الأعراف/ 54
“Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah”. (QS. Al A’raf: 54)
Sebagimana tidak ada perbedaan di dalam makhluk-Nya, sebagaimana di dalam firman-Nya:
مَا تَرَى فِي خَلْقِ الرَّحْمَنِ مِنْ تَفَاوُتٍ
تبارك/3
“kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang”. (QS. Tabarak: 3)
Maka tidak ada perbedaan juga pada syari’at-Nya, sebagaimana di dalam firman-Nya:
وَلَوْ كَانَ مِنْ عِنْدِ غَيْرِ اللَّهِ لَوَجَدُوا فِيهِ اخْتِلافًا كَثِيرًا
النساء: 82
“Kalau kiranya Al Qur'an itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya”. (QS. An Nisa’: 82)
Kaidah yang berharga, bahwa:
لا يتعارض نقل صحيح ، مع عقل صريح ؛ عند التحقيق
“Tidak ada dalil naqli shahih yang bertentangan dengan dalil aqli yang benar, setelah diteliti”.
Dan yang terakhir, ada benarnya jika dikatakan bahwa topik ilmu tauhid adalah Dzat Allah semata, hal itu dari sisi apa yang diwajibkan kepada-Nya, apa yang boleh dan apa yang tidak boleh, dan dari sisi risalah-Nya yang datang melalui para Rasul, dan dari sisi apa yang ada pada risalah ini, berita dan wahyunya, semuanya berkaitan dengan Allah Yang Maha Esa.
Atas dasar inilah maka, setiap yang berkaitan dengan Allah, Rasul, atau wahyu dari beberapa sisi di atas, hal itu termasuk ilmu tauhid, dan apa yang keluar darinya maka ia harusnya di luar ilmu tauhid”. (Thariq al Hidayah –Mabadi’ wa Muqaddimat Ilmu Tauhid ‘Inda Ahlis Sunnah wal Jama’ah: DR. Muhammad Yusri: 134-138) dengan sedikit perubahan.
Ketiga:
Telah kita bicarakan sebelumnya terkait dengan perbedaan ini pada beberapa jawaban yang diharapkan untuk bisa dirujuk kesana pada jawaban soal nomor: 205836, 226290, 4983, 20375, 88184.
Di sertai perhatian bahwa para ahli filsafat tidak membagi pembahasan keyakinan pada pembagian di atas, akan tetapi pada pembagian khusus terkait dengan pembahasan kalam, di sana ada perbedaan mendasar pada fokus pembahasan, dan manhajnya antara pembahasan kalam dan filsafat, disertai perbedaan sedikit pada urutan juga, meskipun semua itu sudah mulai berkurang disebabkan oleh campurnya pembahasan kalam dengan kaidah filsafat, dan banyak jalan yang ada, menurut para ahli kalam belakangan ini.